Podin merasa cocok dengan perumahan yang ditunjukkan oleh Pak Mandor. Rumah yang sangat bagus. Tidak seperti rumahnya yang mirip gubug, yang oleh tetangganya selalu diejek. Ia sudah jengkel dengan para tetangganya yang selalu mengejek. Apalagi dengan orang-orang yang punya warung, dimana Istrinya selalu diolok-olok kalau belanja sering menghutang. Tentu hal itu menyebabkan Podin kadang-kadang tidak kerasan di kampungnya, bahkan kadang-kadang Podin ingin lari dari kenyataan itu semua, karena sering dihina, karena sering diolok oleh para tetangganya.
Namun ketika diberikan gambaran bahwa tinggal di perumahan yang mewah itu enak, orang-orangnya semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing, semuanya disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing, Podin jadi merasa akan nyaman, akan tentram tinggal di perumahan mewah dengan tetangga orang-orang yang tidak bakal mengurusi dirinya maupun keluarganya. Bahkan juga, di sana nanti antara tetangga yang satu dengan tetangga yang lain tidak akan saling mengurusi. Bahkan antar tetangga-tetangga yang ada di sekitarnya, mungkin tidak saling mengenal. Oleh sebab itulah Podin merasa cocok dengan gambaran yang disampaikan oleh Pak Mandor itu, untuk memiliki rumah yang ada di perumahan itu.
Akhirnya, Pak Mandor yang berboncengan dengan Podin, sampai di gerbang masuk perumahan elit itu. Baru saja masuk, di pintu gerbang, dengan gapura yang besar dan ada posnya, pintu gerbang yang dijaga oleh satpam, satpamnya tidak hanya satu, ada dua orang satpam yang menghentikan kendaraan Pak mandor, lalu menanyai.
"Mau ke mana, Pak?" tanya si satpam itu pada Pak mandor yang berboncengan dengan Podin. Walaupun Pak Mandor ikut kerja dengan bos pengembang yang memborong perumahan itu, tetapi tidak kenal dengan Pak Mandor. Urusan administrasinya berbeda.
"Ini ..., mau lihat perumahan ini .... Teman saya mau beli rumah di sini" kata Pak mandor yang sudah berhenti di depan pos satpam.
"Begini, Pak .... Bapak tidak boleh muter-muter di kompleks perumahan, sebaiknya Bapak langsung saja ke pemasaran .... Nanti di sana Bapak akan dilayani oleh pemasaran, Bapak akan ditunjukan mana-mana kapling yang akan di bangun, mana-mana kapling yang akan dijual .... Nanti bapak bisa memilih seperti apa yang dikehendaki, bangunannya, modelnya, bentuknya, tempatnya .... Semua itu nanti langsung saja ditanyakan ke pemasaran, Pak .... Itu tempatnya kantor pemasaran ada di sana itu, di gedung yang paling depan ..., itu tuh, ada tulisan kantor pemasaran." jelas si satpam kepada Pak Mandor dan Podin.
"Oh iya, Pak .... Terima kasih." kata Pak mandor yang kemudian menjalankan kendaraannya lagi memboncengkan Podin menuju ke tempat pemasaran. Jaraknya dekat dengan pos satpam yang ada di pintu gerbang depan perumahan itu.
Sambil berjalan menuju ke tempat pemasaran, Podin bertanya pada Pak Mandor, "Pak Mandor ..., kok Perumahan ada satpamnya, Pak?" tanya Podin pada Pak Mandor.
"Hloh ..., kamu itu gimana toh, Din .... Yang bertugas untuk menjaga keamanan di perumahan itu ya para satpam itu .... Namanya saja perumahan mewah, barang-barangnya di sini kan mewah-mewah semua, Din .... Barang-barang yang dimiliki oleh warga sini, di perumahan ini itu kan barang-barang mahal semua, Din .... Lah kalau tidak ada yang menjaga, kalau tidak ada satpam, ya nanti maling keluar masuk tuh, Din .... Nanti penduduknya, warganya yang tinggal di sini, yang punya perumahan ini, bisa kemalingan semua tuh, Din." begitu jelas Pak Mandor kepada Podin.
"Oh, begitu ya Pak .... Jadi tidak perlu ada ronda malam di sini ya, Pak ...." kata Podin.
"Walah ..., Din .... Kamu itu ketinggalan zaman .... Kamu itu kuper, kurang pergaulan .... Tidak tahu bagaimana tinggal di perumahan mewah .... Ya enaknya tinggal di rumah mewah itu ya seperti itu, Din .... Ada yang menjaga, ada satpam yang mengontrol keliling setiap saat mengawasi rumah, mengamankan lingkungan. Jadi tidak ada giliran jaga ronda, tidak ada yang harus melek malam keliling kampung, ndak ada kerja bakti, Din .... Kegiatan seperti itu semua kan kegiatan orang-orang kampung lah .... Kalau di sini semuanya sibuk, semuanya sudah bekerja seharian sampai lembur-lembur, capek .... Kok masih disuruh ronda, ya sudah nggak zamannya lagi lah, Din .... Makanya mereka itu di sini dijaga oleh satpam, diamankan oleh satpam, diawasi oleh satpam. Kamu lihat sendiri kan, kita masuk saja tadi sudah dihentikan oleh satpam, semuanya itu, satpam-satpam itu berjaga-jaga supaya aman lingkungannya. Gitu toh, Din." jelas Pak Mandor kepada Podin.
"Ooo .... Seperti itu ya, Pak Mandor." saut Podin yang memang tidak tahu kalau di perumahan mewah itu dijaga oleh satpam secara penuh.
Akhirnya Pak Mandor bersama Podin berhenti di depan tempat gedung yang ada tulisan "Kantor Pemasaran". Pak mandor langsung turun dari kendaraan bersama Podin, dan setelah memarkirkan kendaraan, langsung menuju ke ruang gedung pemasaran itu,
Di gedung pemasaran itu, Pak mandor bersama Podin langsung disambut oleh perempuan cantik yang sudah siap menerima kedatangan para tamu. Pasti sudah dihubungi oleh satpam yang berjaga di gerbang depan.
"Selamat pagi, Bapak .... Ada yang bisa kami bantu?" begitu kata perempuan cantik yang bertugas sebagai pegawai pemasaran di tempat itu.
"Maaf, Mbak .... Ini teman saya mau mencari rumah di perumahan ini. Dia mau beli rumah, apakah masih bisa ya, Mbak? Tolong dibantu ya, Mbak ...." begitu kata Pak Mandor kepada perempuan yang bekerja sebagai pemasaran di ruang itu.
"Oh, tentu bisa, Pak .... Kami siap membantu .... Mari Bapak ..., silakan duduk." kata perempuan yang berjaga di ruang pemasaran itu, mempersilahkan Pak Mandor dan Podin untuk duduk di depan meja yang ada di ruang pemasaran itu.
"Maaf, Mbak ..., saya ini kan anak buahnya Pak Jon. Kebetulan saya itu mandor yang dipercaya Pak Jon untuk mengawasi proyek yang ada di daerah sana. Nah, ini Kebetulan ada teman saya kepengin beli rumah yang bagus. Mohon dibantu ya, Mbak ...." kata Pak Mandor yang menyebut dirinya juga pekerjanya Pak Jon.
"Siap .... Pak Jon juga sering kemari kok, Pak .... Kemarin barusan Pak Jon membawa pembeli juga kemari. Nah, begini, Pak .... Bapak nanti kira-kira akan beli rumah yang seperti apa? Tipenya seperti apa? Luas tanahnya yang berapa? Nanti kita akan bangunkan sesuai dengan permintaan Bapak." kata perempuan yang menjadi pegawai pemasaran itu kepada Pak Mandor dan Podin.
"Hloh, Mbak ..., kalau yang sudah jadi, yang siap dihuni, apa tidak ada? Apa harus nunggu bangun dulu?" tanya Pak Mandor kepada pegawai pemasaran itu.
"Hlo ..., Pak mandor ini gimana sih .... Pak Mandor itu kan anak buahnya Pak Jon .... Mestinya kan sudah tahu prosedurnya pembelian perumahan di rumah-rumah kita .... Kalau temannya Pak Mandor itu akan beli rumah, mestinya kan harus pesan dahulu .... Nanti setelah tanda jadi selesai, baru dibangunkan .... Perumahan sini kan namanya pesan bangun, Pak .... Kalau belum ada yang pesan, ya kita nggak berani bangun. Ya kalau sesuai dengan keinginan pembeli? Kalau misalnya pembelinya ingin nambah ini nambah itu .... Kan repot, Pak .... Nah, kalau nanti kita sudah membangun, ternyata tidak ada yang beli ..., bagaimana?" kata perempuan itu yang menjelaskan kepada Pak mandor dan Podin.
"Oo ..., tidak ada stok, ya ...? Saya kira ada yang tidak jadi dibeli oleh pemesannya .... Siapa tahu kalau di sini ada yang sudah jadi bangunannya." kata Pak Mandor tentunya mengira kalau di perumahan itu ada yang tidak jadi diambil..
"Oh, iya ..., ya, Pak .... Maaf, kalau seperti itu, mau oper tangan, yang di sana ada .... Kalau Bapak mau, di tempat agak ke ujung sana, sudah ada yang siap untuk langsung dihuni .... Pemiliknya pindah tugas, rumah itu mau dijual. Maaf, Pak ..., kalau misalnya Bapak mau menempati rumah yang bekas punya orang itu, apa kira-kira Bapak mau? Itu bekas milik pejabat ...." kata perempuan pegawai pemasaran itu kepada Pak Mandor dan Podin.
"Maksudnya bagaimana ya, Mbak?" tanya Pak Mandor yang tentu ingin tahu keadaan rumah itu.
"Begini, Pak ..... Rumah itu dulunya milik pejabat. Karena kebetulan dinasnya itu pindah ke luar Jawa, maka rumah itu kosong, tidak ada yang menempati. Nah, daripada rumah itu kosong, menghabiskan biaya perawatan, oleh pemiliknya, rumah itu dikembalikan kepada kita supaya ditawarkan kalau ada yang mau beli. Tapi, ya terus terang, Pak bangunannya sudah jadi sehingga Bapak tidak bisa memilih lagi, tidak bisa menentukan modelnya, tidak bisa menentukan tipenya, dan tidak bisa menentukan bentuk bangunannya seperti apa. Karena ini sudah jadi sesuai pesanan pejabat yang dulu beli." begitu kata petugas pemasaran itu kepada Pak Mandor dan Podin.
"Aha .... Begini, Mbak .... Apakah kita bisa melihat rumah yang milik pejabat yang mau dijual itu? Siapa tahu Pak Podin cocok dengan modelnya, dengan bangunannya." kata Pak Mandor kepada perempuan itu.
"Bisa, Pak .... Nanti sebentar saya panggilkan petugas yang akan mengantarkan ke rumah itu." kata perempuan itu yang kemudian mengangkat HP menelepon pegawai yang lain.
Sebentar kemudian, ada seorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor datang ke kantor pemasaran itu. Lantas pemuda yang menaiki sepeda motor itu mengajak Pak Mandor dan Podin untuk melihat rumah milik pejabat yang ditawarkan oleh bagian pemasaran. Tidak lama mengendarai motornya, karena dekat dekat dengan kantor pemasaran. Dua sepeda motor yang beriringan itu sudah sampai di rumah yang dituju yaitu bangunan yang megah dan bagus. Namun sayang, bangunan itu sudah beberapa bulan tidak ditempati oleh pemiliknya, karena pemiliknya pindah tugas. Sehingga lantainya kotor ditimbun debu.
"Ini, Pak ...., rumahnya." kata laki-laki yang bertugas sebagai pemasaran itu.
"Wow .... Ini rumah yang sangat bagus ...." tentu Podin terheran dan kagum dengan rumah yang ditunjukkan oleh laki-laki pemasaran itu.
"Berapa harganya ini, Mas?" tanya Podin.
"Wah .... Kalau yang ini minta satu setengah milyar, Pak ...." jawab pegawai yang mengantarkannya itu.
"Hah ...?! Satu setengah milyar ...?" Pak Mandor geleng-geleng, terheran dengan harga yang fantastis itu.
"Iya, Pak .... Ini bagus loh, Pak. Jualnya All in .... Dengan barang-barangnya. Sudah beres semua, tinggal masuk tanpa bawa barang baru .... Semuanya sudah lengkap, Pak .... Terus terang ini karena pemiliknya itu seorang pejabat, karena dia pindah tugas, sekarang dia ditugaskan ke daerah lain di luar Jawa, maka rumah ini ditinggalkan. Tetapi rupanya karena dia akan menetap di tempat kerja yang baru, maka beliau memutuskan kalau rumah ini akan dijual saja. Bulan lalu sudah diserahkan kepada pihak pemasaran untuk minta tolong rumah ini dijualkan dengan harga satu setengah milyar .... Mari Pak, silakan masuk .... Kita lihat bagian dalam rumah ini." kata petugas itu.
"Wah ..., keren sekali .... Bagus banget ini, Pak Mandor ...." kata Podin.
"Hahaha .... Iya ini, Din .... Yang namanya rumah mewah ya seperti ini .... Besok kalau jadi kamu beli, lantainya langsung di pel .... Pasti mengkilap, Din ...." kata Pak Mandor.
"Mari, Pak ..., silakan kita lihat bagian dalamnya." kata si petugas pemasaran itu, lantas petugas pemasaran itu membuka pintu depan dan mengajak 2 orang calon pembelinya itu masuk.
Lantas tiga orang itu pun masuk ke ruangan dalam. Yang pertama kali dilihat adalah ruang tamu. Di ruang tamu juga sudah terdapat kursi-kursi tamu yang bagus namun hiasan-hiasan dinding memang sudah diambil oleh pemiliknya. Biasanya foto-foto keluarga yang tentu sudah diambil. Memang hanya mebel-mebelar yang ditinggal. Tentu kalau mebel susah membawanya, karena memang ukurannya yang besar dan juga berat. Kalau pindah keluar Jawa tidak mungkin mengangkutnya. Paling tidak harus dinaikkan ke kapal.
Memang biasanya orang-orang kaya seperti itu, pejabat-pejabat yang selalu berpindah-pindah tugas, mebeler itu selalu ditinggal dan dijual sekaligus sebagai isi rumahnya. Masalahnya tidak praktis dan tidak ekonomis. Justru akan menghabiskan waktu dan menghabiskan biaya untuk dibawa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Biasanya yang dibawa hanyalah barang-barang berharga atau barang-barang yang mempunyai nilai-nilai historis, misalnya seperti foto-foto keluarga atau cinderamata dari para pejabat atau dari luar negeri.
"Lihatlah Pak .... Ini ruangan tamunya, cukup besar kan, Pak." kata si petugas pemasaran itu.
"Wah ..., ini ruang tamu yang besar .... Apalagi kursinya .... Wah ..., bagus sekali .... Lihat ini, Din ...." kata Pak Mandor pada Podin, orang yang tidak pernah melihat barang-barang bagus, tidak pernah melihat rumah mewah. Maka ketika ia menyaksikan ruangan tamu itu, ia sudah berdetak kagum. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tanda terheran, tanda takjub dengan rumah yang ditawarkan itu.
"Nah ..., ini Pak .... Ini bagian ruang kamar. Ini kamarnya ada tiga. Jadi nanti, karena ini kamarnya ada tiga, bisa untuk anak, dan bisa untuk Bapak Ibu. Ini, Pak .... Ini yang namanya ruang keluarga. Coba lihat, Pak .... Ruang keluarganya juga bagus. Ruang keluarganya besar." kata si petugas pemasaran yang menunjukkan kamar-kamar yang ada tempat tidur serta ruang keluarga yang sangat bagus. Ruang keluarga yang cukup luas. Di mana, di ruang keluarga itu juga terdapat sofa. Biasanya ruang keluarga inilah yang digunakan untuk seluruh keluarga menyaksikan televisi ataupun bercerita dan berbagi perasaannya.
Podin yang belum pernah melihat apa itu namanya kamar tidur, ketika dia masuk ke dalam salah satu kamar tidur, dia mencoba duduk di atas tempat tidurnya, sangat empuk.
"Ini yang namanya tempat tidur mewah .... Ini yang namanya kasurnya orang kaya .... Kasur yang empuk dan mentul-mentul." kata Pak Mandor yang pamer kepada Podin.
Podin yang meletakkan pantatnya di atas kasur itu, benar-benar merasakan betapa enaknya jadi orang kaya. Bisa menikmati tidur di atas kasur yang empuk. Ruangan itu cukup besar, bahkan di sudut kamar tidur itu masih terdapat lemari rias yang ada kacanya. Namun barang-barangnya sudah tidak ada. Tentu kalau barang-barang rias biasanya dibawa oleh pemiliknya.
Kemudian di sudut kamar satunya lagi, ada lemari pakaian, lemari yang cukup besar terbuat dari kayu yang di plitur kelihatan kinclong. Sangat bagus. Sengaja oleh pemiliknya ditinggal. Tentu karena saking besarnya lemari itu. Pasti susah untuk membawanya berpindah ke tempat yang jauh. Apalagi kata dari petugas pemasaran itu, pemilik aslinya itu berpindah tugas ke luar pulau, keluar Jawa.
"Nah, ini pak yang namanya ruang keluarga. Ruang ini saja besarnya seperti ini. Ruang ini sangat cocok kalau untuk keluarga besar, Pak .... Misalnya kalau pas lebaran, saudara-saudaranya pada datang, family-nya pada kemari, ini sudah cukup dipakai untuk bercengkrama, untuk ngobrol bareng, untuk bersilaturahmi dengan family. Bagus kan, Pak." kata si petugas pemasaran itu.
"Wah .... Kalau ini benar-benar rumah yang sangat bagus, Din .... Kalau saya punya uang, saya pengen punya rumah yang seperti ini, Din ...." begitu kata Pak Mandor pada Podin, yang tentunya Pak Mandor berharap Podin mau membeli rumah itu.
"Apalagi ..., ini loh ..., lihat .... Kursi sofanya saja itu harganya jutaan .... Mahal ini .... Masak ditinggal begitu saja, diberikan kepada pembelinya." lanjut Pak Mandor.
"Betul, Pak .... Semua isi rumah ini oleh pemiliknya memang sengaja dijadikan satu paket dengan rumah yang akan dijual ini. Ya karena memang yang punya dulu itu orang kaya, Pak .... Dia pejabat tinggi, sehingga uangnya banyak .... Ya, kalau hanya rumah seperti ini, kecil, Pak .... Apalagi hanya perabotan-perabotan seperti ini, bagi mereka tidak ada artinya .... Beli-beli barang kayak gini ini, kalau orang kaya ini ibaratnya seperti beli kacang goreng, Pak." begitu kata si petugas pemasaran itu.
Podin tidak bisa berkata-kata apa-apa. Ia hanya bisa heran. Heran dan heran. Podin hanya bisa takjub, takjub dan takjub. Ya, memang semuanya itu belum pernah dibayangkan oleh Podin, walaupun ia ingin menjadi orang kaya, tetapi belum pernah melihat keadaan orang kaya itu seperti apa. Kondisi orang kaya itu seperti apa. Rumah orang kaya itu seperti apa. Yang dia tahu hanyalah gubuk dari papan-papan bekas, tanpa ada perabotan sama sekali. Bahkan yang namanya tempat tidur saja hanya dari kayu-kayu bekas yang dipaku, kemudian di atasnya ditaruh kasur-kasur bekas yang sudah dibuang oleh tetangganya. Maka begitu melihat keadaan rumah yang sangat mewah itu, melihat perabotan-perabotan yang sangat bagus itu, Podin hanya bisa berdecak kagum berkali-kali. Ia hanya bisa menelan ludah, karena saking pengennya untuk segera punya rumah seperti itu.
"Mari Pak, kita ke belakang .... Nah, ini yang namanya ruang makan .... Ini ruang makannya memang sederhana, Pak ..., tidak begitu besar, tetapi kalau hanya untuk keluarga, ruangan ini sudah cukup. Nah, ini juga. Masih ada meja kursinya, Pak .... Meja kursi makan semuanya terbuat dari kayu jati. Ini bagus sekali, Pak. Kursinya memang ada empat. Nah, nanti kalau bapak keluarganya ada lebih, bisa beli kursi lagi." kata si petugas pemasaran itu menjelaskan kepada Podin. Di ruang yang hanya berukuran tiga kali tiga meter itulah tempat ruang makan yang sudah tersedia meja bulat dengan empat buah kursi yang mengelilingi meja itu.
Kemudian di sudut meja, di sudut ruang makan itu, ada kulkas. Kemudian ada rak yang berisi perangkat perabot makan.
"Nah, kalau yang ini dapurnya, Pak. Kompornya saja ditinggal loh, Pak. Ini mereka tidak membawa kompor, tidak membawa tabung gas. Ini ditinggal semua, Pak. Lihat ini, Pak ...., dapurnya bersih rapi dan bagus. Kompornya saja empat tungku, Pak. Ini kompor besar. Jadi kalau bapak itu mau masak untuk orang banyak, itu bisa sekaligus masak dengan empat tungku ini, Pak." kata si petugas pemasaran itu kepada Podin.
Lagi-lagi, Podin hanya bisa menelan ludah. Dia belum pernah melihat yang namanya kompor gas. Dia belum pernah melihat dapur yang bagus yang ada wastafelnya, yang ada kran dengan airnya yang langsung mengalir, dia juga bingung menyaksikan ruang dapur itu yang jauh berbeda dengan ruang dapurnya. Jika di gubuk Podin dapurnya gandeng jadi satu ruang dengan tempat tidur, dapurnya hanya terbuat dari tumpukan bata yang diplester, dapurnya tidak ada tabung gas, tetapi yang ada hanyalah tumpukan kayu bakar. Dapurnya tentu sangat kotor dengan jelaga yang menempel di dinding-dinding, sangat kotor dengan abu-abu sisa pembakaran dari kayu bakar yang digunakan untuk memasak, juga penuh dengan coretan-coretan bekas arang yang menempel atau menggores pada dinding-dindingnya. Tetapi dapur di rumah mewah ini benar-benar sangat bersih, seakan tidak pernah dipakai. Itulah yang membuat Podin semakin bingung, semakin tidak paham, semakin tidak mengerti dengan kemegahan dari rumah yang dimiliki oleh orang kaya.
"Nah, Pak coba lihat. Ini adalah tempat mencuci. Mesin cucinya juga ditinggal, Pak. Jadi memang semua perabot rumah tangga yang ada di rumah ini tidak dibawa oleh pemiliknya. Ya, katanya waktu itu pemiliknya dipindah tugaskan secara mendadak. Tetapi yang namanya pejabat, Pak ..., pergi secara mendadak pun dia di sana juga langsung bisa memiliki rumah yang bagus. Bahkan mungkin di sana rumahnya lebih bagus dari ini, karena dia kan naik jabatan. Otomatis gajinya lebih besar, uangnya lebih banyak. Nah, ini, Pak ..., ini tempat mencuci. Kemudian yang di sebelah sini untuk menjemur pakaiannya. Nah, yang ini tempat jemurannya juga masih ada. Lihat, Pak ..., ini di bagian belakang rumah masih ada sisa tanah yang oleh pemilik lama ini digunakan untuk menanam tanaman hias, untuk keindahannya dulu di sini dilatanami anggrek-anggrek semua, Pak. Tapi sekarang sudah tidak ada karena memang anggreknya itu bagus-bagus, maka oleh pemiliknya anggrek-anggrek itu dibawa ke rumah yang baru. Maklum, Pak ..., orang kaya bunga anggreknya harganya mahal-mahal, dan itu anggrek biasanya langka. Maka mereka membawa ke rumahnya yang baru untuk ditanam di sana." jelas si petugas pemasaran itu.
Begitulah saat Podin menyaksikan keindahan rumah mewah yang ditawarkan oleh Pak Mandor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments