"Pak, ini bekalnya .... Cari uang yang banyak lagi ya, Pak .... Biar hidup kita lebih enak dan tidak terbelit utang ...." kata Isti pada Podin, saat menyerahkan bekal pagi yang dibungkus daun pisang dan dimasukkan ke dalam kantong kresek, untuk makan siang di tempat kerja. Tentu dengan harapan bahwa suaminya nanti akan pulang membawa uang yang banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya lagi.
"Ya ...." kata Podin yang berdiri di depan pintu, sambil mengamati anak-anaknya yang sudah bersiap berangkat sekolah.
"Pak ..., Eko berangkat sekolah dahulu, ya ...." anaknya yang paling besar dengan seragam SD, menyalaminya dan berpamitan akan berangkat sekolah.
"Ya .... Sekolah yang bener biar pinter .... Besok biar jadi dokter. Jangan lupa, uang pikniknya dibayarkan ke Bu Guru .... Adiknya dijaga ...." kata Podin yang memesan anak sulungnya saat berpamitan akan sekolah.
"Iya, Pak ...." sahut anaknya.
"Pak ..., Dewi juga berangkat sekolah ...." kata anak perempuannya yang satu sekolahan dengan kakaknya. Bersalaman dan berpamitan pada bapaknya.
"Iya .... Hati-hati .... Jangan nakal ...." sahut Podin sambil mengelus kepala anaknya.
Setelah dipamiti anak-anaknya, Podin sendiri juga berpamitan pada istrinya, akan berangkat kerja.
"Aku berangkat duluan, Buk ...." kata Podin sambil mengelus kepala anaknya yang masih digendong istrinya.
"Ya .... Jangan lupa, pulang bawa uang yang banyak ...." sahut Isti yang melepas kepergian suaminya.
Pagi itu, Podin niatnya akan berangkat kerja. Berjalan menuju proyek tempatnya bekerja sebagai kuli bangunan. Namun, saat sampai di jalan, di mana sore kemarin ia bertemu dengan kakek-kakek yang sudah memberikan banyak uang, ia teringat kata-kata si kakek itu, "Kalau kurang, kamu bisa menemui saya dan meminta lagi ...."
Podin berhenti termangu. Akan melanjutkan berjalan menuju tempat kerjanya, di proyek bangunan, atau berbelok ke arah selatan untuk mencari kakek tua yang sudah menjanjikan kata-katanya itu. Kalau Podin menuju ke proyek bangunan, berarti ia harus berkotor-kotor lagi dengan adukan pasir dan semen. Ia harus berpanas-panasan di bawah terik matahari yang menyengat dan membakar tubuhnya. Belum lagi cacian dan hinaan dari teman-temannya, yang selalu curiga dan menghindar kalau didekati, karena takut akan dihutangi. Ditambah kalau adukannya kurang pas, pasti tukang yang diladeni akan marah-marah. Ditambah masih dimarahi oleh Pak Mandor, yang selalu mengatakan kalau dirinya tidak becus dalam bekerja. Sedih rasanya jika mengingat itu semua.
Akhirnya, Podin membelok ke arah selatan. Menuruti kata-kata laki-laki tua yang sudah pernah memberi uang kepadanya, dan mengatakan akan memberi lagi jika memang Podin mau memintanya. Ia pun berjalan menuju arah selatan. Ya, menuju ke arah pantai seperti yang dikatakan oleh si kakek itu.
Namun ternyata, berjalan ke arah selatan, untuk mencari keberadaan si kakek itu tidaklah dekat. Podin harus berjalan cukup jauh. Bahkan rasanya sudah sangat letih, belum juga sampai. Ia harus berpeluh dan dihempas debu-debu jalanan yang diterbangkan oleh kendaraan yang berlalu lalang melewati dirinya. Tetapi karena niatnya sudah bulat, jika pulang ia harus membawa uang. Bahkan ia juga teringat kata-kata istrinya, "Jangan pulang kalau tidak bawa uang."
Maka, tekad Podin sudah bulat. Ia akan mencari keberadaan si kakek tua yang sudah pernah menemuinya itu, dan menjanjikan akan memberi uang seberapapun yang akan diminta oleh Podin. Podin pun melanjutkan perjalanannya, terus, terus dan terus ke arah selatan.
Hingga akhirnya, Podin sampai di pantai. Rasa letihnya yang sudah memuncak, kini berubah menjadi senyum. Pastinya ia akan bertemu dengan laki-laki tua yang menyuruhnya untuk mencari gubug yang berdiri di tepi pantai itu.
Mata Podin langsung menoleh ke kanan dan kiri, mencari gubug yang dikatakan oleh si kakek tua kemarin sore. Dan ternyata benar, ada gubug di sisi kiri dari tempatnya berdiri. Podin pun melangkah menuju ke tempat gubug itu berdiri. Agak lumayan. Harus melintas di batu-batu cadas yang ada di tepi pantai. Tetapi bukan masalah bagi orang yang berniat ingin mendapatkan uang. Untuk memperoleh uang harus berjuang, bahkan harus berkorban. Begitu batin Podin. Apapun akan dilakukan untuk mendapatkan uang.
Hingga akhirnya, Podin sampai juga di gubug itu. Gubug yang boleh dikatakan hanya sebagai tempat berteduh. Tempat untuk menghindari sengatan matahari. Gubug yang terbuat dari empat buah batang kayu, dan diatasnya diberi atap dari anyaman daun kelapa. Di bagian tengah gubug itu, ada potongan-potongan bambu yang ditata, menjadi sebuah tempat untuk duduk. Bambu itu terlihat halus dan licin. Artinya sudah banyak orang yang sering duduk di situ.
Podin yang sudah terlalu lelah berjalan dari rumahnya, kini ia pun duduk di bilah bambu yang ada di gubug itu. Kata si kakek tua itu, nanti akan ada perahu kecil yang datang menghampiri, untuk menemui si kakek. Sambil menunggu datangnya perahu kecil seperti yang dikatakan oleh si kakek, Podin membuka bungkusan bekalnya. Tentu akan disantapnya. Untuk mengobati perutnya yang sudah kelaparan sejak tadi, setelah berjalan sangat jauh. Untuk menghilangkan lelah dan letihnya tubuh serta kaki yang terasa gemetar.
Podin menikmati isi bungkusannya. Nasi putih dengan lauk ikan asin ditambah sambal korek yang terbuat dari cabe merah dan bawang yang dikasih garam dan terasi sedikit. Sudah terlalu enak bagi Podin yang memang hidupnya serba kekurangan. Tangannya langsung memuluk nasi di daun pisang itu, langsung dimasukkan ke mulutnya. Lantas mencuil ikan asin, dicolekkan ke sambal yang berwarna merah itu, dikunyah bersama nasi yang sudah masuk mulut. Terlihat nikmat sekali.
Namun sayang, Podin tidak membawa bekal air minum. Makan nasi sama ikan asin, tanpa ada kuah, dan terkena sambal yang lumayan pedas, tentu terasa seret saat menelan, dan juga kepedasan. Mulutnya menghoah. Podin tengak-tengok mencari air. Ternyata di tiang gubug bagian belakang, tergantung sebuah kendi, teko yang terbuat dari tanah, tempat air minum.
Podin langsung berdiri dan meraih kendi yang tergantung itu, dan berharap dapat minuman. Ternyata memang ada airnya. Podin langsung menggelonggongkan air ke tenggorokannya.
"Uhhh, segaaaar ...." begitu kata Podin yang merasa lega kembali setelah meminum air kendi itu.
Podin mengulang makannya. Ia habiskan bekal yang diberikan oleh istrinya. Sampai bersih tanpa sisa sedikitpun. Lantas meminum kembali air dari kendi yang menggantung di tiang gubug itu, dengan diikat tambang yang digantungkan pada blandaran kayu yang disangga tiang itu.
Plong rasanya diri Podin, sudah bisa mengembalikan kekuatan tubuhnya, sudah bisa menambah energi pada badannya. Sehingga seolah ia sudah kembali sehat, segar dan bugar. Kini hanya menunggu datangnya perahu kecil yang akan datang menghampirinya, yang katanya akan mengantarkan dirinya menuju rumah si kakek tua yang memesan kepada dirinya. Kakek yang akan memberikan uang seberapapun yang akan ia minta.
Sambil menunggu perahu kecil yang akan datang itu, tentu pikiran Podin sudah melayang kemana-mana. Ia sudah membayangkan, kalau nanti ketemu dengan laki-laki tua itu, ia akan meminta uang sebanyak-banyaknya. Jika ia sudah punya banyak uang, pasti ia akan membangun rumah yang bagus, gedung yang megah. Lantas membeli perabotan rumah tangga yang mahal-mahal, akan memasang listrik agar anaknya tidak kegelapan saat belajar. Membeli kompor gas agar istrinya tidak terkena peluh setiap kali memasak di dapur. Akan beli gelang dan kalung untuk istrinya dan anak perempuannya. Akan beli motor, agar bisa mengantar anaknya berangkat sekolah. Pokoknya banyak yang diinginkan. Yang jelas Podin tadak mau diejek lagi oleh para tetangganya. Terutama pemilik warung yang terus-terusan menghina kalau istrinya mau hutang beras.
Hingga tanpa terasa, matahari sudah mulai menurun, dan akan bersembunyi di langit barat. Lembayung sore sudah menghiasi langit, menggantikan warna biru yang selalu dominan. Podin kaget dan langsung berdiri. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Melihat jauh ke tengah laut. Tetapi belum terlihat ada tanda-tanda perahu yang akan datang menjemputnya. Kapan datangnya perahu, seperti yang dikatakan oleh kakek tua itu? Kenyataan yang ia amati, tidak ada perahu satu pun di perairan itu. Bahkan perahu nelayan saja juga tidak terlihat. Laut yang sepi. Pantai yang tak berpenghuni. Apakah si kakek itu berbohong? Lantas, kalau hari sudah gelap, bagaimana dirinya akan pulang? Jalannya tidak terlihat, bisa jatuh ke air.
Namun kekhawatiran Podin itu sirna, manakala dari arah barat, ada perahu kecil yang terlihat. Perahu itu seakan muncul dari langit barat, tempat tenggelamnya matahari. Sehingga penampakan perahu itu seakan seperti siluet dengan latar belakang bulatan matahari yang berwarna merah. Nampak indah seperti lukisan para seniman yang mengabadikan keindahan alam.
Tenang rasa hati Podin menyaksikan kedatangan perahu itu. Pasti ini adalah perahu yang dikirimkan oleh si kakek tua itu untuk menjemput dirinya untuk menuju ke rumah si kakek tua itu.
"Ooee ......!!! Ayo turun sini ...!! Naik ke perahu ini ...! Cepat ...!!" terdengar teriakan si tukang perahu yang memegangi galah untuk menjalankan perahunya. Perahu itu sudah menepi di pinggir pantai, tepat di bawah gubug tempat Podin berdiri.
"Ya ...!!" teriak Podin yang langsung bergegas turun dari tempat keberadaan gubug itu, menuju ke perahu yang bersandar. Podin menginjak batu-batu karang yang tidak terhempas oleh gelombang laut. Bahkan melompat agar tidak masuk ke dalam air. Lantas setelah sampai di dekat perahu, Podin langsung melompat masuk ke perahu itu. Ia duduk di tengah perahu, yang memang ada kayu papan tebal untuk tempat duduk penumpangnya.
"Saya minta diantar ke rumah kakek tua yang baik hati itu ya, Pak ...." kata Podin pada tukang perahu itu.
Namun tukang perahu itu diam tidak menjawab. Tetapi sudah mendorong galahnya, untuk menjalankan perahunya. Dan sekali dorong, perahu itu sudah sampai di tengah laut. Perahu itu berjalan dengan tenang.
"Tempatnya rumah si kakek yang baik hati itu jauh, Pak?" tanya Podin kepada tukang perahu itu. Sebenarnya Podin ingin memecah suasana yang sepi. Ia ingin ngobrol dengan tukang perahu itu.
Namun, lagi-lagi tukang perahu itu hanya diam tanpa bicara sepatah kata pun. Bahkan tukang perahu yang berdiri di ujung itu diam tanpa bergerak seperti patung. Hanya tangannya beberapa kali bergerak untuk menarik dan mendorong galah yang digunakan untuk menjalankan perahunya.
Podin tidak bisa melihat wajah tukang perahu itu. Podin duduk di belakang si tukang perahu yang berdiri di ujung. Tukang perahu itu membelakangi Podin. Yang dapat dilihat hanyalah orang itu mengenakan pakaian tebal, semacam jubah yang terbuat dari beberapa kain yang digulungkan untuk menyelimuti tubuhnya, dari leher hingga kaki. Bahkan kain jubah itu menutup hingga telapak kakinya. Bagian kepalanya ditutup caping keropak yang yang sangat lebar, terbuat dari anyaman bambu. Sehingga wajahnya sama sekali tidak terlihat. Caping keropak itu sampai menyentuh bahu. Seakan orang itu tidak punya kepala karena tertutup caping.
Podin pasrah. Yang penting dirinya akan diantar ke rumah kakek tua yang kaya raya dan mau memberikan uang seberapapun yang akan ia minta. Pasti tukang perahu ini adalah utusan atau pesuruhnya si kakek kaya itu, yang sudah dipesan kalau ada tamu harus dijemput.
Dan memang benar. Tidak berapa lama, perahu itu sudah sampai di tepi sebuah pulau. Tukang perahu itu langsung menepikan perahunya, tepat pada pinggiran tanah yang menggunduk. Seakan gundukan inilah pelabuhan sederhana tempat menurunkan penumpang dari perahu. Tukang perahu itu langsung memutar perahunya, menempatkan penumpang tepat pada gundukan tanah yang memang tertata sebagai jalan untuk keluar masuk orang menuju ke pulau itu. Pulau yang merupakan tempat tinggal dari kakek yang baik hati itu, yang akan memberikan banyak uang kepada orang yang datang dan memintanya.
"Silahkan turun .... Ikuti jalan itu terus .... Nanti akan sampai di istana yang megah." kata tukang perahu itu tanpa memperhatikan penumpangnya.
Podin turun dari perahu. Langsung menginjakkan kakinya di tanah yang agak meninggi itu, yang dianggap sebagai pelabuhan tempat bertambatnya perahu. Tapi jika diperhatikan secara seksama, itu adalah badan jalan yang kokoh dan kuat. Jalan yang sudah dipasangi batu makadam, bahkan bagian tengahnya sudah dicor, walau hanya satu meter memanjang, menuju ke tempat yang mungkin disebut istana itu. Sehingga jalan itu terlihat bagus. Meski hari semakin gelap, sangat mudah untuk melintasi tempat itu.
Begitu Podin turun dari perahu, tukang perahu itu sudah pergi meninggalkan penumpangnya. Podin yang sudah menapakkan kakinya di bahu jalan itu, langsung mengamati sekelilingnya. Sebuah pulau yang tidak begitu besar. Tetapi sangat rimbun ditumbuhi tanaman-tanaman yang sangat lebat. Sehingga pulau itu memang tidak menunjukkan tanda-tanda adanya istana yang megah di dalamnya, seperti yang dikatakan oleh tukang perahu itu.
Podin langsung melangkahkan kakinya di jalan yang sudah dicor itu. Begitu melangkahkan kakinya, ia langsung menghilang ditelan rimbunnya tumbuhan yang lebat menutupi pulau itu. Gelap gulita, karena tidak ada sinar yang sanggup menerobos tempat itu. Apalagi semburat lembayung senja sudah mulai menghilang. Tidak ada lagi cahaya yang sanggup menyinari tengah pulau itu.
Dengan hati-hati Podin menapakkan kakinya melintasi gelapnya rerimbunan hutan. Setelah beberapa langkah, tampak oleh penglihatannya, ada sinar yang menerobos. Semakin Podin melangkah masuk, semakin mendekat sematin tampak terang dan jelas sinar itu. Ya, penarangan dari sebuah rumah.
"Rupanya ada rumah di tengah pulau yang rimbun tertuptup tetumbuhan ini .... Ah, bukan rumah, tetapi gedung besar. Ah, itu bukan hanya gedung, tetapi istana. Ya, itu istana. Mungkin inilah istana yang menjadi tempat kediaman kakek tua yang baik hati itu. Istana yang sangat besar dan megah .... Tapi kenapa pakaian dan perilakunya saat ketemu, hanya seperti gembel atau pengemis miskin?" begitu gumam Podin saat sampai di depan istana yang megah dan penuh gemerlap lampu-lampu tersebut. Istana yang sering ia bayangkan dalam cerita Aladin. Bangunan yang menjulang tinggi, besar dan serba terang benderang. Walau malam hari, istana itu terlihat sangat mencorong dengan kemewahannya.
"Hoee ...!!! Jangan diam berdiri di situ saja ...!! Cepatlah masuk ...!!" tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam istana itu.
Podin menengok ke kanan kiri, bahkan juga melihat ke atas istana itu, mencari asal suara yang menyuruh dia masuk. Tetapi tidak terlihat orangnya. Bahkan seakan tidak ada orang di situ. Istana itu sepi, seakan tidak ada orang di dalamnya.
Dengan rasa takut, dan tentu kakinya gemetar, Podin mencoba melangkahkan kakinya. Ia memberanikan diri untuk masuk ke istana itu. Perlahan ia melangkah. Takut kalau dibentak yang punya istana. Podin melepas sandalnya, menginjakkan telapak kaki di lantai marmer yang kinclong. Tentu sambil menjijitkan kakinya, takut kalau mengotori lantai itu.
"Hahahaha .... Selamat datang di kediamanku, anakku .... Ayo masuklah .... Tidak usah ragu-ragu ...." suara itu muncul di pendengaran Podin.
Tetapi, lagi-lagi Podin menoleh-toleh, mencari asal suara itu, tetap tidak melihat orang yang bersuara. Tidak ada orang di istana itu. Namun seakan ada yang menyuruh. Suara itu bergema di telinga Podin. Ya, itu memang suara si kakek tua yang pernah ketemu dengannya di jalan. Berarti ini memang istana milik si kakek tua itu.
"Ya, si kakek tua itu pasti ada di dalam istananya, menunggu kedatanganku .... Aku akan minta uang dan harta sebanyak-banyaknya ...." begitu gumam Podin, yang langsung melangkahkan kakinya masuk menuju ruang tengah istana megah tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Kardi Kardi
sepertinya rada janggallll udinnn
2024-05-13
1