Setelah beberapa hari tinggal di perumahan itu, lama-kelamaan Podin mulai kenal dan paham tentang keadaan di perumahan. Bahkan dengan para satpam pun, ia juga kenal dan boleh dikatakan Podin malah lebih dikenal dan dekat dengan para satpam dan karyawan pegawai perumahan. Bahkan dengan satpam yang berjaga di gerbang depan, Podin sangat akrab. Tentu karena Podin hanyalah seorang laki-laki yang tidak bekerja alias pengangguran. Kerjaannya hanya ngantar dan menjemput anak sekolah, dan yang pasti ngantar istrinya pergi ke warung sebelah perumahan. Paling jauh ke pasar krempyeng untuk beli sayuran dan lauk pauk.
Jika melihat sejarahnya, dulu Podin pun hanyalah sebagai seorang kuli bangunan. Tentu Hal itu membuat Podin bisa akrab bersama-sama duduk dengan para satpam itu. Berbeda dengan para penghuni Perumahan lainnya yang rata-rata adalah para pekerja yang sibuk, para pegawai yang berangkat pagi pulang malam, para pejabat yang selalu sibuk ngurusi kantor dan jarang pulang. Mereka pasti tidak sempat untuk ngobrol dengan satpam maupun karyawan. Mereka sudah disibukkan dengan pekerjaannya sendiri-sendiri.
Itulah sebabnya, diantara penghuni-penghuni Perumahan itu, Podin lah yang paling dekat dengan para satpam maupun karyawan yang ada di perumahan itu. Tentu karena saking akrabnya dengan para satpam, maka gaya bahasa maupun tutur kata-katanya yang dilakukan oleh Podin dengan para satpam maupun karyawan, adalah percakapan antara teman dengan teman. Satpam yang ada di depan maupun para karyawan yang sering membersihkan Perumahan, menata taman serta menata segala macam urusan di perumahan, mereka sudah sangat biasa dan akrab dengan Podin. Itulah ketika seorang rakyat kecil yang kembali kumpul dengan rakyat kecil, orang biasa duduk bersama orang biasa, maka bahasanya pun bahasa seorang rakyat jelata yang tidak ada istilah unggah-ungguh. Antara satpam, karyawan dengan Podin, seperti tidak ada perbedaan.
"Pak Podin .... Warga di perumahan sini, yang paling akrab dengan karyawan itu cuma Pak Podin, lho .... Saya senang dengan Pak Podin, yang walaupun orang kaya, tetapi mau duduk berdekatan bersama kami-kami ini ...." begitu kata salah seorang satpam yang berterus terang kepada Podin.
"Memang bedanya apa ...? Saya manusia ..., kamu juga manusia .... Saya makan nasi ..., kamu juga makan nasi .... Sama, kan .... Tidak perlu membeda-bedakan ...." sahut Podin yang justru semakin dianggap baik oleh para satpam.
"Yang membedakan rezekinya, Pak .... Pak Podin orang kaya, sementara saya ..., ya beginilah nasib ...." sahut satpam itu.
Apalagi, diantara para penghuni di perumahan itu Podin yang sering merepotkan para satpam dan pegawai di situ. Podin sering minta bantuan karena tidak tahu cara pengoperasian peralatan rumah tangga di rumahnya. Bahkan Podin juga sering minta tolong ini dan itu. Pokoknya Podin itulah warga yang paling sering berurusan dengan para satpam dan karyawan perumahan. Makanya para satpam dan karyawan sangat hafal dengan Podin maupun keluarganya. Dan sekiranya bagi Podin atau keluarganya merasa ada hal yang dibutuhkan, maka tidak sungkan dan tidak malu, Podin pun sering bertanya dan sering meminta bantuan kepada para satpam itu. Terutama dalam hal urusan rumah tangga dan urusan kebutuhan-kebutuhan pribadi Podin. Tentu disisi lain, Podin juga sering membelikan rokok kepada para satpam itu. Makanya para satpam pun senang ketika diajak ngobrol oleh Podin.
Hari berganti hari. Kehidupan Podin mulai berubah. Dan perubahan itu terlihat drastis. Dimulai sejarah Podin dari pola hidup yang dulu hanya sebagai seorang kuli bangunan dengan bayaran yang sangat kecil, yang tentu penghasilannya itu tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, kini Podin sudah berubah menjadi orang kaya dengan uang yang berlimpah. Uang yang dimiliki oleh Podin seakan tidak ada habis-habisnya. Maka gaya hidup Podin dan keluarganya pun berubah drastis. Dari gaya hidup saat itu yang serba kekurangan, hidup orang miskin yang selalu dipenuhi dengan tuntutan istrinya untuk beli bahan-bahan makanan, bahkan kehidupan yang serba kekurangan dengan hutang-hutang kepada para tetangganya, pinjam uang sana sini kepada para temannya. Itulah Podin ketika ia hanya menjadi seorang kuli bangunan dengan kehidupan yang sangat kekurangan, bahkan rumah pun hanya seperti gubuk. Itupun pemberian dari warga desa yang diamanatkan oleh Pak Lurah yang sudah memberikan tanah desa untuk didirikan bangunan khusus untuk Podin.
Namun kini, Podin sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Kehidupan Podin sudah tidak seperti ketika ia miskin. Kehidupannya tidak seperti ketika ia hanya menjadi seorang kuli bangunan. Kehidupannya tidak seperti dulu yang selalu kekurangan bahkan banyak hutang. Kehidupannya tidak seperti dulu ketika kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan. Tetapi kini Podin sudah bergelimang harta benda. Tinggalnya di perumahan orang-orang kaya. Podin tinggal di rumah mewah dengan harta benda yang serba moderen. Bahkan mau apa saja bisa.
Kini boleh dikatakan, kehidupan Podin sudah berubah. Gaya hidupnya sudah menjadi layaknya orang kaya beneran. Jangankan untuk membelikan pakaian buat anaknya. Jangankan untuk membelikan jajan untuk anak-anaknya. Bahkan ia juga sudah punya kendaraan serta berbagai barang perlengkapan rumah tangga yang sangat mahal-mahal. Namun namanya saja orang kaya baru, Podin inginnya hanya berfoya-foya. Podin inginnya hidup enak, hidup nyaman dan bersenang-senang. Maka apa yang menjadi hasratnya, Podin selalu ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan itu.
Seperti halnya sore itu, ketika Podin duduk-duduk bersama dengan para satpam di pos gerbang depan, ada satpam yang bertanya bertanya, tentu pertanyaan yang menggelitik.
"Maaf, Pak Podin .... Apa Pak Podin belum punya handphone?" tanya satpam itu pada Podin.
"Walah ..., belum lah .... Saya kan belum butuh handphone." jawab Podin sambil tersenyum, tetapi dalam hatinya langsung tersirat bahwa dirinya sebenarnya harus punya handphone, sebagai orang kaya HP adalah gaya hidup.
"Wee ..., Pak Podin itu bagaimana toh .... Yang namanya handphone itu sekarang kan kebutuhan hidup, Pak .... Kok Pak Podin yang sekaya itu tidak punya handphone itu bagaimana?" begitu kata satpam itu yang seolah agak mengejek Podin.
"Lha bagaimana saya mau beli handphone, kalau tidak dipakai ...? Yang mau saya hubungi itu siapa? Yang mau saya telepon itu siapa? Saya itu kan tidak butuh nelpon orang-orang. Saya juga tidak punya banyak kenalan, kok .... Lha terus untuk apa harus beli HP ....? jawab Podin yang pura-pura tidak punya kenalan yang akan ditelepon. Padahal dalam benaknya, ia juga tersinggung kalau satpam saja punya HP kok dirinya yang lebih kaya malah tidak punya.
"Loh ..., Pak Podin itu bagaimana toh ...? Yang namanya handphone itu kan tidak harus untuk komunikasi dengan relasi. Tetapi Pak Podin itu kan kadang-kadang juga butuh saya, kadang-kadang butuh karyawan yang membantu kebersihan, kadang-kadang juga butuh karyawan untuk memperbaiki rumahnya .... Lah kalau Pak Podin punya handphone, Pak Podin kan tidak perlu jauh-jauh jalan dari rumah menuju sini toh .... Pak Podin cukup pencet handphone, lantas Pak Podin bicara di handphone, maka kami, karyawan-karyawan siapapun yang dihubungi Pak Podin, tentu langsung datang ke rumah Pak Podin .... Kan tidak repot jalan kemari, Pak ...." begitu kata satpam itu yang tentu memberi gambaran kepada Podin.
"Halah .... Kalau cuma urusan rumah, saya ke sini naik motor sebentar kan juga sudah sampai .... Kenapa harus pakai handphone segala macam? Itu kan malah boros namanya ...." begitu jawab Podin yang tentu selalu saja beralasan.
"Maaf, Pak Podin .... Bukan saya itu menggurui orang kaya seperti Pak Podin ..., tetapi Pak, yang namanya handphone itu sekarang sudah jadi kebutuhan utama ..., penting .... Coba kalau Pak Podin punya handphone mau menghubungi Pak Mandor, tidak perlu repot-repot pergi ke tempat proyeknya Pak Mandor .... Cukup angkat handphone, pencet nomornya, hubungi Pak Mandor, mau disuruh apa, dia akan datang ..... Bahkan rembukan saja bisa menggunakan handphone, Pak Podin ...." tutur satpam itu lagi yang menambah Podin lebih paham tentang manfaat HP.
"Iya ..., ya .... Memang sebenarnya HP itu ternyata juga penting ...." sahut Podin yang akhirnya mengalah.
"Makanya, Pak Podin ..... Beli HP .... Yang bagus, Pak ...." kata satpam itu lagi.
"Halah .... Apa gunanya HP mahal-mahal .... Yang penting itu kan bisa untuk telepon ...." Podin masih membantah. Tentunya untuk membeli HP sebenarnya dengan harga berapa saja bisa. Tetapi bagi Podin, lebih memikirkan beli mobil. Toh HP itu nantinya juga jarang digunakan, orang tidak punya relasi kerja.
"Atau, ini, Pak ..... Seperti punya saya saja .... Ini harganya murah, tapi bandel, Pak .... Fiturnya juga bagus, aplikasinya lengkap .... Pokoknya ditanggung oke deh, Pak." begitu kata si satpam yang membujuk kepada Podin untuk beli HP.
"Itu belinya di mana ...?" tanya Podin pada satpam itu.
"Di counter banyak, Pak .... Kalau Pak Podin bingung, bagaimana kalau nanti malam atau besok saya antar ...?" kata si satpam itu lagi, yang tentu bermaksud agar dibelikan rokok.
Setelah berbincang masalah pembelian handphone, tiba-tiba seorang satpam yang akan berjaga sore datang di tempat itu. Kebetulan Podin masih berada di tempat itu, ngobrol dengan si satpam.
"Selamat sore, Pak Podin ...." sapa satpam yang baru saja datang itu. Tentu satpam ini juga akrab dengan Podin. Memang, warga di perumahan yang sering menemui satpam atau karyawan, bahkan ngobrol bareng, ya hanya Podin. Makanya Podin cukup terkenal di kalangan satpam maupun karyawan. Alasannya Podin orangnya unik. Walaupun uangnya banyak, walaupun dia kaya raya, bahkan jika dibandingkan dengan para tetangganya kira-kira uang Podin ini lebih banyak dari para tetangganya. Karena rumah yang dibeli oleh Podin itu termasuk salah satu rumah yang harganya paling mahal di komplek perumahan itu. Maka tidak heran kalau para satpam dan karyawan, bahkan para tetangganya, merasa bahwa Podin itu sebenarnya orang kaya tetapi sangat lugu dan seakan tidak tahu tentang kemajuan. Karena dia tidak mau hidup dengan gaya orang kaya yang suka menghambur-hamburkan uang, dengan penampilan yang selalu glamor, mobil mewah, pakaian bagus, bahkan para tetangganya itu juga sering berpesta pora.
Sangat berbeda dengan Podin, yang gaya hidupnya benar-benar mirip rakyat biasa. Belanjanya saja hanya di warung pinggiran perumahan, yang merupakan warung langganan orang-orang kampung. Istrinya Podin pun tidak gengsi ketika belanja di warung pinggiran itu. Pakaian yang dikenakan saja juga seadanya, hanya pakai daster lusuh, yang kadang-kadang ada bagian yang robek, tidak seperti tetangga-tetangga di perumahannya. Bahkan anak-anaknya Podin juga tidak gengsi kalaupun misalnya akan berangkat atau pilang sekolah hanya dengan naik angkutan umum. Bahkan Podin pun hanya punya kendaraan motor bebek, yang terkadang motor bebek itu dimuati enam orang sekaligus, ya Pak Podin, ya istrinya, serta empat orang anaknya sekaligus. Kalau misalnya kendaraannya itu bisa ngomong, maka pasti kendaraan itu akan mengatakan "Aduh beratnya".
"Pak Udin .... Pak Pudin itu kan orang kaya ..., uangnya banyak ..., rumahnya saja mewah dan mahal .... Tetapi kenapa Pak podin tidak beli mobil? Padahal anaknya Pak Pudin saja ada emapat .... Saya itu kalau melihat Pak Podin berboncengan dengan istri dan empat orang anaknya, kasihan, tapi juga ingin tertawa sendiri .... Mosok motor bebek seperti itu diboncengi berenam, kan ya berat Pak .... Kok Pak Podin tidak beli mobil? Biar muat banyak, anak-anaknya pun juga leluasa di dalam mobil, dan tentu Pak Podin juga tidak repot untuk memboncengkan anak-anaknya ...." begitu kata si satpam itu yang tentu juga heran dengan Podin. Orang kaya kok tidak mau beli mobil.
"Waduh ...?! Beli mobil ...?! Lah, saya itu belum bisa nyupir .... Kalau beli mobil terus bagaimana caranya menjalankan ...?" begitu sahut Podin yang berterus terang karena memang belum bisa menyetir mobil.
"Walah, Pak Podin .... Sekarang itu kan zaman gampang, zaman enak, tidak usah latihan nyupir, Pak Podin cukup panggil orang jadi sopir pribadi. Enak kan, Pak ...." kata si satpam itu.
"Masalahnya itu ..., kalau saya sampai harus punya sopir, kan juga harus bayar .... Lah uangnya dari mana? Uang siapa yang digunakan untuk bayar sopir? Sahut Podin yang tentu juga protes kalau dia sampai membayar sopir pribadi setiap bulannya.
"Ya ..., Pak Podin latihan nyopir ..., biar bisa nyopir sendiri." kata si satpam itu lagi.
"Lah ..., kalau itu saya setuju .... Tapi latihan nyopirnya di mana? Kamu tahu nggak tempat latihan nyopir? Biar saya bisa nyopir .... Nanti kalau saya sudah bisa nyopir, saya akan beli mobil sendiri ...." kata Podin yang tentu bersemangat.
"Walah, Pak Podin .... Sekarang itu yang namanya kursus nyetir kan ada di mana-mana ..., banyak Pak .... Bahkan kalau Pak Podin mau, panggil saja secara pribadi .... Namanya kursus setir mobil private. Pasti gampang. Pak .... Nanti Pak Podin akan dilayani secara khusus." kata satpam itu.
"Memang ada yang seperti itu?" tanya Podin yang tentu langsung tertarik.
"Banyak, Pak Podin .... Ada, Pak .... Kalau ndak percaya nanti saya teleponkan ke teman saya, biar teman saya yang ngajari secara khusus pada Pak Podin." kata satpam itu.
"Bayarnya mahal nggak?" tanya Podin yang tentu juga memikirkan ongkosnya.
"Ya murah lah Pak .... Cuman kursus mobil saja kok mahal ...." sahut satpam itu lagi.
"Ya sudah ..., kalau begitu tolong, saya dihubungkan sama temanmu itu. Biar nanti saya bisa kursus nyetir. Nanti kalau saya sudah bisa nyopir, saya akan ajak keliling kalian semua .... Hehehe ...." kata Podin yang tentu langsung senang karena sudah mendapat gambaran ada orang yang akan mengajari setir mobil.
Setelah pulang dari pos satpam, kemudian Podin masuk ke ruang keluarga bersama dengan anak dan istrinya yang sedang menonton TV, menyaksikan siaran televisi. Lantas Podin pun bilang kepada istrinya terkait dengan keinginannya untuk beli HP, kursus menyetir, dan tentu beli mobil.
"Bu ..., besok saya mau beli HP." begitu kata Podin yang mengawali pembicaraan dengan istrinya di ruang keluarga, tentu dengan suara agak perlahan, karena khawatir ditolah oleh istrinya.
Sambil menonton siaran televisi, tentu istrinya yang mendengar kata-kata Podin itu kurang begitu jelas.
"Beli apa, Pak ...?" tanya istrinya yang mungkin saja kurang mendengar atau tidak paham dengan yang dikatakan suaminya.
"Beli HP, Buk ...." kata Podin mempertegas kata-katanya.
Tentu anak-anaknya juga mendengar kata-kata bapaknya yang akan membeli HP. Maka justru anak-anaknya yang langsung bereaksi.
"Iya, Pak .... Beli HP ...." sahut Eko, anaknya yang paling besar.
"Asik .... Bapak mau beli HP ...." anak-anaknya pun ikut gembira karena sebentar lagi bapaknya akan membeli HP.
"Pak ..., besok kalau sudah beli HP, saya pinjam ya, Pak .... Untuk main game ...." kata anaknya yang nomor dua, tentu dia sudah pernah melihat teman-temannya main game dengan menggunakan HP.
"Lho .... HP kok dibuat main game .... Itu apa bisa ...?" tanya Podin pada anaknya.
"Bisa, Pak .... Itu teman-teman saya sering main game di HP ...." sahut Dewi yang tentu sudah pernah melihat temannya bermain HP.
"Kok beli HP segala itu mau buat apa, Pak ...? tanya istrinya yang tentu agak kurang setuju.
"Masalahnya kalau kita tidak punya HP, kita kesulitan berkomunikasi, Bu .... Kalau di rumah kita ada masalah, tidak perlu nyari ke sana kemari, tapi kita tinggal pencet HP, satpam atau karyawan langsung datang. Tadi saya ditanya sama satpam, nomor HP-nya berapa? Tapi saya kan tidak punya HP .... Terus mereka itu menceritakan kalau mau apa-apa, butuh apa-apa, kalau punya HP tinggal pencet, tinggal telepon, tidak perlu wira-wiri sana kemari. Seperti yang biasa dilakukan oleh para tetangga kita .... Rasa-rasanya betul juga, Bu .... Makanya saya juga kepengin beli HP." kata Podin yang menjelaskan pada istrinya.
"Ya ..., terserah Bapak .... Kalau Bapak masih punya uang, ya silakan saja beli HP." sahut istrinya tanpa berekspresi.
"Buk .... Saya renacananya juga mau kursus setir mobil ...." kata Podin lagi pada istrinya.
"Apa itu, Pak ...?" tanya istrinya yang memang kurang begitu perhatian dengan ucapan suaminya, karena lebih asik menyaksikan TV yang acaranya lebih menarik.
"Belajar nyopir ...." kata Podin agak dikeraskan dan ditempelkan di telinga istrinya.
"Iih .... Buat apa ...?" tanya istrinya.
"Ya, biar saya bisa nyopir ...." jawab Podin.
"Memang kalau sudah bisa nyopir, Bapak mau nyopir angkot ...?" tanya istrinya, yang tentu tidak tahu tujuan suaminya.
"Ya, kalau sudah bisa nyopir, nanti saya mau beli mobil, Bu ...." jawab Podin.
"Walah ..., mau beli mobil ...? Yang bener, Pak ...?!" istrinya langsung mendekat, dan tentu langsung berminat mendengar kata-kata suaminya itu.
"Rencananya begitu, Buk .... Anak kita ada empat .... Sebentar lagi pasti pada besar-besar .... Motor kita sudah tidak muat kalau dibuat berboncengan orang satu keluarga. Makanya, saya ingin punya mobil, kalau bepergian satu keluarga tidak repot dan tidak perlu sewa taksi." kata Podin yang tentu sangat bisa diterima oleh istrinya. Apalagi di perumahan itu, hanya keluarga Podin yang tidak punya mobil.
"Iya, Pak .... Saya setuju .... Saya senang, Pak ...." kata istrinya yang tentu sangat gembira, karena akan dibelikan mobil.
"Bapak mau beli mobil ...? Asiiikk ...." anak-anaknya ikut bergembira mendengar kabar bapaknya akan beli mobil.
Ya, tentu keluarga Podin saat ini sedang diberi kenikmatan. Segala sesuatu yang diinginkan, bisa dibelinya. Bahkan tidak perlu bekerja, tidak perlu mengucurkan keringat. Uang yang didapatkan dari peti harta karun yang diambil oleh Podin, masih cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Mau beli ini beli itu, ingin ini ingin itu, gampang. Podin dan keluarganya benar-benar menikmati kehidupan yang sangat menyenangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hati-hati kanggg
2024-05-14
1