PULAU BERHALA
Siapa sih, orang yang mau hidup miskin? Apakah ada orang yang berharap hidup miskin? Apakah ada orang yang senang hidup dalam kemiskinan yang penuh dengan segala kekurangan?
Jika pertanyaan-pertanyaan seperti itu disampaikan kepada setiap orang, pasti tidak ada yang menjawab mau dan senang hidup miskin. Tak seorang pun di dunia ini yang mau hidup dalam kemiskinan. Sebaliknya, jika ditanya apakah kamu mau kaya? Maka tidak bakal dipungkiri lagi, setiap orang pasti akan menjawab "ya".
Memang, hidup kaya adalah dambaan setiap orang. Siapapun tentu sangat mendambakan untuk hidup kaya. Setidaknya hidup berkecukupan tanpa kekurangan. Apalagi bisa lebih. Bisa punya uang yang banyak, punya rumah yang bagus, bisa punya kendaraan bahkan mobil. Pasti hidupnya menyenangkan. Hidup tanpa ada kekurangan, bahkan bisa berlebihan.
Namun yang namanya takdir, siapa yang bisa menolaknya?
Seperti halnya yang dialami oleh Podin dan keluarganya. Podin berumur tiga puluh tiga tahun, yang menikah dengan Isti, perempuan lugu yang tidak pernah sekolah, menjadi pasangan suami istri sejak sepuluh tahun yang lalu. Podin dan Isti sudah dikaruniai empat orang anak. Anak yang pertama laki-laki, diberi nama Eko, berumur sembilan tahun. Adiknya perempuan, diberi nama Dewi, berumur tujuh tahun. Anak yang nomer tiga perempuan berumur empat tahun, diberi nama Asri. Dan anak yang paling kecil laki-laki, diberi nama Antok, masih berumur dua tahun.
Hidup di pinggiran perkotaan, dengan mencari nafkah sebagai seorang buruh bangunan. Tinggal di rumah kecil, yang lebih pantas disebut sebagai gubug. Rumah yang terbuat dari kayu dan bambu berdinding papan-papan bekas, yang tentunya tidak rapat dan banyak lobangnya. Atap rumahnya tertutup seng dan asbes bekas, yang didapat dari sisa-sisa bangunan. Lantainya masih tanah, belum berbau semen sama sekali. Tanah secuil yang didirikan rumah itu pun tanah bondo desa, yang oleh Pak Lurah diberikan kepada Podin karena rasa kasihan.
Dapur yang terletak di pojokan rumah, hanya menggunakan bahan bakar kayu. Pasti setiap kali masak, asapnya mengepul menyelubungi rumahnya. Belum mengenal kompor gas maupun peralatan masak yang moderen. Setiap pagi dan sore, terlihat asap tebal yang membubung dari atap rumahnya yang tidak tertutup rapat.
Rumah itu juga belum memasang listrik. Hanya ada satu bohlam lampu penerangan yang berada di tengah ruang, dan satu lagi berada di pojok luar rumah. Lampu itu menyalur setrum dari tetangganya yang baik hati. Jaraknya lumayan jauh.
Tentu dalam gubug itu tidak ada perabotan yang berharga. Paling hanya piring makan, sendok dan gelas untuk perlengkapan makan minum sehari-hari. Tidak punya lemari, tidak ada televisi. Anak istrinya kalau mau menonton TV harus ndompleng di rumah tetangganya.
Ya, hidupnya keluarga Podin memang serba kekurangan. Jangankan untuk memperbaiki rumah, buat makan sehari-hari saja masih sangat kurang. Bisa meninkmati makan enak, itu kalau ada tetangganya yang baik hati memberi jajanan atau sisa masakan. Dari pada dibuang, diberikan saja kepada Isti, yang pasti mau. Hidup yang serba kekurangan.
"Pak, hidup kita ini kok menderita terus, ya .... Sampai kapan kita terus-terusan miskin?" tiba-tiba Isti yang membopong anaknya yang paling kecil, mengeluh kepada suaminya, saat mau melepas suaminya berangkat kerja. Pastinya Isti sudah tidak betah hidup menderita lahir dan batin.
Podin kaget mendengar ucapan istrinya itu. Jantungnya berdetak kencang, seakan ada geledeg yang manyambar di telinganya. Tentu Podin sangat terpukul dengan kata-kata istrinya itu. Karena selama ini ternyata dirinya belum bisa memberikan kebahagiaan kepada istri dan anak-anaknya. Jangankan untuk hidup normal seperti orang-orang lain, memenuhi kebutuhan makan saja masih kembang kempis. Namun apa boleh dikata, takdir sudah digariskan oleh Yang Kuasa. Manusia hanyalah titah yang harus menjalaninya, tanpa bisa protes atau menolaknya.
"Yang sabar, Is .... Kita harus percaya dan yakin, bahwa kelak nasib kita akan berubah ...." jawab Podin pada istrinya.
"Tapi sampai kapan, Pak ...?!" tentu istrinya punya rasa ingin menuntut segera dan cepat.
"Ya sabar lah, Is .... Nanti kalau sudah waktunya diberikan rezeki oleh Yang Maha Kuasa .... Kata orang-orang, roda itu tidak selamanya berada di bawah, Is .... Percalayah itu." jawab Podin.
"Tapi kebutuhannya itu sekarang, Pak .... Buat beli bukunya anak-anak .... Si Eko katanya juga diwajibkan piknik oleh sekolahan .... Harus membayar, Pak .... Kemarin Mbok Jinah juga nyindir-nyindir, kalau utang itu harus segera membayar .... Saya jadi gak enak, Pak .... Kalau mau hutang lagi takut tidak boleh. Tapi kalau mau belanja, uangnya siapa? Tidak ada uang untuk belanja, Pak .... Apa kita tidak usah masak saja .... Nanti makan angin ...." kata Isti yang tentu sangat kesal dengan jawaban-jawaban suaminya. Sabar, sabar dan sabar. Itu kata-kata andalan suaminya.
Podin tidak berani menjawab lagi. Kalau sudah seperti itu, jawaban apapun yang dikatakan oleh Podin, pasti istrinya malah bertambah marah. Maka ia diam, dan langsung melangkah pergi meninggalkan istrinya. Berangkat kerja sebagai kuli bangunan. Pasti sambil membawa perasaan yang tidak nyaman, karena istrinya sudah mengeluh masalah keuangan. Istrinya sudah tidak berani ke warung karena takut dan malu kalau ditagih hutang.
Sesampai di tempat kerja, pada proyek bangunan gedung-gedung mewah yang nantinya akan jadi perumahan kondominium, milik orang-orang kaya. Jam belum dimulai untuk bekerja. Masih menunggu beberapa menit lagi. Meski para pekerja sudah pada datang, mereka menunggu waktu sambil berbincang macam-macam.
"Rumah-rumah ini nati kalau sudah jadi, yang menempati para pejabat yang uangnya banyak .... Maka sebelum rumah ini ditempati orang-orang kaya, kamu masuk dulu ke rumah itu .... Bila perlu tidur dulu di dalamnya .... Hahaha ...." seloroh salah seorang tukang yang gojekan dengan teman-temannya.
"Yang kaya itu kita .... Buktinya, kita bisa membangun gedung mewah .... Hehehe ...." sahut yang lain.
"Betul juga katamu .... Orang-orang yang katanya kaya itu, kan tidak bisa membangun rumah .... Justru kita yang miskin malah bisa membangun rumah mewah ...." sahut yang lain lagi.
"Bisa membangun rumah mewah, tapi hutangnya banyak .... Hehehe ...." timpal teman yang lain lagi.
Mendengar kata-kata itu, lagi-lagi perasaan Podin yang masih sensi itu merasa di sindir. Kata-kata itu sudah menambah pedihnya perasaan hatinya yang hidup dalam kemiskinan dan punya hutang di mana-mana.
"Teng .... Teng .... Teng ....!!"
Suara pipa besi dipukul. Pertanda jam mulai kerja. Para pekerja bangunan itu pun langsung menempatkan dirinya masing-masing sesuai dengan tugas pekerjaannya. Ada yang langsung mengaduk pasir semen. Ada yang menggotong tangga dari bambu, lantas ditempelkan di dinding, untuk memanjat memasang atap. Ada juga yang mulai menggosok-gosokkan cetok di tembok, akan memasang plester. Ada juga yang masuk ke ruangan rumah yang dibangun itu, untuk memasang ubin, lantai keramik yang harganya mahal. Berbagai macam pekerjaan sesuai dengan jobnya masing-masing. Semua itu diatur oleh mandor bangunan yang tentunya juga mengawasi para pekerja.
Podin bekerja sebagai kuli, bagian mengaduk pasir semen. Pekerjaannya lumayan berat, karena harus mengudak pasir yang dicampur semen, dibasahi air, lantas diaduk-aduk hingga menjadi leleran bahan yang digunakan untuk memplester tembok maupun memasang keramik. Adukan itu harus pas keceweran dan kekentalannya. Kalau terlalu cair, susah untuk ditempelkan pada tembok, akan melorot terus. Tetapi jika kurang air juga tidak mau menempel dengan baik. Jadi harus pas dan benar-benar merekat. Campuran antara pasir dan semennya juga harus sesuai aturan. Tidak boleh terlalu sedikit, tetapi juga tidak boleh terlalu banyak. Memang dibutuhkan keahlian dalam mengaduk pasir semen itu. Namun, bayarannya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tukang.
"Din ...! Ngaduknya jangan keenceran ...!" teriak si tukang yang merasa kesulitan menempelkan adonan pasir semen itu untuk memplester tembok.
"Ya ...." Podin menyaut. Lantas menambahi adukan itu dengan pasir dan semen kembali, agar adonannya berkurang keencerannya.
"Din ...! Ini kurang air ...! Kamu itu kenapa sih ...?! Mosok ngaduk adonan untuk plester kok salah terus ...." kata si tukang itu lagi, yang tentu merasa jengkel dengan Podin, karena layanan kepada tukang kurang pas.
"Mikirin utang kali ...!" teriak teman yang lain, saat mendengar tukang itu memarahi Podin.
Podin tidak menjawab. Ia diam saja. Tapi langsung kembali mengaduk adonan pasir semen itu kembali. Setidaknya Podin berusaha untuk membuat adonan yang sesuai dengan yang diharapkan si tukang. Namun kata-kata terakhir dari temannya itu seakan menusuk batinnya. Ia merasa diejek, dihina dengan kata-kata "mikirin utang", walau sebenarnya memang benar. Tapi kata-kata itu terasa sangat menyakitkan hati. Apa kalau orang miskin itu identik dengan hutang?
Walau ia berusaha untuk membuat adonan yang baik, susah payah mencampur pasir semen dengan siraman air yang dihati-hati, namun tetap saja adonan untuk plesteran tombok itu tetap kurang pas. Tentu karena Podin bekerjanya tidak fokus. Meski tangan dan tenaganya tercurah untuk mengaduk , tetapi pikirannya tidak berada dalam pekerjaannya. Pikirannya dipenuhi emosi dan rasa yang tidak nyaman. Ingin marah untuk meluapkan kejengkelannya.
"Kamu itu kenapa sih, Din ...? Kok tidak seperti biasanya, kerja gak bisa fokus .... Ada masalah apa?" tanya si tukang yang sudah menghampiri Podin yang masih mengaduk adonan pasir dan semen itu.
"Tidak apa-apa ...." jawab Podin tanpa melihat si tukang yang ada di sampingnya.
"Tidak ada apa-apa kok besengut .... Sini, cangkulnya ...." kata si tukang itu yang meminta cangkul yang digunakan Podin untuk mengaduk pasir. Lantas adonan itu diaduk oleh si tukang, mengajari kepada Podin untuk membuat adonan plester tembok yang pas.
"Adonan plester itu seperti ini .... Biar menempelkannya ke tembok gampang, tidak mlorot dan tidak ambyar .... Kalau adonan untuk memasang lantai, pasang keramik, mau basah tidak masalah .... Tapi kalau untuk plester tembok harus pas ...." kata si tukang itu yang mengajari kulinya.
"Kerja yang benar, Din ...." tiba-tiba mandornya datang menegur Podin.
"Ya ...." jawab Podin yang juga tanpa melihat orang yang mengajarinya.
Lantas Podin kembali mengaduk. Memasukkan adukan itu ke dalam ember. Lantas mengantarkannya kepada si tukang yang sudah menunggunya.
Hingga waktu istirahat siang, para tukang pada istirahat. Tentu langsung pada membuka bekalnya masing-masing, untuk makan siang. Kecuali Podin yang tidak membawa makan siang. Ia hanya minum, air galon yang disediakan oleh mandornya.
Si tukang yang tadi sempat memperhatikan, mendekati Podin.
"Kamu lupa tidak membawa bekal ya, Din?" tanya si tukang itu pada Podin.
"Iya, Pak ...." jawab Podin sambil meneguk air minum.
"Ini, aku kasih bekalku .... Saya dibawain bekal terlalu banyak .... Ayo, makan ini ...." kata si tukang itu sambil memberikan nasi besrata sebagian lauknya kepada Podin, dibagi di rantangnya. Satu rantang tempat nasi diambil sepaso nasinya, dimasukkan ke rantang sayur dan lauk. Demikian juga sayur dan lauknya diambil sebagian dan dimasukkan ke nasi yang diberikan kepada Podin.
"Istrimu kalau membawain bekal kok banyak sekali, Pak .... Terima kasih ya, Pak ...." kata Podin yang langsung memakan nasi pemberian temannya itu. Pakai tangan atau muluk. Karena sendoknya cuman satu.
"Ya .... Rezekinya lumayan, masaknya banyak .... Dari pada sisa di rumah ...." jawab si tukang yang baik hati itu.
"Enak ya, Pak .... Rezekinya berlebih, istrinya baik .... Pasti rumah tangga Pak Tukang ini tentram dan nyaman." kata Podin memuji si tukang.
"Orang itu sawang sinawang .... Kalau melihat orang lain kelihatannya enak .... Padahal sama saja ...." jawab si tukang.
"Tapi mungkin bagi saya memang itu semua belum tercapai, Pak ...." kata Podin yang tentu tidak bisa mengatakan kalau keluarganya enak. Buktinya, siang itu saja ia tidak membawa bekal, karena memang istrinya tidak memasak.
"Ach .... Jangan seperti itu, Din .... Orang itu tidak bisa dilihat dari yang nampak saja .... Tentram, nyaman, enak, bahagia, itu ukurannya bukan harta benda .... Tetapi hati .... Hati kita yang bisa membuat diri kita tentram." kata si tukang itu lagi.
"Itu hanya kata-kata isapan jempol, Pak .... Ngeyem-eyemi saja .... Buktinya ya saya ini .... Serba kekurangan, Pak .... Kami ini memang miskin. Saya tidak memungkiri kenyataan ini ...." kata Podin yang mulai curhat.
"Podin kok dekat-dekat Pak Tukang ..., pasti mau hutang ini ...!" tiba-tiba terdengar suara ejekan dari teman yang lain, yang kebetulan lewat dekat Podin yang masih ngobrol dengan tukang itu.
"Lho, Pak .... Dengar sendiri, kan .... Orang-orang selalu mengejek orang miskin .... Kalau dekat orang lain, pasti dikira mau hutang ...." kata Podin yang menunjukkan perlakuan temannya.
"Dul ..., ndak boleh ngomong seperti itu ...." kata si tukang kepada temannya yang mengejek Podin.
"Halah, Pak .... Itu sudah kebiasaan Podin .... Kalau mendekati orang gitu itu, nanti endingnya bialng mau utang .... Hahaha ...." temannya itu kembali mengejek.
Tentu wajah Podin langsung memerah. Rasanya ingin marah. Tapi tidak enak kalau nanti terjadi keributan malah jadi masalah. Podin hanya bisa menahan emosi.
Memang serba salah. Mau memungkiri kata-kata temannya itu, tapi kenyataannya, ia juga berniat mencari pinjaman kepada teman-temannya. Tapi kalau setiap kali diomong sebagai tukang utang, apalagi digembar-gemborkan di tempat orang banyak seperti itu, pasti rasanya juga sangat memalukan. Tapi mau bagaimana lagi, kalau hidupnya memang penuh dengan kekurangan. Di rumah istrinya meminta uang untuk kebutuhan hidup. Kalau tidak diberi, pastinya tidak bakalan masak. Sedangkan istrinya sendiri juga sudah ditagih oleh warung-warung yang diutangi setiap hari.
"Pak ..., boleh saya pinjam uang?" tiba-tiba Podin mengatakan niatnya untuk utang kepada si tukang itu.
Tukang itu tidak menjawab. Diam saja tanpa memandangi wajah orang yang bicara. Tangannya mengambil rantang yang dibuat makan Podin. Lantas memasukkan rantang itu ke dalam tas kresek. Lalu pergi meninggalkan Podin. Dalam batin si tukang, "Ternyata benar apa yang dikatakan si Dul, Podin akan utang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Kardi Kardi
sing sabar kang. SABARRR
2024-05-13
1
Zahra
aku juga tidak mau hidup miskin/Smile/
2024-01-31
3
Arief Bellamy
Pinjem dulu seratus
2023-10-03
3