Pagi hari yang indah. Di sebuah Sekolah Dasar. Beberapa anak sedang melakukan pelajaran olahraga di luar kelas dengan guru olahraganya, anak-anak nakal yang terkenal hukuman untuk berjemur di bawah terik.
Dan semua guru honorer yang sedang sibuk untuk mengajar dan mengisi kelas yang masih kosong.
Guru-guru muda itu terlihat sangat bersemangat. Mereka menggunakan pakaian yang rapi dengan setelan yang kekinian.
Sangat disayangkan dengan itu, para guru honorer hanya mendapatkan upah yang sedikit, walau dia bekerja lebih keras dan lebih banyak memakan waktu.
Hanya beberapa anak muda saja yang ingin menjadi seorang guru dengan bayaran yang tak banyak dari pemerintah itu sendiri.
*TENGG!!!!
Lonceng berbunyi, tanda jam istirahat telah tiba. Semua anak-anak, dari kelas satu hingga kelas 6 keluar dari kelasnya masing-masing, dan menyerbu kantin sekolah untuk membeli jajan.
Mereka semua saling berebut antrian satu sama lain, dan jelas pemenangnya adalah dia yang memiliki badan bongsor, yang ditakuti sesama temannya sendiri.
Di ruangan kepala sekolah, terlihat Boy yang sedang bersama Eva untuk menghadap kepala sekolah.
Tak hanya Boy dan Eva saja. Seorang murid laki-laki beserta walinya juga berada di ruang kepala sekolah itu.
Wajah siswa itu lebam dan benjol di sekitar dahinya. Tidak dengan Boy, dia hanya menatap tajam pada siswa di depannya itu.
Mereka berdua terlibat perkelahian antar siswa, hingga membuat kedua orang tua mereka dipanggil ke kantor kepala sekolah.
Boy dan temannya itu berkelahi karena sedang berebut bola voli saat itu. Karena siswa pria itu melempar bola ke kepala Boy, Boy langsung meninju wajah pria itu dan menghajarnya hingga babak belur.
Ibu dari siswa itu terus mengomel dan tak terima dengan perlakuan kekerasan yang terjadi.
Begitupun dengan Eva, dia pasti akan membela anaknya, jika siswa itu tak melempar bola voli ke kepala Boy lebih dulu. Eva kekeh tak ingin membuat anaknya untuk meminta maaf kepada temannya itu.
Kedua wali itu saling berdebat membuat kepala sekolah semakin tambah pusing.
“Permisi!”
Saat keributan mulai memanas, Igor datang ke ruangan kepala sekolah, karena dia juga mendapatkan pesan langsung dari kepala sekolah, tentang anaknya yang terlibat perkelahian.
“Selamat pagi, semuanya. Selamat pagi, Pak kepala sekolah!” Igor menyapa dan berjalan mendekati anak dan istrinya.
Dia tersenyum pada seorang wali dengan anaknya yang babak belur dan berkata, “Aku sudah mendengar semuanya. Maafkan aku. Ini semua salahku. Aku akan mendidik anakku dengan benar!”
Dengan segala kerendahan hatinya, Igor membungkuk dan meminta maaf kepada wali anaknya.
“Jika kau menerima permintaan maafku, aku akan membiayai perawatan dari anakmu yang terluka, dan jika kau kekeh untuk membawa ini ke ranah hukum, maka aku juga akan menyewa seorang pengacara untuk melawanmu,” tegas Igor.
“Hmmm. Baiklah,” jawab wali murid yang langsung down saat mendengar Igor berbicara.
“Boy, dengarkan Papa, Nak! Minta maaflah kepada temanmu.”
Boy hanya diam dan terus menatap temannya sendiri itu dengan tajam. terlihat dari sorot mata Boy yang masih sangat ingin menghajar temannya sendiri itu.
Dia persis seperti Papanya, memiliki postur yang cukup besar untuk anak yang baru duduk di bangku SD dan memiliki adrenalin yang cukup tinggi, sama seperti ayahnya.
“Boy! Apa kau tak mendengarkan, Papamu?”
Boy pun menunduk dan meminta maaf kepada rekannya itu dengan berat hati.
Pertikaian pun selesai. Igor memberikan beberapa lembar uang untuk biaya pengobatan dari anak laki-laki itu.
Igor dan Eva pamit kepada Kepala Sekolah agar memulangkan Igor lebih dahulu untuk menenangkan emosinya, dan kepala sekolah pun langsung memberikan izin.
Di luar sekolahan, tempat Igor memarkir mobilnya, Boy berada di dalam mobil, sedangkan Igor dan Eva masih diluar untuk berbicara empat mata.
Eva masih tak terima dengan tindakan Igor yang langsung meminta maaf. Eva memiliki ego yang sangat tinggi, hingga dia tak mau meminta maaf, jika dia dan anaknya tidak melakukan kesalahan lebih dulu.
“Sayang, kenapa kau mengabaikan perasaan Boy? Untuk apa kau meminta maaf? Kau membuat keluarga kita tampak seperti orang bodoh dan lemah.”
Eva terus merengek pada Igor, tak terima dengan Igor yang bertindak dengan rendah hati.
Igor hanya membalasnya dengan tersenyum dan berkata,
“Aku tahu, dia melempar bola kepada Boy, tapi lihatlah, Boy memukuli dia hingga babak belur. Kurasa itu sudah cukup memberinya pelajaran. Maka itu, aku membesarkan hati untuk meminta maaf.”
Igor memegang kedua tangan Eva memberinya peengertian.
“Mustahil bagi kita untuk memahami pendapat dan keinginan semua orang. Aku bertindak seperti itu agar masalah ini cepat berlalu, sehingga kau dan aku dapat kembali untuk bekerja.”
“Apa kau pikir sudah melakukan tindakan yang benar? Lihat itu! Kau tak memikirkan perasaan anak kita?” Eva masih merengek kesal memalingkan wajahnya dari Igor.
“Eva!” Igor dengan sabar terus membujuk Eva. Kali ini dia memegang pundak Eva dengan erat dan menatap kedua matanya. “Apa aku sudah melakukan kesalahan besar?”
“Tak ada. Jangan bertanya padaku. Aku sedang kesal.” Eva masih kesal dan tak ingin menatap Igor.
“Maafkan aku, Eva, jika sudah membuatmu begitu kesal. Ini pertama kalinya aku menjadi seorang ayah, jadi, aku masih kesulitan untuk bertindak yang seharusnya.”
“Baiklah, kalau begitu. Mulai sekarang, aku akan bertanya padamu dahulu dan melakukan semua yang kau suruh.”
“Kenapa tak dari dulu. Sudah seharusnya seperti itu.” Eva mencubit perut Igor. “Kau harus berusaha untuk menghibur Boy yang sedang murung itu.”
“Siap, Komandan!” Igor mengangkat tangannya hormat. “Kau tak perlu mengkhawatirkannya, serahkan saja padaku. Aku akan membawa Boy keliling ke mall untuk makan es krim kesukaannya.”
“Wah, jangan tersenyum seperti itu. Itu sangat menyebalkan,” ucap Eva melihat Igor yang terus membujuknya agar tak kesal.
Ponsel Eva berdering, Mike mengabarkan pada Eva, bahwa telah ditemukan bukti yang mengarah kepada salah satu seorang tersangka.
Mike mengatakan bahwa ditemukan Eyelash, sebuah penghias mata dan alis perempuan yang berada pada tubuh korban.
Mike dan Han sangat bahwa bukti itu mengarah pada Fely, wanita yang menjadi saksi karena dialah yang melaporkan kejadian itu pertama kali kepada kepolisian.
Dari asumsi Mike dan Han, Fely sengaja membunuh pria paruh baya itu karena Fely menginginkan harta yang telah didonasikan untuk yayasan, tempatnya bekerja.
Akan tetapi, mereka belum memiliki bukti yang pasti terkait itu. Dan hanya menyuruh Eva untuk mencari Fely dan melakukan interogasi kecil.
Mendapatkan kabar itu, Eva pamit pada Igor dan segera pergi dari sana.
“Sayang, aku akan pergi dulu. Jangan lupa untuk membujuk Boy!”
“Tentu, berhati-hatilah, Detektif!” Igor tersenyum pada Eva.
Eva melambaikan tangannya pada Boy dan masuk ke dalam mobil polisi yang saat itu dikendarainya saat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments