Tanpa memperpanjang pikirannya memikirkan siapa lelaki di rumah Imelda. Putra memutuskan untuk mengajak teman-temannya kembali menonton di bioskop, setelah itu mengajak Fuji, Randy, Joni, dan Lila berkeliling kota Medan sampai sore.
Saat ini di ruang bioskop, Randy, Joni, Lila, Fuji, dan Putra duduk sejajar di bangku paling terakhir.
“Idih, kayak gini rupanya dalam bioskop di kota besar, ya!” cetus Randy menatap sekeliling dalam bioskop sedikit penerangan.
“Norak,” ejek Lila.
“Tahu layarnya sebesar ini, bagusan tadi aku pilih ada tulisan 🔞 ke atas,” sambung Joni mulai dengan pikiran nakalnya. Fuji, Lila, dan Randy spontan menoleh ke Joni. Putra sendiri hanya menggeleng.
“Otak ngeres kau memang, ya!” omel Randy tak lupa menjitak kepala Joni.
“Aduh, duh. Kenapa aku di bilang otak ngeres sih! Kalian lihat saja layarnya begitu besar di sana, sudah pasti saat ada adegan seperti itu seluruh kursi penonton menjadi bergetar hebat hingga pipis di celana,” jelas Joni tak tanggung-tanggung. Penonton remaja wanita di sebelah Randy melotot jijik melihat Joni.
“Film ini juga 18 tahun ke atas kok. Kamu lihat saja setelah filmnya di mulai. Aku pastikan kamu akan terkencing di celana melihatnya,” sambung Putra.
“Benarkah! Kalau gitu kapan filmnya akan di mulai?” tanya Randy tak sabaran.
“10 menit lagi,” sahut Putra, sembari mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Dahinya mengernyit saat mendapatkan pesan dari Imelda.
“Kenapa?” tanya Fuji penasaran dengan ekspresi wajah Putra.
“Lihat saja di kursi sejajar dengan kita, dan tempat paling depan,” sahut Putra menunjuk ke bawah, seorang perempuan terlihat melambaikan tangan dengan wajah tersenyum. Wanita itu adalah Imelda bersama dengan seorang pria, Darwin.
“Ouh, janda gatal itu,” cetus Fuji tak suka.
“Jaga bicaramu Fuji. Imelda bukan wanita seperti itu,” sekak Putra menegur Fuji.
“Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa pun lagi tentang wanita itu. Tapi, asal kamu tahu saja,” memutar arah pandangnya menatap wajah Putra berada di sisi kirinya. “Jika wanita itu menyakitimu, aku akan menghajarnya dengan tanganku,” lanjut Fuji mengepal kedua tangannya hingga urat-urat di kedua tangannya terlihat.
“Iya,” sahut Putra santai.
Film bioskop akhirnya di mulai. Joni tak sabar untuk melihat adegan di dalam film itu membesarkan kedua bola matanya, menatap lurus ke layar bioskop.
Jeng jeng!
Judul film dan kata penghantar muncul.
“Seru nih, seru sekali kayaknya filmnya,” gumam Joni mulai gelisah.
Padahal, film akan di putar itu adalah film misteri pembunuhan. Gambarnya saja terlihat begitu seksi sehingga Joni menganggapnya itu adalah film dewasa.
Detik dan menit berlalu. Tubuh Joni semakin melorot dari tempatnya saat melihat adegan seorang wanita berjalan dengan tangan berlumur darah.
“Kurang ajar kau, Putra. Kau bilang film ini adalah film dewasa. Iya, memang benar film dewasa, tapi bukan film dewasa yang aku maksud. Ini, ini adalah kisah pembunuhan anak SMA, bukan film dewasa anak SMA!” teriak Joni histeris, wajahnya ia masukkan kedalam baju kaosnya, sedangkan tubuhnya masih dalam posisi melorot ke bawah.
“Bukannya kau tadi sudah melihat adegan sekilas di atas ranjang. Seharusnya sudah terbayar impianmu untuk melihat adegan plus-plus,” sahut Putra, pandangan lurus ke layar bioskop.
“Apa tidak ada film yang lebih menyeramkan lagi dari ini?” tanya Randy menahan ketakutannya hingga wajahnya pucat pasi.
“Film mana yang serem? Menurutku film ini tidak seram, hanya alunan musik mengiringi film saja yang terdengar horror,” ucap Lila dengan santainya, karena ia tidak membuka kedua matanya sama sekali selama film di putar.
Randy yang jahil mulai membuka kedua kelopak mata Lila, membuat kedua mata itu melotot tanpa berkedip.
“Makanya buta matamu!”
“AAAAAAA! Seram, seram!” teriak Lila memberontak.
Mendengar keributan Lila, Randy, dan Joni di ruang bioskop. Para penonton langsung menatap sinis ke arah mereka, tak lupa sebuah sorakan menghujani.
“Bisa diam tidak!”
“Dasar orang kampung. Kalau nggak pernah nonton film horor di bioskop, sebaiknya menonton kartun aja!”
“Pulang aja, pulang woy!”
“Huuuuu, norak kalian!”
Mewakili teman-temannya, Putra beranjak dari duduknya, berdiri dengan kedua tangan di satukan dan meminta maaf kepada para pengunjung.
“Mohon maaf atas ketidak nyamanan yang di buat oleh teman-teman ku,” pinta Putra.
Karena tingkat ketampanan dan suara garang di milik Putra, semua pengunjung menjadi luluh dan akhirnya tidak menyoraki mereka lagi.
Randy, Lila, dan Joni, mereka terpaksa menonton film pembunuhan itu sampai selesai. 1 jam kemudian, film telah selesai. Joni, Lila, dan Randy berlari terbirit-birit menuju kamar mandi di ikuti Putra berjalan santai bersama dengan Fuji.
Bam bam bam!
Randy, Lila, dan Joni masuk ke dalam kamar mandi bersamaan. Putra dan Fuji, mereka hanya menunggu di luar kamar mandi.
“UWEEEEK!” kalimat itulah yang terdengar dari dalam kamar mandi.
“Putra, apa kamu yakin tidak ingin balik ke Desa bersama kami?” tanya Fuji tiba-tiba.
“Tidak, aku sudah memutuskan untuk berjuang dan memulai hidup baru di kota ini,” sahut Putra terdengar tegas.
“Kenapa? Apa karena Imelda?” tanya Fuji.
“Fuji, aku tidak pernah melibatkan semua keputusanku dengan orang lain. Aku ingin tetap di kota, karena aku memang ingin merubah nasib di kota. Jadi, jangan menyuruhku untuk pulang ke Desa. Sebab di Desa aku sudah tak memiliki siapapun di sana,” ucap Putra.
“Ada aku, Randy, Lila, dan Joni di Desa. Jadi pulanglah, jika kau tidak memiliki tempat tinggal. Maka menetap lah di rumahku,” pinta Fuji terdengar tulus, tangannya memegang tangan Putra, dan terlihat oleh Imelda.
“Ma-maaf, apakah benar yang aku dengar?” tanya Imelda mendengar Fuji memohon kepada Putra agar kembali ke Desa.
“Kamu dengar apa?” tanya Putra datar, lirikan matanya mengarah ke Darwin berdiri di sisi kiri Imelda.
“Kalau gadis ini memintamu untuk kembali pulang ke Desa,” sahut Imelda.
“Iya, aku menginginkan Putra kembali. Kenapa?” potong Fuji dengan lantangnya.
“Fuji,” panggil Putra menekan nada suaranya, bola matanya membesar.
“Ck,” decak Fuji memutar bola mata jengah.
“Oh, kalau memang ingin kembali ke Desa. Maka aku akan memberikan gaji selama beberapa hari kamu bekerja,” tangannya meraih ponsel di tas jinjing, “Katakan, berapa nomor rekeningmu,” lanjut Imelda ingin meminta nomor rekening Putra untuk mentransfer gaji.
Di saat Imelda ingin meminta nomor rekening milik Putra, pintu kamar mandi terbuka, keluarlah Randy, Joni, dan Lila dengan baju bagian depan basah.
“Kalian mandi di dalam?” tanya Fuji sinis.
Randy, Lila, dan Joni menggeleng, kepala sedikit tertunduk karena malu.
“Apa kalian tidak bisa menggunakan toiletnya?” tanya Putra langsung ke intinya.
Randy, Lila, dan Joni mengangguk malu.
“Ya ampun. Kalian ini!” hela Putra sembari meraup kasar wajahnya. Imelda dan Darwin hanya bisa tertawa dalam bibir terkunci.
“Dasar udik!” gumam Fuji menghujat teman-temannya, tak lupa tawa kecil terdengar keluar dari bibirnya.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Mimi Ilham
seruu
2023-06-18
0
꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂
luar biasa kk, ceritanya makin seru... 😍😍
2023-04-13
0
PASYA VOLDIGOD
hmm
2023-04-12
0