Pukul 19:45 malam.
Beduk adzan isya berkumandang, Putra sudah terbiasa melaksanakan ibadah sholat dengan tepat waktu, kedua kakinya buru-buru melangkah menuju masjid berada di depan gang kompleks.
Selesai mengambil air wudhu, Putra memilih shaf paling depan. Shaf tadinya kosong perlahan terisi, begitu juga shaf wanita mendadak penuh sampai ke teras masjid. Semua keanehan janggal itu membuat semua mata bergidik ngeri.
Apa-apaan ini? Apakah dunia akan segera kiamat, mengingat banyak wanita tiba-tiba sholat di masjid ini. Ucapan itulah yang terpikir oleh pengurus masjid dan bapak-bapak dari luar kompleks tak pernah melihat wanita di kompleks tempat Putra tinggal itu sholat ke masjid.
Selesai sholat isya, Putra memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, sebab ia sudah janji akan menemui Imelda, ingin menanyakan pekerjaan.
Baru saja ia selesai memakai sandal, dan ingin melangkah meninggalkan teras masjid, Putra sudah di keliling Riana, Maya, dan janda kompleks lainnya dengan seuntai senyum di bibir mereka berwarna-warni.
“Sholat juga?” tanya Maya berbasa-basi.
“I-iya, i-ibu-ibu juga sholat di sini?” Putra balik bertanya dengan gugup karena ia sedikit ngeri melihat senyuman para wanita di hadapannya itu.
“Oh, te-tentu,” sahut para wanita dengan serentak di selingi tawa.
“Kalau gitu, aku pamit duluan ya, bu,” pamit Putra mulai melangkah.
“Eh, tunggu. Kita bareng saja,” panggil Maya dan wanita lainnya sembari berlari kecil mengikuti Putra.
“Mari,” ajak Putra tanpa penolakan.
Melihat Putra dikerumuni janda-janda kaya raya, dan cantik-cantik, bapak-bapak dan anak muda melihatnya langsung mengumpat, ada juga menggigit peci miliknya sembari menatap kepergian Putra dan para janda
“Uhh…siapa sih, bocah itu?” keluh bapak dengan kepala botak.
“Ganggu aja itu bocah. Mana dia menang banyak dari kita di sini yang menunggu hal seperti itu,” sambung bapak lainnya.
“Sepertinya dia pemuda yang mengontrak di tempat Mama Inces,” sambung lainnya.
“Kita harus mengusir pemuda itu dari dalam kompleks janda-janda kita. Harus!” tegas bapak lainnya dengan semangat.
Saking semangat bapak-bapak dan pemuda di sana, sampai-sampai mereka tidak tahu jika para istri mereka sudah mendengus bagai banteng di belakang.
“BAPAK, ABANG, AYAH!” teriak para istri membuat bapak-bapak menoleh dengan ketakutan.
“I-ibu,” ucap bapak kepala botak.
“Dek, sudah lama?” tanya bapak rambut gondrong.
“Sudah! Oh..jadi abang dan lainnya sedang membicarakan para janda di kompleks sebelah?” tanya istrinya itu sembari menjewer daun telinga suaminya.
“Bu-bukan…”
“Alah, jangan banyak alasan kelen semua. Kalian pikir kalian aja yang bisa melirik ke janda-janda kompleks itu. Kami juga bisa, ada pemuda tampan seperti artis di sana. Jadi jangan macam-macam mata kelen!” ancam para istri dengan serentak.
“Ja-jangan dek, Ma, bu. Kami juga para suami tidak kalah tampannya dari bocah tadi,” ucap bapak-bapak ketakutan dengan serentak.
Perdebatan suami-istri itu masih berlangsung dengan panjang. Sementara itu di kompleks para janda berada. Putra masih di kelilingi para wanita-wanita pejuang hebat, untung saja Imelda segera keluar, memanggil Putra untuk masuk ke rumahnya.
Sementara itu para janda hanya bisa mendengus kesal melihat Imelda membawa mangsa mereka masuk ke dalam rumah, berduaan pula itu.
“Terimakasih ya bu, telah menolong ku,” terimakasih Putra setelah masuk ke dalam rumah Imelda.
“Biasa aja. Aku mau kasih tahu kamu, kalau tinggal di sini memang akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Bukan karena semua janda itu genit. Tapi memang janda di komplek ini agak lain, maklum saja mungkin efek mereka yang lelah banting tulang mencari uang demi membesarkan dan menyekolahkan anak-anak mereka,” jelas Imelda sembari berjalan menuju ruang tamu diikuti Putra.
“Iya, aku juga tidak keberatan kok,” sahut Putra sembari tersenyum manis, membuat jantung Imelda berdegup kencang.
‘Pingin menjamahnya, melahap dan…ukh! Pasti rasanya manis, manis sekali!’ teriak histeris Imelda dalam hati.
Imelda memang terlihat tenang, pemalu dan baik. Tapi di balik sikap itu semua, Imelda menyembunyikan sikap aslinya, tomboy, memiliki nafsu tinggi. Namun, walaupun kriteria buruk itu di miliki Imelda, ia tetaplah seorang janda mampu menahan hasratnya.
“Bu, bu,” panggil Putra melambaikan tangannya, membuyarkan lamunan Imelda.
“Jangan pakek pengaman ya,” ceplos Imelda terbawa suasana pikirannya.
“Pengaman?” tanya Putra bingung.
Wajah Imelda langsung berubah seperti kepiting rebus, ia segera pamit ke dapur untuk mengambilkan minum untuk Putra.
Setelah di dapur, Imelda terus mengumpat kesal dengan dirinya sendiri.
“Bodoh, bodoh! Kenapa kamu terbawa suasana Imelda, ayo lah, tahan dirimu agar tidak berpikir jorok. Kamu harus ingat jika Putra itu adalah anak yang masih polos dan di bawah umur. Tahan, tahan,” gumam Imelda kesal akan dirinya sendiri.
Di ruang tamu.
Sambil menunggu Imelda mengambil minuman untuknya, Putra memutuskan untuk berkeliling ruang tamu, melihat-lihat gambar foto milik Imelda terpajang di sana.
Langkah kaki Putra terhenti di depan bingkai foto besar menempel di dinding ruang tamu, dahinya mengernyit menatap gambar seorang wanita bersama dengan pria berusia 55 tahun sedang duduk di kursi roda, wajahnya juga terlihat sakit-sakitan.
Pandangan Putra teralihkan saat mendengar suara Imelda tepat di sisi kirinya.
“Dia itu adalah Papaku, lelaki terhebat yang ada di muka bumi ini,” jelas Imelda tiba-tiba.
“Oh, aku kira suami ibu,” cetus Putra santai.
“Kejam sekali ucapanmu. Aku dan suamiku sudah lama pisah, dan mana mungkin juga aku mau memajang foto lelaki tak berguna itu di rumahku ini,” ucap Imelda serius.
“Oh!”
“Hanya ‘Oh’ aja, tidak ada pertanyaan lainnya untukku? Apa kamu tidak penasaran kenapa aku bisa berpisah dengan suamiku?”
“Tidak, itu bukan urusan ku!” sahut Putra tegas, ia pun kembali melangkah menuju sofa ruang tamu.
Bukannya marah karena sikap dingin Putra padanya, jantung Imelda malah semakin berdegup kencang. Kedua pipinya terus merona-rona, membuat Putra melihat wajah itu semakin bergidik ngeri.
‘Kenapa dengan ibu ini, ya? Apa dia sedang demam, atau kesurupan?’ batin Putra bertanya-tanya.
Penasaran kenapa wajah Imelda terus memerah seperti itu, Putra pun bangkit dari duduknya mendekati Imelda. Punggung tangan Putra perlahan mendekati dani Imelda saat dirinya sudah berdiri di hadapan Imelda.
Deg deg deg
‘A-ap-apaan ini, apakah Putra akan menciumku. Atau…atau…’
“Nggak demamnya, tapi kenapa wajah Ibu terlihat merona seperti itu?” tanya Putra menghentikan degupan jantung Imelda.
“Ehem, kamu pikir aku sakit?” tanya Imelda mencoba tegas. Meski hatinya saat ini tengah meronta-ronta untuk di dekati Putra.
“Syukurlah kalau tidak sakit. Oh ya, gimana soal pekerjaan yang ibu tawarkan tadi siang?” tanya Putra kembali ke topik pembahasan.
“Oh, iya ada. Tapi apa kamu mau menjadi sekretaris pribadiku?” sahut Imelda balik bertanya.
“Sekretaris! Bukanya posisi itu hanya akan di dapatkan oleh orang-orang yang tamat di bidang tertentu, dan juga memiliki IQ tinggi?” cetus Putra.
“Sekretarisku sedang hamil besar, ia pun sudah berhenti bekerja karena ingin fokus menjaga anaknya. Kalau soal tentang ke pintaran dan lain sebagainya, itu urusan belakangan. Yang terpenting bagiku saat ini gimana dengan kamu, mau atau tidak bekerja denganku?”
“Mau, aku mau. Bekerja apa saja aku pun mau asal mendapatkan uang halal,” sahut Putra dengan cepat.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Raysonic Lans™
horas bahhhh
2023-05-31
1
~~N..M~~~
Jelalatan itu matanya bu, marahi aja. 😂
2023-04-10
0
~~N..M~~~
Kalaj cepat sama yang muda
2023-04-10
0