Sesampainya di ruang kerja milik Imelda. Putra terus menunduk, berulang kali meminta maaf atas perbuatannya kepada Imelda saat di tempat makan tadi. Imelda tidak menjawab, ia hanya diam membelakangi Putra sembari menatap dinding kaca menembus pemandangan jalan raya kota Medan.
“Imelda, aku mohon maafkanlah aku. Aku sengaja melakukan hal itu agar kamu tidak terkena masalah. Aku juga tidak ingin kamu berakhir dengan luka, dan cekcok sampai menguras tenaga dan pikiranmu!” jelas Putra tegas.
Lelah berulang kali mendengarkan Putra mengatakan hal sama. Imelda berbalik badan, mendekati Putra masih berdiri sembari terus menunduk.
“Apakah setiap ada masalah menyerangmu, kamu akan selalu lari seperti ini?” tanya Imelda penasaran.
“Iya, aku melakukan hal itu karena aku ingin menjalani hidup dengan tenang dan damai,” sahut putra jujur.
“Ck, kamu memang orang yang aneh. Apa kamu peduli padaku saat itu?” tanya Imelda kembali.
“Tidak, aku tidak perduli dengan siapapun kecuali, diriku sendiri yang tak ingin ikut terlibat dalam perkelahian orang lain,” sahut Putra kembali dengan tegas.
“Oh, menurutku ucapanmu adalah kebalikan dari sikapmu,” Imelda menepuk bahu Putra, “Terimakasih sudah mencemaskan aku, sebaiknya kamu kembali ke ruangan. Masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan sebelum jam 5 sore nanti,” lanjut Imelda menyuruh Putra untuk kembali ke ruangannya.
“Baiklah, aku akan pergi,” sahut Putra, ia pun mulai melangkah pergi meninggalkan ruangan Imelda.
Waktu pun terus berlalu, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 17:30 sore. Putra sudah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun memutuskan untuk masuk ke ruangan Imelda, ia ingin membatu pekerjaan Imelda jika memang belum selesai.
“Permisi, apakah Anda sudah selesai?” tanya Putra setelah ia berdiri di samping meja Imelda.
“Sedikit lagi. Kamu duduklah di sana,” sahut Imelda mengarahkan tangannya ke sofa tamu.
“Bagaimana jika aku bantu. Siapa tahu bisa cepat selesai,” usul Putra menawarkan jasa bantuan darinya.
“Tidak usah, kamu pasti lelah, biarkan aku saja yang menyelesaikannya,” tolak Imelda dengan santai dan masih terus fokus pada layar monitornya.
“Baiklah,” sahut Putra mulai melangkah mendekati sofa tamu dan mendudukkan dirinya.
Putra pun terus menunggu dan menunggu, sedangkan Imelda masih terus menyelesaikan pekerjaannya dengan tidak fokus.
Bagaimana ia ingin fokus mengerjakan pekerjaannya saat kedua matanya terus melirik ke Putra saat ini sedang sibuk bermain dengan benda pipih miliknya.
Ritme detakan jantungnya tak beraturan saat Putra sesekali menyugar poni bagian depan. Seolah bisa mencium aroma shampo dari rambut Putra bisa menyelusup masuk ke indra penciumannya.
‘Sangat tampan, sikap dingin dan cueknya membuat aku semakin ingin melahapnya. Oh…segarnya mata dan pikiran ini jika terus bisa menatap wajahnya secara langsung seperti ini. Apakah ini yang di namakan takdir, apakah ini yang dinamakan jodoh? Ya ampun, ya ampun, duhai jantungku, berhentilah untuk berdetak seperti ini,’ gumam Imelda dengan hatinya terus meronta-ronta.
Tak sabar terus menunggu dan rasa bosan telah menguasai hati Putra, ia pun memutuskan untuk bangkit dari duduknya menghampiri Imelda.
“Maaf, aku tidak bisa lagi menghabiskan waktu hanya untuk menunggu Anda. Gimana kalau aku bantu Anda menyelesaikan pekerjaan ini,” cetus Putra polos, ia pun mulai berdiri di samping kanan Imelda, dan menyibukkan kedua tangannya di atas keyboard.
Degser!
Aliran darah Imelda naik turun tak karuan saat Putra sangat dekat padanya. Bahkan aroma keringat bercampur dengan minyak wangi miliknya terasa begitu segar menyeruak masuk ke indra penciumannya.
Sabar, sabar, sabar. Imelda hanya bisa melontarkan kalimat itu di dalam hatinya sembari menahan hasratnya semakin meronta-ronta ingin di jamah.
10 menit berlalu, akhirnya Putra menyelesaikan sisa pekerjaan milik Imelda. Setelah menyimpannya ke dalam flashdisk, Putra mulai melangkah mendekati pintu ruangan.
“Sudah sangat sore, sebaiknya kita pulang,” ajak Putra seperti dialah bosnya di sana.
Bukannya marah atau menegur sikap Putra terlampau dingin dan jujur. Imelda malah membiarkan Putra seolah menguasai dirinya. Hah, benar-benar begini rasanya jika kita memiliki ketampanan paripurna tiada duanya.
Pukul 19:10 malam, akhirnya Putra dan Imelda sudah sampai di kompleks rumah. Setelah memarkirkan mobil Imelda ke dalam garasi, Putra pamit pergi karena ia ingin mengejar sholat magrib sempat tertinggal karena kemacetan di jalan.
Putra pun kini sudah berada di rumahnya, ia buru-buru masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan dirinya lalu melaksanakan ibadah sholat magrib. Selesai sholat magrib, Putra ingin keluar untuk membeli makanan. Namun, kedua bola matanya membulat sempurna saat melihat para janda di komplek, termasuk Imelda sedang berdiri di teras rumahnya dengan kedua tangan mereka membawa rantang makanan.
“A-ada apa ini?” tanya Putra kebingungan saat para janda mengulurkan rantang ke hadapannya.
“Kami tahu kamu belum makan dan lelah selama bekerja. Kami sudah menunggumu dari sore, tapi kamu tak kunjung datang gara-gara janda gila ini. Putra, kami semua di sini belum makan karena menunggumu, gimana kalau kita makan bareng di rumah kamu!” sahut para janda dengan serentak, Imelda sendiri hanya tertunduk merasa bersalah.
“Tidak usah repot….kruuk, kruuk! Maafkan suara perutku yang tidak sopan ini,” maaf Putra merasa malu.
“Tuh’kan, ayo kita semua masuk ke dalam rumah!” seru Maya mengajak para wanita masuk ke dalam rumah.
Putra tercengang, ia hanya bisa menghela nafas panjang melihat Maya dan lainnya sibuk mengatur tempat makan untuk mereka di ruang tamu rumahnya.
“Maafkan aku, ya,” maaf Imelda benar-benar merasa bersalah karena membuat Putra pulang terlambat.
“Kenapa harus minta maaf. Itu semua bukan salah Anda,” ucap Putra tidak ingin membuat Imelda merasa bersalah.
“Sepertinya aku tidak jadi ikut makan bareng kalian. Sebaiknya aku pulang saja, dan ini makanan untuk kamu. Tadi aku menyempatkan diri memasakkan sup iga sapi berisi bakso sapi untuk menambah stamina kamu,” ucap Imelda tak suka akan keramaian, ia pun tak ingin para janda di kompleks itu membongkar aibnya karena merasa iri bisa bersama dengan Putra.
Putra tidak mengambil rantang dari tangan Imelda, ia malah menggenggam pergelangan tangan Imelda, membawanya masuk dan duduk bersama wanita-wanita itu.
Melihat Imelda duduk sangat dekat dengan Putra, Maya, Rihana, dan janda lainnya mendengus kesal.
“Hei, kenapa kau masih di sini?” tanya Maya sinis ke Imelda.
“A-aku…” ucapan Imelda terputus saat Putra membelanya.
“Aku yang mengajaknya ke sini. Bukannya enak kalau kita makan beramai-ramai di sini?”
“Tapi wanita itu sudah cukup puas bersamamu selama satu harian. Kenapa malam ini ia pun harus ikut makan bersama dengan kita?” protes janda lainnya.
“Jika kalian tidak suka adanya Imelda di sini, maka aku mohon maaf. Sebaiknya ibu-ibu segera pulang, biar aku mencari makanan di luar saja!” tegas Putra dengan wajah datarnya.
“Ti-tidak, duduk. Kamu duduk saja di sana. Baiklah kami tidak akan protes lagi. Sebaiknya mari kita makan sebelum makanan ini dingin,” pinta Maya ketakutan saat mendengar Putra ingin memilih makan di luar.
Akhirnya Putra, Imelda, Rihana, Maya dan wanita lainnya makan bersama di ruang tamu tanpa ada cekcok sama sekali.
Melihat Putra di keliling para janda cantik dan tajir, membuat aku iri.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂
jadi siapa ni ceritanya yg merasa iri?
2023-04-04
2