Kompleks Janda
Sanjaya Putra, seorang pemuda berparas tampan. Hidung mancung bak orang luar, rahang tegas, bola mata hitam lekat, alis tebal terukir rapih, rambut hitam dan halus, postur tubuh tinggi tegap, kulit putih bersih. Benar-benar cocok untuk menjadi model. Namun sayangnya, Putra hanya seorang pemuda Desa, baru saja menginjakkan kedua kakinya di kota besar.
Meninggalnya kedua orang tua Putra di Desa, serta banyaknya hutang almarhum keduanya, membuat Putra memutuskan untuk menjual rumah peninggalan mendiang kedua orang tuanya di Desa. Sebagian uang hasil penjualan rumah di bayar untuk melunasi hutang-hutang, sebagian sisa uangnya untuk bekal Putra mencari pekerjaan di kota besar.
🍃🍃🍃🍃
Sesampainya di terminal Kota besar.
Tidak tahu harus kemana, Putra memutuskan untuk duduk sejenak di bangku terminal, mencari kontrakan untuk ia berteduh di akun sosial media miliknya. 30 menit sudah ia mencari kontrakan di sosial media, akhirnya ia mendapatkan satu kontrakan berada di komplek perumahan mewah. Awalnya ia tak yakin kontrakan itu murah, setelah dirinya berdiri di depan sebuah rumah sederhana, bersama seorang wanita lebih tua darinya barulah ia yakin dengan harga murah kontrakan itu.
“Apa ibu tidak salah menyewakan rumah sebagus ini hanya 7 juta dalam 1 tahun?” tanya Putra sedikit ragu.
“Tentu saja aku yakin. Kenapa, kau tak mau tinggal di sini? Di sini tempat berkumpulnya para janda elit, loh!” sahut ibu pemilik kontrakan.
“Janda?! Ma-mau, ta-tapi sekeliling rumahku adalah rumah elite. Dan…” ucapan Putra terhenti saat ibu pemilik kontrakan menepuk bahunya.
“Jangan banyak kali cakapmu. Lagian nggak rugi juga kau tinggal di komplek elite ini. Rata-rata tetangganya baik kok, hanya orang-orang bodoh aja yang nggak mau betah tinggal di sini. Sudah aku kasih murah, malah aku pula yang di marahi."
Sebut saja Mama Inces. Dirinya tak ingin kehilangan kembali penyewa kayak sebelum-sebelumnya, jadi dengan berbagai cara ia terus merayu Putra agar mau memilih kontrakan miliknya.
Penasaran kenapa penyewa sebelumnya memarahi pemilik kontrakan dan tidak mau menyewa rumah milik Mama Inces yang bisa di bilang cukup bagus dari rumah kontrakan lainnya.
"Ka-kalau boleh tahu, kenapa Ibu cekcok dengan penyewa sebelumnya?" tanya Putra ragu-ragu.
“Ah, pokoknya tidak ada apa-apa. Sudahlah, mana uangnya?”
Mama Inces mengulurkan tangannya, mendesak Putra memberikan uang kontrakan rumah sewa miliknya. Di tengah perdebatan mereka, rumah-rumah elit yang dihuni para janda terdengar ramai dengan berbagai macam kegiatan. Bagaimana tidak, kedatangan pemuda tampan di sana ternyata mengusik seluruh tubuh janda sehingga membuat mereka berkumpul di masing-masing teras, dan halaman rumah mereka.
Putra yang masih belum percaya dengan ucapan Mama Inces, mengulurkan tangan kanannya, meminta kunci rumah kontrakan lebih dulu daripada memberikan uang sewa
“Kuncinya mana dulu, Bu?"
“Iiis dah. Takut kali lah, kau anak muda. Nah, nah!"
Mama Inces mengambil kunci rumah dari tas selempang miliknya, memberikan kunci rumah ke tangan Putra yang terulur. Setelah mendapatkan kunci rumah kontrakan, Putra mengambil uang dalam tas ranselnya, menghitung jumlah uang sewa sambil mengoceh.
“Tentu saja aku takut. Mentang-mentang aku masih muda, nanti Ibu pikir aku bisa nipu pula."
"Sudahlah, tak usah pala kau hitung-hitung uang itu. Uda pas nya itu!"
Mama Inces merampas uang dari tangan Putra, menghitung cepat menggunakan air ludah miliknya. Selesai menghitung uang sewa rumah, ia melenggang pergi menuju sepeda motor matic miliknya, dan pergi begitu saja sambil tertawa senang.
“Ck, dasar wanita tua!”
Putra mengalihkan pandangannya ke rumah tetangga yang berjejer dan saling berhadapan. Fokus pandangan Putra terhenti pada satu rumah, tepat di depan rumahnya, ada wanita muda dengan tubuh bohay yang menyapu teras rumah. Sesekali wanita muda itu menunduk sehingga 2 gunung kenyal itu terlihat memantul.
“Makjang. Baru aja tiba di sini, sudah ada pemandangan bagus aja."
Putra menyeringai senang melihat pemandangan begitu bagus yang sulit di dapatkan di Desa. Ia sempat berpikir jika masa pubernya akan hilang begitu saja setelah ia pergi ke kota. Tapi kenyataan sama pikirannya kini berbanding terbalik.
"Eh! Apa-apaan pikiranku ini? Sadar diri kau, Putra, kau masih bocah.” Lanjut Putra keluar dari pikiran mesumnya. Ia memilih untuk berbalik badan. “Daripada nanti ada yang terbangun dan minta di cas, lebih baik aku masuk aja lah. Beberes rumah dulu, baru aku lanjut mencari pekerjaan di sosial media."
Begitu terdengar suara "ceklek" dari pintu rumah kontrakan Putra. 10 wanita cantik dengan masing-masing postur tubuh cukup memikat, berdiri di masing-masing depan rumah mereka, menatap rumah Putra yang terkunci.
“Jeng, bukannya tetangga baru kita itu brondong?” tanya wanita memakai baju daster sobek, rambut berwarna merah di jepit ke atas. Sebut aja, Rihana
“Tau aja kau ini kalau lelaki itu brondong. Jika aku pikir-pikir lumayan juga untuk penyegar mata kita di sini,” sambung wanita dengan lipstick merah menyala, sebut saja Juliana.
“Aaaahhh, seperti ada yang berdenyut saat aku terus menatap otot di kedua lengan kekarnya,” cetus seorang wanita memakai dress tipis dan ketat, sebut saja Maya.
Serentak pandangan wanita-wanita itu mengarah ke Maya yang terlihat sedang birahi.
“Apanya yang berdenyut?” tanya Rihana sinis.
“Anu…itu yang berada di bawah perut,” sahut Maya sambil menjepit-jepit kedua kakinya.
“GATEL!” sorak wanita di sana serentak, Maya menutup kedua kupingnya.
“Nggak usah munafik deh, kalian semua. Bilang aja kalau kalian juga butuh kehangatan dari sosok pria seperti tetangga baru kita!” cetus Maya meninggikan nada suaranya.
Maya merasa terpojok, ia pun tak mau kalah cekcok dengan para wanita lainnya. Sehingga keributan antar janda di komplek itu terdengar sampai ke telinga Putra. Penasaran apa yang terjadi di depan rumahnya, Putra pun keluar, mendekati para wanita sedang berdebat.
"A-ada apa ini, ibu, dan kakak?"
Suara serak terdengar gagah milik Putra membuat para wanita terdiam. Bukan hanya tampan, suara serak Putra benar-benar menggemparkan para wanita sampai wajah mereka merona. Bahkan beberapa dari mereka mendadak salah tingkah saat melihat ketampanan putra secara langsung. Jantung wanita-wanita itu juga semakin berdetak kencang saat tak sengaja melihat resleting celana putra tak terkancing, dan membuat para wanita terus memandang lurus ke bawah.
‘Masih bersembunyi saja sudah terlihat gagah. Apalagi kalau burung itu terbang keluar,’ batin Maya, air liur tak terasa menetes keluar.
‘Ayo dong. Keluar, keluar dikit aja, aku ingin melihat seberapa besar dan panjangnya,’ batin Rihana.
‘Cilukba, cilukba, cilukba. Aduh, aduh, kenapa nggak nongol-nongol, sih!’ gerutu Juliana.
Tidak tahan dengan pikiran mereka masing-masing, Maya, Rihana, Juliana, dan 6 wanita lainnya berlari menuju rumah masing-masing sembari berteriak kencang. Tinggallah di sana wanita cantik yang tinggal di depan rumah Putra. Sebut saja namanya, Imelda. Imelda terus menunduk dengan kedua pipi merona seperti buah tomat.
“Maaf, Ibu kenapa terus menunduk, ya?” tanya Putra penasaran.
“Anu…itu resleting kamu tidak terkancing!”
Ceplos Imelda dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. Bagaimana tidak, sebab Putra berdiri sangat dekat dengannya. Apalagi pandangannya itu tidak mau teralihkan ke mana pun.
“Maaf, tadi aku baru saja pipis. Mendengar keributan di luar aku jadi spontan keluar," ucap Putra sembari tertawa.
Karena malu ketahuan resleting tak terkancing. Putra berpura-pura bertanya kepada Imelda tentang tetangga di komplek rumah.
"Oh ya, kenapa di sini hanya ada para wanita? Suami nya pada ke mana semua, ya?”
“Di sini adalah komplek para janda. Jadi wajar saja tidak menemukan seorang pria di sini,” sahut Imelda.
‘Iya, sebenarnya aku sudah tahu. Aku pura-pura bertanya karena kalah malu aja!' batin Putra.
“Namaku, Imelda Sarvati."
Imelda memperkenalkan dirinya terlebih dahulu agar ia bisa tahu nama Putra, dan perbincangan mereka biar sedikit lebih panjang. Putra pun membalas pertanyaan Imelda, memperkenalkan dirinya.
“Sanjaya Putra, panggil aja Putra."
“Sepertinya kamu masih muda. Apa kamu sudah bekerja?” tanya Imelda ramah.
“Umurku baru 18 tahun, baru saja tamat sekolah beberapa bulan lalu,” sahut Putra santai.
“Haaa!! De-delapan belas tahun?!"
Imelda syok ketika mendengar Putra baru memasuki umur 18 tahun. Memiliki postur tubuh tinggi, badan sixpack, dan suara serak begitu jantan tidak menampakkan jika Putra anak lelaki yang baru saja besar.
“Iya, kenapa? Apa karena wajah ku tampak dewasa?”
“Ti-tidak," sahut Imelda cepat.
Antara kasihan dan tertarik dengan Putra. Imelda mencoba menawarkan pekerjaan kepada Putra. Meski dirinya harus siap mendengar sebuah penolakan.
"Ka-karena kamu baru saja tamat sekolah, gimana kalau kamu kerja di perusahaan ku saja."
“Serius?” tanya Putra spontan.
“Kebetulan Perusahaan ku membutuhkan satu tenaga lagi. Kalau kamu tertarik, datang saja ke rumah ku nanti malam," ucap Imelda tenang.
“Baik, Bu!" sahut Putra senang.
Putra benar-benar senang. Betapa tidak, baru saja pergi ke kota besar, dan bingung untuk mencari pekerjaan yang pas. Eh, ada wanita cantik menawarkan sebuah pekerjaan. Namun, tidak dengan Imelda, dahinya mengernyit menatap wajah girang Putra.
“Ke-kenapa harus di panggil ibu?”
Ternyata kalimat "ibu" yang membaut Imelda mengernyitkan dahi. Putra yang sedari tadi tertawa dan tersenyum karena senang telah mendapatkan pekerjaan, jadi terdiam. Wajahnya terlihat serius menatap wajah datar Imelda.
“Bukannya Anda lebih tua dari ku," sahut Putra.
“Iya-ia. Tapi jangan panggil Ibu juga, panggil saja Imelda biar akrab,” ucap Imelda di sela tawa kecilnya.
“Oh! Baik kalau begitu."
Di saat Imelda dan Putra saling berbincang hangat, para janda mengintip dari balik jendela mereka. Masing-masing wajah terlihat tak suka kepada Imelda.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
PASTI SERU NIHHHHHH... SMOGA BNYK WIKWIKNYA🤭🤭🤭🤭🤭
2024-02-28
0
Anonymous
wih mantab
2023-10-24
1
Syhr Syhr
Benar👍
2023-04-10
0