Gadis itu bernama Erlin asal kerajaan Zorgan, teman satu kelas Sena, seorang ahli sihir jubah biru tahun pertama di akademi Zezzanaza.
Bakat yang biasa saja untuk standar manusia biasa, hanya sedikit lebih baik karena memiliki kecerdasan dalam mempelajari teori, tentu tidak bisa dibandingkan dengan Sena sebagaimana kekuatan dari sang pahlawan.
Tapi lepas dari itu, Erlin adalah sosok gadis yang cantik, anggun, tidak sombong dan juga murah senyum, terbukti mana kala mengajak bicara Zen tanpa peduli soal status kasta sebagai orang biasa.
"Aku dengar jika kau meminta Sena untuk mengajakmu masuk ke dalam Dungeon, apa itu benar ?."
Sayangnya pertanyaan Erlin berbeda dengan kenyataan...."Apa wajahku ini seperti orang yang bersemangat melakukannya."
"Memang tidak juga." Erlin bisa membaca ekspresi Zen.... "Jadi untuk apa kau kemari ?."
"Sena memaksaku untuk ikut, gadis itu tidak tahu kapan harus berhenti mengganggu orang lain yang ingin bersantai." Zen kesal sendiri.
Tapi Erlin tertawa kecil..."Ini benar-benar jarang dilakukan oleh Sena."
"Jarang kah ?, Apa dia tidak punya teman atau semacamnya yang bisa diajak bersenang-senang."
"Mau bagaimana lagi, karena status pahlawan yang Sena miliki, murid-murid di akademi merasa enggan untuk menganggapnya sebagai teman."
Sebuah kasus yang berbeda dari masalah Zen, meski di kota Villian Zen masih memiliki teman, tapi akan beda ceritanya ketika dia masuk ke akademi.
Zen lahir di keluarga biasa, lebih tepatnya iblis yang menyamar sebagai manusia untuk bertahan hidup. Namun dipandang oleh murid dari status bangsawan, dia tidak lebih seperti alas kaki.
Sedangkan Sena, dia terlalu tinggi, terlalu berbakat, dan berada di kasta yang melampaui seorang raja, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya merasa tidak nyaman untuk dekat dengan Sena.
Ini juga pernah dialami oleh Zen dalam kehidupan yang sebelumnya.
Menjadi salah satu karyawan terbaik di perusahaan, mendapat banyak pujian oleh bos dan juga jabatan yang menjanjikan. Tapi dengan semua pencapaian itu tidak membuat Zen senang.
Orang-orang di sekitar pun perlahan menjauh, mereka iri atas hal-hal besar yang dia dapatkan, sehingga ketika Zen sadar, tidak ada siapa pun hadir untuk mendukungnya.
Terlebih lagi ketika dia terlalu fokus dalam karir membuat kisah cinta Zen kian buruk dan berakhir menjadi tamu undangan di acara perkawinan mantan pacarnya itu.
Ya sebuah kenangan yang tidak ingin dia ingat lagi...
"Entah kenapa aku paham atas kehidupan yang dia alami." Jawab Zen tersenyum sendiri.
"Karena itu, saat aku melihat Sena begitu senang, aku merasa ada hal baik yang membuatnya berubah."
"Tapi kau salah jika menganggap aku adalah 'hal baik'."
"Kenapa ?."
"Karena aku pun sama egoisnya dengan Sena." Balas Zen tersenyum pahit.
Zen memang egois, memiliki kekuatan dari Tuhan Sejati untuk menyelamatkan banyak manusia, tapi dia lebih memilih hidup seperti apa yang diinginkan tanpa sedikitpun peduli soal dunia.
"Ternyata kau disini Zen, apa yang sedang kau lakukan ?." Ucap seseorang dari belakang.
Sebuah suara familiar terdengar jelas di telinga. Zen dan Erlin pun menoleh untuk melihatnya, tapi dengan panggilan nama itu saja, sangat jelas bahwa hanya ada satu orang yang mengenalnya di sini.
"Putri Sena." Ucap Erlin menyebut sebuah nama.
"Hanya menikmati waktu saja."
"Kau terlalu santai Zen."
"Begitulah."
Tahu bahwa Sena sengaja datang untuk menemui Zen, tentu Erlin paham apa yang harus dia lakukan. Dia pun berdiri dan berniat pergi dengan maksud memberi waktu kepada mereka.
"Kemana kau Erlin ?." Tanya Zen.
"Aku punya urusan lain, jadi aku harus pergi." Sebuah alasan untuk menghindar.
"Baiklah, terimakasih sudah menemaniku."
"Sama-sama."
Kini giliran Sena yang duduk di sebelah Zen. Tidak ada alasan apa pun untuknya memulai pembicaraan, tapi melihat bagaimana tingkah Sena dengan cara dia menguncir rambut, itu sangat tidak biasa.
"Kenapa kau ?, Ketombean kah ?." Tanya Zen.
Sena kesal...."Aku selalu mandi setiap hari."
"Lalu kenapa kau menguncir rambut, atau mungkin, gaya baru ?."
Pertanyaan itu tidak sesuai dengan harapan Sena.
"Bagaimana menurutmu, apa aku terlihat bagus menggunakan ikat rambut ini."
"Hmmm itu cukup berguna." Jawab Zen.
"Berguna ?." Sena terlihat bingung karena pujiannya tidak sesuai harapan.
"Ya benar, ikat rambut yang kau gunakan memiliki manfaat untuk melancarkan aliran energi di dalam tubuh, sehingga jika digunakan dalam jangka waktu lama, kau tidak akan terkena sembelit." Zen memperjelas.
Penjelasan aneh dari Zen dan tidak diharapkan oleh Sena, karena dia membeli ikat rambut itu bukan tentang manfaat sebagai obat sembelit atau yang lain.
"Aku bertanya soal keindahannya, bukan kegunaannya."
"Jika itu yang ingin kau tahu, hanya dengan ikat rambut, tidak mengubah apa pun darimu." Jawab Zen.
Lemas wajah Sena mendengar tanggapan Zen...."Oh begitu."
"Ya, karena sejak awal kau sudah cantik, jadi mengikat rambut atau tidak, itu sama saja untukmu."
Sejenak Sena menarik nafas dalam-dalam, entah kenapa dia merasa malu setelah mendapat jawaban Zen.
"Tapi tetap saja, meski pun kau cantik, sifatmu sangat berbanding terbalik. Aku pikir semua kecantikan mu itu menjadi percuma." Lanjut Zen memberi keterangan tambahan.
Sedangkan di sudut lain, lima sosok murid lelaki akademi Zezzanaza memperhatikan Zean dari kejauhan. Tentu perasaan kesal bercampur iri tampak jelas di wajah mereka.
Mengetahui bahwa orang lain mendapat perhatian dari gadis cantik dan terkenal sekelas Sena itu sudah menjadi alasan untuk mereka berlima marah.
Tanpa perlu ragu, ke lima NPC yang tidak lebih sebagai karakter tambahan berjalan mendekat untuk menyombongkan diri di hadapan Sena.
"Nah... Sena, apa kau tidak malu memiliki teman seperti dia."
"Kau hanya akan membuang-buang waktu untuk menemani orang tidak berguna. Lebih baik bersama kami, tentu ada banyak keuntungan yang bisa kau dapat."
"Itu benar sekali, karena jelas kami adalah murid berbakat di akademi."
Sena jelas tidak menyukai sikap mereka yang datang tanpa permisi kemudian seenak jidat merendahkan orang lain.
Meski pun bagi Zen dia tidak peduli soal omong kosong mereka semua. Sebagai orang yang sudah dewasa dan juga sering kali mendapat tekanan dari bos perusahaan, tentu menjadi hal mudah untuknya bersabar dan membalas perkataan itu dengan senyuman.
Tapi kini, Sena berdiri menatap mereka berlima dengan sorot mata tajam, kemudian sebuah senyum mengejek dia tunjukan.
"Kalian murid berbakat ?, Apa itu lelucon ?, Tapi aku tidak merasa terhibur dengan omong kosong kalian." Balas Sena.
Mereka terkejut mendengar ucapan Sena yang lebih memilih membela orang lain ketimbang teman satu kelas.
"Jika dibandingkan dengan lelaki itu, tentu saja kami berlima jauh lebih baik."
"Padahal kalian berlima hanya jubah biru, tapi kesombongan kalian seperti sudah mampu tebang di atas langit." Sindir Sena tidak ragu-ragu.
Zen tidak menyukai alur pembicaraan ini, dimana dia seakan tahu ujungnya akan menjadi masalah.
Berniat untuk menghentikan sikap Sena seperti ingin mencari musuh.
"Ayolah, jangan buat keributan, aku tidak masalah jika mereka mengejekku." Bisik Zen ke telinga Sena.
Tapi semua terlambat ketika salah satu dari mereka berlima angkat suara.
"Kalau begitu aku bisa buktikan, jika aku lebih baik dari dia."
'Yah.... Kok jadi gini.'
**********
Di dasar lantai Dungeon...
Titik bola cahaya merah menyala terang seperti menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Itu adalah inti jiwa Dungeon, suatu keberadaan unik yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
'Mereka-mereka yang terpilih oleh Tuhan sejati hadir di dalam wilayahku. Aura Suci itu adalah sumber kekuatan tanpa batas, aku ingin memilikinya....'
Segala kehidupan yang tewas di dalam Dungeon akan menjadi sumber energi baginya menambah kuat pertahanan.
Ribuan monster bergerak naik menuju permukaan, tujuan mereka adalah dari perintah inti jiwa Dungeon itu sendiri, menemukan pemilik energi pahlawan dan menelan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments