Keramaian kota kerajaan Villian penuh sesak ketika rombongan murid akademi Zezzanaza datang berkunjung. Semua orang hanya ingin melihat kehadiran salah satu pahlawan utusan Dewa, Sena Gelael Ars.
Tidak perlu diragukan lagi jika namanya terkenal Senatero kerajaan, dimana status pahlawan yang dia miliki, memberi panggung besar untuk menjadikannya terkenal.
"Lihatlah, mereka sangat mengagumi sosok mu, putri Sena." Ucap seorang teman wanita yang berada dalam satu kereta kuda.
"Erlin, kekaguman mereka semua, hanya karena aku adalah orang pilihan dengan status pahlawan utusan Dewa. Jika aku terlahir menjadi anak petani miskin, siapa yang akan datang untuk mengagumi ku." Balas Sena malas.
"Kau terlalu merendah diri. Sena."
"Daripada merendah diri. Aku lebih setuju jika ini adalah sebuah kekecewaan."
Erlin jelas tidak senang, karena dia pun memiliki kekaguman kepada Sena.
"Kenapa kau kecewa ?, Kau tidak kurang apa pun, lahir sebagai anak orang bangsawan, memiliki wajah cantik, otak yang cerdas, status pahlawan utusan Dewa dan satu hal terpenting...." Jawab Erlin menatap ke arah dua benda tersembunyi dibalik baju Sena itu.
"Jika tolak ukur kebahagiaan adalah karena besar dada mereka, maka seekor sapi bisa hidup bahagia selamanya." Jawab Sena melihat Erlin yang murung.
"Paling tidak, jika kau bandingkan denganku..." Ekspresi Erlin tampak lemas dan kehilangan semangat karena sudah kalah untuk semua aspek.
Mereka mendengar keributan yang terjadi oleh satu orang tua ketika datang untuk memberi sanjungan kepada Sena.
"Itu keterlaluan, bagaimana bisa para prajurit memukuli lelaki tua disana." Ucap Erlin kesal.
"Kau tidak perlu merasa kasihan Erlin, mereka hanya menjalankan tugas, jika orang tua itu adalah penjahat yang ingin membunuh kita, tentu para prajurit tidak bisa membiarkannya." Sena menjawab secara logis.
"Tapi...."
Namun tanpa disangka-sangka oleh Sena, dia merasakan suatu energi yang luar biasa kuat muncul, sebagai pahlawan utusan Dewa Sena memiliki banyak kelebihan. Salah satunya adalah menilai kekuatan setiap makhluk hidup.
Itu bukan skill atau Gift pemberian dewa, hanya bakat alami yang dia dapat sejak lahir. Namun karena kemampuannya, Sena bisa melihat besar kekuatan milik orang lain, meski pun mereka berusaha menyembunyikan itu.
"Lihat siapa lelaki disana, dia datang untuk menolongnya." Tunjuk Erlin di tengah-tengah keributan.
Sena tertarik..."Hmmm kau benar."
Dia cukup menaruh perhatian terhadap satu lelaki yang datang menolong orang tua di sana, tapi bukan seperti dia terkesima atas tindakan lelaki itu untuk memberi bantuan layaknya pahlawan.
Melainkan Sena sadar, jika sorot mata itu membuat dua penjaga pergi tanpa bisa membantah perintahnya.
Erlin berubah menjadi marah, ketika orang tua memberi tuduhan kepada lelaki penyelamat dengan berkata 'Mata merah'.
"Apa-apa dia, harusnya bersyukur karena ada yang menolong, tapi balik menuduh. Dasar orang tua gila. Benar begitu Sena." Ungkapnya kesal.
"Ah iya, iya..." Jawab Sena yang tidak fokus untuk pertanyaan Erlin.
Meski semua keributan selesai ketika orang tua pergi dengan ketakutan, namun Sena merasa ada yang aneh tentang lelaki itu. Di kota ini, tidak banyak orang-orang mau menyembunyikan aura energi milik mereka.
Terlebih lagi, tekanan aura yang dia lihat cukuplah besar dan setara seperti para ahli sihir tingkat lanjut. Jika memang benar, ada alasan kenapa dia menyembunyikan kekuatannya.
Sena memikirkan sesuatu yang menarik dan membuka pintu kereta kudanya..."Erlin aku ingin pergi keluar."
"Hei mau kemana kau, kita harus menghadap kepada Raja terlebih dahulu." Erlin coba menghentikan.
"Kau urus saja itu, katakan kepada master Ziza, aku sakit perut atau apa pun terserah lah." Sena bergegas keluar.
Erlin merasa kesal karena Sena membebankan masalah kepadanya... "Dasar..."
Sena mengikuti kemana Lelaki itu pergi, melenyapkan aura kehadirannya untuk melihat apa yang dilakukan di dalam hutan.
Cukup mengejutkan saat tahu bahwa sebuah batang pohon besar jatuh seketika dengan satu ayunan pedang.
"Aku melihat sesuatu yang menarik di sini...." Kata Sena tersenyum sendiri.
Dia segera turun dan berhadapan langsung dengan lelaki yang dia ikuti.
"Kau membuatku terkejut, siapa kau ?." Ucapnya melihat Sena aneh.
"Bukankah kau melihatku sebelumnya." Jawab Sena penuh percaya diri.
"Kalau begitu apa kita saling kenal ?."
"Hmmm sepertinya tidak, tapi harusnya kau mengenalku."
"Tidak." Zen tentu menyadarinya, jika dia adalah putri Sena.
Hanya saja, Zen sebisa mungkin tidak terlibat untuk urusan pahlawan seperti dia.
"Aku bisa tahu, kau bukan manusia sembarangan."
"Jika aku manusia sembarangan, tentu sekarang aku berjalan-jalan di kota tanpa pakaian dan tertawa meski tidak ada yang lucu untuk di lihat." Zen coba beralasan seadanya.
Menarik pedang dan Sena menunjukkan sorot mata mengancam...."Jangan bicara apa pun lagi, tunjukan wujud asli mu."
Zen khawatir, tapi dia berusaha untuk tetap tenang...."Huh ?, Memang kau pikir aku bisa berubah atau semacamnya ?, Aku hanya manusia biasa, tolong jangan menganggap ku seperti penjahat yang sedang menyamar."
Sena tidak menurunkan pedang di depan wajah Zen dengan aura semakin mengancam, dia berjalan mendekat perlahan, langkah kaki begitu waspada, dia merasa harus berhati-hati jkka orang di depannya melakukan tindakan.
Memutari tubuh Zen, mata Sena melihat di setiap sisi, tangan mulai meraba-raba di sekitar pinggang, dia ingin memastikan bahwa tidak ada senjata yang tersembunyi di balik baju itu.
"Nona, apa kau bisa menurunkan senjatamu ini. Aku tidak nyaman melihat ujungnya yang tajam di depan mata." Zen meminta.
"Jangan lakukan apa pun, atau aku pastikan kau mati." Tidak ada tawar menawar untuknya.
"Ok, baiklah."
Sena tidak menemukan senjata apa pun, bahkan pedang yang sebelumnya digunakan seakan lenyap begitu saja.
"Aku tahu, dibalik tubuhmu itu, tersimpan kekuatan besar yang kau sembunyikan."
"Apa kau yakin ingin melihatnya, aku bisa membuka pakaian jika kau mau." Zen sudah melepas kancing baju dan bahkan hampir menurunkan celana.
Wajah Sena marah dan juga malu...."Jangan bercanda."
"Aku tidak sedang bercanda, karena aku memang tidak menyembunyikan apa pun." Zen berkata jujur.
Hanya saja Sena masih tidak percaya...."Tidak mungkin, aku melihatnya sendiri kau sudah melakukan sesuatu kepada dua prajurit di kota sebelumnya."
'Hhaaaaahh pada akhirnya tindakanku menjadi kesalahan.'
"Baiklah, aku mengaku, aku sebenarnya anak dokter cukup terkenal, jadi mereka mau menerima permintaan ku untuk melepas orang tua yang mereka pukuli." Zen masih beralasan.
"Kau masih berbohong."
Zen tidak bisa membiarkan Sena tahu..."Jika kau tidak percaya, tanyakan namaku Zenhan dari keluarga Mivea, putra dokter Remus, tentu semua orang di kerajaan Villian mengenal ayah ku."
Nyatanya menggunakan nama Keluarga Mivea membuat Sena paham, dia pun segera menurunkan pedang dari kepala Zen.
Sebagai dokter dermawan, Remus sudah banyak memberi pertolongan kepada setiap keluarga miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan, sehingga membuatnya terkenal.
Walaupun itu membuat dokter lain marah, tapi Remus tidak peduli. Karena dia benar-benar mengabdikan diri untuk membantu semua orang tanpa pamrih.
Sena berbalik dan pergi, namun setelah beberapa langkah dia kembali menarik pedang untuk menyerang langsung ke arah Zen.
Mudah saja bagi Zen menghindar, dia berpura-pura terkejut dan jatuh kebelakang sehingga tidak ada kecurigaan terhadapnya.
"Apa yang kau lakukan, kau benar-benar berniat membunuh ku."
Sena dengan sorot mata tajam penuh aura kemarahan..."Tidak ada manusia biasa yang mampu menghindar dari serangan ku di jarak ini."
"Kenapa kok begitu !!!. Aku yang hampir mati disini, tapi kau yang marah....Apa semua pahlawan yang di kirim oleh Dewa memiliki sifat seperti mu."
"Memang kau tahu apa soal kami." Keras Sena marah.
"Ya... Bisa di bilang aku sangat tahu..."
"Omong kosong."
"Terserah kau saja." Pasrah Zen karena Sena adalah wanita yang sulit dipahami.
Sikap Sena tidak mencerminkan sosok pahlawan yang sesungguhnya, dia seperti mencari sebuah alasan untuk bertarung atau menyibukkan diri dengan urusan lain.
Tidak ada keraguan dari sorot mata Sena, bilah pedang di tangan pun mengarah lurus di depan leher Zen.
"Jika kau tidak ingin mati, maka lawanlah aku."
Zen menolak...."Aku tidak mau."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Thaalibul Ilmi
cerita raynor kapan thor??
2023-04-02
0