12

Jika ada yang mengatakan bahwa sang rembulan bisa menenangkan para jiwa insan manusia, itu benar. Leburan harsa yang menyatu dengan kedamaian sang malam membuat naungan ketenangan untuk para jiwa itu berteduh sesaat sebelum matahari menonjolkan diri---di mana mereka harus kembali berjuang mengejar tujuan hidup. Tak terlewatkan, angin malam yang berembus seakan tak ingin dilupakan bahwa ialah pemeran utama dalam memberikan sebuah belenggu kedamaian.

Sebelumnya tidak pernah terbayang, sungguh. Berperang dengan manusia memang hal yang sudah biasa. Namun, bagaimana jika berperang dengan makhluk tak berhati nurani yang kanibal? Peperangan itu tentu akan mengorbankan banyak tenaga dan akal untuk bisa mengalahkan mereka.

Jika berkata lelah, mereka sangat lelah dan ingin sekali beristirahat. Lalu kembali belajar seperti yang lainnya. Peperangan ini juga mengakibatkan para anak dan orang tua kehilangan keluarga. Dasar wabah konyol, pikir Ghez.

Melempar pandangan ke samping, dapat Ghez temukan sebuah gitar terpampang di sana seolah menggoda Ghez untuk segera memainkannya. Tanpa rasa ragu Ghez mengambil gitar itu dan mencoba untuk memetik senarnya hingga menghasilkan nada-nada yang indah.

Ghez mencoba untuk menyanyikan sebuah lirik lagu dengan iringan gitar hingga membuat atensi mereka tertuju padanya.

"Kau bisa patahkan kakiku

Tapi tidak mimpi-mimpiku

Kau bisa lumpuhkan tanganku

Tapi tidak mimpi-mimpiku

Kau bisa merebut senyumku

Tapi sungguh tak akan lama

Kau bisa merobek hatiku

Tapi aku tahu obatnya--"

Belum selesai Ghez menyanyikan lirik itu, para temannya sudah lebih dulu menyela---menyanyikan kelanjutan dari lirik itu bersama.

"Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Kau bisa hitamkan putihku

Kau takkan gelapkan apapun

Kau bisa runtuhkan jalanku

'Kan ku temukan jalan yang lain (nyanyikan teman-teman!)

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Bila bukan kehendak-Nya

Tidak satu pun culasmu akan bawa bahagia

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Manusia-manusia kuat itu kita

Jiwa-jiwa yang kuat itu kita

Kita sinergi tamu di dunia

Kita sinergi tamu di dunia

Kita sinergi tamu di dunia

Kita sinergi tamu di dunia

Kita sinergi tamu di dunia

Kau bisa patahkan kakiku

Patah tanganku rebut senyumku

Hitamkan putihnya hatiku

Tapi tidak mimpi-mimpiku!!"

Malam itu, ruang musik menjadi saksi atas kebahagiaan sepuluh orang murid yang berusaha untuk bertahan hidup demi menghentikan kekacauan agar bisa bertemu kembali dengan keluarga masing-masing. Bernyanyi bersama sambil menautkan tangan membuat beban mereka melebur ke atas berbaur dengan kebahagiaan dan kedamaian yang tercipta.

Habis sudah lagu yang dinyanyikan bersama, kini Jay, Gian, Jarden mengambil masing-masing gitar yang tersimpan di tempat penyimpanan. Setelah mengambil gitar yang diinginkan, Jay segera menarik tangan Vara untuk menyanyikan lagu berdua, Gian menarik tangan Noshi, sementara Jarden duduk bersama Lavana, Joe, dan Altezza di tengah ruangan.

Kimy yang ditarik oleh Ghez ternyata masih setia menatap Gian, sementara Noshi yang berada dekat Gian merasa tidak enak hati dengan Kimy yang menyukai laki-laki itu.

Beralih pada Ghez, kini laki-laki itu melantunkan nada-nada indah yang keluar dari bibirnya, diiringi musik yang keluar indah dari senar gitar yang ia mainkan. Kedua manik matanya yang indah tak lepas dari Kimy, ia seakan mengunci tatapan itu hingga membuat Kimy hanya bisa termangu diam di depannya sembari mendengarkan tiap lirik yang dinyanyikan. Terkadang ia pun turut bernyanyi bersama Ghez.

Selama kurang lebih satu jam mereka telah menghabiskan waktu dengan menyanyi ria untuk menghilangkan rasa khawatir dan penat yang mengintai mereka selama ini, juga makan beberapa roti yang mereka ambil dari lab komputer saat itu. Sudah tampak beberapa anak di sana tengah tertidur, mengobrol, dan bahkan masih ada yang bercanda satu sama lain seperti Jarden dan Jay sekarang.

Tanpa sadar, sudut bibir Noshi terangkat membentuk senyuman sempurna ketika melihat para temannya yang sangat kuat bertahan sampai di titik ini.

Beralih pandang, Noshi menundukkan kepala untuk menatap gelang yang setia melingkar di pergelangan tangannya. Liontin lumba-lumba itu seakan membawanya ke wisata masa lalu, di mana ia dan Lucky pernah ditolong oleh dua ekor lumba-lumba kala tubuh mereka berdua tercebur ke dalam air.

Sejak saat itu, lumba-lumba menjadi hewan favorit keduanya. Noshi tertawa hambar kala mengingat bagaimana lucunya mereka berdua ketika berusaha berenang dan melihat raut wajah ayah ibunya yang panik. Kenangan indah itu selalu saja terputar di otaknya, rasa rindu pada Lucky benar-benar sudah tak terbendung. Noshi menangis saat itu juga, dalam diam.

Melempar pandangan ke arah jendela, hatinya tertarik untuk mendekat ke sana. Dengan segera ia beranjak dari duduknya dan mengambil sebuah gitar hitam yang tergeletak begitu saja di lantai. Ia membawa gitar lalu duduk pada kusen jendela, menikmati pemandangan langit malam yang indah sembari tersenyum kala mengingat bagaimana sabarnya Lucky dalam mengajarinya bermain gitar saat mereka masih duduk di bangku SMP.

Dengan air mata yang masih mengaliri pipinya, Noshi mencoba memetik senar gitar tersebut. Lali menyanyikan sebuah lagu yang biasa ia nyanyikan bersama Lucky ketika malam hari datang.

"Hari ini

Kau berdamai dengan dirimu sendiri

Kau maafkan

Semua salahmu ampuni dirimu

Hari ini

Ajak lagi dirimu bicara mesra

Berjujurlah

Pada dirimu, kau bisa percaya

Maafkan semua yang lalu

Ampuni hati kecilmu ...."

Noshi menghentikan liriknya kala kenangan ia bersama Lucky melintas di pikirannya. Ingin sekali Noshi memutar waktu dan mengatakan ke sang kakak bahwa ia mencintainya lebih dari apapun. Namun, sayang kini semuanya sudah terlambat.

Dahulu, Noshi sering sekali menjelekkan Lucky dengan kata-kata yang pedas. Bulir-bulir air mata terus saja mengalir tanpa henti, membuat Gian dan yang lainnya menatap Noshi khawatir.

"Luka, luka, hilanglah luka

Biar tentram yang berkuasa

Kau terlalu berharga untuk luka

Katakan pada dirimu

Semua baik-baik saja ...."

Cukup. Noshi menaruh gitarnya di bawah kusen jendela dan mengelap air matanya menggunakan lengan kardigan hitam yang ia pakai. Suara Lucky terus saja terngiang menghantui, seakan Lucky pun ikut bernyanyi kala Noshi menyanyikan reff dari lagu itu.

Menghentikan tangisnya, jemari gadis itu merogoh saku celana dan mengambil sebuah buku diary yang berukuran lumayan kecil. Noshi mulai membuka lembar pertama, foto-foto kecilnya bersama Lucky langsung menyambut.

Di detik berikutnya Noshi terdiam kala tangannya berhasil membuka lembaran foto yang menggambarkan dirinya sedang berdiri di sebuah taman. Noshi ingat itu. Itu adalah taman di tepi sungai yang biasa ia datangi bersama Lucky. Bahkan, Lucky sendiri yang memotret dirinya. Tangisnya semakin kuat kala ia mengingat momen di mana Lucky mengambil foto itu.

"Dek, gaya dong!"

"Ah, ribet lo! Udah gini aja!"

"Mana ada cantik-cantiknya kalau lo diem gitu."

"BISA GA SIH, LANGSUNG FOTO AJA?! Komentar mulu lo, heran gue!"

"Nanti lo juga kangen ocehan gue."

"Nggak akan."

"Btw, nanti kalau lo ulang tahun kita ke sini lagi, ya?"

"Iya iya, udah ini jadi ngga sih, fotonya?"

Beralih pada Jarden, kini anak itu beranjak dari duduknya, lalu berjalan pelan ke jendela kelas. Dibukanya sedikit tirai jendela lalu mengintip keluar melalui kaca yang dipenuhi bercak darah. Namun, baru beberapa saat Jarden mengintip, sesosok zombie muncul tiba-tiba, membuat Jarden sontak terkejut dan memukul kaca itu menggunakan telapak tangannya hingga membuat atensi teman-temannya beralih menatapnya.

"SIALAN! KAGET GUE!" hardik Jarden kesal.

Sedetik kemudian Jarden terdiam, mengamati wajah zombie tersebut. Ditatapnya lamat-lamat wajah rusak itu lalu memindahkan arah bola matanya hingga menabrak tanda nama pada seragam zombie tersebut.

"Ricky ... LAH, RICKY?! AHAHAHHA! MAMPUS LO SIAPA SURUH NGGAK DENGERIN OMONGAN KITA-KITA!" ejek Jarden sambil memasang muka meledek pada zombie yang ternyata adalah Ricky.

Sementara zombie tersebut masih terus mencakar-cakar kaca jendela agar bisa masuk ke dalam untuk memangsa Jarden.

Mendengar Jarden menyebutkan nama 'Ricky' mereka semua tertarik untuk mendekati Jarden dan melihat apa yang terjadi. Beberapa detik dari itu Jarden merasakan tubuhnya dikerubungi banyak orang, melihat ke belakang ia mendapati semua temannya kini tengah mengerubunginya untuk melihat siapa zombie yang tengah diajak bicara olehnya.

"Contoh manusia sok berani yang ngambil langkah nggak pakai pikir panjang," ejek Noshi.

"Siapa suruh keras kepala! Tau sendiri, kan, akibatnya!" sosor Joe yang memang sedari awal sudah memperingatkan Ricky untuk berdiam diri sementara di kelas.

"Mukanya lawak sekali makhluk ini!" hina Jay sambil meloloskan tawa dari bibirnya.

"Kayak bocah nggak makan setahun, rakus banget!" imbuh Gian.

"Bang, udah makan, Bang?" tanya Jarden yang mencoba berbicara dengan Ricky---bermaksud meledek.

"Ada yang punya kamera? Mau gue foto," sambung Jarden, lalu mengambil kamera di tangan Kimy setelah gadis itu memberinya.

Dalam hitungan detik Jarden mengambil beberapa foto Ricky sebagai kenang-kenangan. Mereka tertawa terbahak menatapi foto yang menurut mereka sebagai komuk itu.

Kembali menatap Ricky yang masih setia mengetuk-ngetuk kaca jendela, Jarden mendekatkan wajahnya pada kaca jendela itu.

"Gue kasihan sama Ricky. Mau bagaimanapun, Ricky juga teman kita," ucap Jarden setelahnya.

"Eh, foto yuk!" ajak Kimy untuk membuyarkan suasana sendu di antara mereka.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Langkah kaki terseret milik si jubah hitam terdengar memilukan bagi siapapun yang mendengar. Orang itu nampak sudah tua jika dilihat dari cara berdirinya yang bungkuk juga cara berjalannya yang menyeret. Si Tua itu berjalan hingga sampai ke hadapan rak buku, diraihnya sebuah buku yang terletak di paling ujung atas lalu meniup dan mengusap permukaan buku itu untuk menghilangkan debu yang menempel. Siapapun yang melihat buku itu pasti akan langsung beranggapan bahwa itu adalah buku tua yang sudah usang.

Dibukanya lembar per lembar kertas usang itu hingga pergerakannya berhenti pada halaman tengah buku tersebut. Diraihnya segelas air di meja yang terletak di atas nakas, lalu ditumpahkan seluruh air itu pada permukaan kertas tadi hingga perlahan muncul tulisan dengan aksara yang sangat sulit untuk dimengerti manusia biasa.

"Apakah ramalan ini benar adanya?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!