08

Saat sedang bercengkrama hangat sehabis menjahili Vara hingga bocah itu kini tertidur, Gian yang berada di samping Ghez merasa aneh kala pemuda itu mendadak diam dan menundukkan kepala sembari memainkan jemarinya gelisah.

Melihat hal itu tentu Gian sudah amat paham akan situasi yang tengah Ghez alami sekarang. Karena tidak mau para temannya mengetahui bahwa Ghez kini adalah bagian dari makhluk konyol itu walaupun tidak sepenuhnya, Gian langsung meraih kepala Ghez dan ia bekap di balik pinggangnya hingga wajah Ghez benar-benar dibungkam oleh perut Gian.

Bukannya terdiam, Ghez justru semakin menggeram. Tangannya pun kini turut mencengkeram kuat sisi pinggang Gian hingga membuat Gian harus menahan ngilu di sisi kanan pinggangnya. Tak ingin para temannya mendengar geraman Ghez, Gian semakin menekan belakang kepala Ghez untuk meredam suaranya.

"Ghez sadar ...." bisik Gian tepat di telinga Ghez.

"Rrgghhh..."

Gian semakin panik kala Ghez justru menggeram dari pada membalas ucapannya.

Kimy yang tengah mengobrol santai bersama Noshi dan Lavana langsung mengalihkan atensinya kala suara tawa Ghez menghilang dari pendengaran. Melihat Ghez yang tengah dibekap oleh Gian dengan erat, Kimy menaikkan sebelah alisnya pertanda tak mengerti dengan apa yang dilakukan dua pria di dekat jendela sana.

"Ghez kenapa, Gian?" tanya Kimy bingung.

Gian yang mendengar celetukkan Kimy sontak terkejut lalu berusaha untuk mengeluarkan ekspresi wajah seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ah, ini kita lagi mainan! Ghez, lo kalah, haha!" Gian berusaha mencairkan suasana agar tidak ada yang curiga padanya.

"Oh. Eh, tapi--,-"

"Eh, gue sama Ghez ke ruang buku sebelah dulu, mau ambil sesuatu!" pamit Gian kepada temannya kemudian beranjak dari duduknya sembari menuntun Ghez masuk ke dalam ruangan buku yang berada di sebelah kelas mereka. Setiap kelas memang difasilitasi ruangan yang lebarnya hanya setengah kelas untuk menyimpan dokumen kelas dan buku-buku serta yang lainnya.

Gian segera membuka pintu ruangan itu kemudian masuk ke dalam dengan cepat. Delapan siswa yang masih ada di sana hanya saling pandang satu sama lain kemudian melanjutkan obrolan layaknya tak ada hal janggal yang terjadi.

Di dalam ruangan, Gian segera mendudukkan Ghez pada sebuah kursi yang berada di sana. Namun, Ghez tetap tidak ingin melepaskan cengkraman tangannya dari pinggang Gian sehingga membuat Gian sedikit terpojok kala Ghez mulai bangkit kembali dan menyudutkannya ke dinding.

Setelah berhasil membuat Gian bersandar seutuhnya pada dinding, tangannya beralih mencengkram erat leher Gian dan mencekiknya seolah Gian adalah mangsa terbaiknya.

"Ghez sadar! Ayo, lo pasti bisa kalahkan sosok lain dari tubuh lo! Ayo Ghez! Arghh-shit!"

Beberapa kali Gian berusaha menyadarkan Ghez yang sudah berada di bawah kuasa makhluk konyol itu. Kini, Gian bisa melihat retakkan pada leher Ghez yang semakin meluas hingga ke wajah. Detik setelahnya Ghez memindahkan tangan kirinya untuk memegang sisi kanan kepala Gian agar ia bisa lebih mudah untuk menggigit lehernya.

Tak ingin mati sia-sia, Gian berusaha sekuat tenaga untuk bisa menghentikan pergerakan Ghez walaupun sulit. Entah mengapa kekuatan Ghez bisa menjadi beberapa kali lipat lebih kuat dibanding Ghez yang sebelumnya. Ditatapnya manik mata milik Ghez lalu ia tatap tajam dan dalam agar bisa membangunkanya.

"Ghez, kalau lo mau gigit gue nggak apa-apa. Tapi, gue minta setelah lo gigit gue, lo harus bayar semua hutang jajanan gue sama Ibu kantin!!"

Tak ada balasan, justru Ghez semakin bersemangat untuk bisa menggigit leher Gian bagaimana pun caranya.

"Ghez please, gue nggak bercanda ya!" umpat Gian kemudian mengambil alih tubuh Ghez hingga Ghez bisa berada di bawah kukunganya.

Segera ia tutup kedua mata Ghez dengan selembar kain yang tergeletak begitu saja di lantai, lalu mengikatnya dengan kencang. Setelah itu, Gian mencoba duduk di kursi sembari mengamati Ghez yang perlahan mulai diam tergeletak di lantai.

"Ghez, gue nggak mau buang lo ke kawanan zombie. Apa pun alasannya lo adalah teman gue. Lo adalah Ghez dan lo bukan zombie!" lirih Gian pelan sembari mengingat bagaimana serunya pertemanan mereka berdua sedari keduanya masih duduk di bangku taman kanak-kanak hingga SMA.

"Lagi pula kalau lo berubah jadi zombie, dunia nggak asik lagi, Cok! Nggak ada lagi yang bisa gue tonjokin tiap waktu kalau gue lagi gabut, haha. Lagian lo ceroboh banget sih, bisa sampai digigit gitu." Gian masih terus bergumam sambil duduk dan menyandarkan punggungnya di dinding.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Ayo kita mulai perjalanan ke ruang lab komputer! Ingat, jangan sampai ada yang terpisah satu sama lain!" tegas Gian. Ia memimpin jalan para temannya melalui seutas tali yang kemarin sempat diberitahukan oleh Noshi.

Perlahan tapi pasti mereka bergerak dan berjalan di dinding gedung dengan hanya menggenggam erat seutas tali putih yang terhubung antara pipa yang satu dengan yang lainnya. Tak jarang dari mereka ada yang menjerit karena memiliki ketakutan akan ketinggian. Namun, semua itu tak berhasil menghalangi semangat mereka untuk bisa pergi ke lab komputer.

Setelah melalui perjalanan yang cukup menakutkan, akhirnya mereka semua berhasil mendarat di perbatasan lorong. Semua tangan yang berada di sana mencengkram senjata mereka dengan erat dan bersikap siaga, takut-takut jika ada zombie yang langsung menyerang mereka tanpa aba-aba.

"Lorong ini bisa menembus ke tiga tempat. Kalau lurus ke sana kita bisa ke kantin, kalau ke kiri bisa ke gerbang belakang sekolah, dan kalau ke kanan nantinya bisa langsung tembus ke tangga yang menuju ke lantai dua atau tempat di mana lab komputer ada."

Noshi kembali menjelaskan karena beberapa dari mereka ada yang belum mengetahui pasal lorong-lorong sekolah itu. Memang, lorong tersebut sangat tersembunyi karena terletak di bawah pipa yang berpenampilan seperti gudang. Jadi, tidak jarang banyak mitos berkeliaran tentang ruangan tersebut yang ternyata adalah lorong.

"Lah, gue kira ini tempat angker!" celetuk Vara yang tengah mengamati seluruh penjuru lorong.

"Iya, katanya di sini banyak siswa yang bunuh diri. Tapi, nggak tahu bener atau nggak," sambung Kimy.

"Jay, di belakang lo!!" teriak Gian tiba-tiba, membuat mereka semua menoleh ke arah Jay.

Jay yang dituju sontak menoleh ke belakang. Ia erjengkit kaget kala mendapati dua zombie yang akan menyerangnya. Dengan sigap Jay memukul salah satu zombie menggunakan tongkat baseball, dan juga menyerang menggunakan kaki. Sementara yang satunya lagi diambil alih oleh Ghez dengan hanya meninju wajah zombie itu kemudian mencekiknya hingga tubuh zombie itu terangkat ke atas.

Tidak ingin berlama-lama, Ghez meraih pisau yang berada di genggaman tangan Jarden lalu ia tusukkan pada kepala zombie tersebut hingga mati.

"Ya Tuhan, hampir aja gue mati," ringis Jay sembari mengatur napasnya.

"Ya sudah, ayo cepat jalan!" pungkas Ghez mengakhiri lalu mengambil alih pimpinan para temannya.

Sepuluh orang siswa itu kini kembali melanjutkan perjalanan mereka semua sampai ke lab komputer. Jemari tangan saling bertautan satu sama lain dengan memegang teguh prinsip 'bersatu atau mati'. Di sini dan saat ini, mereka menjadi saksi bahwa ada sepuluh raga yang disatukan menjadi satu jiwa.

Melindungi dan saling melawan jika salah satu dari sepuluh raga itu dalam bahaya, dan bahkan saat ini mereka semua telah memasrahkan nyawa mereka pada Tuhan. Entah bagaimana kedepannya yang pasti selalu menjaga persatuan agar tidak ada yang kalah dalam permainan ini.

Sepuluh pasang kaki itu tampak tegap meniti anak tangga dengan perlahan agar suara langkah kakinya tak mengundang para zombie untuk datang dan menyerang. Namun, baru berapa detik mereka menaiki satu per satu anak tangga, Ghez yang berada di depan sudah lebih dulu menghentikan langkahnya dan memberikan isyarat kepada para temannya untuk diam sesaat.

"Diam, kalian dengar itu?" bisik Ghez sambil mengeratkan genggamannya pada tongkat baseball di tangannya.

"Gue dengar, suara mereka berasal dari arah kiri yang kemungkinan para makhluk konyol itu ada banyak di koridor kiri tepat di mana lab komputer berada," tunjuk Kimy dengan tangan yang mengarah pada arah kiri.

"Kalian siap untuk melawan mereka?" Ghez memastikan para temannya bersiap untuk melawan.

"Jangan gegabah. Kita harus menggunakan otak untuk melawan mereka," saran bijak Lavana.

"Intinya, serang mereka dengan lihat kelemahan yang ada pada mereka agar memudahkan kita nantinya," sambung Gian menengahi.

Semuanya terdiam sesaat sampai Gian menoleh ke arah Vara yang sejak tadi begitu tegang dalam perjalanan ke sini.

"Cil, lo yakin nggak bisa lawan mereka?" tanya Gian yang membuat para temannya turut mengalihkan atensi mereka pada Vara, terutama Jay.

"Yakin, lah! Gue udah nggak takut lagi demi ketemu sama Mama Papa. Gue mau keluar dari sini untuk nyusul Mama Papa di rumah," tekad Vara yakin bahwa ia akan melawan para mahluk bodoh di luar sana.

Jay yang melihatnya pun merasa gemas lalu tanpa sadar ia mengacak rambut milik Vara hingga gadis itu merengutkan bibir dibuatnya.

"Berani banget sekarang Bocil gue!" puji Jay gemas.

"Ih, jangan mainin kepala gue!" dengus Vara tak terima.

Mendengar Vara yang kesal dengan perbuatannya, Jay justru semakin mempercepat tempo gerakan tangannya dalam mengacak rambut Vara.

"Heh, sudah ayo!" sela Ghez pada akhirnya lalu kembali berjalan ke atas untuk sampai ke lab komputer.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!