02

"Silahkan berjalan sesuai dengan kelompoknya! Dan pastikan, tidak ada yang tersesat ataupun tertinggal kelompok!! Pergi ber-sepuluh, kembali juga ber-sepuluh! Kalian paham?" Suara Pak Larry menggelegar karena dengan pengeras suara, memberitahukan peringatan kepada seluruh muridnya yang akan melaksanakan kegiatan berjalan menyusuri hutan di malam hari.

"Paham, Pak!" seru para siswa menyahuti suara Pak Larry.

Sementara itu, tampak salah satu kelompok yang berada paling ujung saling mengobrol dan tak terlalu mendengarkan pengumuman dari Pak Larry. Mereka masih asik bercanda gurau, hanya Lavana dan Altezza yang mendengarkan seluruh pengumuman dari guru.

"Heh, diam kek, lo pada manusia!" gertak Lavana kesal karena mereka benar-benar mengacuhkan segala pengumuman yang diberi.

"Lo dengerin pengumuman, nggak?" Bukannya meminta maaf, Jarden justru bertanya kembali yang membuat Lavana naik pitam. Lavana menarik napas panjang lalu menghembuskan kembali. Sementara itu, Jarden hanya menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal sambil memasang senyum kikuk.

"Ya, gue dengerin, lah!" sungut Lavana diiringi dengan kaki yang ia hentakkan ke tanah kesal.

"Oh, bagus, deh. Jadi gue nggak perlu amat dengerin pengumuman," celetuk Jarden. Lavana yang mendengar celetukan itu lantas menjitak kening laki-laki itu hingga korbannya hanya mengaduh kesakitan dibuatnya.

"Bego, bego," cibir Noshi dengan pandangan mata yang memicing ke arah Jarden.

"Ayo, cepat jalan! Kita mulai penyusuran hutan malam ini!" perintah Joe sebagai ketua kelompok mereka.

Beberapa dari mereka ada yang mengeluh malas untuk berjalan, takut dengan situasi hutan saat malam hari seperti ini, juga ada yang meracau tak jelas. Noshi yang berada di samping Ghez lantas berniat untuk menarik tangan laki-laki itu yang hampir terpeleset di lumpur. Namun, baru saja jemarinya akan meraih tangan Ghez, Ghez sudah lebih dulu menggandeng pergelangan tangan Kimy agar ia tak jatuh terpeleset. Melihat itu, Noshi hanya menggedikan bahunya tak peduli lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Suasana mencekam mulai menyerang mereka, dengan angin malam yang dingin menabrak dengan sengaja ke permukaan kulit hingga masuk menusuk hingga ke tulang. Suara-suara binatang seperti jangkrik dan belalang menambah kesan menakutkan yang semakin menghantui pikiran mereka selama perjalanan menyusuri hutan malam ini. Tak hanya itu, suara ranting dan dedaunan kering yang terinjak pun melengkapi suasana mencekam kali ini.

"Dingin banget," keluh Vara perlahan. Detik setelahnya ia memicingkan matanya ke arah hutan lepas dan bergidik ngeri kala melihat sosok hitam di balik pohon.

Melihat hal menyeramkan itu, lantas Vara memeluk lengan Jay yang berada tak jauh darinya. Merasa aneh dengan Vara yang tiba-tiba memeluknya, Jay segera melirik ke sana kemari untuk melihat sosok apa yang membuat jiwa penakut Vara timbul. Maniknya terus bermain-main hingga ia melihat sesosok hitam di balik pohon. Menepis semua pikiran tentang hantu, Jay semakin memicingkan matanya menatap sosok itu sambil terus berjalan. Perasaannya lega kala ia mengetahui bahwa sosok itu bukanlah hantu, melainkan karung hitam besar yang entah siapa yang menaruh di sana.

"Bukan hantu, itu cuma karung," bisik Jay tepat di telinga Vara.

Vara yang mendengar bisikkan Jay perlahan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap manik Jay yang menampakkan sorot kejujuran.

"Oh, ya udah," ucap Vara singkat lalu melepaskan tautan tangan antara ia dengan Jay.

"Tunggu!" Suara lantang Joe sontak menghentikan langkah para temannya. Mereka saling pandang satu sama lain sebelum akhirnya menghampiri Joe untuk menanyakan apa yang terjadi.

"Ada apa?" tanya Lavana yang mengikuti arah pandang Joe.

"Kita kehilangan tanda!" seru Joe, membuat mereka membelalakkan mata kaget mendengarnya.

"Maksud lo, kita tersesat?" Altezza memperjelas.

"Iya, gue juga nggak tahu kenapa kita bisa kehilangan tanda. Terakhir kali gue lihat tandanya ke arah sini. Nggak mungkin kalau ada yang curangi kita, soalnya kita kelompok pertama yang jalan masuk ke hutan," beber Joe, membuat kepanikan menguasai jiwa dan pikiran mereka.

"Terus gimana?" tanya Kimy panik.

"Kita kembali ke arah sebelumnya." Setelah mengatakan itu, Joe mengambil langkah mendahului para temannya berjalan ke arah mereka datang sebelumnya. Disusul oleh para anggota kelompoknya dari belakang.

"Jangan-jangan hantu yang ngubah--"

"Sst! Lo, mah, hantu mulu pikirannya!" potong Jay di sela kepanikan Vara.

Kimy yang berada di samping Ghez segera menarik-narik ujung baju laki-laki itu kala Ghez tiba-tiba termenung dengan pandangan kosong ke depan. Ghez yang merasakan sesuatu menarik bajunya lantas mengerjap beberapa kali dan melihat Kimy yang dengan sengaja mengganggunya.

"Kenapa?" bisik Ghez segera.

"Jangan ngelamun kalau lagi di tempat kayak gini," peringat Kimy pada Ghez, lalu segera mengindahkan jemarinya dari ujung baju laki-laki itu.

Di samping itu, terdapat Gian yang masih asik memainkan dedaunan yang ia petik beberapa menit lalu. Noshi yang melihat itu lantas menyenggol bahu Gian--

"Apaan?"

"Jangan ambil daun sembarangan! Lo, kan, nggak tahu kalau daun itu bahaya atau nggak," ucap Noshi memperingati.

"Iya, buang Gian daunnya. Banyak tumbuhan di hutan yang berbahaya kalau dipegang!" sahut Jarden dari belakang--membuat Noshi dan Gian menolehkan kepalanya ke belakang sebentar.

"Ya udah." Gian segera membuang daun yang ia mainkan itu setelah mendengar peringatan dari para temannya. Karena ia juga tak mau sesuatu hal yang buruk menimpanya.

Sudah beberapa jam mereka berjalan, tapi rasanya mereka justru semakin menjauh dan tersesat ke dalam hutan. Sedari tadi mereka belum melihat adanya tanda dari para panitia yang sengaja dipasang agar mereka tak tersesat.

Entah sudah berapa lama mereka menyusuri hutan, bersamaan dengan itu Vara mendelik kaget ketika ia melihat ke arah jam tangan yang dikenakannya.

"Eh, udah jam dua malam!" pekik Vara panik yang membuat atensi para temannya beralih padanya.

"Serius?" tanya Noshi yang penasaran dan akhirnya turut melihat jam tangan milik Vara.

"Di depan sana bukit, kita bisa istirahat sebentar," tunjuk Altezza yang langsung disetujui oleh mereka.

Sepuluh pasang kaki itu segera melesat dari sana dan menaiki bukit untuk sampai di puncak bukit. Di sana, mereka bisa sekedar beristirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan esok hari. Perjalanan yang panjang akan menyulitkan mereka, terlebih tak ada yang membawa handphone ataupun kompas sebagai media penunjuk arah.

###

"Kelompok satu ke mana?!"

Suara Pak Carlos menggelegar pagi ini. Sejak semalam hingga kini, kelompok satu atau lebih tepatnya kelompok yang di ketuai oleh Joevian belum kunjung kembali dari kegiatan jurit malam atau penjelajahan hutan semalam. Satu per satu siswa hanya saling berbisik menanyakan di mana keberadaan kelompok satu yang mereka pun tak mengetahuinya. Para orang tua siswa dari kelompok satu belum ada yang dihubungi karena kemungkinan mereka belum tersesat jauh dari hutan.

Tak ingin hal buruk terjadi pada anak muridnya, Pak Larry selaku kepala sekolah lantas menghubungi anggota penyelamat untuk menemukan keberadaan kelompok satu. Karena kejadian ini, acara kemah akhirnya dihentikan sementara dan membuat para siswa hanya diperbolehkan berkeliaran di sekitaran area tenda.

"Kata gue sih, mereka dibawa sama hantu!"

"Gila kali lo, mana ada sih, gituan!"

"Ada woi, ih lo nggak pernah nonton film hantu?"

"Diam, kenapa, sih! Berpikir yang positif!"

Para murid hanya saling mengobrol dan mempertanyakan di mana keberadaan kelompok satu yang hilang. Beberapa dari mereka ada yang sengaja menggunakan drone untuk bisa menemukan keberadaan kelompok satu.

Di sisi lain, sepuluh orang yang tersesat itu kini sudah kembali berjalan untuk keluar dari hutan setelah semalaman mengumpulkan energi dan berisitirahat untuk melepas penat tubuhnya. Sepuluh pasang kaki itu berjalan dengan lunglai bak zombie yang kelaparan. Mereka benar-benar lelah setelah beberapa jam berjalan dan tidak kunjung menemukan jalan keluar.

"Lihat itu, woi ada air!!" pekik Ghez riang dan segera melesat, disusul oleh para temannya mendekati genangan air tersebut yang berada di bawah pohon.

"Jangan diminum. Sumber airnya bukan dari gunung. Tapi dari pohon," tunjuk Altezza dengan jemari yang mengarah pada batang pohon itu.

Bersamaan dengan itu alis Kimy maupun Vara bertaut bingung. Kedua gadis itu bertatapan mata beberapa saat lalu mendekati pohon itu dengan hati-hati. Begitupun yang lainnya, mereka mengecek apa yang terjadi pada pohon tersebut sehingga bisa mengeluarkan air dari batangnya.

"Aneh nggak, sih? Kok air jernih keluar dari pohon?" selidik Jarden dengan mengetuk-ngetuk dagunya.

"Biasanya kan, dari gunung atau bukit kalau di hutan gini," sambung Lavana yang juga heran dengan peristiwa tak biasa ini.

"Tapi gue haus banget! Minum aja, lah, bodo amat!" putus Ghez pada akhirnya. Lalu ia mengambil daun mangkuk yang berada tak jauh dari pohon itu dan mengambil sedikit air untuk ia minum.

Baru saja Ghez ingin meminumnya, Noshi sudah lebih dulu menepis tangan Ghez hingga air yang berada di daun mangkuk itu berjatuhan ke bawah. Ghez mendelik kala Noshi justru menepis tangannya, matanya menatap sayang ke arah air yang sudah terbuang sia-sia.

"Kok lo bu--"

"Lo ngeyel banget, sih! Kalau ada apa-apa sama lo siapa yang mau tanggung jawab?" geram Noshi khawatir akan tindakan berbahaya yang dilakukan oleh Ghez.

"Benar kata Noshi, kita nggak tahu air ini dari apa, kan? Kalau ini getah gimana?" ujar Gian memperingatkan.

"Ghez, kalau mau mati nanti aja. Di sini repot nguburinnya soalnya nggak ada kain kafan," ledek Jay yang membuat semua mata terarah padanya.

Vara yang jengkel lantas menutup mulut laki-laki itu hingga tubuh Jay tertarik ke belakang. "Kalau ngomong yang bener-bener aja!" hardik Vara jengkel.

"Memang airnya jernih kalau dilihat pakai mata telanjang. Tapi, kita nggak tahu, kan, kalau dilihat pakai mikroskop?"

Mendengar ucapan Joe, Jarden menjentikkan jarinya kala menemukan sebuah ide bagus. Ia merogoh tasnya dan mengambil sebuah botol kaca kecil yang biasa ia gunakan untuk menyimpan sempel saat kelas club biologi berlangsung. Dengan hati-hati Jarden memasukkan sedikit air itu ke dalam botol, lalu ia tutup kembali dan simpan di dalam tasnya.

"Buat apa?" tanya Ghez yang melihat tingkah lakunya.

"Buat gue cek di mikroskop kalau kita sampai sekolah," balas Jarden.

Tak ingin membuang banyak waktu di sini, mereka kembali melanjutkan perjalanannya demi bisa keluar dari hutan belantara ini. Namun, baru saja Ghez hendak melangkah, kakinya tersangkut akar pohon yang besar sehingga membuatnya terpeleset dan terjatuh ke belakang, membuat kepalanya masuk ke dalam genangan air itu.

"Ghez!"

"Duh, eh, tapi rasa airnya kayak yang biasa kita minum! Cuma ada sedikit pahit, sih," ucap Ghez santai.

"Lo minum?!" pekik Altezza yang mulai naik pitam.

"Nggak sengaja. Udahlah, nggak bakal mati juga gue," balas Ghez santai lalu melangkah maju mendahului para temannya.

Malas untuk berdebat, akhirnya mereka kembali melangkah menjauhi area pohon tadi. Namun, tak dipungkiri Ghez merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya setelah beberapa detik ia menelan air itu. Rasa pusing mulai menyerang kepala, sehingga membuatnya hampir terjatuh jika Joe atau Kimy tak langsung menahannya kembali.

Bak ikatan batin, Noshi mulai merasakan ada hal aneh terjadi pada salah satu temannya. Lantas ia menoleh ke belakang, betapa terkejutnya kala ia mendapati Ghez yang tengah menyadarkan tubuh pada pohon sembari meremat kepalanya sendiri.

Mereka yang berjalan di belakang Noshi pun tanpa sadar mengikuti arah pandangnya yang mengarah ke belakang.

"Ghez!" Khawatir, lantas ia berlari menghampiri Ghez tanpa menghiraukan Gian yang masih setia menggenggamnya.

Para siswa yang lain pun turut berlari menghampiri Ghez. Mereka takut jika ada hal buruk menimpa Ghez.

"Lo kenapa?" Tanpa menunggu lama Kimy segera meletakkan punggung tangannya di kening Ghez untuk merasakan suhu badannya.

"Nggak panas, normal kok," jawab Kimy setelah mendapatkan pertanyaan dari para pasang mata yang menatapnya.

Vara mengernyit kala bau amin mulai merasuki indera penciuman. Tanpa sadar, Vara mendekati wajahnya pada Ghez untuk mengendus lelaki itu.

Jay menautkan kedua alisnya bingung, lantas menarik tubuh Vara untuk menjauh dari Ghez.

"Lo ngapain?!"

"Mulut Ghez bau amis, bau itu sama persis kayak bau air yang ada di pohon tadi. Tapi, bukan amis darah atau ikan. Lebih tepatnya bau jamur. Amis tapi kayak ada bau tanahnya," beber Vara yang membuat mereka berpikir sejenak.

"Jamur? Iya, gue pernah nggak sengaja nyium jamur di halaman rumah. Baunya emang sedikit amis tapi didominasi sama bau tanah," ucap Joe mengingat-ingat peristiwa beberapa hari lalu di halaman rumahnya.

"Mungkin itu bau amis dari air pohon yang Ghez minum tadi," celetuk Gian.

"Tapi, tadi mukanya Ghez udah dilap pakai tisu basah, kan? Harusnya nggak bau lagi," sambung Lavana.

"Nggak woy, bukan masalah bau amis jamur yang ada di mulut Ghez. Tapi, coba lo pada mikir. Emang ada air yang keluar dari pohon apalagi baunya kayak jamur gitu? Padahal, di sekitaran pohon tadi nggak ada jamur sama sekali, loh! Tempatnya juga panas untuk habitat jamur yang lembab," tambah Jarden, membuat mereka diam, dan saling menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam otak masing-masing.

Keheningan itu tak bertahan lama sampai Noshi kembali menjerit---

"Ghez pingsan!"

Terpopuler

Comments

Fairytopiaa_

Fairytopiaa_

kok aku cemas bgt yaaaaa. takut bgt kalo tu air sumber masalah. mana ghez pingsan lg

2024-02-01

0

Fairytopiaa_

Fairytopiaa_

Mampuuusss kehilangan tandaa. alamat nyasar niii

2024-02-01

0

Fairytopiaa_

Fairytopiaa_

plis gemes bgt sama Ghezz Kimy🥺🥺🥺

2024-02-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!