LUKA YANG SANGAT DALAM

...***...

Arya Susena hendak menuju perbatasan Kota Raja, akan tetapi saat itu matanya menangkap sosok seorang laki-laki yang tampak terluka.

"Sampurasun."

"Rampes." Balasnya dengan kesakitan yang luar biasa.

"Apa yang terjadi pada tuan?." Arya Susena membantu lelaki itu untuk berdiri, dan bersandar di sebuah pohon yang cukup besar.

"Oh?." Lelaki itu sedikit terkejut, ketika memperhatikan wajah Arya Susena. "Gusti Patih arya saka."

Deg!.

Arya Susena sangat terkejut mendengar nama itu disebut.

"Gusti masih selamat?." Dalam keadaan sakit, ia memastikan jika orang yang ia lihat adalah Patih Arya Saka. "Syukurlah Gusti selamat." Ia menangis sesegukan, hatinya sangat sakit sekali. "Hamba kira, Gusti telah dibunuh oleh rajendra." Tangisnya pecah, menggema di malam yang sunyi.

"Maaf tuan, saya bukan patih arya saka." Arya Susena berusaha menekan semua rasa sakit di hatinya.

"Apa?!." Ia tampak terkejut. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!." Namun saat itu juga ia terbatuk, karena dadanya terasa sakit.

"Saya bukan patih arya saka." Jawabnya. "Saya adalah putra, dari ayahanda Patih arya saka."

"Oh?." Hatinya terasa sesak. "Tidak mungkin." Ucapnya dengan perasaan pahit. "Putra Gusti Patih arya saka masih kecil." Lanjutnya. "Tidak mungkin sudah tumbuh dewasa seperti ini."

"Maaf paman." Arya Susena mencoba untuk bersikap tenang. "Memangnya, apa hubungan paman? Dengan ayahanda saya?."

Belum ada jawaban darinya, matanya yang putih itu seakan-akan menerawang kembali ke masa lalu.

"Saya adalah abdi setia Gusti Patih." Jawabnya dengan perasaan perih. "Beliau, junjungan saya yang sangat baik." Ungkapnya. "Sayang sekali." Air matanya mengalir begitu saja, pandanganya begitu kosong. "Gusti Patih arya saka diserang oleh rajendra si keparat busuk itu." Hatinya dipenuhi oleh perasaan dendam yang sangat membara.

"Lantas? Apa yang terjadi pada tuan?." Arya Susena sangat penasaran. "Kenapa tuan dalam keadaan seperti ini?."

"Saya disuruh pergi oleh Gusti Patih." Lanjutnya. "Namun saat itu saya dikejar oleh prajurit istana." Kembali ia merasakan sakit yang tidak biasa. "Mereka mencercah tubuh saya." Sesekali suara tangis juga terdengar saat itu. "Mereka sangat kejam, membunuh saya seperti hewan buruan."

Arya Susena menarik nafas dalam-dalam, hatinya sangat sesak mendengarnya.

"Paman." Arya Susena menepuk pelan pundak lelaki itu. "Siapa nama paman?."

"Namaku, aji santa." Jawabnya dengan senyuman kaku. "Kau? Benaran anak dari Gusti Patih arya saka?."

"Benar sekali paman."

"Apakah beliau selamat?."

"Paman warsa jadi berkata." Jawabnya dengan berat hati. "Ayahanda saya tidak bisa diselamatkan lagi."

"Gusti Patih tewas?."

Arya Susena menganggukkan kepalanya.

"Oh? Gusti." Tangisnya kembali pecah. "Kejam sekali mereka, membunuh Gusti Patuh arya saka, yang memiliki kebaikan hati lembut, pada siapapun saja." Dadanya terasa sesak.

"Terima kasih paman aji santa." Arya Susena memberi hormat. "Karena telah peduli dengan ayahanda saya."

"Saya ingin bertemu dengan beliau." Suaranya semakin lirih. "Saya untuk kembali mengabdi pada beliau."

"Kalau begitu, hilangkan semua rasa sakit, pedih, dan dendam." Balas Arya Susena. "Yang masih paman tanam di sini." Tunjuknya. "Paman harus rela, dengan kematian yang sangat mengenaskan itu." Arya Susena seakan-akan melihat sosok Aji Santa meninggal dalam keadaan yang seperti apa.

...***...

Di perbatasan Kota Raja.

"Sepertinya malam ini kita tidur di sini." Darsana terus melihat ke arah orang yang hendak memasuki perbatasan kota Raja.

"Sepertinya ia memiliki kesibukan, yang hanya dia saja yang mengerti." Barja memberikan sentuhan kain pada Patari dan Nismara. "Dia itu memang aneh." Lanjutnya. "Bagaimana bisa? Ia bisa melihat hal-hal yang tidak kita ketahui sama sekali."

"Mungkin, jika dia benar-benar membuka mata batin kita." Ucap Nismara sambil merapikan kain untuk alas ia tidur. "Pasti kita bisa melihat isi suram hutan larangan, yang sangat menyeramkan."

"Aku rasa kau benar." Respon Patari. "Pasti banyak siluman, atau hantu-hantu bergentayangan di hutan larangan."

"Setidaknya kita bersyukur." Darsana mendekati mereka semua. "Kita tidak memiliki kemampuan aneh seperti itu." Ia duduk di samping Barja. "Aku tidak bisa membayangkan, ketakutan seperti apa? Ketika melihat hal-hal yang menyeramkan seperti itu."

"Tapi, sepertinya itu adalah hal yang biasa bagi arya susena." Barja melihat ke arah mereka semua. "Bahkan, ia pernah bercerita." Lanjutnya. "Mengusir siluman babi, karena hanya merusak, serta menganggu penghuni hutan larangan."

"Hi! Seram sekali." Respon Darsana, Patari dan Nismara.

...***...

Istana, ruangan pengobatan.

Ratu Arundaya Dewani masih terbangun, memastikan anaknya masih bersamanya.

"Putraku." Hatinya terasa sakit, karena kehilangan anaknya. "Ibunda mohon nak, bangunlah nak." Suaranya terdengar serak, karena sering menangis. "Jangan tinggalkan ibunda." Pikirannya terasa kacau, dan kosong. "Bangun ya nak." Ratu Arundaya Dewani membelai rambut anaknya.

"Ibunda, istirahat lah ibunda." Raden Kanigara Lakeswara sangat tidak tega melihat keadaan ibundanya. "Saya mohon, agar ibunda tidak menangis." Raden Kanigara Lakeswara mencoba berontak, akan tetapi tidak bisa. Tubuhnya sangat kaku, ia tidak bisa berbicara sama sekali, walaupun sebenarnya ia baik-baik saja.

"Kanda." Suara Ratu Arundaya Dewani terdengar semakin kecil. "Kenapa putra kita?."

Perlahan-lahan kesadarannya telah menghilang, dan kembali tersadar ketika ada tepukan kecil di pundaknya.

Deg!.

Ratu Arundaya Dewani terkejut, dan melihat keadaan sekitarnya.

"Dinda dewi."

Deg!.

Ratu Arundaya Dewani sangat terkejut, mendengarkan suara yang sangat tidak asing baginya.

"Ada apa dinda? Kenapa dinda seperti itu?."

Matanya menatap lekat ke arah sosok yang sangat dirindukan.

"Kanda Prabu." Tatapan matanya berkaca-kaca, menahan segala rasa sakit yang telah dirasakan. "Kanda Prabu." Ratu Arundaya Dewani melompat cepat ke pelukan Prabu Maharaja Kanigara Maheswara. "Kanda!." Terdengar suara tangisan dari Ratu Arundaya Dewani.

"Tenanglah dinda." Prabu Maharaja Kanigara Maheswara tampak bingung. "Apa yang terjadi padamu dinda?." Sang Prabu berusaha untuk menenangkan istrinya. "Kenapa dinda menangis?."

Ratu Arundaya Dewani perlahan-lahan melepaskan pelukannya. Menatap suaminya, mengusap dengan pelan pipi suaminya.

"Ada apa dinda?." Prabu Maharaja Kanigara Maheswara semakin bingung. "Coba ceritakan pada kanda."

"Jangan tinggalkan saya." Ucapnya sambil menahan tangisnya. "Jangan pergi dari saya." Air matanya mengalir, membasahi pipinya yang putih itu. "Saya takut sekali kanda." Hatinya terasa sakit.

"Dinda ini bicara apa?." Prabu Maharaja Kanigara Maheswara mengusap air mata istrinya dengan lembut. "Mana mungkin, kanda pergi meninggalkan kanda."

"Tapi saat itu." Ingatannya kembali tertuju pada kejadian mengenaskan itu. "Kanda." Rasanya Ratu Arundaya Dewani tidak sanggup menjelaskannya. "Kanda."

"Tenanglah dinda." Prabu Maharaja Kanigara Maheswara memeluk istrinya, mencoba menenangkan istrinya.

"Jangan pergi kanda." Dalam hati Ratu Arundaya Dewani merasakan sesak yang sangat luar biasa, jika ingat bagaimana suami yang sangat ia cintai, dibunuh dengan sangat sadis oleh adik kandungnya sendiri.

"Apa yang membuat dinda cemas?." Prabu Maharaja Kanigara Maheswara menatap lembut istrinya. "Dinda jangan banyak pikiran." Senyuman menawan mengembang begitu saja. "Itu akan mempengaruhi jiwa anak kita nantinya." Prabu Maharaja Kanigara Maheswara mengelus pelan perut istrinya yang telah membesar.

Deg!.

Tentu saja ucapan Prabu Maharaja Kanigara Maheswara membuat Ratu Arundaya Dewani terkejut, terpaku di tempat.

"Anakku?." Hatinya bergetar sakit, kala ingatannya tertuju pada kondisi anaknya yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi?. "Anak kita kanda?." Suaranya begitu pelan, namun hatinya membuncah, diisi oleh bermacam gejolak emosi jiwa yang membara.

"Dinda dewi." Prabu Maharaja Kanigara Maheswara merasa heran dengan ucapan istrinya, namun mencoba memahami keadaan istrinya yang sedang mengandung tua.

...***...

Arya Susena menatap lekat Aji Santa.

"Ayahanda telah tewas, karena dibunuh rajendra." Ucapnya sambil menahan gemuruh di hatinya. "Paman juga pergilah."

"Balaskan dendam kematian ayahandamu." Sorot matanya telah diisi oleh perasaan benci yang sangat besar. "Bunuh dia."

"Paman tenang saja." Arya Susena tersenyum kecil. "Kami memang telah menyusun rencana, untuk membinasakan makhluk terkutuk itu."

"Jadi? Kau adalah putra kedua? Dari Gusti Patih?."

"Ya, saya memang putra kedua, dari ayahanda Patih."

"Kalau begitu, syukurlah." Ucapnya dengan senyuman kaku. "Kau lahir dengan selamat." Lanjutnya. "Sepengatahuan yang saya ingat." Lanjutnya. "Saat itu nyai dewi astagina sedang mengandung anak keduanya." Senyuman tipis sedikit terlihat darinya. "Bagaimana keadaan ibunda Raden?." Ia melihat ke arah Arya Susena. "Apakah beliau sehat?."

Tidak ada jawaban dari Arya Susena, hatinya kembali merasa sesak.

"Beliau juga ikut tewas?." Hatinya bergetar sakit.

"Tidak!." Respon Arya Susena. "Ibunda saya, sedang ditahan oleh rajendra, di sebuah tempat yang sangat kejam."

"Oh? Nyai dewi." Kembali mata kosong itu meneteskan air mata.

"Kembalilah paman." Arya Susena mengusap pelan air matanya. "Lupakan semua kejadian masa lalu." Lanjutnya. "Jangan paman siksa sukma paman, hanya karena menanam kebencian, pada orang yang salah."

"Tapi Raden-."

"Biarkan kami, yang hidup ini." Arya Susena tersenyum kecil. "Yang akan membalas semua, rasa sakit masa lalu, ya?."

Perlahan-lahan sukma itu mulai memudar, menangkan diri untuk menuju ke alam selanjutnya.

"Jaga diri Raden baik-baik." Senyumannya kali ini terlihat sangat tulus, dan sangat menyentuh hati. "Saya akan selalu, mendoakan yang terbaik untuk Raden." Aji Santa telah menghilang dari tempat.

Arya Susena bangkit dengan pelan, hatinya merasakan gejolak yang semakin kuat. "Rajendra!." Ia genggam kuat tangannya. "Kau akan mendapatkan balasannya." Perasaan dendam itu semakin kuat, membara di hatinya.

...***...

Pagi telah tiba, saat itu kakek Sembah keluar dari pondok kecilnya. Matanya telah menangkap sebuah gulungan di atas meja kayu yang berada di depan pondoknya.

"Siapa yang mengirim aku surat?." Kakek Sembah mengambilnya, setelah itu duduk di kursi sambil membuka gulungan surat itu.

"Salam sejahtera untuk kakek sembah." Kalimat pertama yang ia baca. "Jika kakek telah membaca surat ini, artinya saya arya susena, telah pergi meninggalkan desa."

"Oh?." Respon kakek Sembah sedikit terkejut. "Ternyata surat ini dari anak muda itu."

Kakek Sembah kembali melanjutkan membaca surat itu.

"Saya telah membalaskan dendam, kematian anak serta cucu kakek."

"Oh? Dewata yang agung." Air matanya mengalir begitu saja. "Apakah itu benar?." Hatinya bergetar.

"Kebetulan, saya bertemu langsung dengan orangnya." Lanjut kakek Sembah membacakan surat itu. "Awalnya saya ingin melupakan dendam itu." Hatinya kembali bergetar ketika membacakan kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. "Tapi, ketika ia yang sudah tau bangka itu, ingin kembali melakukan niat buruknya? Hati saya terasa panas, dan ingin membunuhnya."

"Sudah tua?." Kakek Sembah mengulang kembali kalimat itu.

"Saya bunuh saja dia, supaya tidak ada lagi, gadis atau pun wanita." Lanjutnya. "Yang bernasib malang seperti cucu, dan anak kakek." Kakek Sembah berusaha menahan segala gejolak emosinya. "Semoga kakek dalam keadaan sehat-sehat saja." Doa Arya Susena dalam suratnya. "Nanti, jika ada kesempatan lagi, saya akan mampir ke rumah kakek." Suasana hatinya tergambar di surat itu. "Saya akan membawakan makanan yang enak untuk kakek." Air matanya kembali jatuh begitu saja. "Namun, saat ini, saya hanya bisa memberikan seadanya saja."

Kakek Sembah melihat ke arah pintu masuk, matanya menangkap ada banyak bahan makanan di sana.

"Di dalamnya juga ada beberapa kepeng uang." Kembali kakek Sembah membacakan surat itu. "Untuk simpanan kakek."

"Hufh!." Kakek Sembah menarik nafas dengan sangat dalam.

"Jaga kesehatan kakek, nanti akan saya utus seseorang untuk menjaga kakek." Lanjutnya lagi. "Supaya ada yang bisa mengurus kakek dengan baik."

"Terima kasih arya susena." Kakek Sembah sangat terharu sekali. "Kau begitu perhatian sekali, pada orang tua seperti aku ini."

Kakek Sembah tidak menduga, ada anak muda yang sangat perhatian padanya. "Semoga kau juga, dalam keadaan baik-baik saja arya." Itulah harapan kakek Sembah. "Lindungilah negeri ini, dari kekejaman orang-orang berkuasa." Kakek Sembah dari dahulu sudah tidak tahan lagi dengan sikap wewenang para pemimpin berhati kejam.

...***...

Perlahan-lahan Darsana membuka matanya, ia merasakan dirinya telah lama tertidur. Darsana mencoba bangun, dan menyesuaikan dengan keadaan sekitarnya.

"Hua!." Darsana sangat terkejut, ketika melihat seseorang dengan raut wajahnya menyeramkan sedang duduk tak jauh darinya.

"Hm." Barja juga terbangun karena suara Darsana yang cukup keras. "Ada apa darsana?."

Deg!.

Barja sangat terkejut melihat Arya Susena yang menatap tajam ke arahnya.

"Kau? Arya susena?." Lidahnya terasa sangat kaku.

"Kau pikir? Aku ini setan?." Arya Susena semakin melotot tajam.

"Hehehe!." Barja malah cengengesan. "Kau yang berpikiran seperti itu arya." Hatinya terasa sangat takut.

"Duduklah di sini." Arya Susena tersenyum kecil. "Kebetulan, aku membawakan sarapan untuk kalian."

"Oh?." Darsana dan Barja segera bangkit, dan melihat ada lima burung bakar yang cukup besar.

Tak lama kemudian Patari dan Nismara juga terbangun.

"Oh?." Patari melihat sosok Arya Susena. "Kau sudah datang rupanya."

"Mari sarapan dulu." Balas Arya Susena sambil mempersilahkan Patari dan Nismara agar mendekat.

"Baik sekali kau arya." Patari segera mendekati mereka. "Apakah ini? Sebagai ucapan maaf? Atas keterlambatan yang telah kau lakukan?."

Entah kenapa suasana mendadak tegang, atas apa yang telah diucapkan oleh Patari.

"Anggap saja seperti itu mba yu."

Deg!.

Mereka semua sangat terkejut, untuk kali ini Arya Susena memanggil Patari dengan sebutan mba yu?.

"Aku rasa, setelah ini akan ada badai petir." Dalam hati Darsana mulai waspada.

"Sepertinya aku salah dalam berbicara." Dalam hati Patari sangat panik.

"Semoga sang hyang Widhi melindungi kami, dari amukan arya susena." Dalam hati Barja berdoa seperti itu."

"Pasti ada yang salah dengan arya susena." Dalam hati Nismara juga mulai waspada. "Aku rasa otaknya bermasalah." Hatinya sangat menolak, jika Arya Susena memanggil Patari dengan sebutan mba yu.

Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Bagaimana dengan rencana Arya Susena sebagai ketua kelompok pendekar kegelapan di kota Raja?. Simak terus kisahnya, jangan sampai ketinggalan lanjutnya ya.

...***...

Episodes
1 INFORMASI
2 BERGERAK SESUAI RENCANA
3 GEJOLAK HATI
4 PERTARUNGAN
5 KABAR?
6 JANGAN MAIN-MAIN
7 HAL YANG TAK SEHARUSNYA.
8 PERASAAN YANG KUAT
9 SUDAH BERGRAK
10 HANYA ITU SAJA
11 BERGRAK CEPAT
12 JURUS YANG MENGURAS TENAGA
13 TEKAD YANG KUAT
14 SAKIT DI HATI
15 HATI YANG TELAH HANCUR
16 DENDAM DAN RASA SAKIT
17 PEMBALASAN
18 LUKA YANG SANGAT DALAM
19 GEJOLAK HATI YANG MEMBARA
20 ARYA SUSENA
21 PERBATASAN
22 PILIH BERTAHAN
23 HATI YANG SIAP
24 HATI YANG KUAT
25 SEBUAH TINDAKAN
26 SIAPA YANG LEBIH KUAT?
27 AWAL YANG BAIK
28 ALASAN TIDAK IKUT BERTARUNG
29 RENCANA ARYA SUSENA
30 JANGAN BERANI MENANTANG
31 SANDIWARA?
32 MENUNGGU WAKTU YANG TEPAT
33 APAKAH BENAR SEPERTI ITU?
34 SALAM PERPISAHAN
35 KEPUTUSAN YANG KUAT
36 PERSIAPAN PERANG
37 KENAPA SEPERTI ITU?
38 KEBIMBANGAN HATI
39 LEDAKAN AMARAH
40 KONDISI PERANG
41 TAKTIK PERTARUNGAN
42 ANCAMAN MEMATIKAN
43 PERASAAN BENCI YANG DALAM
44 AMARAH YABG TIDAK TEPAT
45 TANGISAN KESEDIHAN
46 PERTEMUAN YANG MENYAKITKAN
47 MENGURAS EMOSI JIWA
48 HATI SEKUAT BAJA
49 KEBENCIAN YANG SANGAT DALAM
50 BERANI MENUNTUT?
51 KEPUTUSAN ARYA SUSENA
52 MULAI BERGERAK
53 MASALAH YANG RUMIT
54 DIPENUHI DENDAM MEMBARA
55 JANGAN MENGGANGGU
56 KECEMASAN HATI YANG BERLEBIHAN
57 KEPUTUSAN YANG KUAT
58 PERTARUNGAN YANG DAHSYAT
59 FIRASAT BURUK
60 PERTARUNGAN HARI ITU
61 BERMULUT KASAR
62 HATI YANG BAIK
63 JANGAN SAMPAI SEPERTI ITU
64 TIDAK TERDUGA SAMA SEKALI
65 PERASAAN HATI YANG SEBENARNYA
66 ARYA SUSENA SI PEMARAH
67 MASA LALU YANG PAHIT
68 KEJADIAN YANG MENGEJUTKAN
69 KEMARAHAN YANG MEMBARA
70 APA YANG TERJADI SEBENARNYA?
71 MASALAH DAN SOLUSI
72 KEMARAHAN YANG MEMBUNCAH
73 MENGHADAPI MASALAH YANG TERJADI
74 KEKUATAN YANG MENGERIKAN
75 PERASAAN CINTA
76 BERANI BERKATA
77 KETEGUHAN HATI ARYA SUSENA
78 KEBERSAMAAN YANG NYAMAN
79 MELEPASKAN PERASAAN DENDAM
80 ADA APA INI?
81 JANGAN SINGGUNG MASALAH ITU
82 KENAPA DENGAN ARYA SUSENA?
83 KEPUTUSAN HATI YANG KUAT
84 PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA
85 ADA YANG ANEH
86 ITULAH ALASANNYA
87 SEDEKAT ITU?
88 KEJADIAN SAAT ITU
Episodes

Updated 88 Episodes

1
INFORMASI
2
BERGERAK SESUAI RENCANA
3
GEJOLAK HATI
4
PERTARUNGAN
5
KABAR?
6
JANGAN MAIN-MAIN
7
HAL YANG TAK SEHARUSNYA.
8
PERASAAN YANG KUAT
9
SUDAH BERGRAK
10
HANYA ITU SAJA
11
BERGRAK CEPAT
12
JURUS YANG MENGURAS TENAGA
13
TEKAD YANG KUAT
14
SAKIT DI HATI
15
HATI YANG TELAH HANCUR
16
DENDAM DAN RASA SAKIT
17
PEMBALASAN
18
LUKA YANG SANGAT DALAM
19
GEJOLAK HATI YANG MEMBARA
20
ARYA SUSENA
21
PERBATASAN
22
PILIH BERTAHAN
23
HATI YANG SIAP
24
HATI YANG KUAT
25
SEBUAH TINDAKAN
26
SIAPA YANG LEBIH KUAT?
27
AWAL YANG BAIK
28
ALASAN TIDAK IKUT BERTARUNG
29
RENCANA ARYA SUSENA
30
JANGAN BERANI MENANTANG
31
SANDIWARA?
32
MENUNGGU WAKTU YANG TEPAT
33
APAKAH BENAR SEPERTI ITU?
34
SALAM PERPISAHAN
35
KEPUTUSAN YANG KUAT
36
PERSIAPAN PERANG
37
KENAPA SEPERTI ITU?
38
KEBIMBANGAN HATI
39
LEDAKAN AMARAH
40
KONDISI PERANG
41
TAKTIK PERTARUNGAN
42
ANCAMAN MEMATIKAN
43
PERASAAN BENCI YANG DALAM
44
AMARAH YABG TIDAK TEPAT
45
TANGISAN KESEDIHAN
46
PERTEMUAN YANG MENYAKITKAN
47
MENGURAS EMOSI JIWA
48
HATI SEKUAT BAJA
49
KEBENCIAN YANG SANGAT DALAM
50
BERANI MENUNTUT?
51
KEPUTUSAN ARYA SUSENA
52
MULAI BERGERAK
53
MASALAH YANG RUMIT
54
DIPENUHI DENDAM MEMBARA
55
JANGAN MENGGANGGU
56
KECEMASAN HATI YANG BERLEBIHAN
57
KEPUTUSAN YANG KUAT
58
PERTARUNGAN YANG DAHSYAT
59
FIRASAT BURUK
60
PERTARUNGAN HARI ITU
61
BERMULUT KASAR
62
HATI YANG BAIK
63
JANGAN SAMPAI SEPERTI ITU
64
TIDAK TERDUGA SAMA SEKALI
65
PERASAAN HATI YANG SEBENARNYA
66
ARYA SUSENA SI PEMARAH
67
MASA LALU YANG PAHIT
68
KEJADIAN YANG MENGEJUTKAN
69
KEMARAHAN YANG MEMBARA
70
APA YANG TERJADI SEBENARNYA?
71
MASALAH DAN SOLUSI
72
KEMARAHAN YANG MEMBUNCAH
73
MENGHADAPI MASALAH YANG TERJADI
74
KEKUATAN YANG MENGERIKAN
75
PERASAAN CINTA
76
BERANI BERKATA
77
KETEGUHAN HATI ARYA SUSENA
78
KEBERSAMAAN YANG NYAMAN
79
MELEPASKAN PERASAAN DENDAM
80
ADA APA INI?
81
JANGAN SINGGUNG MASALAH ITU
82
KENAPA DENGAN ARYA SUSENA?
83
KEPUTUSAN HATI YANG KUAT
84
PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA
85
ADA YANG ANEH
86
ITULAH ALASANNYA
87
SEDEKAT ITU?
88
KEJADIAN SAAT ITU

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!