...***...
Di istana.
Prabu Maharaja Kanigara Rajendra, Raden Kanigara Hastungkara dan Raden Kanigara Ganda datang ke bilik ruangan pengobatan istana. Karena mereka sangat penasaran bagaimana dengan nasib Raden Kanigara Lakeswara. Mereka telah melihat secara langsung bagaimana keadaan Raden Kanigara Lakeswara yang terlihat sangat menyedihkan. Sedangkan Ratu Arundaya Dewani menangis sedih, hatinya sangat sedih, karena tidak ada rasa simpati yang ditunjukkan oleh mereka semua terhadap anaknya.
"Kanda Prabu." Ratu Arundaya Dewani menangis sedih. "Apakah kanda? Tidak merasa kasihan pada putra dinda?."
"Jangan terlalu berlebihan dinda arundaya." Respon Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Aku juga tidak bisa berbuat apapun, jika memang seperti ini kondisinya."
"Kanda!." Hatinya semakin sakit, perih, dan sesak. "Kenapa kanda tidak peduli sama sekali?! Pada putra saya!."
Tidak ada jawaban dari Prabu Maharaja Kanigara Rajendra.
"Ibunda." Dalam hati Raden Kanigara Lakeswara sangat sedih dengan keadaannya yang seperti itu. "Maafkan saya." Sungguh, hatinya sangat sedih melihat tangisan ibundanya yang sangat pilu. Akan tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali. Sepertinya jurus penembus sukma telah membuat Raden Kanigara Lakeswara lumpuh secara fisik?. Namun sukmanya masih bisa melihat, berbicara, mendengarkan?.
"Kanda Prabu! Saya mohon!." Tangisnya semakin sesak. "Putra saya, adalah keluarga kanda!."
"Lakeswara bukanlah keluargaku dinda arundaya!." Dengan tegas Prabu Maharaja Kanigara Rajendra berkata seperti itu. "Dia bukan anakku!."
Deg!.
Raden Kanigara Lakeswara, Raden Kanigara Hastungkara dan Raden Kanigara Ganda sangat terkejut mendengarnya.
"Apa maksudnya itu ayahanda?."
Raden Kanigara Hastungkara dan Raden Kanigara Ganda yang bertanya. Karena Raden Kanigara Lakeswara tidak akan mungkin bisa berbicara dalam keadaan seperti itu.
"Kanda Prabu!." Hatinya semakin terasa sakit. "Bagaimanapun juga!
Dia adalah putramu kanda!." Kesabarannya benar-benar habis. "Karena kanda Prabu! Telah menikahi saya!."
"Tidak!." Banyak Prabu Maharaja Kanigara Rajendra dengan cepat. "Dia bukan anakku!." Bentaknya dengan suara yang sangat keras. "Meskipun aku menikahi mu!." Tunjuk sang Prabu dengan kasar. "Dia tetap lah putra dari kanigara maheswara!." Ucap sang Prabu dengan tegas. "Dan dia tidak akan pernah, menjadi putra kanigara rajendra!."
Suaranya saat itu menggelegar di ruangan pengobatan. Hatinya sangat sakit mengingat bagaimana dengan masa lalu yang ia lalui saat itu. Hatinya yang dipenuhi dendam dendam, rasa itu hati, dan tidak bisa menerima kenyataan.
"Jadi benar?." Dalam hati Raden Kanigara Lakeswara bergetar kuat "Yang dikatakan pendekar kegelapan itu?." Dadanya terasa sesak. "Bahwa aku adalah putra, dari Prabu maharaja kanigara maheswara?." Dalam hati Raden Kanigara Lakeswara mengingat apa yang telah dikatakan Arya Susena padanya. Hatinya sangat sakit menerima kenyataan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.
"Ayahanda Raden dibunuh karena perebutan kekuasaan, dari seorang adik yang sangat kejam." Arya Susena bercerita pada Raden Kanigara Lakeswara. "Tamak?! Serta memiliki ambisi yang sangat tidak manusiawi." Arya Susena tampak geram. "Raden tidak boleh tinggal, dikawasan buruk seperti itu."
"Lantas? Bagaimana dengan ibunda saya?." Raden Kanigara Lakeswara menguatkan hatinya. "Kenapa ibunda saya? Tidak mau mengatakan kebenaran itu pada saya?."
"Tentu saja untuk melindungi keselamatan Raden."
"Apakah kau bisa dipercaya?."
"Sesungguhnya hamba telah bersumpah!." Jawab Arya Susena. "Hamba akan melindungi Raden, sebagai penerus Raja selanjutnya."
Raden Kanigara Lakeswara sangat tidak percaya, jika ia memang bukan putra kandung dari Prabu Maharaja Kanigara Rajendra.
"Baiklah." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra tersenyum kecil. "Jika memang kau ingin anakmu masih selamat?." Lanjut sang Prabu. "Besok pagi, aku akan memerintahkan prajurit, agar membawanya ke pedukuhan lembah jala."
"Untuk apa?." Ratu Arundaya Dewani masih merasakan sakit. "Kanda membawa putra saya ke sana?."
"Bukankah sudah jelas?." Balas Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Menyembuhkannya, jika mereka mampu melakukannya." Setelah berkata seperti itu, Prabu Maharaja Kanigara Rajendra memberi kode pada kedua anaknya agar segera mengikutinya meninggalkan ruangan itu.
"Putraku!." Ratu Arundaya Dewani kembali mendekati anaknya, hatinya sangat hancur lebur dengan kondisi anaknya yang sekarang.
"Sungguh, maafkan saya ibunda." Raden Kanigara Lakeswara juga merasakan kesedihan yang sangat dalam.
...****...
Arya Susena berada di sebuah rumah yang sangat sederhana.
"Dahulunya." Kakek sembah bercerita pada Arya Susena. "Anak gadis saya adalah wanita yang sangat cantik di desa ini." Tatapan matanya menerawang sangat jauh. "Anak gadis saya menikah dengan anak kepala desa, yang juga memiliki paras yang sangat tampan." Lanjutnya sambil menarik nafas dalam-dalam. "Pernikahan mereka sangat bahagia, ditambah lagi dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat lucu." Tanpa sadar air matanya menetes begitu saja. "Kami beri nama ayu tari." Rasa sakit itu kembali dirasakan. "Nama itu sangat cocok sekali padanya." Hatinya kembali bergetar. "Selain cantik, sejak usia tiga tahun ia pandai menari." Kakek Sembah mencoba untuk tersenyum mengingat kenangan indah itu. "Keluarga saya sayang bahagia, selalu tertawa dan gembira melihat tarian lucu dari ayu." Terdengar suaranya yang tertahan, tentunya menahan segala kesedihan atas kenangan indah itu, kini hanya menyisakan luka saja.
Arya Susena masih menyimak dengan sangat baik berita dari Kakek Sembah.
"Saat ayu menginjak usia tujuh tahun, bapaknya meninggal karena sakit aneh." Lanjutnya. "Sejak saat itu anak saya selalu difitnah oleh warga desa yang menginginkan anak saya."
"Difitnah?."
"Anak saya berani bermain api dengan mertuanya, yang merupakan kepala desa." Jawabnya dengan perasaan hancur. "Selain itu anak saya juga difitnah, sering bermain api bersama para petinggi istana, yang kadang meronda ke desa ini." Kembali terdengar tangis darinya. "Puncaknya, anak saya diseret paksa oleh warga desa." Hatinya semakin hancur. "Saya tidak bisa melawan mereka, ketika anak, dan cucu saya dibunuh dengan sangat sadisnya."
"Kakek tenang saja." Arya Susena mencoba menguatkan hatinya, juga hati kakek Sembah. "Saya akan membalaskan dendam mereka."
"Anak muda." Ucap kakek Sembah sambil menghapus air matanya. "Kenapa kau ingin? Membalaskan dendam kematian anak dan cucu saya?." Pertanyaan itu muncul begitu saja. "Coba kau jelaskan kepada saya."
Arya Susena tersenyum kecil. "Sebenarnya, saya memiliki kemampuan aneh, dalam melihat hal gaib kek." Ucapnya. "Ketika saya berada di pohon besar itu, saya dapat melihat arwah neng ayu tari sedang menangis di sana."
Deg!.
Kakek Sembah sangat terkejut mendengarnya. "Cucu saya menangis di sana?."
"Benar kek." Jawab Arya Susena. "Ia meminta bantuan pada saya." Lanjutnya. "Agar membalaskan dendamnya, pada orang-orang yang telah membunuhnya, juga yang telah membunuh ibundanya."
Kakek Sembah menarik nafas dalam-dalam. "Terima kasih muda." Menghela nafas dengan pelan. "Saya rasa, itu tidak ada gunanya."
"Kenapa kakek berkata seperti itu?."
"Mereka yang telah membunuh anak, dan cucu saya." Jawabnya. "Mereka telah mendapatkan karma balasan pahit juga."
"Tapi, masih ada satu orang yang belum mendapatkan karmanya kek."
"Siapa maksudmu?."
"Senopati watur jasa."
Kakek Sembah mencoba mengingat nama itu. "Ya." Kakek Sembah sedikit ingat. "Dia yang juga terlibat dalam penyebaran fitnah itu." Hatinya sakit, jika mengingat kejadian itu. "Dia yang telah bermulut busuk, menyebarkan fitnah tentang putri kakek."
"Kau bisa membunuhnya?."
"Apakah itu permintaan kakek?."
"Ya." Responnya. "Itu adalah permintaan saya."
"Saya akan mengabulkan permintaan kakek."
"Terima kasih anak muda." Entah kenapa kakek Sembah merasa lega. "Siapa kau sebenarnya?." Ada rasa penasaran yang ia rasakan. "Kenapa kau ingin membantu saya?."
"Saya adalah arya susena." Jawabnya dengan senyuman ramah. "Saya adalah ketua dari kelompok pendekar kegelapan."
"Oh?." Kakek Sembah hampir tidak percaya. "Jadi kau adalah arya susena?."
"Benar sekali kek."
"Saya pernah mendengarnya, kalau kalian memang berpihak pada rakyat kecil."
"Kami akan selalu membantu rakyat kecil, menghadapi kekejaman hidup di kawasan kerajaan ini."
"Semoga kalian selalu dilindungi oleh Dewata yang agung."
"Terima kasih atas doa baik kakek."
Arya Susena telah berjanji, bahwa ia akan membantu kakek itu, membalaskan dendam kakek Sembah yang telah kehilangan kekurangannya di masa lalu.
...***...
Patari dan Nismara telah sampai di perbatasan kota Raja.
"Oh? Ternyata kau sudah sampai di sini barja." Matanya menangkap Barja yang sedang santai menikmati beberapa buah-buahan.
"Baru sampai mba yu?." Ia memberikan beberapa buah segar pada Patari dan Nismara.
"Ya, seperti itulah." Responnya. "Di mana darsana?." Patari melihat ke segala arah. "Kenapa kau tidak bersamanya?."
"Kami berpisah di desa air tawar." Jawabnya. "Mungkin dia sedang mencari informasi penting di sana."
"Bagaimana denganmu sendiri?." Patari kembali bertanya. "Apakah kau mendapatkan informasi penting?."
Barja hanya menggeleng pelan.
"Mungkin kita akan kesulitan memasuki kota raja."
"Kenapa?."
"Dari informasi yang kami dapatkan." Jawabnya. "Hanya orang-orang terpandang saja, yang bisa masuk ke sana."
"Juga para pendekar, yang berniat menjadi pengawal pribadi."
"Kita tidak perlu melakukan itu." Ucap Barja dengan santainya. "Bagi seorang pendekar kegelapan seperti kita, masuk ke rumah raja pun akan kita lakukan."
"Kau sangat percaya diri sekali barja."
"Apakah arya susena? Pernah menunjukkan sikap takut pada kita?."
"Ho?." Respon Patari. "Aku sangat terkesan sekali padamu." Ucapnya dengan senyuman aneh. "Rupanya kau sudah mulai Tertular penyakit gila dari arya susena."
"Hahaha!." Barja malah tertawa.
"Hadeh!." Nismara menarik nafas dalam-dalam. "Lantas? Apa yang akan kita lakukan di sini?."
"Santai saja dulu mba yu." Jawabnya. "Bukankah? Arya susena menyuruh kita menunggunya di sini?." Lanjutnya. "Jadi? Santai lah sejenak."
"Baiklah kalau begitu."
Setelah itu mereka menikmati buah-buahan itu dengan santainya, seakan-akan tidak ada lagi beban di dalam pikiran mereka.
...***...
Istana, ruangan pengobatan.
"Sekali lagi maafkan hamba Gusti." Tabib Istana memberi hormat. "Hamba tidak bisa menyelamatkan Raden kanigara lakeswara." Tatapan matanya terlihat sedih. "Beliau mendapatkan luka yang sangat fatal." Ia memperhatikan keadaan Raden Kanigara Lakeswara. "Dada kirinya hampir hancur, dan hampir mengenai jantungnya."
Deg!.
Ratu Arundaya Dewani semakin terpukul mendengarkan penjelasan itu.
"Putraku." Ratu Arundaya Dewani menggenggam tangan anaknya yang terasa dingin. "Kenapa nasibmu malang sekali nak." Hatinya terasa sesak, air matanya tak henti-henti membasahi pipinya. "Ibunda mohon, kembalilah nak."
Raden Kanigara Lakeswara sangat tidak sanggup mendengar tatapan ibundanya. "Maafkan saya ibunda." Dalam hati Raden Kanigara Lakeswara merasakan sesak, perih, dan pedih. "Saya berjanji, akan melakukan yang terbaik setelah ini." Dalam hatinya telah membuat tekad yang sangat kuat.
"Maafkan ibunda, karena tidak bisa melindungi mu nak." Ratu Arundaya Dewani sangat hancur hatinya.
"Ibunda, bersabarlah." Raden Kanigara Lakeswara tidak sanggup melihat keadaan ibundanya yang seperti itu.
...***...
Arya Susena mengamati ada sebuah kereta kuda yang hendak masuk ke desa.
"Oh? Kebetulan sekali." Dalam hatinya merasa senang. "Kau masih berkeliaran di desa ini." Matanya menangkap sosok Senopati Watur Jasa bersama beberapa orang prajurit.
Arya Susena segera mendekati prajurit yang meninggalkan rombongan, dan mendapatkan kesempatan untuk membuat prajurit itu pingsan.
"Ini kesempatan yang sangat bagus." Arya Susena menggunakan jurus Malih rupa, menyerupai prajurit itu. "Aku ingin menyapanya sebentar." Arya Susena segera melangkah mendekati mereka semua.
"Kau tidak jadi mengambil air?."
"Saya lupa membawa tempatnya."
"Hahaha!." Mereka malah tertawa dengan jawaban itu.
"Kau ini ada-ada saja sir." Ucap salah satu temannya.
Tak lama kemudian Arya Susena kembali bersama air yang cukup banyak.
"Kau sangat hebat sekali dalam bekerja." Senopati Watur Jasa tersenyum puas. "Aku sangat terkesan padamu."
"Hamba Gusti." Balasnya sambil memberi hormat.
"Nanti, kau akan mendapatkan upah yang lebih banyak lagi."
"Terima kasih Gusti."
"Kalau begitu, temani aku ke sana."
"Baik Gusti."
Saat itu mereka hendak menuju perbatasan desa, di sana ada aliran sungai.
"Kau lihat itu basir?." Senopati Watur Jasa menunjuk ke arah sungai. "Lihat apa Gusti?."
"Halah! Kau jangan pura-pura plos basir." Senopati Watur Jasa cengengesan. "Bukankah sudah jelas? Arah tunjuk ku ini?." Sekali lagi Senopati Watur Jasa menunjuk ke arah sungai.
"Gusti mau mereka?."
"Hehehe!." Senopati Watur Jasa semakin cengengesan. "Kau pintar sekali basir." Ucapnya sambil menepuk-nepuk pundak Basir. "Aku ingin mereka satu persatu."
"Loh? Apa gak kerepotan nantinya?."
"Kau atur saja pertemuanku dengannya."
"Siap Gusti."
"Bagus."
Setelah itu Senopati Watur Jasa memberi kode pada Basir agar mengikutinya.
"Siapkan tenda istimewa untukku." Ucapnya. "Setelah itu, kau temui salah satu dari mereka." Lanjutnya. "Katakan padanya, jika ada orang agung yang mengundang mereka makan malam bersama."
"Baik Gusti." Basir benar-benar mengikuti apa yang dikatakan Senopati Watur Jasa.
"Sudah tua." Dalam hati Arya Susena sangat kesal. "Masih saja belum berubah!." Dalam hatinya sangat geram. "Kau lihat saja nanti." Sebisa mungkin Arya Susena menahan amarahnya. "Sepertinya Dewata yang agung belum menghukum kau, itu karena ia ingin aku yang menghukum kau!." Arya Susena masih ingat dengan jelas, bagaimana cerita yang disampaikan oleh Kakek Sembah padanya.
"Mereka satu persatu tewas dalam keadaan yang mengerikan." Ucap Kakek Sembah. "Ada yang tewas diseruduk babi hutan, hingga perutnya keluar." Ucap Kakek Sembah sambil menahan segala gejolak emosi di hatinya. "Ada yang gila, merasa dirinya di hantui oleh anak saya." Lanjutnya. "Hingga bunuh diri, dengan menggorok sendiri lehernya."
"Dewata yang agung telah menghukum mereka." Respon Arya Susena. "Namun Senopati yang satu ini." Lanjutnya. "Ia belum juga bertaubat."
"Apakah balas dendam diperlukan anak muda?."
"Jika tidak dilakukan, maka akan ada korban seperti anak kakek." Ucap Arya Susena dengan penuh simpati. "Saya sangat yakin, ia masih belum berubah, meskipun orang-orang yang terlibat dalam masalah itu telah mendapatkan karmanya."
Arya Susena tidak akan melepaskan begitu saja, apa lagi ia telah berjanji pada arwah Ayu Tari, untuk membalaskan dendam kematiannya. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Apakah Arya Susena bisa melakukannya dengan baik?. Simak terus kisahnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments