...***...
Istana.
Entah itu suatu kebetulan atau apa?. Prabu Maharaja Kanigara Rajendra, Ratu Arundaya Dewani, Raden Kanigara Ganda, dan Raden Kanigara Hastungkara tiba di halaman istana secara bersamaan. Suasana sempat tegang, karena selama ini mereka tidak akur?. Akan tetapi Ratu Arundaya Dewani mecoba untuk mengabaikan itu.
"Prajurit?!." Suaranya terdengar tinggi, sambil menahan gejolak emosi. "Di mana putraku?!." Hatinya dipenuhi oleh ketakutan yang sangat luar biasa. "Kenapa aku tidak melihatnya menaiki kudanya?." Ya, matanya tidak melihat keberadaan anaknya. "Katakan! Di mana anakku?."
"Ibunda?." Raden Kanigara Lakeswara yang berada di dalam kereta kuda sebenarnya dapat mendengarkan suara ibundanya, hanya saja ia tidak bisa berbicara.
"Hei!." Raden Kanigara Ganda menatap salah satu prajurit ifu. "Prajurit!." Bentaknya dengan suara yang sangat keras. "Apakah kau tidak mendengarkan? Apa yang dikatakan Ratu mu ini? Hah?!." Entah kenapa Raden Kanigara Ganda yang membentak prajurit itu.
Mereka tersentak terkejut dengan suara keras itu, hingga mereka sedikit panik.
"Ampuni kami Gusti Ratu." Kelima prajurit itu memberi hormat.
"Raden Kanigara lakeswara, berada di dalam kereta kuda." Jawab Sakral, salah Satu Prajurit yang ikut dalam tugas itu.
Deg!.
Perasaan Suasana hati Ratu Arundaya Dewani semakin cemas. Dengan memberanikan dirinya?. Ratu Arundaya Dewani melihat ke dalam kereta kuda.
Deg!.
Jantungnya seakan-akan hendak lepas dari tempatnya, ketika matanya itu menangkap bagaimana Keadaan anaknya.
"Putraku!." Ratu Arundaya Dewani tidak sanggup lagi menahan kesedihan yang sangat membuncah di dalam hatinya. Betapa pedih hatinya, melihat keadaan anaknya yang sangat parah.
"Ibunda." Hati Raden Kanigara Lakeswara bergetar melihat itu. "Jangan menangis ibunda." Rasanya Raden Kanigara Lakeswara ingin berkata seperti itu. "Maafkan ananda, ini adalah bagian dari rencana." Raden Kanigara Lakeswara tidak tega melihat ibundanya menangis. "Maafkan nanda, karena ananda terpaksa melakukan ini." Dalam hatinya merasa bersalah, tapi ia memang sangat terpaksa melakukan itu demi menemukan sebuah kebenaran.
Sementara itu mereka yang mendengarkan suara tangisan Ratu Arundaya Dewani hanya bisa diam saja. Karena mereka telah mengerti dengan keadaan Raden Kanigara Lakeswara?. Apakah itu adalah bagian dari rencana yang memang mereka inginkan?.
"Prajurit." Raden Kanigara Ganda mendekati prajurit. "Apakah semuanya berhasil sesuai dengan rencana?." Bisik Raden Kanigara Ganda pada Sakral.
"Semuanya telah berjalan sesuai dengan rencana Raden." Balasnya sambil memberi hormat.
"Bagus." Raden Kanigara Ganda tersenyum lebar. "Aku sangat senang mendengarnya." Ungkapnya. "Apakah dia masih hidup?."
"Sepertinya sekarat, ia sekarat Raden."
"Heh!." Suasana hatinya semakin bagus. "Kalau begitu, bawa dia ke biliknya.
"Sandika Raden."
Kelima prajurit itu mengangkat Raden Kanigara Lakeswara menuju biliknya.
"Putraku!." Ratu Arundaya Dewani sudah tidak dapat lagi menahan perasaan sedih itu.
"Kalian yang melakukan hebat itu?." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra menatap kedua anaknya.
"Tentu saja ayahanda."
"Raka ganda yang memikirkan rencana hebat itu ayahanda."
"Bagus putraku." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra semakin bangga pada anaknya. "Kalau begitu, ceritakan pada ayahanda." Senyuman sang Prabu semakin lebar. "Bagaimana ide kalian, sehingga berhasil seperti itu."
"Dengan senang hati ayahanda."
Setelah itu Prabu Maharaja Kanigara Rajendra, Raden Kanigara Ganda dan Raden Kanigara Hastungkara masuk ke dalam istana.
...***...
Hutan Larangan.
Arya Susena baru saja kembali ke pondok kecil.
"Dari mana saja kau arya?." Darsana menatap tajam ke arah Arya Susena.
"Berlatih sebentar." Jawabnya sambil mendekati meja, dan menuangkan air ke dalam gelas. Dengan penuh ketenangan ia meminum air itu, untuk menghilangkan dahaga yang ia rasakan.
"Kabar yang aku dengar, Raden kanigara tewas oleh pendekar kegelapan." Ucap Darsana. "Kabar itu menyebar dengan sangat cepat." Lanjutnya. "Bahkan ada warga desa yang merayakan kabar bahagia itu."
"Sebenarnya." Ucap Patari juga penasaran. "Di malam kita berpisah saat itu." Ucapnya dengan memberanikan dirinya. "Apa yang telah kau lakukan?."
Arya Susena menatap semua temannya, sehingga mereka terpaku di tempat, takut diamuk oleh Arya Susena.
"Apakah? Kau yang membunuh Raden kanigara lakeswara?." Barja juga memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Ya." Jawabnya dengan cepat. "Aku yang telah membunuh Raden kanigara lakeswara." Senyumannya terlihat menyeramkan.
Deg!.
Saat itu mereka seperti melihat malaikat maut, yang siap mencabut nyawa siapapun saja.
"Kau membunuh Raden kanigara lakeswara?."
"Ya." Responnya. "Kenapa? Kalian merasa keberatan?." Kali ini tatapan matanya sangat tajam.
Deg!.
Kembali mereka terkejut dengan raut wajah Arya Susena.
"Tapi itu hanyalah sandiwara saja."
"Sandiwara?!." Ucap mereka bersamaan.
"Coba kau jelaskan pada kami arya." Nismara malah bingung.
"Aku hanya menggunakan jurus pengendali alam halusinasi di hadapan para prajurit bodoh itu." Jawabnya. "Sebenarnya aku tidak membunuh Raden kanigara lakeswara." Lanjutnya. "Aku hanya melumpuhkan Raden kanigara lakeswara, dengan menggunakan jurus pengendali alam sukma." Ucapnya santai. "Sehingga mereka melihat Raden kanigara lakeswara dalam keadaan sekarat." Lanjutnya lagi. "Tapi, sebenarnya Raden kanigara lakeswara dalam keadaan baik-baik saja."
"Kenapa kau melakukan itu?."
"Ya, apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya?."
"Katakan pada kami arya."
Belum ada jawaban dari Arya Susena.
"Jika kau tidak menjelaskan secara rinci, kami sulit untuk bergerak nantinya."
"Aku hanya ingin menunjukkan pada Raden kanigara lakeswara." Jawabnya. "Bahwa ia sebenarnya, bukanlah putra kandung dari Raja kejam itu."
Deg!.
Ucapan Arya Susena kali ini benar-benar membuat mereka semua terkejut, dan hampir saja tidak percaya.
"Raden kanigara lakeswara? Bukan putra kandung dari Raja kejam itu?." Barja sangat heran.
"Informasi dari mana kau dapatkan?." Patari juga heran. "Siapa yang memberitahu kepadamu, jika ia bukan putra kandung dari Raja kejam itu?."
"Paman warsa jadi." Jawabnya.
"Paman warsa jadi?." Secara rentak mereka berkata seperti itu.
"Selain dari paman warsa jadi." Jawabnya. "Aku sendiri yang mendengarkan pengakuan itu, dari mulut Raja kejam itu."
"Selama ini kita selalu bersama-sama." Patari juga bingung. "Bagaimana mungkin? Kau bisa mendengarkan secara langsung?." Lanjutnya. "Pengakuan dari Raja kejam itu?."
"Aku punya cara sendiri, untuk masuk ke dalam istana." Ucapnya dengan penuh percaya diri. "Kalian jangan ragukan, kemampuan yang aku miliki."
Deg!.
Rasanya tiada henti-hentinya mereka terkejut. Dan kali ini mereka merasakan panas yang aneh.
"Baiklah." Ucap Darsana sambil mengibaskan tangannya. "Kapan kita bergerak lagi?."
"Malam nanti, kita akan menuju istana."
"Menuju istana?."
"Tentu saja untuk menjemput Raden kanigara lakeswara."
"Aku hanya nurut saja." Balas Darsana dengan cepat. "Kalau begitu, aku pergi dulu." Ucapnya sambil menahan ketakutan di hatinya. "Rasanya aku lupa merapikan persediaan kayu bakar."
"Aku juga akan pergi sebentar." Barja juga tidak tahan lagi. "Aku ingin mengecek, apakah ada anak panah yang masuk ke area hutan larangan."
Tanpa pikir panjang, Darsana dan Barja langsung cabut lari dari pondok. Sedangkan Patari dan Nismara memikirkan cara kabur dari sana.
...***...
Sementara itu di sebuah tempat persembunyian.
"Ada kabar yang telah tersebar di kalangan rakyat kakang."
"Saya telah mendengarkan kabar itu adi."
"Apakah benar? Arya susena, dan kawan-kawannya membunuh Raden kanigara lakeswara?."
Untuk sesaat mereka tidak bersuara, memikirkan kebenaran kabar itu.
"Nanti, aku akan menemui kakang warsa jadi." Ucapnya sambil menghela nafas. "Aku ingin menanyakan tindakan arya susena padanya."
"Mungkin saja itu suruhan kakang warsa jadi?."
"Jangan berpikiran buruk dulu." Tanggapnya. "Biar saya yang bertanya pada beliau."
"Baik kakang."
"Lantas? Apa yang akan kami lakukan setelah ini?."
"Kabar itu tersebar dengan sangat cepat."
"Reaksi rakyat sangat beragam sekali kakang."
"Hanya kita, mantan petinggi istana saja." Ucapnya dengan perasaan berat hati. "Yang mengetahui, jika Raden kanigara lakeswara, bukanlah putra langsung rajendra." Lanjutnya. "Biarkan saja kabar itu tersebar." Ia menatap mereka semua. "Bisa saja, ini adalah rencana dari kakang warsa jadi."
"Saya sangat berharap seperti itu kakang."
"Ya, kami juga berharap, ini hanyalah pengalihan saja."
Sebagai bekas petinggi istana, tentu saja mereka telah mengetahui sejarah lahirnya Raden Kanigara Lakeswara. Apakah yang akan mereka lakukan setelah ini?. Simak dengan baik kisahnya.
...**...
Di dalam Hutan Larangan.
"Kau baru saja kembali?."
"Oh? Ibunda?." Mandala mendekati ibundanya, yang merupakan Ratu siluman Gagak.
"Apa saja yang telah kau lakukan?." Matanya memperhatikan penampilan anaknya. "Kau terlihat sangat lelah sekali." Ucapnya sambil menuangkan air ke dalam gelas, menyerahkan pada anaknya.
Mandala mengambil gelas itu, meminumnya dengan pelan. "Berlatih bersama arya susena." Jawabnya. "Dia sangat ingin menguasai jurus penyatuan itu ibunda."
"Berhasil?." Ratu Siluman gagak mencolek lengan anaknya.
"Menurut ibunda? Apakah arya susena akan menyerah begitu saja?."
"Berhasil ya?." Ratu Siluman Gagak terlihat senang.
"Tentu saja ibunda."
"Kau sangat hebat sekali." Ratu Siluman Gagak sangat terkesan. "Artinya kau bisa menyatu dengan sempurna, bersama arya susena."
"Seperti itulah yang akan terjadi nantinya ibunda."
"Kalau begitu, ibunda akan mengajarimu." Respon Ratu Siluman Gagak. "Jurus penyebar rasa."
"Jurus penyebar rasa?."
"Jurus penyatuan itu akan mengandung resiko yang sangat tinggi." Jawab Ratu Siluman Gagak. "Kau bisa ikut tewas, jika arya susena tidak sanggup menahan jurus itu, dalam waktu yang lama." Lanjutnya. "Namun, dengan jurus penyebar rasa? Kau bisa aman di dalam tubuh arya susena." Ratu Siluman Gagak semakin bersemangat. "Bahkan seharian penuh, dua hari kedepannya, kau akan aman berada di dalam tubuhnya."
"Itu sangat luar biasa sekali ibunda." Mandala sangat takjub. "Ajar saya jurus itu."
"Dengan senang hati."
"Terima kasih ibunda."
"Sama-sama putraku."
Bagi mereka, Arya Susena seperti keluarga yang harus mereka lindungi, karena Arya Susena yang telah menyelamatkan hidup mereka, sebelum memasuki Hutan Larangan.
Kembali ke masa itu.
Pertarungan sengit antara siluman gagak melawan siluman harimau. Mereka saling menyerang satu sama lain, hingga korban berjatuhan, banyak diantara mereka tewas dalam keadaan mengerikan. Entah itu dari pihak siluman gagak, atau bahkan dari siluman harimau itu sendiri. Namun sayang sekali, siluman gagak kalah dalam jumlah, hingga yang tersisa Ratu Siluman Gagak, dan anaknya yang bernama Mandala.
"Heh!." Raja Siluman Harimau mendengus kesal. "Sebaiknya kau menyerah saja." Senyumannya sangat lebar. "Tidak ada gunanya kau, dan bocah itu melawan kami."
"Aku tidak akan menyerah!." Ratu Siluman Gagak masih bersikeras. "Kau juga terlihat terluka parah!." Ucapnya dengan tegar. "Aku tidak takut sama sekali padamu."
"Kau yakin?." Raja Siluman Harimau memberi kode. "Mau melawan aku?." Senyumannya seakan-akan ia adalah pemenangnya. "Luka ini tidak berasa sama sekali padaku."
Saat itu pula, ada puluhan panah yang mengarah tepat pada Ratu Siluman Gagak, dan juga Mandala.
"Kegkh!." Ratu Siluman Gagak dan Mandala terlihat panik, karena tubuh mereka sudah tidak bisa digerakkan lagi.
"Terima saja hadiah dariku." Ucap Raja Siluman Harimau.
Namun apa yang terjadi pada saat itu?. Anak panah itu malah berbelok arah, dan tembakan mereka meleset?. Pemandangan itu membuat mereka terkejut, dan tidak percaya sama sekali.
"Apa yang terjadi?."
Mereka bertanya-tanya, alasan kenapa anak panah itu bisa berbelok arah.
"Kalian tidak usah bingung."
Deg!.
Mereka semua terkejut, melihat seseorang dengan sangat santainya memegang sebilah pedang aneh.
"Aku lah yang telah melakukannya."
"Kau?!." Raja Siluman Harimau tampak takut.
"Kita berjumpa lagi, tuan siluman harimau telaga hitam."
"Apa yang kau lakukan di sini?!." Amarahnya keluar begitu saja. "Kenapa kau bisa berada di sini?!."
"Tentu saja untuk memburu, siluman harimau." Jawabnya. "Yang telah menyebarkan wabah penyakit, pada warga desa."
"Kau pikir, kau bisa melakukannya?."
"Tentu saja aku bisa." Arya Susena melompat tempat di hadapan Raja Siluman Harimau, mengayunkan pedangnya untuk menebas leher buruannya. Sayang sekali Raja Siluman Harimau masih bisa menghindari dengan menunduk, dan melompat menjauhi Arya Susena.
Deg!.
Jantungnya terasa mau melompat, karena hampir saja kepalanya lepas dari tempatnya.
"Mundur!." Perintah Raja Siluman Harimau pada anak buahnya. "Jangan hadapi dia sekarang."
"Heh!." Arya Susena mendengus kesal. "Kali ini, aku tidak akan membiarkan kau kabur." Arya Susena mengambil ancang-ancang untuk menyerang. "Kalian harus mati malam ini juga."
Malam berdarah bagi siluman harimau, karena mereka dibantai habis-habisan oleh Arya Susena.
"Apakah dia manusia?."
"Sepertinya memang begitu ibunda."
"Dia sangat mengerikan sekali."
"Dia membunuh mereka dengan sangat sadisnya."
"Apa yang harus kita lakukan ibunda?."
"Kita lihat saja."
"Apakah kita tidak lari saja?."
"Percuma saja kalau kita lari."
"Ibunda mau menyerah begitu saja?."
"Aku tidak menyerah!."
Namun tak selang beberapa waktu, Arya Susena mendekati mereka, membuat keduanya hampir lupa bernafas.
"Kalian tenang saja." Ucap Arya Susena dengan nada yang sangat ramah.
"Siapa kau sebenarnya?." Mandala menguatkan hatinya. "Kenapa kau membunuh mereka?." Matanya hampir tidak berkedip, karena melihat keadaan Arya Susena. Pemuda itu seperti sedang mandi dengan menggunakan darah.
"Mereka adalah siluman yang sangat menyusahkan." Jawabnya. "Beberapa waktu yang lalu." Ucap Arya Susena. "Mereka telah menyebarkan wabah penyakit, yang sangat mematikan pada rakyat kecil. "Itulah alasan, kenapa saya harus membunuhnya."
"Apakah kau juga ingin membunuh kami?."
"Kenapa aku harus membunuh kalian?."
"Karena kami juga bangsa siluman."
"Apakah kalian juga menyebarkan penyakit pada rakyat kecil?."
Ratu Siluman Gagak, dan Mandala mengepang pelan.
"Kalau begitu, kalian aman." Setelah berkata seperti itu, Arya Susena meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya dihentikan oleh Mandala.
"Ada apa?." Arya Susena sangat heran.
"Aku telah kehilangan ayahandaku, dalam perang ini." Ucapnya dengan perasan sedih. "Tidak ada lagi tempat kami untuk kembali." Tatapan matanya sangat sedih. "Apakah kau bisa memberikan tempat berlindung pada kami?."
Arya Susena menatap mereka sejenak. "Aku rasa, ada tempat untuk berlindung, yang tepat untuk kalian."
"Benarkah?."
"Kalau begitu ikuti aku."
Ratu Siluman Gagak, dan Mandala hanya nurut saja. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Simak selengkapnya.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments