...***...
Kembali ke masa di mana Arya Senopati yang saat itu sedang berhadapan dengan Senopati Uperangga dan Beguna yang saat itu lumayan memiliki ilmu kanuragan yang sangat mempuni. Dua, tiga, empat, hingga lima jurus telah mereka mainkan. Kena pukulan dan tendangan bagi mereka saat itu belum membuat mereka kapok untuk melanjutkan pertarungan itu. Meskipun sesekali berhenti sambil mengambil nafas?.
"Heh!." Arya Susena mendengus kecil. "Orang tua seperti kalian masih saja ingin membuat kejahatan?." Tatapan matanya sangat tajam, dan membuat mereka bergidik ngeri. "Baru lima jurus saja kalian terengah-engah." Ucapnya dengan nada mengejek. "Seperti orang tua rentan, yang sudah tidak berdaya lagi.
"Diam kau!." Balas Senopati Uperangga dengan penuh amarah. "Berani sekali kau menghina aku!."
"Sepertinya kau memang ingin mati anak muda." Beguna juga telah siaga.
"Sudahlah orang tua." Arya Susena kembali memasang kuda-kuda untuk menyerang. "Sebaiknya kalian tidur di alam lain saja malam ini."
Deg!.
"Hei!." Senopati Uperangga menunjuk ke arah Arya Susena. "Kau anak kemarin sore!." Suaranya terdengar sangat tinggi. "Mulutmu memang sangat kurang ajar sekali!."
"Aku beri kau peringatan!." Beguna juga marah. "Segera pergi dari sini!." Ucapnya sambil memainkan jurus andalannya. "Aku tidak akan pernah mengampuni orang, yang telah berani mengincar aku."
Ada kemarahan yang ditunjukkan keduanya saat itu. Darah mereka mendidih karena ada seorang pemuda yang tidak mereka kenali mengancam akan membunuh mereka?.
"Aku datang ke sini atas nama rakyat yang telah kau tindas." Arya Susena terkekeh kecil. "Dan atas nama kebencian pada orang-orang seperti kalian, yang telah berani melindungi penjahat bangsat!." Matanya memperhatikan gerakan mereka. "Merenggut hak kebebasan rakyat, yang telah kalian jadikan budak!."
"Ho?." Senopati Uperangga menghentikan gerakannya sejenak. 'Jadi kau ingin menegakkan keadilan? Dengan cara membunuh kami?." Ia mendengus keras. "Sungguh nyali yang sangat besar." Lanjutnya. "Kalau begitu, akan kau tantang kau bertarung dengan aku." Senopati Uperangga saat itu mengeluarkan senjata andalannya yang selama ini ia simpan di dalam tubuhnya dengan menggunakan tenaga dalamnya. "Majulah!." Ucapnya dengan tegas. "Jika kau memang ingin membunuh aku!."
"Saya akan membantu Gusti." Beguna juga mengeluarkan senjata andalannya.
"Kalau begitu mari kita adu, senjata siapa yang lebih hebat."
Arya Susena juga tidak ingin kalah dari musuhnya?. Saat itu ia mengeluarkan pedang yang sangat langka. Senopati Uperangga dan Beguna sangat terkejut melihat dan menyaksikan pedang badai petir itu.
"Bukankah pedang itu adalah pedang milik-?."
"Jadi kau masih ingat siapa yang memiliki pedang ini?." Arya Susena mengangkat tinggi pedang itu. "Artinya kau harus membayar nyawa, dari pemilik pedang ini! Arya saka!."
"Arya saka?."
Keduanya sangat terkejut mendengarkan nama itu. Tentunya mereka sangat kenal dengan nama itu.
"Siapa dia sebenarnya?." Dalam hati Senopati Uperangga mulai waspada.
Nama yang dulunya nama yang sangat harum di pelosok kerajaan ini. Tapi bagaimana mungkin anak muda itu memiliki pedang itu?.
"Apakah kau memiliki hubungan dengan arya saka?."
"Kalau iya, kau mau apa?."
"Kurang ajar! Malah balik bertanya."
Saat pedang itu diayunkan?. Tampak ada kilatan petir yang menyambar, angin disekitar seakan-akan sedang mengantar aliran listrik yang sangat menyengat?.
"Kegh!."
Tubuh keduanya seakan-akan ditotok oleh aliran tenaga dalam yang sangat kuat, sehingga keduanya sama sekali tidak bisa bergerak.
"Sial!." Umpatnya dengan kesal. "Meskipun dia telah mati! Namun kutukan yang ia katakan pada saat itu sangat benar." Dalam hati Senopati Uperangga ingat dengan kejadian saat itu. Ketika beramai-ramai membunuh Arya Saka!. Seorang patih raja yang sangat setia, namun, karena ada pemberontakan yang sangat besar?. Beliau terbunuh.
"Kalian harus menerima hukuman! Atas apa yang telah kalian lakukan pada beliau." Arya Susena telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk membunuh keduanya.
Saat itu terdengar suara rintihan yang sangat keras dari dua orang yang sedang dihakimi oleh seorang pemuda. Hukum alam yang sangat menyakitkan. Siapa yang membunuh?. Maka pada akhirnya ia juga akan dibunuh untuk mempertanggung jawabkan atas apa yang telah ia lakukan selama ini.
Kembali ke masa ini.
Mereka benar-benar merinding mendengarkan cerita dari Arya Susena, bahkan tidak bisa berkata apa-apa saking ngerinya cerita itu.
"Tadinya aku berpikir, jika yang lebih menyeramkan itu adalah nismara." Dalam hati Patari mencoba untuk tetap tenang. "Ternyata arya susena lebih menyeramkan, dari penampilannya yang sangat kelam ini." Dalam hati Patari membandingkan siapa yang lebih seram diantara mereka?.
"Aku rasa urat kemanusiaanmu telah lepas dari tempatnya arya."
"Kenapa kau malah berkata seperti itu barja?."
"Sebab kau membunuh orang lain, tanpa memberi mereka kesempatan untuk melawan." Jawabnya sambil menahan nafas. "Sama kejamnya dengan yang dilakukan darsana ketika marah."
"Jadi kau mengatakan? Urat kemanusiaan ku telah putus dari tempatnya, barja?." Arya Susena sedikit jengkel.
"Diam kau barja!." Darsana sangat kesal. "Aku masih normal!." Ucapnya dengan penuh penekanan. "Hanya menusuk orang lain ke dada kirinya saja, supaya tidak terlalu lama merasakan sakit!." Ia malah membanggakan kemampuannya. "Sedangkan arya? Dia malah membiarkan musuhnya, merasakan sengatan tenaga petir, hingga mati gosong! Aku masih normal dibandingkan dia."
Saat itu mereka hanya mengadu nasib siapa yang lebih kejam saat membunuh?. Lalu apa yang akan mereka lakukan setelah ini?. Benarkah mereka bergerak atas nama rakyat yang sedang menderita?. Simak terus ceritanya.
...***...
Keesokan harinya di istana.
Ada laporan baru yang masuk, berita yang sangat mengejutkan?. Prabu Maharaja Kanigara Rajendra mendapatkan informasi yang sangat mengejutkan.
"Salam hormat kami Gusti Prabu."
"Katakan pada kami, semua yang kalian dapatkan."
"Laporan yang kami dapatkan, dari para prajurit yang menjaga desa." Ucapnya sambil memberi hormat. "Mereka menemuka jenazah milik tuan ampasutra, yang selama ini telah memberikan upeti yang sagat banyak pada pihak istana."
"Apa? Apakah dia terbunuh?."
"Kabarnya memang seperti itu Gusti Prabu."
"Bukankah rumahnya itu dijaga dengan sangat ketat?." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra merasa heran. "Oleh para pendekar pilih tanding." Ucap sang Prabu sambil mengingatnya. "Bagaimana mungkin? Dia bisa terbunuh?."
"Setelah hamba selidiki kebenaran informasinya." Jawabnya. "Ada dua orang saudagar kaya dari negeri seberang, datang berkunjung ke tempatnya." Lanjutnya. "Kemungkinan terbesar pelakunya adalah mereka."
Jamasta, seorang pemuda yang diberi wewenang untuk menerima laporan dari semua bawahan yang bekerja di istana. Jadi saat itu ia bertugas melaporkan apa saja. "Menurut kesaksian dari anak buahnya yang berjaga di gerbang, ia ingin mengantar dua orang saudagar itu menuju perbatasan." Ia terus menjelaskan apa yang telah ia dapatkan. "Sebenarnya mereka ingin ikut, akan tetapi, tuan ampasutra saat itu melarang mereka."
"Lantas? Bagaimana mungkin mereka menyadari? Jika majikan mereka terbunuh?."
"Saat itu mereka sadar, jika majikan mereka tidak kunjung pulang." Jawabnya sambil memberi hormat. "Setelah dicari, ternyata tuan mereka telah dibunuh."
"Heh!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra mendengus keras. "Mati dengan cara yang sangat tidak menyenangkan sekali."
"Tapi ada kabar yang lebih buruk lagi Gusti Prabu."
"Katakan!."
"Senopati uperangga dan anak buahnya tewas dengan cara yang sangat mengerikan."
"Apa?!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra semakin terkejut. "Kau tidak salah dalam menyampaikan laporan itu padaku?!."
"Tidak Gusti Prabu." Balasnya dengan cepat. "Istri dan pembantunya yang melaporkan pada hamba."
"Sial!." Umpat Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Malah mati dalam keadaan yang sangat tidak tepat."
"Apa yang harus hamba lakukan Gusti?."
"Terus awasi sekitar." Balas Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Awasi juga pergerakan para perusuh itu."
"Sandika Gusti."
...***...
Raden Kanigara Lakeswara dan Ratu Arundaya Dewani sedang berada di taman Istana.
"Kenapa ibunda menatap nanda seperti itu?." Raden Kanigara Lakeswara sangat gugup. "Apakah ada sesuatu yang aneh di wajah saya?."
Ratu Arundaya Dewani tersenyum kecil. "Ibunda selalu memperhatikan nanda." Jawabnya. "Ibunda sangat senang, nanda tumbuh dengan baik."
"Itu karena ajaran dari ibunda." Balasnya dengan malu-malu. "Tentu saja nanda tidak akan menyia-nyiakan, apa yang telah ibunda ajarkan pada saya."
"Kau memang anak yang sangat baik." Ratu Arundaya Dewani terlihat senang. "Ibunda sangat bangga padamu."
"Terima kasih ibunda."
"Kanda, apakah kau melihatnya?." Dalam hati Ratu Arundaya Dewani sambil menahan segala gejolak amarahnya. "Putra kita telah tumbuh dengan sangat baik."
...***...
Di sebuah tempat.
Ada seorang lelaki dewasa dengan penampilan aneh memasuki sebuah rumah makan.
"Asam jawa lima bakul."
"Pesanan tuan ada di bilik ketiga."
"Terima kasih tuan."
Lelaki itu segera menuju ruangan yang dimaksud oleh pemilik rumah makan, membuka pelan pintu bilik itu, dan mendorong pelan lemari kecil yang ada di ruangan itu. Lelaki misterius itu segera masuk ke lorong bawah tanah, tidak lupa ia menutup kembali jalan pintas itu.
"Selamat datang adi." Sambut Pangkas Alam dengan senyuman ramah.
"Terima kasih kakang." Balasnya. "Di mana yang lainnya?."
"Mereka masih berada di jalur."
"Jadi begitu?."
"Kau sendiri bagaimana?."
Rembus memperhatikan mereka semua, ada lima orang lelaki dewasa di sana.
"Keponakan saya masih berkeliaran di sekitar wilayah timur." Ucapnya. "Sedangkan saya masih di lingkungan istana." Lanjutnya. "Gerakan saya juga masih terbatas, dan tidak bisa menjauh dari kedua pangeran itu."
"Kalau begitu, berhati-hatilah adi." Ucap Pangkas Alam. "Nyawamu bisa dalam bahaya, jika kau sampai ketahuan."
"Karena itulah kakang." Ucapnya sambil memberi hormat. "Untuk beberapa pekan ini, saya tidak bisa keluar masuk sembarang ke sini."
"Kami akan memakluminya adi."
"Terima kasih kakang."
"Kalau begitu, katakan saja kondisi istana saat ini."
"Baik kakang."
Mereka mendengarkan dengan seksama atas apa yang telah dijelaskan Rembus. Tentu saja mereka akan memikirkan kembali rencana terbaik yang akan dilakukan setelah itu.
...***...
Hutan Larangan.
"Ada penghuni baru sepertinya." Arya Susena melihat ada sosok tinggi hitam yang memasuki kawasan Hutan Larangan. "Dari mana kau berasal?."
"Kau adalah anak manusia, apakah kau yang menjaga hutan ini?."
"Ya, tentu saja."
"Aku tidak perlu izin darimu." Ucapnya dengan nada cuek. "Kau hanyalah anak manusia biasa."
"Jaga ucapanmu makhluk jelek."
Deg!.
Sosok hitam tinggi terkejut, melihat sosok wanita dengan baju putih lusuh menatap tajam ke arahnya.
"Kalau kau ingin memasuki kawasan ini? Mau harus meminta izin padanya."
"Kau itu bangsa jin, tapi takut pada manusia lemah seperti dia?!." Sosok hitam itu terlihat kesal. "Jangan bodoh kau!."
Deg!.
Namun saat itu ia sangat terkejut, melihat hawa hitam pekat menyelimuti tubuh Arya Susena. Apa lagi matanya terlihat sangat merah, pertanda ia sedang marah besar.
"Kalau kau ingin menjadi bagian dari hutan larangan ini?." Arya Susena menyeringai lebar. "Patuhi segala peraturannya, dan bersikap lah yang sopan padaku, juga pada penghuni di sini." Lanjutnya sambil menatap lekat sosok hitam. "Jika kau tidak sanggup? Segera pergi dari sini." Kali ini ia menyeringai lebar. "Aku tidak suka pada makhluk angkuh seperti kau!." Tunjuknya.
Kaaak, kaaak, kaaak.
Suasana Hutan Larangan sedikit tegang, karena suara gagak hitam yang saling bersahutan.
"Baiklah, aku setuju." Sosok hitam tinggi mengalah. "Aku akan menuruti semuanya."
"Bagus kalau begitu." Arya Susena terlihat ramah kembali. "Siapa namamu?."
"Namaku pala api hitam." Jawabnya. "Sebelumnya aku berasal dari hutan selatan, tapi di sana terlalu banyak sinar matahari." Lanjutnya. "Dan makhluk di sana dijadikan budak manusia, untuk menyerang manusia lainnya."
"Apakah karena itu, kau pindah? Karena tidak ingin menjadi budak manusia?."
"Ya, memang seperti itu."
"Baiklah." Respon Arya Susena. "Kau boleh tinggal di sini." Matanya melihat ke arah Embun Serap, sosok wanita yang bersamanya. "Aku harap kau bisa menunjukkan tugas padanya."
"Tentu saja tuan arya." Balasnya sambil memberi hormat.
"Kalau begitu aku pergi dulu." Arya Susena tersenyum kecil. "Dan kau? Mudah-mudahan cepat bergaul dengan yang lainnya."
"Terima kasih tuan."
Arya Susena segera meninggalkan mereka.
"Untung saja kau mengalah."
"Kenapa memangnya?." Pala Api Hitam merasa heran. "Apakah kau takut padanya?."
"Hei! Goblok!." Embun Serap terlihat kesal. "Apakah kau tidak merasakan? Hawa sekitar terasa panas aneh?!." Suaranya terdengar tinggi. "Apakah kau tidak merasakan betapa panasnya suhu udara tadinya? Hah?."
"Memang, aku sempat merasakannya." Pala Api Hitam merasa heran. "Memangnya apa penyebabnya?."
"Nah!." Ucapnya dengan penuh penekanan. "Udara panas itu karena amarah, yang dikeluarkan oleh tuan arya susena!." Lanjutnya. "Kau bisa tewas, jika terlalu lama menyerap energi panas itu!."
Deg!.
Pala Api Hitam bergidik ngeri mendengarkan ucapan Embun Serap.
"Apakah dia sehebat itu?." Ia terlihat sangat gugup. "Sehingga memiliki kekuatan, yang dapat menekan aliran sekitarnya."
"Kau masih beruntung, karena mengalah tadinya." Jawab Embun Serap. "Kau akan tinggal nama saja, jika tadinya kau berani melawan tuan arya susena."
"Manusia itu memang mengerikan." Pala Api Hitam bergidik ngeri. "Bagaimana mungkin? Kau bisa betah berada di dekatnya?."
"Hahaha!." Embun Serap tertawa keras. "Kau ini sangat kolot sekali." Ucapnya dalam tawanya. "Makanya, kau jangan sembarangan bertindak." Ucapnya sambil menahan tawanya. "Kau bisa celaka, tidak semua manusia takut pada bangsa kita." Ia memperhatikan Pala Api Hitam. "Dia misalnya."
Gluk!.
Pala Api Hitam terlihat gugup.
"Dia memusnahkan kita, dan menjadikan kita budak, jika ia mau."
"Sepertinya kau telah mengenal manusia itu dengan sangat baik sekali."
"Heh!." Ia mendengus kesal. "Aku hanya ingin ikut, dan menjaga tempat tinggal ku, itu saja." Embun Serap seakan-akan tidak peduli. "Berhati-hatilah kau selama berada di sini."
"Apakah hutan ini masih liar?."
"Yang perlu kau waspadai, dia adalah arya susena." Jawabnya. "Kau bisa dibunuhnya, jika kau berani berkhianat."
Deg!.
Pala Api Hitam terkejut mendengarnya, ia tidak menduga ada manusia yang berani seperti itu?. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Simak dengan baik kisahnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments