...***...
Raden Kanigara Lakeswara melarikan diri dari Arya Susena, ia terlihat sangat ketakutan. Sementara itu para prajurit yang ikut dalam tugas itu, mereka semua terkejut melihat pemandangan itu, walaupun samar-samar karena cahaya bulan.
Arya Susena menyerang Raden Kanigara Lakeswara dengan sangat sadis, tanpa memberi kesempatan untuk membalas serangan itu sedikitpun.
Duakh!.
Sebuah tendangan mendarat dengan sempurna ke dada Raden Kanigara Lakeswara, hingga tubuhnya terjajar dan terhempas ke sebuah pohon yang sangat besar.
"Eagkh!." Raden Kanigara Lakeswara berteriak kesakitan.
Deg!.
Mereka yang melihat itu hampir tidak berkedip, pemandangan yang cukup mengerikan.
"Heh!." Arya Susena mendengus kesal. "Aku arya susena." Ucapnya dengan suara yang sangat keras. "Aku adalah ketua pendekar kegelapan!." Lanjutnya sambil mengeluarkan sebilah pedang yang sangat tajam. "Salah besar! Kau berani menantang aku!."
Srakh!.
"Uhuk!." Raden Kanigara Lakeswara terbatuk keras, ketika pedang tajam itu menancap di dada kirinya.
"Hahaha!." Arya Susena tertawa keras, suaranya menggema memecah keheningan malam.
"Kau!."
"Apa?!."
Deg!.
Kembali mereka terkejut, melihat raut wajah Arya Susena yang sangat mengerikan.
"Kau membunuh Raden kanigara lakeswara!."
"Bawa pergi jasad tuan kalian." Ucapnya sambil menyeringai lebar. "Aku telah mempermudah pekerjaan kalian."
Tidak ada jawaban dari mereka, karena memang benar apa yang dikatakan oleh Arya Susena.
"Sampaikan salamku pada Prabu maharaja kanigara rajendra, bahwa anak buangannya telah aku bunuh." Setelah berkata seperti itu, Arya Susena segera pergi meninggalkan tempat.
"Dia itu, pendekar kegelapan?."
"Aku rasa benar."
"Dia lebih sadis, dari apa yang aku bayangkan."
"Lantas? Apa yang akan kita lakukan setelah ini?."
"Kita bawa saja jasad Raden kanigara lakeswara." Jawabnya. "Supaya Raden hastungkara percaya, tugas yang ia berikan telah kita lakukan dengan baik."
"Besok pagi saja, kita kembali."
"Baiklah kalau begitu."
"Terus? Bagaimana dengan jasadnya sekarang?."
"Kita baringkan saja di tendanya."
"Baiklah."
Mereka segera mendekati jasad Raden Kanigara Lakeswara, dan membawanya ke dalam tenda yang telah didirikan. Apa yang terjadi sebenarnya?. Rencana seperti apa yang telah dilakukan Arya Susena dan Raden Kanigara Lakeswara?. Temukan jawabannya.
...***...
Di istana.
Ratu Arundaya Dewani merasakan Perasaan yang sangat cemas luar biasa mengenai anaknya. Perasaannya yang sangat gelisah memikirkan keselamatan anaknya, hatinya dipenuhi ketakutan yang sangat luar biasa.
"Oh? Dewata yang agung." Hatinya sudah tidak tahan lagi. "Semoga saja putra hamba dalam keadaan baik-baik saja." Dalam hatinya saat itu memanjatkan doa yang sangat tulus untuk anak semata wayangnya. "Ibunda hanya berharap, kau selalu dilindungi oleh dewata yang agung." Perasaan gelisah yang berlebihan membuatnya memikirkan hal buruk menimpa anaknya.
Namun saat prabu Maharaja Kanigara Rajendra saat hendak menemui istrinya yang lain, sang Prabu tidak sengaja melihat Ratu Arundaya yang sedang bersedih.
"Kau masih saja menangisi anakmu?."
"Hanya saya, yang menangisi anaknya." Balasnya dengan perasaan sakit. "Memangnya? Kanda pernah menaruh perhatian pada putra saya?."
"Maaf saja, aku tidak memiliki waktu untuk itu."
"Kanda memang sangat keterlaluan sekali." Ratu Arundaya Dewani tidak dapat lagi menyembunyikan perasaan sakit itu. "Kanda tidak memiliki perasaan sama sekali."
"Sudahlah arundaya dewani." Balas Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Aku bosan dengan ucapanmu." Setelah itu Prabu Maharaja Kanigara Rajendra segera pergi dari sana.
"Oh? Dewata yang agung, kuatkan hati saya." Kesedihan yang mendalam, dirasakan oleh Ratu Arundaya Dewani.
...***...
Keesokan harinya.
Hutan Larangan.
Patari, Darsana, Barja, dan Nismara sarapan bersama.
"Apakah arya telah kembali?."
"Aku rasa ia telah kembali."
"Dia itu memang hantu." Ucap Darsana. "Datang dan pergi sesuka hati." Lanjutnya. "Ada tidak ada sama saja, seramnya membuat mentalku lemah seketika."
"Hahaha!."
Barja, Patari dan Nismara tertawa ngakak mendengarkan ucapan itu.
"Kau ini pandai sekali, berbicara dengan jujur." Patari mengambil lalapan.
"Ya benar toh?." Respon Darsana. "Memangnya mba yu wani lawan arya?."
"Aku perempuan, dan kau laki-laki." Balasnya. "Harusnya kau yang berani melawan arya."
"Kalian membicarakan apa?."
Deg!.
Tubuh mereka mendadak kaku, mendengarkan suara Arya Susena yang menyapa mereka semua.
"Kau memang telah kembali?." Dengan gerakan patah-patah Barja memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya." Jawabnya sambil mengambil piring, nasi, serta lauk.
"Cepat sekali."
"Aku hanya sebentar saja." Jawabnya.
"Tapi kau terlihat aneh." Nismara menyipitkan matanya. "Kau terlihat masih mengantuk, memangnya apa yang kau lakukan?."
"Hoam." Arya Susena menguap. "Gagak siluman sialan itu." Suaranya terdengar kesal. "Dia meminta bantuan padaku hingga mendekati pagi."
Deg!.
Mereka semua terkejut, tidak menduga akan melihat hawa hitam menyelimuti tubuh Arya Susena.
"Tenanglah arya." Darsana semakin takut. "Sarapan dulu, ya?."
"Jangan marah dulu, nanti energimu bisa habis."
"Tenang ya." Patari juga mencoba membujuk.
"Aku sangat lapar sekali." Ucapnya setengah mengantuk.
"Kalau begitu makanlah." Mereka mencoba menenangkan Arya Susena.
"Dia ini memang mengerikan sekali." Dalam hatinya sangat takut.
"Pagi, ini masih pagi arya." Dalam hati Darsana sangat mengutuk.
"Dia ini memang sudah tidak waras." Barja sangat takut.
Dalam keheningan pagi itu, sebisa mungkin mereka tidak akan menambah suasana buruk hati Arya Susena.
...***...
Kembali ke malam itu.
"Hamba sengaja merusak jembatan itu."
"Kau yang merusak jembatan itu? Kenapa?."
"Supaya Raden tidak masuk ke desa rambi." Jawabnya. "Raden akan mengalami bahaya, jika masuk ke sana." Lanjutnya. "Kabar yang tersebar, Raden lah yang telah memimpin pasukan rampok itu."
"Apa?!."
"Seperti itulah yang terjadi."
"Kenapa kau membantu aku?."
"Karena Raden adalah calon Raja masa depan."
"Apa maksudmu?."
"Raja yang sekarang, Prabu maharaja kanigara rajendra, bukanlah raja asli."
"Raja asli?."
"Raja busuk itu, dia bukan ayahanda Raden yang sebenarnya."
"Kau jangan berkata yang aneh-aneh." Raden Kanigara Lakeswara menahan diri. "Kau jangan membual! Dan menimbulkan fitnah!." Secara spontan amarahnya keluar begitu saja.
"Hamba berkata yang sebenarnya." Jawabnya. "Ayahanda Raden yang sebenarnya, telah dibunuh oleh rajendra." Lanjutnya. "Ayahanda kandung Raden, sebenarnya bernama Prabu maharaja maheswara."
Deg!.
"Atas dasar apa?." Amarahnya kembali bergejolak. "Kau berani berkata seperti itu?!."
"Hamba mengetahui semuanya, termasuk tentang Raden."
"Kau!."
"Jika Raden ingin membuktikannya secara langsung?." Arya Susena menyeringai lebar. "Ikuti permainan dari hamba."
Belum ada tanggapan dari Raden Kanigara Lakeswara, hatinya masih belum percaya sepenuhnya pada Arya Susena.
"Ini demi masa depan Raden." Ucap Arya Susena. "Juga, demi melindungi keselamatan ibunda Raden, yang kini berada di istana."
Hati Raden Kanigara Lakeswara mulai melemah, karena baginya ibundanya adalah segala-galanya.
...***...
Istana.
"Rayi arundaya dewani."
"Yunda." Ratu Arundaya Dewani memberi hormat pada Ratu Aristawati Estiana.
"Ada apa rayi? Kenapa wajahmu terlihat sangat sedih?."
Belum ada jawaban dari Ratu Arundaya Dewani.
"Maafkan aku, karena aku tidak bisa membantumu." Raut wajahnya juga terlihat sedih. "Aku tak mampu, mencegah sikap kanda Prabu padamu rayi."
"Hatiku selalu sakit yunda." Ungkap Ratu Arundaya Dewani dengan perasaan sakit. "Kanda Prabu selalu memperlakukan aku, juga putraku seperti tahanan rumah." Lanjutnya. "Batin kami selalu disiksa dengan kejamnya."
"Sungguh, maafkan aku."
"Yunda tidak salah." Ratu Arundaya Dewani mencoba untuk tegar. "Jangan meminta maaf padaku."
"Rayi arundaya dewani." Ratu Aristawati Estiana juga mencoba menguatkan hati Ratu Arundaya Dewani.
...***...
Hutan Larangan.
Arya Susena sedang tidur di dipan ruangan tengah.
"Apakah dia baik-baik saja?." Darsana memperhatikan Arya Susena.
"Bukankah dia telah berkata, kalau dia mengantuk?." Jawab Patari. "Dia begadang karena membantu siluman gagak."
"Lantas? Apa yang akan kita lakukan?."
"Aku mau melihat keadaan sekitar." Darsana melangkah keluar. "Mungkin ada tugas bagus, yang harus aku kerjakan."
"Jangan terlalu lama kau keluar."
Deg!.
Darsana terkejut mendengar itu, termasuk Patari, Barja, dan Nismara.
"Memangnya kenapa?." Darsana memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Nanti kita akan menjemput Raden kanigara lakeswara."
"Terserah kau saja." Darsana berpura-pura tidak peduli. "Lanjutkan saja tidur mu itu." Darsana benar-benar melangkahkan kakinya keluar dari rumah.
"Aku ingin mencari bahan makanan kita selama seminggu." Barja mengambil perlengkapannya. "Mba yu berdua cari saja kegiatan lain."
"Baiklah kalau begitu." Patari dan Nismara hanya pasrah saja.
"Bagaimana, kalau kita ke desa terdekat sebentar?."
"Ide yang bagus."
Patari dan Nismara segera meninggalkan rumah, mereka juga tidak ingin berlama-lama bersama Arya Susena.
...***...
Istana.
Prabu Maharaja Kanigara Rajendra tersenyum lebar, ketika mendapatkan gulungan surat dari caraka.
"Ho?." Matanya menatap kedua anaknya. "Kalian memang hebat sekali, dalam merencanakan sesuatu." Ada kebanggaan dari hati sang Prabu.
"Memangnya itu surat apa ayahanda?." Raden Kanigara Ganda mengkerut aneh.
"Benar ayahanda." Sambung Raden Kanigara Hastungkara. "Kenapa ayahandanya tampak semangat sekali? Setelah membacakan surat itu."
"Nanti, ketika dia telah sampai di sini." Jawab Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Kalian pasti akan mengetahuinya."
"Dia?." Raden Kanigara Ganda dan Raden Kanigara Hastungkara semakin bingung.
"Hahaha!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra malah tertawa.
"Kenapa tidak katakan sekarang saja ayahanda?." Raden Kanigara Lakeswara cemberut.
"Apakah dia itu sangat istimewa ayahanda?."
"Hahaha!." Kembali Prabu Maharaja Kanigara Rajendra tertawa keras. "Sabarlah barang sebentar." Lanjut sang Prabu. "Jika ia telah sampai? Maka itu adalah kabar yang paling membuat kalian bahagia."
"Ayahanda telah berhasil membuat kami penasaran."
"Ya, ayahanda pandai sekali, membuat kami penasaran."
"Hahaha!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra semakin tertawa. "Jangan mengeluh, kalian ini laki-laki."
"Hufh!." Raden Kanigara Ganda, dan Raden Kanigara Hastungkara hanya bisa menghela nafas saja.
...***...
Sementara itu perjalan rombongan prajurit yang membawa jasad Raden Kanigara Lakeswara.
"Jurus yang digunakan arya susena, memang sangat aneh." Dalam hati Raden Kanigara Lakeswara merasa heran. "Kekuatannya juga sangat aneh." Raden Kanigara Lakeswara masih memikirkannya.
"Dasar menyusahkan."
Deg!.
Raden Kanigara Lakeswara terkejut mendengarnya.
"Sebenarnya aku merasa keberatan ikut dalam tugas tak berguna ini." Umpatnya dengan kesal. "Aku pikir, tanganku ini akan dilumuri darah Raden kanigara lakeswara." Lanjutnya. "Tahu-tahunya dia malah dibunuh oleh pendekar kegelapan."
"Itu lebih bagus." Responnya. "Jujur, aku sangat benci pada keluarga istana."
"Ya." Balasnya. "Jika saja bukan karena kebutuhan hidup yang sulit? Pastinya aku tidak mau terlibat, dengan suruhan Raden kanigara hastungkara."
Deg!.
Raden Kanigara Lakeswara semakin terkejut mendengarnya.
"Jadi benar? Raka kanigara hastungkara? Dia memang ingin aku mati?." Raden Kanigara Lakeswara menangkap semua pembicaraan mereka.
"Aku sangat yakin, kita akan mendapatkan penghargaan, karena telah berhasil membawa jasad Raden kanigara lakeswara."
"Aku rasa kau benar."
"Apakah benar? Aku ini bukan anak dari ayahanda?." Raden Kanigara Lakeswara yang masih shock, teringat dengan ucapan Arya Susena. "Apakah ayahandaku dibunuh oleh ayahanda Prabu maharaja kanigara rajendra?." Ada perasaan cemas di hatinya. "Tujuanku seperti ini, untuk memastikan semuanya." Dalam hatinya hanya bisa berharap, jika itu tidak benar.
...***...
Perlahan-lahan Arya Susena membuka matanya, dan mengambil kembali kesadarannya.
Kaak!.
Arya Susena mencoba untuk duduk dengan benar, melihat gagak hitam yang telah berubah menjadi sosok pemuda yang gagah.
"Kau menggunakan jurus itu?."
Arya Susena hanya mengangguk saja.
"Kau ini nekad sekali."
"Aku hanya ingin menunjukkan padanya." Jawab Arya Susena dengan senyuman kecil. "Bahwa orang yang telah ia panggil dengan sebutan ayahanda." Lanjutnya sambil mengambil gelas, dan mengisinya dengan air. "Adalah orang yang telah membunuh ayahanda kandungnya." Setelah itu Arya Susena meneguk minuman di tangannya.
"Kau sangat peduli sekali padanya." Mandala mengamati raut wajah Arya Susena. "Tenagamu hampir terkuras, dan kau? Bisa membahayakan diri sendiri."
"Hm." Arya Susena hanya merespon seperti itu saja.
"Hufh!." Mandala menghela nafas panjang. "Ini." Ia merogoh kantong ajaibnya. "Ibundaku menitipkan ini padamu." Ia menyerahkan botol kecil yang berisikan ramuan. "Kau beruntung, karena ibundaku mengetahui, hanya dari tenaga dalammu yang tidak stabil."
"Siluman gagak memang sangat luar biasa sekali." Arya Susena mengambil botol kecil itu. "Terima kasih, karena kau telah bersedia mengantarnya padaku." Lanjutnya. "Sampaikan salamku pada ibundamu."
"Kenapa tidak kau saja?." Balas Mandala dengan herannya. "Yang menyampaikannya pada ibundaku?."
"Hahaha!." Arya Susena tertawa kecil. "Kalau begitu, nanti saja aku sampaikan padanya."
"Hadeh!." Mandala kembali menghela nafas. "Ngomong-ngomong, apakah kau telah bertemu dengannya?."
"Maksudmu nyai rindu? Siluman ular itu?."
"Memangnya siapa lagi?." Ucapnya dengan malu-malu.
"Kenapa tidak kau saja? Yang datang menemuinya?."
"Kenapa kau malah meniru ucapanku?." Mandala merasa lelah dengan sikap Arya Susena.
Tidak ada jawaban dari Arya Susena.
"Ah! Lupakan saja." Mandala semakin lelah.
"Kekuatanku masih belum cukup." Ucapnya sambil melihat jauh. "Kekuatan itu, aku akan menggunakannya."
"Kau memang sudah tidak waras arya."
"Karena orang yang aku hadapi, juga tidak waras."
"Baiklah, aku akan mengajarkan padamu, jurus itu dengan sempurna."
"Bagus." Arya Susena tersenyum lebar. "Aku harus melakukan banyak persiapan, agar aku bisa membunuhnya."
"Kau sangat berambisi sekali arya."
"Aku tidak akan mengampuni, orang yang telah membuat aku sengsara." Sorot matanya tampak sangat tajam. "Dia harus mati, dan dia harus membayar semuanya dengan luas."
Deg!.
Mandala sangat terkejut, melihat hawa hitam yang menyelimuti tubuh Arya Susena.
"Aura yang kau tunjukkan, lebih mengerikan dari bangsa kami." Ucap Mandala tidak tahan melihat itu. "Kau ini manusia, tapi lebih berbahaya dari banga kami."
"Manusia itu memang mengerikan mandala." Responnya. "Manusia memiliki senjata yang mematikan, dari pada siluman." Lanjutnya.
"Senyumanmu itu membuat aku semakin takut." Mandala sebisa mungkin bersikap tenang, karena ia merasakan ada tekanan hawa yang tidak biasa dari Arya Susena.
"Jurus penyatuan itu harus berhasil." Ucap Arya Susena. "Aku akan menanggung semua resikonya."
"Baiklah, aku mengerti dengan tekad mu itu arya." Mandala juga tidak terlihat keberatan sama sekali.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Apakah mereka bisa?. Menyelesaikan masalah yang terlah terjadi?. Simak terus kisahnya ya.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments