...**...
Keesokan harinya, kawasan wisma Putra Raja.
Ratu Arundaya Dewani mendekati anaknya, melihat anaknya yang sedang duduk sendirian.
"Kenapa ananda terlihat sangat gelisah seperti itu?." Senyuman manis terlihat di raut wajahnya yang cantik. "Apakah nanda sedang memikirkan sesuatu?."
"Apakah saya boleh bertanya ibunda?."
"Apa yang ingin nanda tanyakan?." Ratu Arundaya Dewani sedikit merapikan pakaian anaknya. "Semoga ibunda bisa menjawabnya." Ucapnya sambil mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Kenapa kerajaan ini masih terdengar ratapan rakyat ibunda?." Raden Kanigara Lakeswara terlihat sedih. "Seakan-akan negeri ini sedang menangis." Lanjutnya. "Kenapa bisa seperti itu ibunda?." Kembali sebuah pertanyaan muncul darinya. "Katanya, negeri ini telah makmur, bahkan para petinggi istana langsung menyebutkannya di hadapan ayahanda Prabu."
Ratu Arundaya Dewani sangat terkejut dengan apa yang ia dengar dari putranya, terdiam karena tidak mengetahui jawaban seperti apa yang akan dikatakan pada anaknya.
"Memangnya? Nanda melihat dari mana?." Ratu Arundaya Dewani bertanya hati-hati. "Jika rakyat menangis?."
"Beberapa kali nanda melihatnya ibunda." Jawabnya. "Masih banyak rakyat yang menderita kelaparan, ketakutan, dan bahkan disiksa oleh prajurit istana."
"Tenanglah putraku." Ratu Arundaya Dewani berusaha menenangkan anaknya. "Jangan terlalu terbawa perasaan."
"Saya hanya kasihan pada mereka ibunda." Balasnya. "Seakan-akan ayahanda Prabu, tidak peduli pada mereka."
"Dengarkan ucapan ibunda." Ratu Arundaya Dewani menggenggam tangan anaknya. "Kau jangan terlibat dengan masalah apapun." Hatinya merasa gelisah. "Jangan lakukan apapun, yang nantinya akan menentang ayahandamu."
"Tapi ibunda."
"Ibunda mohon." Tatapan mata Ratu Arundaya Dewani terlihat sangat sedih. "Ibunda tidak ingin, nanda memiliki masalah berat." Ratu Arundaya Dewani menahan segala gejolak di hati. "Siapa yang akan melindungi ibunda? Jika nantinya kau mendapatkan masalah dengan ayahandamu?."
Raden Kanigara Lakeswara memperhatikan raut wajah ibundanya dengan perasaan bersalah. "Baiklah ibunda." Ucapnya sambil menekan semua emosi jiwa yang terlanjur membara.
"Berjanjilah, jika kau tidak akan melibatkan diri, dalam masalah apapun, ya?."
"Saya berjanji ibunda."
"Oh? Putraku." Ratu Arundaya Dewani memeluk anaknya. Hatinya sangat tidak tenang. "Maafkan ibunda." Dalam hati Ratu Arundaya Dewani. "Cukup sekali saja, ibunda tidak ingin kehilangan lagi." Hatinya merasakan kembali luka lama di masa lalu.
...***...
Ruangan Utama Istana.
Sementara itu, Prabu Maharaja Kanigara Rajendra saat itu sedang memikirkan apa yang telah terjadi di negeri ini setelah adanya kelompok yang mengaku sebagai pendekar kegelapan?.
"Apakah mereka ingin melakukan sesuatu padaku?." Dalam hati Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Dengan cara membunuh siapa saja, yang telah berbuat tidak adil pada rakyat?." Sang Prabu sedang memikirkan kemungkinan yang terjadi. "Siapa mereka sebenarnya? Kekuatan apa yang mereka miliki?." Sang Prabu masih memikirkannya. "Sehingga mereka berani, ingin berbuat masalah denganku."
Namun saat itu kedua putranya datang menemuinya. Keduanya yang saat itu baru saja kembali dari luar, setelah belajar ilmu kanuragan yang sangat mempuni.
"Salam hormat kami ayahanda Prabu."
"Salam hormat kalian aku terima. Duduklah."
"Terima kasih ayahanda Prabu."
Setelah memberi hormat, keduanya duduk dengan sangat tenang. Kedua kakak beradik yang dari ibu yang sama?.
"Bagaimana latihan yang ananda berdua lakukan?." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra menatap kedua anaknya dengan senyuman ramah. "Apakah nanda berdua telah mempersiapkan diri? Untuk mencalonkan diri sebagai putra mahkota terhormat?!." Suaranya bahkan terdengar sangat bersemangat. "Dan akan menjadi bakal calon raja?."
"Tentu saja ayahanda." Ucapnya sambil memberi hormat. "Kami telah menyiapkan diri kami ayahanda Prabu." Ia terlihat sangat percaya diri.
"Kami sangat siap sekali ayahanda Prabu." Raden Kanigara Hastungkara memberi hormat. "Kapanpun dimulai? Kami berdua telah siaga ayahanda."
"Bagus!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra menatap bangga kedua anaknya. "Itu yang ayahanda harapkan dari kalian."
"Lantas?." Balas Raden Kanigara Ganda. "Kapan penyelenggaraan itu diadakan ayahanda Prabu?." Lanjutnya. "Rasanya saya sudah tidak sabar lagi."
"Benar itu ayahanda Prabu." Sambung Raden Kanigara Hastungkara. "Kami tidak sabar lagi, ingin menunjukkan siapa yang lebih pantas."
"Hahaha!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra tertawa mendengarnya. "Ayahanda sangat bangga sekali pada kalian." Ada rona kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah sang Prabu. "Semangat kalian sangat luar biasa sekali."
"Tentu saja ayahanda."
"Ya, kami sangat semangat ayahanda."
"Ya, ayahanda dapat melihat itu." Balas Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Tapi, sebelum itu kalian harus menyingkirkan adik kalian yang tidak berguna itu."
"Adik?." Raden Kanigara Hastungkara dan Raden Kanigara Ganda bersamaan.
"Maksud ayahanda? Si lakeswara?."
"Ya, siapa lagi rayi laki-laki kalian selain dia?." Jawab Prabu Maharaja Kanigara Rajendra dengan entengnya. "Apakah kalian memiliki adik lain? Selain dia?."
"Hahaha!." Raden Kanigara Hastungkara dan Raden Kanigara Ganda tertawa.
"Mana mungkin kami memiliki saudara lain." Ucap Raden Kanigara Hastungkara dalam tawanya. "Kecuali ayahanda memiliki istri rahasia, yang tidak kami ketahui sama sekali."
"Hadeh!." Keluh Prabu Maharaja Kanigara Rajendra dengan lelahnya. "Kalian ini bagaimana sih?." Raut wajah sang Prabu terlihat cemberut. "Cinta ayahanda hanya tertuju pada ibunda kalian saja." Lanjut sang Prabu percaya diri. "Juga pada kalian."
"Oh? Rasanya sangat senang sekali mendengarnya ayahanda."
"Terima kasih ayahanda." Raden Kanigara Hastungkara memberi hormat.
"Karena itulah, kalian harus bisa menyingkirkan dia." Ucap Prabu Maharaja Kanigara Rajendra menatap anaknya. "Supaya saingan kalian berkurang."
"Untuk masalah itu, ayahanda tidak perlu cemas." Ucap Raden Kanigara Ganda. "Dia bukanlah lawan yang sepadan dengan kami." Ada kepercayaan tinggi di hatinya. "Bukankah seperti itu rayi hastungkara?."
"Tentu saja raka." Raden Kanigara Hastungkara juga terlihat percaya diri.
"Ya, ayahanda percaya itu." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra menatap kedua anaknya dengan penuh kebanggaan.
...***...
Di dalam Hutan Larangan.
"Tuan arya." Embun Serap memberi hormat.
"Bagaimana dengan wilayah barat huta ini?." Arya Susena melihat ke arah Embun Serap, roh wanita gentayangan yang berhasil ditaklukan Arya Susena. "Apakah ada yang mencurigakan?."
"Untuk saat ini aman." Jawabnya. "Bahkan para gagak yang berada di setiap sudut hutan ini." Lanjutnya. "Tidak merasakan adanya ancaman sama sekali."
"Bagus kalau begitu." Arya Susena melihat ke arah gagak hitam yang baru saja ikut bergabung. "Lantas? Bagaimana dengan si hitam?." Matanya tidak melihat keberadaan sosok Pala Api Hitam. "Apakah dia masih berada di sini?."
"Tentu saja." Jawab Embun Serap. "Dia menghuni pohon keramat di hutan larangan."
"Pohon keramat?."
"Ya."
Kaak! Kaaak!.
Gagak Hitam ikut bersuara.
"Oh? Dia bekerja sama dengan si kain terbang itu?."
"Sepertinya begitu tuan."
"Ya sudah." Balas Arya Susena. "Kalian tetap awasi sekitarnya."
"Baik tuan." Embun Serap dan yang lainnya memberi hormat.
"Peluh kegelapan."
"Saya tuan." Gagak Hitam itu berubah menjadi wujud manusia, ia mendekati Arya Susena, memberi hormat.
"Bagaimana pengawasanmu mengenai pelarian penduduk desa?." Arya Susena menatap lekat. "Apakah benar? Mereka hampir memasuki kawasan hutan larangan, untuk berlindung?."
"Benar sekali tuan." Jawab Peluh Kegelapan. "Dua ratu depa dari hutan larangan ini, mereka bersembunyi di sana."
"Kalau begitu awasi terus mereka."
"Baik tuan."
"Lakukan."
"Baik tuan." Peluh Kegelapan kembali berubah menjadi gagak Hitam, ia terbang tinggi menuju lokasi yang dimaksud.
"Pelarian ya?." Arya Susena tampak sedang berpikir. "Kali ini masalah apa lagi?." Dalam hatinya merasa heran. "Masalah memang tidak ada habis-habisnya." Ada gejolak amarah di hatinya. "Tentu saja, sebelum sumber itu dihancurkan." Arya Susena merasakan kembali gejolak amarah itu. "Nyawa harus dibayar dengan nyawa." Hatinya hanya diisi oleh perasaan dendam yang sangat membara.
...***...
Di sebuah desa.
Darsana yang menyamar menjadi seorang pengembara sedikit berbaur dengan para penduduk desa.
"Maaf, saya perhatikan desa ini sangat sepi sekali."
"Itu karena sudah banyak penduduk desa yang mengungsikan diri." Jawab tuan Sada Para sambil menuangkan air ke dalam cangkir. "Desa ini sudah tidak aman lagi." Raut wajahnya terlihat sangat sedih. "Desa ini menjadi tempat persinggahan rampok yang sangat kejam."
"Rampok?." Darsana pura-pura terkejut.
"Benar sekali anak muda." Jawabnya. "Sebaiknya kau segera pergi dari desa ini." Lanjutnya. "Pergilah sebelum matahari terbenam."
Tidak ada komentar dari Darsana.
"Saya tidak bermaksud mengusir mu anak muda." Ada perasaan tidak enak hati darinya. "Saya hanya tidak ingin kau terluka."
"Terima kasih atas sarannya tuan." Balas Darsana dengan senyuman ramah. "Saya akan berhati-hati."
"Anak muda di sini saja tidak berani melawan mereka." Ucapnya. "Bahkan mereka malah ikutan mengungsi ke desa lain."
"Bagaimana dengan tuan sendiri?." Darsana tersenyum kecil. "Kenapa tuan tidak ikut mengungsi juga?."
"Hufh!." Tuan Sada Para menghela nafasnya. "Saya hanya kasihan pada orang tua rentan saja." Ucapnya. "Jika saya mementingkan diri saya? Tentu saja sangat ingin melindungi nyawa saya."
"Apakah orang tua rentan masih berada di desa ini?."
"Tentu saja."
"Tuan yang melindungi mereka?."
"Saya hanya menjamin saja." Jawabnya dengan lelahnya.
"Maksud tuan?."
"Setiap rampok itu datang, saya menyerahkan harta saya." Jawabnya. "Untuk menjamin, bahwa mereka tidak membunuh para orang tua rentan." Lanjutnya. "Saya tidak mau kejadian mengerikan, menimpa desa ini." Raut wajahnya tampak sedih. "Bukan hanya membunuh anak-anak, wanita saja." Hatinya sangat sakit. "Bahkan mereka dengan teganya membunuh orang tua rentan, mengancam siapa saja, agar mendapatkan harta yang mereka inginkan."
"Kejam sekali tindakan mereka itu."
"Dengan kekayaan yang saya miliki, saya jamin keselamatan mereka dengan cara seperti itu." Tuan Sada Para hampir saja menangis. "Saya tidak ingin mereka menderita, tersiksa di hari tua mereka hanya karena rampok keji." Kali ini air matanya telah jatuh. "Bagi saya, mereka telah saya anggap seperti orang tua saya."
"Tuan sangat luar biasa sekali." Darsana sangat terkesan. "Semoga sang hyang Widhi selalu melindungi tuan."
"Terima kasih ucapan baikmu anak muda." Tuan Sada Para menguatkan hatinya.
"Kapan para rampok itu akan datang?."
"Biasanya mereka datang pada pekan di mana panen jagung." Jawabnya. "Tapi kadang ada bagian dari mereka yang datang meronda setiap harinya."
"Oh?." Respon Darsana.
"Apakah kau akan melawan mereka anak muda?."
"Saya sangat terkesan pada kebaikan tuan." Jawabnya. "Saya juga akan membantu tuan."
"Jangan konyol kau anak muda." Ada perasaan cemas di hatinya. "Kau akan mati mengenaskan, jika kau melawan mereka sendirian."
"Tuan tenang saja." Balas Darsana dengan sangat santai. "Saya tidak sendirian." Lanjutnya. "Pendekar kegelapan juga memiliki kelompok yang istimewa."
Deg!.
Tuan Sada Para terkejut mendengarnya, jantungnya berdebar kencang.
"Tuan anggota kelompok pendekar kegelapan?."
"Tentu saja tuan."
"Tuan mau membantu saya?."
"Ya, memang itu tujuan kami."
"Oh? Sang Hyang Widhi." Tuan Sada Para sangat terharu. "Terima kasih atas pertolongannya."
"Tolong berikan informasi yang lebih lanjut lagi, mengenai keberadaan rampok itu tuan."
"Tentu saja anak muda." Tuan Sada Para terlihat bersemangat, seakan-akan ada sebuah harapan yang telah ia dapatkan saat itu juga.
...***...
Di sini lainnya.
Patari dan Nismara sedang berjalan tak jauh dari Hutan Larangan. Kedua pendekar wanita cantik itu sedang melihat keadaan desa, mungkin saja mereka mendapatkan tempat pelampiasan amarah yang sedang dirasakan.
"Bukankah kau telah berteman dengannya sejak masih kecil?." Patari sangat heran. "Bagaimana mungkin? Kau tidak mengetahui? Jika sifat buruknya seperti itu?."
"Walaupun aku telah bersamanya sejak kecil." Jawab Nismara. "Aku tidak pernah melihat ia semarah itu pada seseorang." Lanjutnya. "Aku rasa emosinya sedang meledak-ledak." Ucapnya dengan perasaan heran. "Apakah kau masih ingat? Pertama kali dia bertemu denganmu?." Kali ini melempari sebuah pertanyaan. "Aku melihatmu seperti orang tidak berdaya sama sekali di hadapannya."
Deg!.
Seketika Patari menggamang, ketika mengingat kejadian itu. "Sebaiknya jangan kau ingatkan lagi padaku." Suaranya terdengar bergetar. "Rasanya aku tidak sanggup, melihat matanya yang merah menyeramkan itu." Badannya bergetar takut. "Dia itu iblis, bukan manusia."
"Hufh!." Nismara menghela nafasnya dengan pelan. "Meskipun aku tidak mengetahui secara pasti." Ucapnya. "Apa yang telah terjadi diantara kalian." Matanya melirik ke arah Patari. "Sepertinya dia memang menyeramkan."
"Sangat menyeramkan sekali." Patari masih ingat dengan hawa panas tidak biasa, serta tatapan mematikan dari Arya Susena. "Aku pikir saat itu aku telah pindah alam." Dalam hatinya merasakan ngeri. "Dia itu, sangat mengerikan dari setan." Ia berusaha menguatkan hatinya. "Dan lebih gilanya, dia bisa melihat hantu." Tiba-tiba saja ia teringat sebuah kejadian aneh. "Dia berkata bahwa hutan larangan dijaga oleh para hantu gentayangan."
"Kalau masalah itu aku tidak bisa berkomentar." Ucapnya dengan lelahnya. "Buktinya memang tidak ada satupun manusia yang berani masuk ke sana, karena ada kejadian aneh."
"Ya, kau benar juga."
Kembali ke masa itu.
Pertama kalinya mereka masuk ke dalam hutan larangan.
"Jangan ke sana." Ucap Arya Susena mendadak, membuat mereka menghentikan langkahnya.
"Kenapa?."
"Di sana ada siluman ular."
"Hahaha!."
Mereka malah tertawa mendengarnya, menertawakan Arya Susena yang mereka anggap sedang memberikan lawakan pada mereka.
"Hufh!." Arya Susena menghela nafas pelan. "Nini siluman ular, ada mangsa enak di sini." Arya Susena mengeraskan suaranya.
Ssssssh!.
Deg!.
Mereka semua terkejut mendengar suara desahan aneh, serta suara aneh lainnya.
"Kau bercanda arya?." Darsana sangat takut, gerakannya patah-patah.
"Bukankah kalian ingin dimakan siluman ular?." Balasnya dengan senyuman ramah. "Saat ini ia berada di belakang kalian." Tunjuknya dengan sangat santai.
Patari, Nisamara, Darsana, dan Bajra dengan sangat hati-hati melihat ke arah yang ditunjuk Arya Susena.
Deg!.
Jantung mereka seakan-akan mau melompat dari tempatnya, melihat siluman ular yang sangat menyeramkan.
"Nah? Siapa duluan yang ingin disantap oleh siluman ular?." Arya Susena menyeringai lebar. "Maju saja, anggap saja kalian adalah tumbal pertama dari hutan larangan."
Tidak ada jawaban dari mereka, suara mereka mendadak hilang entah ke mana.
Kembali ke masa ini.
"Dia memang gila." Keluh Patari. "Aku pikir dia memang lebih kejam dari iblis."
"Sangat setuju sekali." Ucapnya dengan perasaan takut, dia itu memang iblis gila, kejam!."
Setelah itu mereka menyamar menjadi gadis desa, tentu saja untuk mencari sebuah informasi yang sangat penting. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Simak terus kisahnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Sak. Lim
naiiif otak nya di pantatnya
2023-08-27
1