...***...
Di ruangan pribadi raja.
"Sebelum aku mendengar rencana dari kedua anakku." Ucap Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Coba kau ceritakan, bagaimana kejadian saat itu."
"Mohon ampun Gusti Prabu." Sakral memberi hormat. "Pada malam itu kami berhenti di perbatasan menuju desa rambi." Ucapnya sambil mengingat kejadian itu. "Kami tidak bisa meneruskan perjalanan, karena jembatan penyebrangan rusak parah, sehingga kami memutuskan untuk istirahat, dan bermalam di sana." Lanjutnya. "Sembari menunggu makan malam disediakan, kami membuat api unggun." Kembali ia memberi hormat. "Namun saat itu Raden lakeswara katanya ingin melihat keadaan sekitar, dengan menggunakan kuda."
Prabu Maharaja Kanigara Rajendra, Raden Kanigara Ganda, dan Raden Kanigara Hastungkara menyimak kejadian itu dengan baik.
"Agak berapa lama, kami melihat Raden lakeswara berlari dengan cepat ke arah kami." Kini raut wajahnya terlihat berubah. "Ada seseorang yang mengejarnya, menghajar Raden lakeswara tanpa ampun."
"Mengejar, dan menyerangnya tanpa ampun?." Raden Kanigara Hastungkara heran.
"Benar Raden." Jawabnya. "Ia menghajar, dan menusuk dada kiri Raden kanigara lakeswara dengan pedang."
"Apakah kau melihat? Dan mengenali? Siapa pelakunya?."
"Mohon ampun Gusti Prabu." Sakral memberi hormat pada Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Kami tidak kenal sama sekali, siapa orang yang telah berani menyerang Raden lakeswara." Jawabnya. "Hanya saja, saat itu ia berkata." Lanjutnya. "Bahwa ia adalah arya susena, ketua dari kelompok pendekar kegelapan."
Deg!.
Entah kenapa ucapan itu membuat mereka terkejut, dan hampir tidak percaya.
"Arya susena?."
"Ketua kelompok pendekar kegelapan?."
"Itu yang ia katakan Gusti."
Mereka tampak berpikir sejenak.
"Jadi? Artinya kita tepat sasaran raka?." Raden Kanigara Hastungkara melihat ke arah kakaknya.
"Aku rasa memang begitu rayi."
"Memangnya, apa yang kalian rencanakan?."
"Mohon ampun ayahanda Prabu." Keduanya memberi hormat.
"Saat itu, informasi dari paman triasti." Jawab Raden Kanigara Ganda. "Ada kelompok rampok yang sangat meresahkan rakyat." Lanjutnya. "Kami memanfaatkan pergerakan para rampok itu." Lanjutnya. "Kami menyuruh beberapa telik sandi, untuk menyebarkan fitnah." Senyumannya terlihat lebar. "Bahwa para rampok itu suruhan lakeswara."
"Suruhan lakeswara?." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra heran. "Alasannya?."
"Bukankah kelompok pendekar kegelapan itu, mereka benci dengan orang-orang yang berkuasa?."
"Ya, ayahanda mengetahui berita itu."
"Dengan tersebarnya fitnah itu, saya yakin, para pendekar kegelapan, pasti akan memburu lakeswara." Balasnya. "Karena telah menganiaya rakyat, dengan bekerja sama dengan para rampok."
"Hahaha!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra tertawa puas mendengarnya. "Kau memang sangat hebat sekali ganda." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra menepuk-nepuk pundak anaknya. "Kau memang hebat! Dalam membuat rencana."
"Terima kasih ayahanda." Raden Kanigara Ganda merasa tersanjung..
...***...
Di bilik Raden Kanigara Lakeswara.
Tabib Istana yang memeriksa keadaan Raden Kanigara Lakeswara. Dari raut wajahnya terlihat sangat keberatan, dan merasakan simpati yang sangat dalam.
"Bagaimana keadaan anak saya?." Ratu Arundaya Dewani tidak sabaran. "Apakah masih bisa diselamatkan?." Tatapan matanya dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. "Katakan pada saya."
"Mohon ampun Gusti Ratu." Tabib istana memberi hormat. "Hamba sudah tidak bisa lagi menyelamatkan nyawanya."
Deg!.
Saat itu juga dunianya terasa runtuh, mendengarkan kata terlarang di dalam hidupnya.
"Putra saya tidak bisa diselamatkan?." Hatinya terasa sakit, kepalanya terasa pusing.
"Sekali lagi, maafkan hamba Gusti."
"Tidak!." Ratu Arundaya Dewani sangat histeris. "Tidak! Anak saya masih bisa diselamatkan!." Ratu Arundaya Dewani mendekap tubuh anaknya. "Anak saya masih bisa diselamatkan!." Tangisnya pecah, melambangkan betapa pedih hatinya saat itu juga.
"Ibunda." Raden Kanigara Lakeswara yang mendengarkan, dan melihat itu sangat tidak tega. "Maafkan saya ibunda." Hatinya juga sesak, mendengarkan tangisan ibundanya, serta pelukan yang sangat erat pada tubuhnya.
"Bangun anakku!." Ratu Arundaya Dewani berusaha membangunkan anaknya. "Bangun nak! Jangan tinggalkan ibunda!." Sekuat tenaga Ratu Arundaya Dewani membangunkan anaknya. Sayang sekali, tidak ada hasilnya, anaknya hanya diam saja.
...***...
Pendekar kegelapan telah meninggalkan hutan larangan, saat ini mereka berada di desa bukit Batu Alam.
"Untuk sementara waktu, kita berpencar sebentar." Ucap Arya Susena sambil menatap lekat pada sebuah pohon besar. "Kita akan bertemu lagi, sebelum memasuki perbatasan kota Raja."
"Memangnya, apa yang ingin kau lakukan arya?." Darsana sangat heran.
"Aku ingin berbicara sebentar dengannya." Tunjuknya ke arah pohon besar.
Deg!.
Seketika tubuh mereka terasa menggamang, karena mereka tidak bisa melihat apa yang ditunjukkan oleh Arya Susena.
"Baiklah, kami mengerti."
"Kalau begitu kami pergi dulu."
"Cepat susul kami, ya?."
Darsana, Barja, Patari, dan Nismara segera kabur dari tempat. Tentu saja mereka memahami apa yang dikatakan oleh Arya Susena.
Arya Susena segera melangkah kakinya, matanya menangkap sosok anak kecil yang sedang menangis di sana.
"Tenanglah anak manis." Arya Susena mencoba menenangkan anak itu, memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Kakang ada bersamamu."
"Tolong saya kakang." Ucap anak perempuan itu dalam tangisnya. "Tolong saya."
"Apa yang bisa kakang bantu?." Arya Susena menatap matanya yang penuh dengan kesedihan yang mendalam. "Katakan, jangan menangis." Arya Susena menghapus air mata anak kecil itu.
"Ibunda saya." Suaranya terdengar sesegukan. "Ibunda saya dibawa paksa."
"Sama siapa?."
"Banyak orang yang menyeret paksa ibunda saya." Jawabnya dengan perasaan sakit. "Mereka membawa ke sana."
"Kapan kejadiannya?."
"Saya tidak ingat kakang." Anak kecil itu mencoba tenang.
"Kenapa ibundamu diseret paksa?."
"Ibunda saya difitnah."
"Difitnah?."
"Saya kurang mengerti kakang." Jawabnya dengan polosnya. "Tapi saya mendengarkan ucapan, dan teriakan mereka." Sorot mata itu kembali terlihat sedih. "Bunuh wanita pelacur itu, bakar wanita pelacur itu."
Deg!.
Arya Susena seakan-akan terbawa oleh kejadian masa lalu, di mana ia melihat ada banyak orang disekitar area itu.
"Tidak! Lepaskan saya!." Teriak seorang wanita dengan penuh ketakutan."
"Ibunda!." Teriak seorang anak kecil, ia juga terlihat takut.
"Bunuh pelacur itu!."
"Bakar wanita pelacur itu!."
Mereka menyeret paksa wanita itu menuju sebuah tempat.
"Ibunda!." Anak kecil itu berusaha mengejarnya, tetapi ada dua orang dewasa menahannya.
"Dasar anak lacur!." Hardik orang itu.
"Bunuh saja dia kakang."
"Tidak! Lepaskan saya!." Anak kecil itu berusaha berontak, namun sayang sekali. Nasibnya sangat malang sekali, ia dibunuh dengan cara yang sangat keji.
Deg!.
Arya Susena seakan-akan ditarik paksa lagi untuk mendapatkan kesadarannya.
"Tolong saya kakang." Kali ini kondisi anak itu seperti di mana ia dibunuh.
Arya Susena berusaha menekan hatinya, perasaannya, kemarahannya, serta gejolak emosi yang ada di dalam dirinya.
"Ya, tentu saja kakang akan membantumu adik manis." Sebisa mungkin Arya Susena tidak menangis saat itu juga. "Kakang pasti akan membantumu." Arya Susena mengusap sayang kepala anak kecil itu. "Sekarang, pejamkan matamu, hilangkan semua kenangan masa lalu itu."
"Tapi kakang." Tatapan matanya yang kosong itu, melihat ke arah Arya Susena.
"Serahkan pada kakang, ya?." Arya Susena berusaha tegar. "Kau percaya, kan? Kalau kakang bisa membantumu."
Perlahan-lahan wajah anak kecil itu berubah kembali menjadi anak perempuan yang cantik.
"Bagus." Arya Susena mengusap-usap pelan rambut anak kecil itu. "Lebih baik kau seperti ini."
"Terima kasih kakang." Senyumannya juga terlihat sangat manis. "Sampai jumpa kakang."
"Sampai jumpa kembali anak manis." Arya Susena tersenyum lembut, matanya memastikan jika anak kecil itu kembali dengan aman.
...***...
Darsana sampai di sebuah desa.
Tentu saja dengan penyamarannya sebagai anak muda yang baru saja datang ke desa itu. Darsana mencoba berbaur dengan mereka, mungkin saja ada informasi penting yang akan ia dapatkan nantinya.
"Hidup kita semakin terasa berat kang." Keluh seorang wanita. "Pemerintah telah mengeluarkan pengumuman yang sangat mengerikan." Lanjutnya.
"Ya, rasanya tidak ada lagi tempat bagi kita untuk mengadu." Balas seorang laki-laki dewasa.
"Mohon maaf sebelumnya tuan, nyai." Darsana mencoba ikut bersuara. "Memangnya ada masalah apa?." Ia sangat penasaran. "Apa yang telah diumumkan pemerintah?."
"Apakah kau baru datang di desa ini?."
Mereka semua melihat ke arah Darsana.
"Benar tuan, saya baru saja datang ke daerah ini." Jawabnya.
"Pantas saja belum mengetahuinya." Respon laki-laki itu.
"Pemerintah telah mengeluarkan pengumuman." Ucapnya. "Barang siapa yang meminta bantuan pada kelompok pendekar kegelapan, maka ia akan dicambuk sampai mati."
Deg!.
Darsana sangat terkejut mendengarnya.
"Keluarganya, yang berhubungan dengannya, juga akan dihukum pancung."
Terlihat suasana hati mereka semakin bersedih.
"Rasanya saya tidak sanggup lagi untuk hidup di kawasan ini."
"Kenapa tidak mengungsi ke daerah lain saja?."
"Tidak semudah itu anak muda."
"Kenapa?."
"Warga desa kami, ketahuan pindah ke kawasan lain, desa lain." Ucapnya dengan perasaan sedih. "Mereka diseret paksa ke istana." Lanjutnya. "Satu purnama kemudian, mereka belum kembali."
"Tahu-tahunya mereka dijadikan budak di sebuah pertambangan." Ucap seorang wanita melanjutkan ucapan itu. "Mereka tidak dikasih makan, bahkan jika ada yang tewas? Hanya dibuang ke lubang tambang saja."
Deg!.
Hati Darsana semakin bergetar kuat, mendengarkan betapa sadisnya perlakukan para petinggi istana terhadap rakyat miskin.
"Sebaiknya kau segera kembali ke daerah asalmu anak muda." Tatapan matanya dipenuhi oleh ketakutan. "Kau akan bernasib malang, jika ketahuan pindah ke kawasan lain."
"Baiklah." Darsana mencoba menguatkan hatinya. "Nanti malam, saya akan segera kembali." Lanjutnya dengan senyuman ramah. "Terima kasih atas informasinya tuan, nyai."
"Berhati-hatilah anak muda."
"Kami akan sekali mendoakan yang terbaik untukmu."
Terlihat sangat jelas, bagaimana ketulusan mereka saat itu pada Darsana. Sehingga muncul niat yang sangat kuat di hatinya, bahwa ia akan melindungi warga desa dari kekejaman para petinggi Istana, terutama dari tangan dingin Prabu Maharaja Kanigara Rajendra.
...***...
Patari dan Nismara yang saat itu sedang berada di sebuah desa. Mereka sengaja berpencar sebelum menuju perbatasan Kota Raja. Bagi mereka mencari informasi sangat penting, karena ada hal yang harus mereka pastikan sebelum memasuki kawasan terlarang itu.
"Hei." Seorang pendekar tua menunjuk ke arah pendekar muda. "Katanya kota Raja, adalah surga bagi para petinggi istana."
"Kabar itu memang telah tersebar sejak dulu kakang." Responnya. "Tapi, orang asing masih bisa masuk ke sana."
"Caranya?."
"Menjadi saudagar kaya." Jawabnya. "Juga menjadi pengawal pribadi mereka."
"Menjadi pengawal pribadi?." Raut wajahnya keheranan. "Aneh sekali rasanya, jika mereka membutuhkan pengawal pribadi."
"Itu karena mereka takut, pada kelompok pendekar kegelapan."
"Halah!." Tepisnya. "Aku dengar kelompok pendekar kegelapan, hanya diisi oleh bocah kemarin sore." Lanjutnya sambil menikmati gorengan. "Para petinggi istana, takut pada bocah? Memalukan sekali."
"Walaupun mereka bocah, tapi gerakan yang telah mereka lakukan." Balasnya. "Itu sangat merepotkan para petinggi istana kakang." Lanjutnya. "Bahkan, sudah ada puluhan petinggi istana lama, telah dibunuh oleh mereka."
"Itu karena petinggi istana yang bodoh." Ucapnya dengan santai. "Mereka itu tidak terlalu peduli masalah ilmu kanuragan seperti kita." Ia meneguk minuman sejenak. "Mereka hanya peduli dengan kepeng, makanya gepeng di tangan bocah ingusan."
"Hahaha!."
Terdengar suara tawa dari mereka, karena merasa lucu dengan ucapan itu.
"Lantas? Kakang merasa tertarik dengan tawaran itu?."
"Maksudmu? Menjadi cecunguk para petinggi istana?."
"Bukankah? Kakang ingin masuk ke kawasan kota Raja?."
"Itu hanya sekedar lihat-lihat saja." Jawabnya dengan santai.
"Tapi saya sangat penasaran sekali kakang."
"Apa yang membuatmu penasaran?."
"Siapa yang berada di belakang para bocah itu?." Tatapan matanya seakan-akan menerawang jauh, mencari sebuah jawaban atas rasa penasarannya itu. "Sehingga mereka berani bergerak, melawan, serta membunuh para petinggi istana." Lanjutnya. "Yang telah berani menyengsarakan rakyat."
Belum ada jawaban darinya, ia juga sedang berpikir sambil menikmati hidangan yang ada di depannya. "Aku rasa, pasti ada pendekar tua, yang menaruh dendam pada pihak istana." Ucapnya. "Tidak akan mungkin, para bocah itu bergerak, tanpa adanya pelindung kuat dari belakang."
"Saya rasa kakang benar."
Patari dan Nismara hanya menyimak saja, mereka tidak boleh gegabah dalam bertindak.
"Mungkin, nanti aku bisa menceritakannya pada arya susena."
Setidaknya itu yang ada di dalam pikiran Patari dan Nismara. Mereka juga harus menjaga keselamatan, bisa saja kedua orang itu adalah pendekar pilih tanding. Keduanya harus waspada, karena ada hal penting yang harus mereka lakukan bersama Arya Susena setelah ini. Tujuan mereka jauh lebih besar lagi, dari pada harus menciptakan sebuah keributan dengan pendekar berpengalaman.
...***...
Puk!.
Arya Susena terperanjat terkejut, karena ada seseorang yang menepuk pundaknya.
"Apa yang kau lakukan di sini anak muda?." Kakek tua itu heran.
"Oh? Tidak." Responnya dengan cepat. "Bunga?." Matanya menangkap ada berbagai jenis bunga di tangan kakek tua itu.
"Setiap purnama, dalam hitungan tiga belas hari." Jawabnya. "Saya selalu menabur bunga kembang tujuh rupa di sini."
"Untuk apa tuan melakukannya?." Arya Susena merasa tertarik.
"Karena cucu saya tewas mengenaskan di sini." Ucapnya dengan perasaan sedih. "Saya hanya bisa berharap, dengan taburan bunga kembang tujuh rupa ini, membuat ia merasakan ketenangan di sini."
"Cucu tuan tewas di sini?."
"Maaf, saya tidak bisa menceritakannya padamu anak muda." Matanya menyimpan jutaan kesedihan selama ini ia pendam. "Rasa sakit itu, akan terulang kembali, jika saya ceritakan pada orang lain."
"Saya bersumpah." Ucap Arya Susena dengan tatapan tegas. "Saya akan membunuh! Orang yang telah membunuh ayu tari, dan ibundanya!."
Deg!.
Kakek tua itu sangat terkejut dengan ucapan Arya Susena, seketika hatinya bergetar hebat.
"Oh? Kau mengetahui nama cucu saya?." Seketika tangisnya pecah begitu saja. "Cucu saya memang bernama ayu tari." Tangisan kesedihan, atas kehilangan dua orang yang sangat ia cintai.
"Tenanglah tuan." Arya Susena mencoba menenangkan kakek tua itu. "Saya bersumpah, akan membalas semua itu."
"Terima kasih anak muda."
"Apakah tuan bisa menceritakan pada saya?." Arya Susena masih membutuhkan informasi yang kuat. "Kejadian yang sebenarnya?." Lanjutnya. "Supaya gejolak emosi dari arwah neng ayu tari, bisa tersampaikan dengan baik."
"Tentu saja anak muda." Kakek tua itu mencoba mempercayai Arya Susena.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Simak dengan baik kisah selengkapnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments