...**...
Wisma Putra.
"Raka telah kembali?."
"Oh? Kau rayi." Balasnya.
Raden Kanigara Ganda mendekati adiknya, mereka duduk bersama.
"Bagaimana raka? Apakah raka berhasil?."
"Tentu saja rayi." Jawabnya dengan percaya diri. "Aku ini tidak akan pernah gagal."
"Raka memang sangat luar biasa sekali." Raden Kanigara Hastungkara sangga terkesan pada kakaknya.
Kembali ke masa itu.
"Ayahanda Prabu telah mengizinkan kita, untuk menyingkirkan dia raka." Ucap Raden Kanigara Hastungkara. "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?."
"Jika ini semua demi menghindari, kesialan yang akan menimpa kerajaan ini?." Balasnya. "Tentu saja aku harus menyingkirkan dia rayi." Lanjutnya. "Walaupun ayahanda kita sama, tapi tidak dengan ibunda kita " Ucapnya dengan perasaan aneh. "Aku tidak suka padanya."
"Lantas? Rencana seperti apa yang ingin raka lakukan padanya?." Raden Kanigara Hastungkara selalu bertanya pada kakaknya. "Pasti raka memiliki rencana hebat, untuk menyingkirkan dia."
"Rencananya, aku ingin menggunakan pendekar kegelapan." Jawabnya. "Memanfaatkan mereka, untuk menyingkirkan dia."
"Memanfaatkan mereka?." Raden Kanigara Hastungkara merasa heran. "Apa maksud raka?."
"Kabar yang aku dengar, mereka adalah kelompok pendekar yang bekerja atas nama rakyat." Jawabnya. "Mereka membela rakyat, yang katanya tertindas oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan."
"Tapi apa hubungannya dengan apa yang akan kita lakukan?." Raden Kanigara Hastungkara masih belum mengerti. "Coba kau jelaskan padaku raka? Supaya aku lebih mengerti."
"Baru-baru ini aku mendengar kabar dari paman triasti." Jawabnya. "Jika ada kawanan perampok, yang cukup meresahkan warga desa." Lanjutnya. "Kita bisa memanfaatkan kabar itu, menyebarkan kabar pada para penduduk desa." Senyuman lebar mengembang di wajahnya. "Bahwa yang memimpin para jawaban rampok itu adalah lakeswara." Lanjutnya. "Aku telah mengatakan padanya, bahwa ia diperintahkan ayahanda Prabu, untuk mengatasi masalah itu."
"Mengatasi masalah rampok maksud raka?."
"Ya." Jawabnya. "Tapi aku rasa ia akan diamuk oleh warga desa.
"Kenapa?."
"Bukankah sudah sangat jelas? Bahwa kawanan rampok itu adalah anak buahnya?." Jawabnya dengan semangat. "Lantas? Untuk apa dia menyelesaikan masalah itu, kan?."
"Wah?." Respon Raden Kanigara Hastungkara. "Raka sangat luar biasa sekali."
"Heh! Tentu saja aku ini sangat luar biasa." Ucapnya dengan penuh percaya diri.
...***...
Dua hari telah berlalu.
Di sebuah tempat pertemuan rahasia kelompok pendekar kegelapan yang dipimpin oleh Arya Susena.
"Aku telah melihat, dan mengamati secara langsung." Ucap Darsana. "Mereka memang rampok yang sangat kejam." Ucapnya sambil menahan gejolak amarah. "Rampok yang tidak manusiawi, membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua rentan tanpa perasaan."
"Tidak secara manusiawi?." Nismara mengulangi kalimat itu. "Apakah ada perampok? Yang datang dengan sangat sopan sambil berkata?." Hatinya seakan-akan bergejolak. "Punten, saya mau rampok." Ucapnya dengan perasaan aneh. "Serahkan semuanya, kami masih berbaik hati merampok dengan sopan."
Ucapan Nismara saat itu mengandung tawa yang sangat luar biasa. Mereka benar-benar tertawa keras mendengarkan ucapan Nismara, akan tetapi orang yang berkata seperti itu malah masang wajah kesal, dan sangat datar.
"Aku tidak bermaksud berkata seperti itu mbak yu." Darsana menghela nafasnya. "Aku tadi belum sempat menjelaskannya." Matanya melirik ke arah Arya Susena yang tidak terpengaruh sama sekali. "Tapi mbak yu malah main serobot saja."
"Tapi ucapan nismara tadi itu sangat lucu sekali." Barja tak dapat menahan tawanya. "Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana mungkin? Ada perampok yang seperti itu."
"Mana mungkin ada." Patari juga tidak dapat menahan tawanya. "Perampok yang seperti itu? Pasti hanya sandiwara saja."
"Ekhem!."
Arya Susena memberi kode pada mereka agar lebih serius lagi. Dan benar saja, mereka tidak berani untuk bermain-main lagi.
"Tindakan mereka sangat brutal sekali." Darsana mulai serius. "Sebelum aku datang ke sini." Ucapnya dengan agak ragu. "Informasi yang aku dapatkan, rampok itu bergerak atas nama Raden kanigara lakeswara."
Deg!.
"Ohokh! Ohokh!." Darsana terbatuk aneh. "Aku merasakan panas yang sangat tidak biasa." Ucapnya sambil mengipasi wajahnya dengan tangannya.
"Kenapa tiba-tiba saja panas?." Barja juga ikutan. "Aku rasa sebentar lagi akan ada badai petir." Suasana hatinya merasa tidak nyaman sama sekali.
"Aku rasa kalian benar." Patari berusaha menenangkan dirinya. "Aku akan pergi ke belakang sebentar." Sebisa mungkin ia menghindar. "Memastikan, apakah ada jemuran yang belum aku angkat tadi?."
Bajra, Patari, dan Darsana langsung meninggalkan tempat. Karena mereka sangat faham dengan situasi yang panas mendadak seperti itu.
"Dia sedang marah oi!."
Dalam hati mereka tentunya menyadari, jika hawa panas itu berasal dari Arya Susena yang sedang menahan amarahnya yang sangat berlebihan. Sedangkan Nismara mencoba untuk tetap bertahan, meskipun pada saat itu ia juga menyadarinya.
"Kenapa kau malah kepanasan?." Nismara dengan hati-hati bertanya seperti itu. "Bukankah keluarga istana, memang tidak menyukai rakyat kecil yang sangat miskin? Dan memiliki banyak masalah?." Nisamara memberikan pertanyaan seperti itu padanya. "Makanya mereka ingin menyingkirkan rakyat, agar tidak menyengsarakan mereka."
"Itu memang sangat benar, dan sangat tepat sekali." Sorot matanya semakin berubah.
Deg!.
"Aku mau melakukan persiapan dulu!." Spontan Nismara bangkit dari duduknya. "Aku mau keluar!." Dengan terburu-buru ia segera meninggalkan Arya Susena.
Brakh!.
Terdengar suara bantingan pintu dengan sangat keras.
"Kurang ajar!." Dalam hati Nismara mengumpat kesal. "Dia itu kesurupan apa sih?." Hatinya merasa gugup. "Bisa-bisanya dia terlihat seperti iblis yang menyeramkan."
Sementara itu Arya Susena.
"Akan aku lihat yang sebenarnya." Arya Susena merasa sangat kesal. "Apakah memang seperti itu yang terjadi?." Sorot matanya semakin tajam. "Akan aku bunuh, siapa saja yang berani menyebarkan fitnah itu." Hatinya sedang bergejolak.
Apakah yang akan dilakukan oleh Arya Susena?. Simak dengan baik kisahnya.
...***...
Raden Kanigara Lakeswara saat itu berangkat bersama beberapa prajurit istana yang saat itu. Akan tetapi saat itu Ratu Arundaya Dewani sangat keberatan dengan kepergian anaknya. Hatinya sangat berat untuk melepaskan kepergian anaknya.
"Putraku."
"Ibunda." Raden Kanigara Lakeswara memberi hormat.
"Kenapa nanda setuju begitu saja?." Tatapan mata Ratu Arundaya Dewani terlihat sedih. "Untuk mengatasi masalah perampokan itu?." Hatinya sangat tidak nyaman sama sekali. "Masih banyak prajurit, senopati, dharmapati, yang dapat mengemban tugas itu nak." Entah kenapa hatinya sangat tidak rela. "Katakan pada ayahandamu, jika nanda tidak bisa melakukan tugas itu."
"Tenanglah ibunda." Raden Kanigara Lakeswara tersenyum kecil. "Nanda sanggup melakukan tugas ini, dengan sangat baik ibunda."
"Tapi nak? Ibunda-."
"Ibunda tidak perlu khawatir." Raden Kanigara Lakeswara menggenggam tangan ibundanya. "Semuanya akan berjalan dengan aman." Senyumannya kembali mengembang di wajahnya. "Hanya nanda yang bisa melakukan tugas ini." Raden Kanigara Lakeswara berusaha menyakinkan ibundanya.
"Sungguh, kau adalah anak yang baik putraku." Ratu Arundaya Dewani mengusap lembut pipi anaknya. "Ibunda hanya mencemaskan keadaanmu saja nak." Ungkap Ratu Arundaya Dewani. "Ibunda sangat takut, jika terjadi sesuatu padamu." Hatinya seakan-akan menangis sedih, jika anaknya pergi keluar dari Istana.
"Percayalah ibunda." Balas Raden Kanigara Lakeswara. "Bahwa nanda mampu melakukannya." Lanjutnya. "Nanda akan kembali dalam keadaan baik-baik saja."
"Baiklah putraku." Ratu Arundaya Dewani berusaha menekan segala kecemasan di hati. "Doa ibunda akan selalu menyertaimu nak."
"Terima kasih ibunda." Raden Kanigara Lakeswara merasa lega. "Kalau begitu nanda pamit ibunda."
"Berhati-hatilah anakku."
Ratu Arundaya Dewani hanya bisa melihat kepergian anaknya yang menggunakan kereta kuda, untuk menuju lokasi kejadian.
"Semoga saja dewata yang agung selalu melindungi mu anakku." Dalam hati Ratu Arundaya Dewani sangat mencemaskan keadaan anaknya.
...***...
Di sebuah tempat.
Saat itu mereka sedang memperhatikan dua kantong hitam yang berisikan uang logam dalam jumlah besar.
"Apakah ini yang dinamakan dengan rezeki yang baik?."
"Entah lah kakang." Balasnya. "Kita hanya merampok saja." Lanjutnya. "Tapi siapa yang menduga? Jika kita akan mendapatkan uang sebanyak ini, dari orang kaya."
"Tapi ada imbalannya."
"Itu tidak masalah." Senyumannya terlihat aneh. "Merampok dengan menggunakan nama Raden kanigara lakeswara, itu hal yang baru bagi kita."
"Bukankah? Raden kanigara lakeswara itu? Dia adalah putra Raja?."
"Ya, itu benar sekali kakang." Balasnya. "Apakah kita tidak akan mendapatkan masalah nantinya?."
"Masa bodoh dengan masalah itu." Jawabnya. "Bahkan merampok atas nama Raja, akan kita lakukan, hahaha!."
"Hahaha!."
Terdengar suara tawa dari mereka, walaupun tidak mengerti kenapa bisa tertawa.
"Kita nikmati aja uang ini." Ucapnya dengan penuh percaya diri. "Untuk masalah berurusan dengan pemerintah? Itu bisa kita atur nanti." Lanjutnya. "Kita lakukan saja yang ada sekarang."
"Baik kakang."
"Besok kita juga akan bergerak."
"Baik kakang."
Mereka kembali menikmati suasana bahagia, karena mendapatkan uang yang sangat banyak dari pihak tidak dikenal. Tentu saja dengan imbalan mereka bergerak atas nama Raden Kanigara Lakeswara. Apakah yang akan mereka lakukan selanjutnya?. Tentukan jawabannya.
...***...
Kelompok pendekar kegelapan juga sedang bergerak, mereka sedang menuju lokasi dimana para kawanan rampok itu berada.
"Kenapa kita lewat daerah sini darsana?." Barja memperhatikan keadaan sekitar. "Hutan ini masih sangat lebar sekali." Ia merasakan ada yang aneh.
"Kalau kita bergerak lewat gerbang desa sentar, kita bisa dicegat para prajurit jaga desa itu." Jawabnya. "Penjaga di sana orang-orang terlatih semua." Lanjutnya. "Kita bisa terjebak lama, karena kecurigaan mereka pada para pendatang asing."
"Ho?." Respon Barja. "Perjalanan mu sudah jauh ternyata."
"Aku sudah merambah sampai ke selatan kerajaan ini." Ucapnya dengan percaya diri. "Jadi? Aku mengetahui jalur aman, bagi kita untuk bergerak."
"Bagus kalau begitu." Patari sangat terkesan. "Kau memang hebat sekali darsana."
"Terima kasih pujiannya, hehehe!." Darsana merasa senang.
"Hu!." Barja malah tidak suka melihat itu.
"Hahaha!." Darsana malah tertawa.
"Ada apa arya?." Nismara merasa heran dengan tatapan mata Arya Susena. "Apakah kau melihat ada hal yang aneh?."
"Kalian jalan saja terus."
"Hah?."
Nismara, Darsana, Patari dan Barja merespon seperti itu.
"Aku melihat orang tua di sana." Tunjuknya. "Aku ingin berbicara dengannya sebentar." Lanjutnya. "Kalau kalian ingin bergabung, akan aku buka mata batin kalian." Senyumannya terlihat aneh. "Orang tua itu cukup menawan untuk kalian lihat."
Deg!.
Perasaan mereka tidak enak sama sekali, sehingga tanpa banyak bicara mereka segera meninggalkan Arya Susena.
"Gila!." Dalam hati Darsana sangat mengutuk. "Memangnya siapa yang percaya dengan ucapanmu arya." Darsana mengambil langkah seribu.
"Orang waras mana?." Dalam hati Barja sangat bergejolak. "Orang waras mana yang bisa percaya dengan ucapanmu."
"Terlahir kali mata batinku dibuka si gila arya." Dalam hati Patari sangat takut. "Aku malah melihat genderuwo menyeramkan." Patari sangat ingin berteriak. "Kau memang gila arya!."
"Jangan sampai aku melihat hal mengerikan lagi." Dalam hati Nismara juga takut. "Kau jangan berbohong padaku! Arya susena si bajingan sinting!." Ingatannya masih tertuju pada sosok mengerikan yang pernah ia lihat saat itu.
Arya Susena tidak peduli sama sekali dengan reaksi mereka, ia langkahkan kakinya menuju sosok kakek tua yang seperti berteduh di bawah pohon yang cukup besar.
"Sampurasun." Arya Susena memberi hormat.
"Rampes." Balasnya dengan senyuman lembut.
"Apakah saya boleh bertanya eyang?."
Belum ada jawaban dari lelaki tua itu, karena merasa heran dengan apa yang dikatakan oleh Arya Susena.
"Ada beberapa hal, yang ingin saya tanyakan pada eyang."
"Kau bisa melihat aku anak muda?."
"Tentu saja eyang."
"Ho?." Responnya. "Sangat menarik sekali." Lanjutnya. "Apa yang ingin kau ketahui dari aku?." Senyumannya mengembang di wajahnya. "Duduklah anak muda."
"Terima kasih eyang." Arya Susena kembali memberi hormat.
...***...
Istana.
Prabu Maharaja Kanigara Rajendra memasuki kawasan wisma Putra Raja.
"Kalian masih latihan?."
Raden Kanigara Ganda, dan Raden Kanigara Hastungkara menghentikan latihan mereka.
"Ayahanda Prabu." Keduanya memberi hormat.
"Kalian sangat rajin sekali." Sang Prabu memuji kedua anaknya. "Ayahanda sangat bangga sekali pada kalian."
"Terima kasih ayahanda Prabu." Raden Kanigara Ganda, dan Raden Kanigara Hastungkara kembali memberi hormat.
"Tentu saja kami tidak akan mengecewakan ayahanda Prabu nantinya." Ucap Raden Kanigara Ganda. "Walaupun nantinya salah satu diantara kami akan menjadi bakal calon Raja di masa depan." Ucapnya sambil melihat ke arah adiknya. "Kami akan menampilkan yang terbaik." Lanjutnya. "Bukankah seperti itu rayi hastungkara?."
"Tentu saja raka." Jawabnya. "Kami tidak akan terpecah belah begitu saja ayahanda Prabu." Ucapnya sambil memberi hormat. "Kami akan saling menghormati, bagi siapa saja yang nantinya menjadi bakal calon Raja berikutnya."
"Hahaha!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra tertawa mendengarnya. "Kalian memang sangat hebat sekali." Sang Prabu mengusap sayang kepala anaknya. "Ayahanda sangat senang mendengarnya."
"Saya ayahanda." Respon Raden Kanigara Ganda.
"Saya ayahanda." Respon Raden Kanigara Hastungkara.
"Kalau begitu, mari istirahat dulu." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra memberi kode pada kedua anaknya. "Latihannya cukup sampai di sini saja." Sang Prabu membimbing kedua anaknya. "Ayahanda ingin mendengarkan, rencana seperti apa? Yang telah kalian lakukan pada lakeswara."
"Baiklah kalau begitu ayahanda."
"Dengan senang hati, kami akan menceritakan pada ayahanda Prabu."
"Kalian memang hebat." Puji Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Kalian bergerak dengan cepat sekali."
"Karena kami adalah putra dari, Prabu maharaja kanigara rajendra." Ucap Raden Kanigara Ganda dengan senyuman lebar. "Itulah alasan, kenapa kami bisa cerdas." Lanjutnya. "Dan benar seperti ayahandanya."
"Benar yang dikatakan raka ganda." Raden Kanigara Hastungkara sangat setuju. "Putra dari Gusti Prabu maharaja kanigara rajendra harus cerdas, dan pintar dalam bergerak."
"Hahaha!." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra tertawa semakin keras. "Ayahanda memang sangat bangga pada kalian." Ucap sang Prabu dalam tawanya. "Kalian memang jago mengambil hati ayahanda." Sang Prabu mengusap gemas kepala anaknya. "Sama seperti ibunda kalian yang sangat manja pada ayahanda."
"Hehehe!." Raden Kanigara Ganda dan Raden Kanigara Hastungkara malah cengengesan mendengarkan ucapan Prabu Maharaja Kanigara Rajendra.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Bagaimana kelanjutannya?. Simak terus kisahnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments