Dua pasang roda itu akhirnya berhenti. Setiap pemilik mata di dalamnya terlihat menunggu seorang berpakaian putih hitam datang. Ia mengetuk pelan kaca dari pintu kemudi.
Satu tekan saja, dan pengendara menyapanya, “Siang pak. Di sini lagi antarin bu Syifabella. Emang ada janji.”
Wanita yang dimaksud berniat mengeluarkan ponselnya. Sekiranya penjaga rumah ini paham lebih bila Adira menunjukkan history pesan online miliknya dengan pak Hadyan.
“Oh iya,” bapak penjaga itu memberikan lambaian ke arah rekannya yang lebih dekat dengan pagar, “Pak Hadyan sudah beri kabar. Silahkan masuk.”
Mobil itu kembali melaju perlahan dengan pagar hitam yang tinggi itu terbuka. Sang supir menutup kembali kacanya. Laju menuju ke arah yang sudah diarahkan.
“Told you. Gampang,” pria berbaju santai ini menahan tubuhnya di sandaran.
Adira mengembalikan ponselnya di tas yang ia bawa, “Ini baru saja masuk. Pembicaraan belum dimulai,” wanita ini melihat ke luar mobil, “Tapi, sekarang.”
Sadar akan kedatangan seseorang. Mobil yang masih menyala sudah siap bagi penumpangnya turun. Terbuka pintu itu dan memperlihatkan seberapa rapinya Adira.
“Adira! Hahahaha!” bapak yang sudah banyak memiliki rambut putih ini menyambut dengan bahagia.
“Siang pak,” ia membungkuk sedikit, “Terima kasih sudah menyetujui pertemuan ini pak. Seharusnya bapak tidak perlu menyambut sampai ke depan seperti ini.”
Ia tertawa kembali, “Kamu tamu luar biasa. Pasti aku sambut.”
Senyum samar terlihat di wajah Adira. Tak mampu ia menahan kekagumannya akan bapak yang tampak selalu semangat ini.
“Kakek~!” Nanda sudah tidak kenal malu lagi.
“Hahahaha!” Hadyan menepuk punggung Nanda, “Kenapa jadi jarang ke sini, ha?”
“Kerja. Pagi sampai sore. Malam tidur lah kek.”
Adira memang sudah tahu kalau Nanda sangat dekat dengan pak Hadyan. Namun ia tidak pernah selintas apapun pemikiran akan pemandangan manis ini.
Hadyan memang menangkap sesuatu kepercayaan yang tidak terduga dari Nanda. Kehangatannya membuat hati Hadyan dicerahkan. Layaknya perasaan di saat ia dikelilingi oleh anak dan cucunya sendiri.
“Ayo masuk. Masuk,” Hadyan mengulurkan tangannya dan menunjuk ke arah pintu utama rumahnya.
Ketiga orang ini melangkahkan kakinya langsung mengarah ke teras rumah. Tinggian elegan dengan ubin hitam.
Aroma makanan hangat. Bukaan yang tidak berkaca. Kesibukan tipis yang masih tersisa. Rampung semua ***** bengek untuk makan siang bersama.
“A, pak, anda seharusnya tidak repot-repot,” sungkan dibuatnya, Adira tidak mengira sambutan hangat akan sebesar ini.
Beliau hanya terbahak, “Jam segini, gimana kalau anak muda kayak kalian tambah kurus krimping. Nanda juga nih, heh, gak sarapan tadi pagi? Kan katanya ibunya jualan pecel di rumah.”
“Ye, kakek, kalau ikut sarapan juga, apa yang dijual?” Nanda ikut tertawa.
Adira sampai tidak berkutik. Frekuensi yang kentara jauh membuat Adira yang pendiam lebih tidak beradu apapun.
Diam, selain menyapa beliau di depannya, “Siang, bu. Sebuah kehormatan bisa diundang di waktu seperti ini.”
Sang istri ini hanya tersenyum secukupnya. Layaknya mengatakan lantang-lantang, Adira memahami rasa tudak suka beliau.
Mau sehebat apapun yang dilakukan orang-orang ini. Kenyataannya tidak bisa diraup. Bahwa suaminya hampir mengalami kesukaran dalam kesehatannya. Itu pun tidak ditindak lanjuti. Sudah seberapa marahnya sang istri.
Namun, dengan apapun gejolak di diri, makan siang bersama tetap berlanjut.
Kentingan di sana dan sini tidak terlewat oleh koki yang menyiapkan berbagai hal. Dan keempat orang ini memilih untuk bertukar kabar.
“Gimana, kalian sudah pacaran?”
Wow. Pertanyaan satu ini membuat Adira pun hampir tersedak. Nanda yang masih mengunyah sekuat tenaga menahan tawanya. Gelas polos yang tinggi menjadi sasaran Adira. Beberapa tegak berhasil menenangkannya.
Meja bertemu dengan kaca gelas Adira, “Kami tidak punya hubungan apapun seperti itu, pak. Mohon jangan salah paham.”
Kemampuan Adira dalam mengendalikan raut wajahnya. Itu sungguh menggelitik untuk pak Hadyan.
Hadyan sudah sepenuhnya melepaskan alat makannya, “Nanda, tidak ada komentar?”
“Sabar, kek. Masih diusahakan.”
Tidak ada satupun harapan dari Adira, sungguh. Ia benar-benar sudah menduga jawaban aneh yang akan keluar dari mulut pria satu ini.
Makanan yang tidak kunjung habis memang hal yang bagus. Waktu yang dibutuhkan bisa dimanfaatkan Adira. Itulah yang ia masalahkan. Dan ia harus menghadapinya sekarang.
“Maaf, pak. Ini tentang yang saya kabarkan sebelumnya,” Adira memberikan kata pengantar terbaiknya.
“Oh, iya,” Hadyan mengambil serbet makannya. Memastikan tidak ada yang tertinggal di wajahnya, “Abinaya kan?”
Pria berumur 70-an ini tahu benar. Biro arsitek favoritnya memiliki masalah khususnya di bagian koneksi. Tak marah seperti yang dipikirkan Adira, beliau senang kalau Adira mengandalkannya lebih. Selayaknya Adira sebagai anaknya sendiri.
“Abinaya itu. Selalu seenak mukanya saja. Apalagi anaknya. Dia pikir semuanya bisa dia ambil. Anak itu perlu dikasih pukul!” beliau mulai menggerutu.
Nanda berhenti mengunyah, “Siapa?”
Semakin Adira merasa harus turun tangan, “Anda tahu security system AB-Level?”
“Aa, yang kamera CCTV-nya bisa dimasukin di tembok itu?”
“Iya. Adinaya yang menciptakannya. Awalnya mereka juga biro arsitek seperti Pancarona, tapi berkembang ke berbagai cabang.”
“Tapi ada kabarnya kalau mereka cuma curi ide orang,” pak Hadyan berbisik aneh.
“Bapak!” sang istri merasa bahwa hal itu tidak aman untuk dibicarakan.
Pak Hadyan tertawa, “Memang benar kan?” diteguk beberapa kali minum segar langsung dari pangkal jeruk itu, “Sekarang, anak kita yang kena.”
Nanda masih belum sempat mengambil lahapan selanjutnya, “Dira anaknya kakek?!”
Tentu pak Hadyan hanya tertawa.
“Tidak dalam biologi,” Adira memotong satu bagian dari steak-nya.
Dan itu meninggalkan rasa yang semakin bingung untuk Nanda. Namun Adira tetap melanjutkan.
“Saya sungguh minta maaf, pak. Saya harus meminta anda sampai sebesar ini.”
Di percakapan ringan sebelumnya⏤panggilan daring Adira dan pak Hadyan⏤sudah dijelaskan sepadat mungkin akan keperluan Adira. Akan tetapi kesepakatan yang memberatkan satu pihak ini sungguh harus diselesaikan dari mata ke mata.
“Coba. Ceritakan,” kunyahan beliau selesai pada waktunya, “Kenapa kok bisa anak itu ngancam kamu begitu, ha? Gimana kok bisa?!”
“Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, pak. Saya berpikir pihak Abinaya-lah yang hampir menggagalkan jadwal presentasi kami dengan Taruna. Tidak hanya itu, banyak sabotase bahan bangunan. Sampai kerja sama kami dengan mereka harus putus.”
Itu hanya dugaan. Namun melihat Virendra di belakangnya, Adira tidak memiliki keraguan lagi. Apalagi dengan adanya sebagian dana yang diberikan pihak Arjuna untuk proyek ini.
“Dan beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan penerusnya. Sudah jelas apa yang dia mau.”
“Proyek Taruna ya?”
Adira mengangguk. Sebenarnya ia merasa niat Viren lebih dari itu. Keserakahan Viren, ia pasti ingin menguasai seluruh Pancarona.
“Lalu, pendanaan suami saya?” sang istri paham benar apa yang dimaksud.
“Tidak ada masalah dengan pendanaan. Semuanya aman dan saya akan jamin akan hal itu. Namun itulah yang menjadi masalah. Pendanaan tidak ke mana-mana.”
Hadyan meletakkan beberapa jarinya di depan mulutnya, “Mereka tidak membiarkan kamu menyiapkan pembangunan?”
Adira mengangguk perlahan mengiyakan, “Untuk saat ini ada cover kecil yang bisa digunakan. Tapi, tidak seterusnya. Proyek Taruna saja bisa tidak berjalan, apalagi proyek yang lain.”
“Huuuh, begini, aku punya kenalan kontraktor yang bisa dipercaya. Dia juga banyak koneksi untuk bahan-bahannya. Kalau kamu siapkan proposal, bisa aku bantu ke sana.”
Adira terbelalak. Ia memang tahu kabar kedekatan pak Hadyan dengan orang yang baru diucapkan itu. Bahkan ia sangat berharap beliau memberikan kehormatan ini. Namun secepat ini? Sungguh tidak terduga.
“Bapak sungguh?” Adira kembali dengan manner-nya.
“Kenapa pakai ragu? Pasti aku bantu. Aku sudah janji kan?” beliau kembali melahap sup hangat itu.
Selagi Nanda memandang Adira dengan wajah yang cerah berbinar. Ia lega bisa ada di sini.
Layaknya cerita yang bisa dibuat singkat. Kebersamaan mereka yang panjang sungguh terasa singkat. Dan ini sudah waktunya mereka kembali ke perjalanan pulang.
“Kakek masih easy going,” Nanda memasang sabuk pengamannya, “Tapi nenek kayaknya tambah marah.”
Adira meletakkan tasnya di sampingnya, “Mau bagaimana lagi? Kita meminta bantuan. Bukannya berkerja sama yang menguntungkan keduanya.”
“Tapi nenek gak bakal se-marah itu kalau aku gak melakukan kesalahan yang dulu kan?”
Memandang lagi ke pria penyemangat ini. Semangatnya tampak kembali meski baru mengatakan hal yangs sedih.
“Etherway, semua lancar, kan?”
“Ya, terima kasih,” Adira sungguh mengatakannya tulus, “Proyek bisa dipastikan lanjut sampai selesai.”
Nanda tambah bersemangat, “So... kencan yang kedua?”
“Pak, antarkan Nanda ke Pancarona dulu baru antarkan saya pulang.”
“Baik, bu.”
“Sakit~” namun Nanda masih bisa tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments