#17 Kata dan Kalimatnya

Cantik dengan lekukan tubuh yang semampai. Penolakan tidak akan datang dengan pakaian formal dan heels bermutu yang tinggi sang sekretaris ini.

Lenggoknya berhenti di sebuah pintu yang tangannya buka. Jumpa dengan orang yang di dalamnya.

“Pak, ada berita buruk.”

Bingkai cahaya yang meliputi dinding. Wajah pengontrol yang ia ajak bicara tampak tak terlihat jelas.

Pengguna rok span merah maroon ini kembali bicara, “David sepertinya gagal.”

Pria ini berdiri di ujung meja kerjanya. Mengetuk-ketuk permukaan meja resin yang mulus dengan kukunya yang kukuh. Berita tidak mengejutkan, terduga dengan mudah di susunan rencana sang pria.

“Saya rasa sebentar lagi dia akan menghubungi anda.”

Ujung bibir pria ini terangkat, “Aku juga ingin bertemu dengannya.”

“Selamat, pak.”

“Belum,” pria ini mengangkat satu bingkai foto di mejanya, “Masih perlu untuk diperjuangkan lagi. Kepribadiannya buruk. Pelan-pelan, dia pasti jinak.”

Suara tali bicara itu menarik sang sekretaris mendekat. Mengangkat ganggangnya dengan sempurna.

“Ya, Halo?”

Pria ini berjalan-jalan santai. Memperhatikan setiap gerak hewan perenang kecil di kotakan transparannya. Detail-detail kecil itu sudah layaknya hutan di bawah air.

Ganggang alat komunikasi berkabel itu diletakkan, “Pak. Dia sudah menghubungi.”

Puas seringainya timbul dengan jelasnya, “Kosongkan jadwalku.”

“Baik.”

Mengetuk kuat, ujung tertinggi sepatunya menyentuh tanah. Sampai di depan ruang besar yang penuh dengan air yang tertahan, mengeluarkan suara yang memantul. Pria ini masih menancapkan ujung jari-jarinya ke rumah para perenang kesukaannya.

...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇...

Bukan dari orang biasanya. Tangan tak elegan ini menggerakkan sendok teh-nya ke depan dan ke belakang cangkir. Menyatukan segala komponen kopinya dengan tidak meninggalkan suara.

Dua puluh menit. Malam yang semakin malam. Wanita berambut sebahu ini menunggu.

“Lama tidak jumpa,” pria ini memandang gerakan tangan sang wanita, “Aa. Sepertinya aku memang terlalu lama.”

“Silahkan duduk,” Adira meletakkan sendoknya di samping piring keramik kecil itu.

Pria ini duduk bersebrangan dengan Adira, di antara meja dua orang yang dipahat ciamik.

Senyum perjaka tampan ini tidak pudar, “Perut Onet sudah besar loh.”

“Ikan jantan tidak bisa membesarkan perutnya.”

“Kamu masih tidak bisa diajak bercanda,” tatapan pria pecinta ikan ini menjadi dingin, “Kaku. Tidak menarik.”

“Kalau saya tidak semenarik itu, kenapa anda mengganggu perusahaan saya?”

Adira mengernyit lebih dalam. Ia tidak tahu seberapa lama ia bisa mempertahankan kewarasannya. Virendra, si dalang yang tidak pernah bersikap baik.

“Sebenarnya apa maksud anda melakukan semua ini? David. Anda menyuruh apa padanya?”

Pemilik nama ini tidak menahan tawanya, “David siapa?”

“Berhenti bertingkah layaknya tidak tahu apa-apa. Saya pun tahu kalau pun David tidak mengakui apa-apa.”

“Bagaimana kalau kita membicarakan sesuatu yang akan terjadi daripada apa yang sudah terjadi? Tidak ada yang tahu juga siapa yang salah dan benar kalau kita terus-terusan tidak setuju.”

Adira tertawa mengejek, “Ya, tentu anda orang yang seperti itu.”

“Jadi, Adira sudah siap mendengar penawaranku?”

Lelah ditahan sandaran kursi cafe yang nyaman, “Tentu, biar saya dengar apa yang akan saya tolak.”

Pria bernama Virendra ini bersangar tak suka, “Bisa gak sih? Sampai kapan kamu mau pake sombong? Kamu tuh gak ada apa-apanya.”

“Saya anggap itu hanya sikap kekanakan anda.”

“Kamu kir⏤”

“Tuan. Saya di sini karena anda yang membuat masalah. Lebih baik anda sadar sikap anda dan bertindak dewasa. Bukannya bersikap seperti tidak punya apa-apa.”

Pria ini sudah sampai ke ubun-ubun. Mengakui dirinya rasional, ia tidak akan mengepulkan uap kemarahannya di tengah banyak orang. Ia memutar ulang seakan menekan tombol reset. Mengikuti suara musik jazz yang diperdengarkan pihak cafe.

“Inilah kenapa kita putus.”

Adira tidak memberikan reaksi yang berarti. Ia mengikat jarinya di kait cangkir keramik bergaris biru itu. Menikmatinya sejenak sampai ia pikir cukup memberi hening.

Denting khas keramik, menenggerkan cangkir Adira, “Kalau hanya itu yang ingin anda bicarakan, saya anggap anda setuju akan jalur penyelesaian yang saya pilih.”

“Sepertinya kamu salah mengerti,” Virendra lagi-lagi memainkan meja kaca dengan ujung kukunya, “Aku tidak berniat untuk merusak apapun. Ini hanya penawaran kerja sama.”

“Kerja sama apa yang membuat anda harus bekerja dengan orang yang tidak anda suka?”

Viren masih sangat santai, “Tapi kamu yang butuh percakapan kita kali ini. Kalau kamu mau melanjutkan proyek Taruna.”

Adira menegangkan duduknya. Wanita ini tahu ada seseorang tinggi yang sudah mendalangi semua kesalahan besar menjelang proyek. Persaingan memang besar, Pancarona pun pernah kesulitan sebelumnya.

Namun mendengar sendiri Virendra bicara, tembus pandang akan arsip permasalahan yang dibuatnya.

“Apa yang anda mau?” tangan Adira, mencengkeram tangan sendiri sangat keras.

“Abinaya, Pancarona. Bersama. Itu yang orang banyak inginkan.”

Tawa mengejek itu kembali lagi, “Orang tidak pernah tahu saya siapa. Mereka cuma tahu pemilik Pancarona itu perempuan,” Adira menatap lurus pria ini, “Penggabungan seperti itu hanya keegoisan anda saja.”

Virendra teremas kesabarannya. Namun, tak bisa dijelaskan, ia merasa tertantang.

“Adira, kamu masih polos. Kamu harus tahu, banyak orang jahat di luar sana. Perusahaanmu itu dalam bahaya,” Viren tersenyum percaya diri.

“Anda harus mendengar diri anda sendiri.”

Viren mengakuinya. Keras kepala dari wanita berpenampilan tidak lebih dari bintang dua. Namun ketertarikan Viren, melahirkan rasa sukar untuk menjauhkan Adira dari salah satu yang termasuk ke tipe ceweknya.

“Tidak seperti ambisi anda. Saya tidak akan melakukan apapun demi ambisi. Saya akan melakukan hal yang sama, berulang kali, sampai saya berhasil. Kegagalan dari cara itu lebih baik daripada saya harus bergantung di sosok seperti anda.”

Viren tertahan di sana, “Kamu masih percaya kamu bisa melakukan semuanya sendiri?”

Tidak mau Adira menanggapinya.

Dulu memang ada saatnya kasmaran. Wanita ini sangat menghargai Viren yang mana memandangnya dari kemampuannya.

Lambat laut, pendapat menjadi tumpang tindih. Viren dengan harga diri. Adira dengan keras kepala.

Keduanya berjalan ke sisi mereka masing-masing.

 Akan tetapi, Viren, ia ingin sekali mengontrol wanita ini. Takut? Bisa jadi. Ia tahu seberapa luar biasa tokoh yang tak populer ini.

“Oke. Lupakan apa yang aku katakan itu,” Viren memainkan posisi duduknya sampai satu kaki menimpa kaki satunya, “Aku tahu kamu pintar. Tanpa ada pendukung sepertiku. Kamu tidak akan bertahan.”

Kesadaran itu memang tidak bisa ditepis Adira.

Pancarona boleh jadi sukses. Namun bukan berarti ia teguh dan tidak bermasalah. Satu masalah dan ia melihat jalur kegiatan Pancarona akan hancur.

Minimnya pendukung. Jarangnya proyek yang besar. Dan kelompok yang tidak mampu menangani proyek yang menghasilkan banyak.

Pancarona masih punya jalan yang panjang.

Viren berdiri. Ketegasan yang ia rencanakan masih belum cukup menekan wanita ini. Buang waktu untuk bicara.

“Kamu tahu aku tidak akan diam sampai sini. Hak itu, aku akan buat kamu sendiri yang menyerahkannya,” Viren memamerkan jejeran giginya, “Fun fact, dunia dijalankan oleh laki-laki. Akui saja lebih cepat.”

Adira tidak menyukainya sama sekali. Ucapan yang tidak ia percaya dari lubuk hatinya. Janggalan hatinya itu bertambah perih, setelah mendengarnya spontan dari orang yang membuatnya tidak percaya dengan pria.

“Mari, aku antar pulang,” Viren meninggalkan beberapa lembar uang di meja.

“Tidak, terima kasih.”

Viren mendekat dan memandang wajah Adira yang polos tak dirias, “It’s just a manner.”

Adira membenci semua ini.

Ia sudah sangat tunggang hati bila ia bisa berdiri sendiri. Sanggup menahan tiang besar dan membiarkannya tumbuh menjulang.

Kebencian hatinya, seakan ia tidak bisa melakukan apapun. Layaknya seluruh titik tubuhnya tidak memiliki arti.

Diam. Langkanya mengikuti. Viren mengiyakan di saat wanita yang pernah ia cintai ini meminta untuk menghampiri studionya daripada langsung ke rumah Adira.

Rasa dingin malam masih menempel di kulit Adira, meski sudah duduk ke mobil Virendra.

Episodes
1 Prolog
2 #1 Impresi Sepasang
3 #2 Atensi
4 #3 Mencari Kenal
5 #4 Lantaran...
6 #5 Naik Pitam
7 #6 Temperatur Tak Terang
8 #7 Paras Unik dari Matanya
9 #8 Bukan Tanpa Enigma
10 #9 Memburu
11 #10 Selepasnya
12 #11 Janji di Satu Pekan
13 #12 Akhir dari Janji
14 #13 Sekelebat Waktu di Elevator
15 #14 Pemeran dan Peran
16 #15 di Sebuah Petang
17 #16 di Dalamnya Ada Mata
18 #17 Kata dan Kalimatnya
19 #18 Petang Menjulur Pergi
20 #19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21 #20 Bila dan Akan
22 #21 Maksud dan Sebab
23 #22 Nanda di Pagi Hari
24 #23 Bekal
25 #24 Kemungkinan
26 #25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27 #26 Hari Hujan
28 #27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29 #28 Kebun Binatang
30 #29 Tugas Baru
31 #30 Pengejaran
32 #31 Semut yang Memanjat
33 #32 Outing Event
34 #33 Apa yang Benar
35 #34 Waktu yang Tidak Tepat
36 #35 Teori dan Fakta
37 #36 Tenang Sebelum Badai
38 #37 Amarah dan Kesedihan
39 #38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40 #39 Perubahan Hubungan
41 #40 Ia di Saat Terendahnya
42 #41 Selepas Mata Merah?
43 #42 Kepercayaan itu Diusahakan
44 #43 Ternyata Tidak Berdua
45 #44 Sekali Seumur Hidup
46 #45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47 #46 Sang Wanita dan Cerita
48 #47 Tanpanya dan Dengannya
49 #48 Salju di Tropis
50 #49 Waktunya yang...
51 #50 Bahagianya
52 #51 Malam yang Lebih Sunyi
53 Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54 Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55 #52 Ikatan
56 #53 Di Balik Harapan
57 #54 Teman Lama, Teman Baru
58 #55 Indah Bintang Di Dalam
59 #56 Tak Masuk Akal
60 #57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61 #58 Lebih Buruk tapi Terduga
62 #59 Langkah Awal Tak Pasti
63 #60 Jatuh Sebelum Naik
64 #61 Anak Tangga Pertama
65 #62 Satu Interview
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
#1 Impresi Sepasang
3
#2 Atensi
4
#3 Mencari Kenal
5
#4 Lantaran...
6
#5 Naik Pitam
7
#6 Temperatur Tak Terang
8
#7 Paras Unik dari Matanya
9
#8 Bukan Tanpa Enigma
10
#9 Memburu
11
#10 Selepasnya
12
#11 Janji di Satu Pekan
13
#12 Akhir dari Janji
14
#13 Sekelebat Waktu di Elevator
15
#14 Pemeran dan Peran
16
#15 di Sebuah Petang
17
#16 di Dalamnya Ada Mata
18
#17 Kata dan Kalimatnya
19
#18 Petang Menjulur Pergi
20
#19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21
#20 Bila dan Akan
22
#21 Maksud dan Sebab
23
#22 Nanda di Pagi Hari
24
#23 Bekal
25
#24 Kemungkinan
26
#25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27
#26 Hari Hujan
28
#27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29
#28 Kebun Binatang
30
#29 Tugas Baru
31
#30 Pengejaran
32
#31 Semut yang Memanjat
33
#32 Outing Event
34
#33 Apa yang Benar
35
#34 Waktu yang Tidak Tepat
36
#35 Teori dan Fakta
37
#36 Tenang Sebelum Badai
38
#37 Amarah dan Kesedihan
39
#38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40
#39 Perubahan Hubungan
41
#40 Ia di Saat Terendahnya
42
#41 Selepas Mata Merah?
43
#42 Kepercayaan itu Diusahakan
44
#43 Ternyata Tidak Berdua
45
#44 Sekali Seumur Hidup
46
#45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47
#46 Sang Wanita dan Cerita
48
#47 Tanpanya dan Dengannya
49
#48 Salju di Tropis
50
#49 Waktunya yang...
51
#50 Bahagianya
52
#51 Malam yang Lebih Sunyi
53
Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54
Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55
#52 Ikatan
56
#53 Di Balik Harapan
57
#54 Teman Lama, Teman Baru
58
#55 Indah Bintang Di Dalam
59
#56 Tak Masuk Akal
60
#57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61
#58 Lebih Buruk tapi Terduga
62
#59 Langkah Awal Tak Pasti
63
#60 Jatuh Sebelum Naik
64
#61 Anak Tangga Pertama
65
#62 Satu Interview

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!