#1 Impresi Sepasang

Adira memandang lagi hasil desain itu. Gedung serba bisa itu tampak sangat megah dan unik dengan 360 derajat pemandangan mengelilinginya. Hal seperti ini memang sangat menarik perhatian bila diletakkan di tengah taman. Namun Adira tampak tak puas.

Tangan wanita ini mengetuk-ketuk pulpennya di meja, “Saya kira kalian semua bergabung dengan mengenal baik karakter Pancarona. Kalau seperti ini, sama saja seperti kalian bukan bekerja atas nama kami.”

Suasana mencekam menyelimuti. Mereka tahu kalau ide ini kurang memuaskan beliau yang berideologi kuat. Tak sedikit dari mereka mengasihani dirinya sendiri yang tidak menentang atau memberi masukan lain.

Wanita ini mengambil tatapan setiap orang di dalam ruangan. Memperhatikan keringat mereka yang meluncur samar-samar. Tidak ada harapan lagi untuk keadaan ini.

Presenter yang berdiri di depan laptopnya menundukkan kepala, “Maaf, bu.”

“Kenapa anda minta maaf? Anda masih perlu memperbaiki apa yang anda ubah,” Adira memperbaiki posisi kacamatanya.

Pusing melanda pikiran Adira. Ia tidak menyangka akan mendapati pegawainya akan mengacaukan tugas mereka lebih dari sebelumnya. Bodohnya lagi, sekarang mereka bersikap layaknya patung tanpa jalan keluar.

“Jalankan saja dulu ide Daffa,” Adira menunjuk ke arah asistennya, “Kita lanjutkan sore ini. Jangan lupa bersiap untuk Bank Taruna.”

Rapat pun diselesaikan begitu saja. Para peserta rapat itu masih berdiri di depan kursinya. Menunggu sang atasan untuk pergi terlebih dahulu. Dengan sepatu low heels-nya, Adira melangkah pergi melewati pintu.

Kehampaan udara di ruangan itu akhirnya bisa terisi kembali.

Pegawai itu menarik nafasnya, “Lagi-lagi dimarahi.”

“Mau bagaimana lagi? Bu Adira memang begitu,” temannya menanggapi.

“Kalau cewek cantik yang marahi sih aku masih suka.”

Pria lain menjawab, “Ya sih. Bu Adira sudah kasar, tidak enak dilihat lagi.”

Tawa memenuhi ruang rapat yang sudah saatnya diistirahatkan itu.

...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇...

“Hmm?” seorang wanita berseragam merah maroon menemukan tanda lantai basah yang bersandar di samping pot tanaman, “Kenapa ada disini?” beliau membawanya dan berencana mengembalikannya ke tempat seharusnya.

Merah maroon lainnya sedang disibukkan dengan spot kotor di samping kiri lift. Alat pembersih berupa pel menyertai tangan sang pria bernama Nanda. Senandung pelan dari hati Nanda membuatnya senang melakukan apapun meski tidak ia suka. Diajaknya menari ujung pel itu sampai noda-noda tidak tersisa.

“Selesai~” Nanda tampak bangga dengan hasil kerja kerasnya.

Langkah selanjutnya, meletakkan tanda lantai basah yang khas dengan warna kuningnya. Pria tampan satu ini membawa pel dan embernya mendekati sudut pot tanaman di dekatnya.

“Lah?” Nanda mendapati dirinya tak menemukan benda yang dia cari.

Ia berpikir dan mengingat-ingat. Apa dia belum mengambil tanda itu dari janitor? Sepertinya dia harus mengambilnya lagi. Ditinggalkannya pel itu. Cepat langkahnya mengambil kaki seribu menuju ruang penyimpanan.

Di sela perginya Nanda, pintu lift terbuka.

Tampak Adira bersama sekretaris dan satu lagi pegawainya hendak keluar dari tumpangan vertikal tersebut. Mereka siap menuju ke rapat berikutnya bersama produsen dari luar perusahaan. Low heels Adira kembali mengambil langkah selagi memeriksa beberapa berkas.

“Kalau yang ini berkas untuk persiapan ke lapangan,” pegawai wanita ini berdiskusi kecil tentang persiapan rapat, “Lalu daftarnya sudah kami perbaiki⏤Iiii!!”

BRUK!

Sang sekretaris tampak panik berusaha membantunya, “Anda tidak papa?”

Kebingungan Adira dibuatnya sampai perlu menghentikan langkah cekatannya. Ia memperhatikan apa yang terjadi dengan sang wanita yang tiba-tiba terduduk itu. Ia menyadari lantai yang ia jejaki. Lantai yang licin adalah masalah yang terlintas.

“Wah! Maaf!!” Nanda tiba-tiba berlari kecil mendekat.

Pria berseragam dengan membawa tanda lantai basah. Wajah pria itu tertangkap di ingatan Adira sebagai pelaku. Office boy satu ini tidak pernah dikenali oleh Adira. Pekerja baru kah?

Ikut Nanda membantu pegawai tadi berdiri, “Bu, baik?”

Karyawan wanita itu akhirnya bisa berdiri dengan kedua kakinya. Namun, ia menemukan roknya yang basah.

Bagaimana pegawai Adira satu ini bisa menemui perwakilan pihak luar dengan penampilan kusut seperti itu? Adira tidak mungkin mengizinkannya dan memalukan diri sendiri di depan orang-orang.

“Kamu yang mengepel ini?” Daffa kesal melihat OB ini tidak melakukan pekerjaannya dengan benar, “Benda yang kamu pegang itu dipakai! MInta maaf saja setelah ada yang jatuh!”

Nanda berpikir untuk menjelaskan masalahnya, “Tadi saya sudah siapin ini tapi gak tahunya hilang.”

Daffa merasa kesal dengan jawaban pria ini, “Kamu pikir ini sedang bercanda?”

“Ya gak mungkin dong pak. Masa saya bercanda.”

Semakin kesal Daffa dibuatnya, “Seharusnya⏤”

Adira mengangkat tangannya, “Cukup. Kita bisa terlambat.”

Posisi berdirinya Adira terpaku. Hanya satu masalah yang dipusingkan Adira.

Adira tidak tahu kesalahpahaman apa yang memancing sampai terjadi hal seperti ini. Jelas-jelas ia sudah mengecek persediaan alat-alat rumah tangga di kantor, tak terkecuali tanda lantai basah.

Segala sesuatunya, dia harus mencari solusi cepat dan tidak ada yang dirugikan.

Kembali Adira menatap karyawan wanitanya, “Apa anda bisa mencari orang lain untuk menggantikan. Atau anda membawa baju ganti?”

Wanita ini harus mempertahankan kesempatan emasnya, “Saya! Saya bisa mencari baju ganti.”

“Baiklah, tapi cepat,” wanita berkacamata ini tahu betul pegawainya tidak mau melepas pekerjaannya. Terlihat dari tanggapan cepatnya menjalankan perintah.

“Baik!” Wanita ini berusaha bergerak cepat.

Sekarang Adira harus menindaklanjuti masalah ini sebelum dampaknya lebih besar.

Kesalahan tetap kesalahan dan tidak boleh lagi terulang. Ia berharap ini akan selesai dengan si wanita menemukan baju ganti secara cepat sebelum pihak luar bergabung dalam rapat. Sehingga tidak perlu memperbesar permasalahan ini selain peringatan kecil. 

“Anda,” Adira menatap pria OB tadi.

Nanda tahu dia dalam masalah. Ditambah ini baru lima hari ia bekerja di sini. Hendaknya ia tidak ingin melepaskan pekerjaan kali ini. Ia harus berani menghadapinya.

Tundukan kepala Nanda tidak membuat suaranya mengecil, “Iya, bu?”

“Jaga bicara anda ke depannya. Ini bukan tempat bermain. Jangan sampai yang seperti ini...,” Adira menunjuk lantai basah itu, “Terulang lagi.”

Sekilas mata Nanda menangkap wajah Adira yang polos tanpa make up. Mata Nanda malah disibukkan dengan ikatan pita yang tampak longgar di sekitar leher blouse pink pastel Adira.

Adira menyadari si pria berada di ‘dunia lain’, “Apa anda mendengarkan?”

“Itu. Bu. Pitanya longgar,” Nanda menunjuk ke arah pita itu.

Terdiam Adira dan sekretarisnya mendengar kalimat yang dilontarkan Nanda. Layaknya menggali kuburan sendiri, dia berani tidak mendengarkan sang atasan yang sedang marah.

Pikiran bodoh apa yang ada di otak orang ini?

Kesal masih diatasi oleh Adira, “Fokus.”

Nanda berpikir sejenak. Ia teringat dengan apa yang seharusnya mereka bahas.

Langsung diangkat tangannya hormat. Senyum manis yang menunjukkan wajah bercahayanya merekah lebar. Begitu cerah sampai semua orang yang melirik keributan itu terpaku melihatnya.

“Siap, saya tidak akan ulangi lagi,” jawab ramah Nanda.

Adira tidak mengharapkan respons seperti itu. Tidak tahu penerimaan seperti apa yang perlu ditunjukkan. Namun tidak ada waktu lebih untuk menyahuti kelakuan pria yang tidak profesional.

“Kita bicarakan lagi nanti. Tunggu panggilan dari saya untuk masalah ini. Hati-hati selanjutnya,” melangkah pergi Adira melewati Nanda dengan Daffa mengikuti.

Wajah Nanda berubah asam, “Baik bu....”

Nanda masih memandangi Adira yang tidak ia kenal berjalan meninggalkannya. Fokusnya masih saja salah arah ke aura Adira yang kuat. Penampilannya dengan pegged pants abu-abu dan blouse pink itu tampak lekat dengan Nanda, entah karena apa.

Diam-diam Nanda didekati oleh teman seperjuangannya.

Kawan ini merangkul Nanda yang masih melamun, “Gimana sih, bro? Baru saja masuk sudah kena marah bu Adira. Mudah-mudahan cuma peringatan.”

“Siapa?” Nanda kebingungan mendengar nama itu.

Omar tercengang, “Bu Adira, yang negur kamu tadi. Beliau atasan sama pendiri Pancarona. Kamu gak tahu?”

Nanda melotot, “Dia bos besar?!”

Tercengang Nanda sibuk melamunkan sosok sang wanita itu. Tidak ia sangka dialah wanita hebat yang selalu ia dengar.

Episodes
1 Prolog
2 #1 Impresi Sepasang
3 #2 Atensi
4 #3 Mencari Kenal
5 #4 Lantaran...
6 #5 Naik Pitam
7 #6 Temperatur Tak Terang
8 #7 Paras Unik dari Matanya
9 #8 Bukan Tanpa Enigma
10 #9 Memburu
11 #10 Selepasnya
12 #11 Janji di Satu Pekan
13 #12 Akhir dari Janji
14 #13 Sekelebat Waktu di Elevator
15 #14 Pemeran dan Peran
16 #15 di Sebuah Petang
17 #16 di Dalamnya Ada Mata
18 #17 Kata dan Kalimatnya
19 #18 Petang Menjulur Pergi
20 #19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21 #20 Bila dan Akan
22 #21 Maksud dan Sebab
23 #22 Nanda di Pagi Hari
24 #23 Bekal
25 #24 Kemungkinan
26 #25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27 #26 Hari Hujan
28 #27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29 #28 Kebun Binatang
30 #29 Tugas Baru
31 #30 Pengejaran
32 #31 Semut yang Memanjat
33 #32 Outing Event
34 #33 Apa yang Benar
35 #34 Waktu yang Tidak Tepat
36 #35 Teori dan Fakta
37 #36 Tenang Sebelum Badai
38 #37 Amarah dan Kesedihan
39 #38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40 #39 Perubahan Hubungan
41 #40 Ia di Saat Terendahnya
42 #41 Selepas Mata Merah?
43 #42 Kepercayaan itu Diusahakan
44 #43 Ternyata Tidak Berdua
45 #44 Sekali Seumur Hidup
46 #45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47 #46 Sang Wanita dan Cerita
48 #47 Tanpanya dan Dengannya
49 #48 Salju di Tropis
50 #49 Waktunya yang...
51 #50 Bahagianya
52 #51 Malam yang Lebih Sunyi
53 Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54 Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55 #52 Ikatan
56 #53 Di Balik Harapan
57 #54 Teman Lama, Teman Baru
58 #55 Indah Bintang Di Dalam
59 #56 Tak Masuk Akal
60 #57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61 #58 Lebih Buruk tapi Terduga
62 #59 Langkah Awal Tak Pasti
63 #60 Jatuh Sebelum Naik
64 #61 Anak Tangga Pertama
65 #62 Satu Interview
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
#1 Impresi Sepasang
3
#2 Atensi
4
#3 Mencari Kenal
5
#4 Lantaran...
6
#5 Naik Pitam
7
#6 Temperatur Tak Terang
8
#7 Paras Unik dari Matanya
9
#8 Bukan Tanpa Enigma
10
#9 Memburu
11
#10 Selepasnya
12
#11 Janji di Satu Pekan
13
#12 Akhir dari Janji
14
#13 Sekelebat Waktu di Elevator
15
#14 Pemeran dan Peran
16
#15 di Sebuah Petang
17
#16 di Dalamnya Ada Mata
18
#17 Kata dan Kalimatnya
19
#18 Petang Menjulur Pergi
20
#19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21
#20 Bila dan Akan
22
#21 Maksud dan Sebab
23
#22 Nanda di Pagi Hari
24
#23 Bekal
25
#24 Kemungkinan
26
#25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27
#26 Hari Hujan
28
#27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29
#28 Kebun Binatang
30
#29 Tugas Baru
31
#30 Pengejaran
32
#31 Semut yang Memanjat
33
#32 Outing Event
34
#33 Apa yang Benar
35
#34 Waktu yang Tidak Tepat
36
#35 Teori dan Fakta
37
#36 Tenang Sebelum Badai
38
#37 Amarah dan Kesedihan
39
#38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40
#39 Perubahan Hubungan
41
#40 Ia di Saat Terendahnya
42
#41 Selepas Mata Merah?
43
#42 Kepercayaan itu Diusahakan
44
#43 Ternyata Tidak Berdua
45
#44 Sekali Seumur Hidup
46
#45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47
#46 Sang Wanita dan Cerita
48
#47 Tanpanya dan Dengannya
49
#48 Salju di Tropis
50
#49 Waktunya yang...
51
#50 Bahagianya
52
#51 Malam yang Lebih Sunyi
53
Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54
Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55
#52 Ikatan
56
#53 Di Balik Harapan
57
#54 Teman Lama, Teman Baru
58
#55 Indah Bintang Di Dalam
59
#56 Tak Masuk Akal
60
#57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61
#58 Lebih Buruk tapi Terduga
62
#59 Langkah Awal Tak Pasti
63
#60 Jatuh Sebelum Naik
64
#61 Anak Tangga Pertama
65
#62 Satu Interview

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!