#13 Sekelebat Waktu di Elevator

Petang yang menghampiri. Orang-orang semakin sibuk berlalu lalang ke satu tempat ke titik lain. Selalu ada penggunanya, semakin tidak tampak jalanan hitam yang memudar itu. Apalagi pada kota yang tidak tahu batas pemukiman.

Bukan kali pertama Adira harus hadir ke kantornya sendiri dalam keadaan tergesa-gesa. Jalanan memang tidak bisa diperkirakan.

Dan ia akhirnya bisa turun dari mobil.

“Jemput seperti biasa, pak,” wanita berkharisma ini menutup pintu mobil penumpang.

“Baik, bu.”

Jalan dropout kembali kosong. Suara langkah lantang terpantul dari atap peneduh.

Kedua adam hawa ini berhenti di depan pintu kaca yang terbuka. Bukan ingin bertukar sapa, tapi kejut itu menyadarkan mereka kalau keduanya hampir bertabrakan.

Nanda dibuat tertawa kecil.

Adira berpikir ini masih terlalu pagi. Heels rendah khas Adira berbunyi lagi mendahului Nanda yang jelas sibuk dengan banyaknya pesanan kopi.

Hingga mereka tenggelam dalam lautan karyawan.

“Selamat pagi, bu.”

“Pagi.”

“Pagi, bu Adira.”

“Anda juga.”

Langkah tidak pernah terhenti sampai ia percaya lift akan terbuka beberapa detik kemudian. Namun leher Adira berputar lagi ke sisi kirinya.

Nanda tidak sungguh melihat wajah bosnya, tapi tampak nyata upayanya untuk mensenyapkan suara tawanya.

Momen ini menggelitik diri Nanda. Setelah terakhir kali kencan satu arah dan ditolak mentah-mentah kedua kalinya. Ia masih menjadi Nanda yang tertarik dengan bosnya sendiri. 

Penasaran penasaran dan penasaran. Tidak ada sebab lain yang mengakibatkan Nanda menahan nafas tertawanya sekuat ini.

Lift terbuka. Selayaknya yang diterka, Nanda pun ingin masuk. Hingga....

“Saya tidak boleh masuk?” seringai Nanda saat satu kakinya menginjak garis antara lantai dan lift.

Nanda yang tidak berpendidikan tinggi sekalipun menangkap maksud jelas si bos. Putri ini berdiri tepat di jalan masuk lift.

“Saya lebih nyaman di lift sendiri.”

“Mestinya sih anda bukan orang yang begitu,” Nanda tidak menggerakkan tubuhnya selain kedua tangannya yang penuh, “Saya mau kerja~”

Banyak yang beranggapan Adira buruk akan urusan hati. Ketegasannya dan penampilannya yang seakan ingin marah setiap detik.

Dan mata Nanda yang berbeda itu melihat titik lain pula.

Adira mundur beberapa langkah sampai ke sisi kiri kendaraan vertikal itu. Membiarkan pekerjanya ini masuk meski tujuannya hanya satu atau dua lantai ke atas.

“Lantai berapa~?” Nanda berhenti di depan jejeran tombol.

Adira memegang erat tasnya dengan tak nyaman, “Tiga.”

Nanda tidak merespons lebih dari sekedar upayanya menekan dua tombol. Ia sangat bersyukur dengan adanya lift meski gedung ini tidak lebih tinggi dari tiga lantai. Tidak besar, sampai ia bisa terus menerus bertatap muka dengan atasan tertingginya.

Senyap sunyi tak bercakap. Keadan tak tergambarkan ini tidak gagalkan riang hatinya.

Percaya diri. Ia seperti berdiri di samping orang yang tidak memiliki kuasa sama sekali akan pekerjaannya. Senyumnya tidak bisa pudar bahkan sampai mesin berhenti di lantai dua.

Ia tahu, ia harus turun.

Satu langkah dan⏤

“Achu!”

Langkah Nanda terhenti di pintu lift. Ia menurunkan satu bawaan tangan kirinya. Merogoh apa yang ada di kantong celana. Bungkusan tisu kecil yang tidak lebih dari tiga ribu rupiah.

Adira yang menutupi mulutnya tidak bisa melewatkan uluran tangan kiri Nanda. Tisu itu tepat berada di depan matanya.

Rasa tidak nyaman memang sehabis ‘kencan’ yang tidak sedikitpun menggugah hati. Namun Adira memilih mengambil tawaran tisu itu dengan wajah yang menghadap ke lain.

Nanda sudah sangat puas akan keberhasilannya kali ini, “Stay healthy~”

Pria ini mengambil lagi bawaannya. Masih di depan lift. Ia menunggu pintunya tertutup sambil tersenyum.

Rasa puas di wajah Ananda tidak bisa ditangkap oleh Adira. Semua orang tidak tahu seberapa leganya Adira setelah ia ditinggalkan di lift sendirian.

Bisa-bisanya pria itu tersenyum di tengah keadaan tidak nyaman itu. Meski Adira berhasil menghindarinya kemarin, hal yang lebih parah bisa terjadi keesokan harinya. Dan pria yang selalu mengatakan perasaannya pada Adira ini adalah bawahan di satu kantor.

Kembali ke kenyataan, kopi-kopi mahal ini harus diantarkan segera. Nanda tidak mungkin diam terus menunggu di pintu lift.

Sepatu olahraga lama menjadi teman Nanda. Mereka menyebutnya ruang rapat hitam. Bukan karena isinya serba hitam, bahkan ruangan ini didominasi warna coklat kayu. Alasannya hanya karena satu dinding di dalamnya disusun dari bebatuan hitam.

Tok tok tok!

Kedua tangan Nanda yang penuh masih mengharuskannya untuk mengetuk. Pasalnya wawancara pegawai baru harus tanpa pihak ketiga yang ribut.

“Mau antar kopi!” Nanda berteriak sebelum masuk.

“Masuk!”

Pintu terbuka. Kesibukan yang tegang tapi kedap suara. Nanda melewati bagian kiri meja dan menyerahkan satu persatu kopi dari belakang para HRD ini.

“Apa alasan untuk kami harus menerima anda?”

Tiga orang ini menjawab dengan rangkaian kata yang berbeda-beda. Sampai ke wanita yang paling kanan.

Ia mengibaskan rambutnya, “Saya tahu pekerjaan Arsitek membutuhkan manajemen waktu. Saya percaya diri saya bisa mengatur waktu saya sendiri dengan baik. Lebih dari siapapun.”

Tangan Nanda terdiam. Ia merasakan hal yang aneh pada wanita yang duduk cukup jauh di depannya ini.

“Mengatur waktu sendiri...,” HRD di samping Nanda sadar akan gerak tangan Nanda yang tidak dilanjutkan. Ia menatap Nanda, “Gimana, Nan? Ada komentar?”

Nanda terkejut selagi meletakkan satu gelas kopi panas di meja panjang itu, “Kenapa?”

“Manajemen waktu. Menurut kamu apa itu yang terpenting jadi Arsitek? Gimana menurut pengamatan kamu di sini?”

Kebingungan Nanda membuka matanya lebar. Ia tidak punya pengetahuan arsitektur apapun selain bekerja di tempatnya selama beberapa bulan.

Namun..., “Kalau gak bisa kerja sama, kayaknya gak bisa lancar deh...,” telengan Nanda menandakan ia berpikir.

“Nah,” HRD ini kembali memandang ketiga calon pegawai ini, “Jawaban ini, diberikan oleh OB yang tidak ada pahaman tentang Arsitek sama sekali. Jangan besar kepala hanya kalian sudah berpendidikan tinggi.”

Suasana yang canggung. Nanda menyadari ketiga orang ahli di depan sana melihat gerak-geriknya. Tidak nyaman, iya, tapi mana tahu Nanda akan hal itu.

Tanpa disadari, ternyata waktu wawancara ketiga orang ini sudah habis. Membuat mereka keluar ruangan bersama Nanda.

“Hei,” suara seseorang memanggil Nanda.

Bingung memandang pria ini. Di mata Nanda yang memang lebar, ia menangkap uluran tangan si pria.

“Aku David, salam kenal ya?”

Nanda tidak berkomentar banyak dan meraih tangan itu, “Nanda,” ia tersenyum, “Sudah diterima?”

David tertawa kecil, “Belum sih. Tapi aku yakin aku bisa masuk.”

“Emang butuh percaya diri gitu. Good luck!!”

“Thanks,” David melepaskan tangannya lebih dulu, “Jadi kamu kerja di sini kenapa?”

Nanda tersenyum, “Gajinya bagus. Hahaha.”

“Memang sih. Di sini gajinya gak ragu-ragu. Petingginya baik ya?”

“Oh iya,” Nanda menarik keluar satu gelas kopi, “Mau? Ternyata emang dilebihin. Tapi gua gak gitu suka kopi.”

David menggeleng, “Gak suka kopi juga.”

“Ya udah,” Nanda tetap meminumnya.

Lanjut David berbicara, “Jadi, udah pernah ketemu pendiri Panca? Gimana sih orangnya? Dia bangun Panca sendirian, hebat banget.”

“Hmm?” Nanda dibuat berpikir sejenak.

“Nanda! Tolong sini dong~!”

Mereka terdiam. Akan tetapi pria ini tahu dia ada di tengah pekerjaannya. Senyum yang biasa milik Nanda menjadi kado setiap orang.

“Sorry ya. Orang sibuk,” Nanda menepuk pundak David, “Semoga lolos ya~ Bye!”

Nanda pergi setengah berlari meninggalkan David. Berdiri di antara orang-orang yang menunggu giliran wawancara. Lorong itu tampak tenang setelah langkah Nanda menghilang.

Tangan David mengibas perlahan pundaknya sendiri.

Episodes
1 Prolog
2 #1 Impresi Sepasang
3 #2 Atensi
4 #3 Mencari Kenal
5 #4 Lantaran...
6 #5 Naik Pitam
7 #6 Temperatur Tak Terang
8 #7 Paras Unik dari Matanya
9 #8 Bukan Tanpa Enigma
10 #9 Memburu
11 #10 Selepasnya
12 #11 Janji di Satu Pekan
13 #12 Akhir dari Janji
14 #13 Sekelebat Waktu di Elevator
15 #14 Pemeran dan Peran
16 #15 di Sebuah Petang
17 #16 di Dalamnya Ada Mata
18 #17 Kata dan Kalimatnya
19 #18 Petang Menjulur Pergi
20 #19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21 #20 Bila dan Akan
22 #21 Maksud dan Sebab
23 #22 Nanda di Pagi Hari
24 #23 Bekal
25 #24 Kemungkinan
26 #25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27 #26 Hari Hujan
28 #27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29 #28 Kebun Binatang
30 #29 Tugas Baru
31 #30 Pengejaran
32 #31 Semut yang Memanjat
33 #32 Outing Event
34 #33 Apa yang Benar
35 #34 Waktu yang Tidak Tepat
36 #35 Teori dan Fakta
37 #36 Tenang Sebelum Badai
38 #37 Amarah dan Kesedihan
39 #38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40 #39 Perubahan Hubungan
41 #40 Ia di Saat Terendahnya
42 #41 Selepas Mata Merah?
43 #42 Kepercayaan itu Diusahakan
44 #43 Ternyata Tidak Berdua
45 #44 Sekali Seumur Hidup
46 #45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47 #46 Sang Wanita dan Cerita
48 #47 Tanpanya dan Dengannya
49 #48 Salju di Tropis
50 #49 Waktunya yang...
51 #50 Bahagianya
52 #51 Malam yang Lebih Sunyi
53 Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54 Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55 #52 Ikatan
56 #53 Di Balik Harapan
57 #54 Teman Lama, Teman Baru
58 #55 Indah Bintang Di Dalam
59 #56 Tak Masuk Akal
60 #57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61 #58 Lebih Buruk tapi Terduga
62 #59 Langkah Awal Tak Pasti
63 #60 Jatuh Sebelum Naik
64 #61 Anak Tangga Pertama
65 #62 Satu Interview
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
#1 Impresi Sepasang
3
#2 Atensi
4
#3 Mencari Kenal
5
#4 Lantaran...
6
#5 Naik Pitam
7
#6 Temperatur Tak Terang
8
#7 Paras Unik dari Matanya
9
#8 Bukan Tanpa Enigma
10
#9 Memburu
11
#10 Selepasnya
12
#11 Janji di Satu Pekan
13
#12 Akhir dari Janji
14
#13 Sekelebat Waktu di Elevator
15
#14 Pemeran dan Peran
16
#15 di Sebuah Petang
17
#16 di Dalamnya Ada Mata
18
#17 Kata dan Kalimatnya
19
#18 Petang Menjulur Pergi
20
#19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21
#20 Bila dan Akan
22
#21 Maksud dan Sebab
23
#22 Nanda di Pagi Hari
24
#23 Bekal
25
#24 Kemungkinan
26
#25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27
#26 Hari Hujan
28
#27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29
#28 Kebun Binatang
30
#29 Tugas Baru
31
#30 Pengejaran
32
#31 Semut yang Memanjat
33
#32 Outing Event
34
#33 Apa yang Benar
35
#34 Waktu yang Tidak Tepat
36
#35 Teori dan Fakta
37
#36 Tenang Sebelum Badai
38
#37 Amarah dan Kesedihan
39
#38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40
#39 Perubahan Hubungan
41
#40 Ia di Saat Terendahnya
42
#41 Selepas Mata Merah?
43
#42 Kepercayaan itu Diusahakan
44
#43 Ternyata Tidak Berdua
45
#44 Sekali Seumur Hidup
46
#45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47
#46 Sang Wanita dan Cerita
48
#47 Tanpanya dan Dengannya
49
#48 Salju di Tropis
50
#49 Waktunya yang...
51
#50 Bahagianya
52
#51 Malam yang Lebih Sunyi
53
Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54
Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55
#52 Ikatan
56
#53 Di Balik Harapan
57
#54 Teman Lama, Teman Baru
58
#55 Indah Bintang Di Dalam
59
#56 Tak Masuk Akal
60
#57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61
#58 Lebih Buruk tapi Terduga
62
#59 Langkah Awal Tak Pasti
63
#60 Jatuh Sebelum Naik
64
#61 Anak Tangga Pertama
65
#62 Satu Interview

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!