Berkembangnya zaman menciptakan berbagai alternatif ruang kerja. Dengan tugas arsitek yang butuh banyak referensi inspirasi, tempat baru tentu bisa saja membantu kebanyakan dari mereka.
Adira, jangan ditanya, arsitek prinsipal yang tidak mau diam.
Ruang kerja ini hanya satu dari puluhan tempat yang ditemukan. Untuk kunjungi di saat menyempurnakan proyek-proyeknya.
“Bu, mau saya panaskan kopinya?”
Sapaan tak terduga itu melemparkan wajah Adira ke asal suara. Titik api yang bagai lampu seret itu akhirnya melebar. Adira buyar dan mengingat dirinya ada di cafe.
“Iya, terima kasih,” Adira kembali bernafas.
Pelayan yang sering dipandang Adira ini akhirnya mengambil cangkir yang masih penuh.
Berkutak kembali ia dengan waktu yang utuh akan pekerjaan. Ditambah lagi, team yang menangani desain studio kemarin sangat antusias sampai mengirimkan tiga alternatif final ke Adira.
Menumpuk pekerjaan bukan gaya si pengusaha hebat ini. Tangannya menemani papan dari komputer mini ini sampai ke garis desain terakhir.
Kopi yang panas itu sudah habis. Suara kicauan menandakan pagi hari.
“Bu, mau saya siapkan kopi lagi?”
Adira menyadari arah jarum panjang itu. Senyum akrab itu sungguh membuat Adira tidak nyaman.
“Satu Americano, to go. Bill-nya juga,” Adira menutup alat elektronik yang sudah begadang bersamanya, “Oh, saya juga pesan, take away, breakfast set yang full dan... Toasted fruit loaf.”
“Baik, tolong ditunggu.”
Diakui ia sudah terlalu lama ada di sini. Cafe boleh jadi tidak pernah tutup, tapi ia tidak harus di aini sampai esok datang lagi.
Sepagi ini, ia memilih untuk langsung ke office. Tidak ada salahnya untuk hadir pagi dan pulang siang. Pastinya setelah meninggalkan sisanya ke Daffa dan para pegawai lainnya.
Dengan bahan recyclable, bingkisan itu mendampingi jalan Adira yang santai. Klakson yang tidak ramah mulai mengambil antrian sampai matanya bisa melihat keramaian di ujung tapak para kendaraan itu.
Gedung studio berlapangan luas tampak hidup walau masih jam lima di pagi hari.
“Hmm?” Adira memang selalu memegang kunci studio.
Namun ia tidak menyangka studio masih saja buka.
Studio ini membebaskan pegawainya untuk mengatur jadwalnya sendiri. Ruang tidur yang disediakan, hanya untuk pekerja yang ingin menghabiskan waktu kerjanya di malam hari. Jadi tidak jarang melihat pekerja yang menetap di kantor.
Akan tetapi, ada aturan di mana studio harus dikunci saat lebih dari jam sepuluh malam sampai jam delapan pagi.
Pemikiran buruk pasti ada, tapi Adira memilih untuk memastikan semua baik saja.
Adira terhenti. Telinganya bisa menyaring benar akan alunan manis. Suara nyanyian dan gitar. Dari arah dapur.
“♪Kutunjukkan. Siapa yang aku tahu, sepertimu... Sepertimu~♪Kutunjukkan apa yang kami tahu, kau dan aku... kau dan aku~♪”
Pemilik suara indah itu menatap.
“⏤Aaa~~!”
Suara terkejut itu masih saja merdu saat melihat sosok Adira yang berdiri di depan partisi. Nanda masih menganga.
Nanda menghela berat, “Buset, bu bos! Saya kira hantu!”
Adira yang tidak jadi untuk terkejut malah mengusap-usap dada. Menahan amarah yang tidak jelas.
“Ngapain anda pagi-pagi di sini,” Adira memperbaiki posisi tas jinjing untuk laptopnya, “Memang ada pekerjaan yang belum selesai?”
“Tidak~ Mau aja ke sini,” Nanda masih duduk di meja makan dapur, “Gak boleh ya? Tapi banyak kok yang nginep.”
“Bukannya tidak boleh, tapi apa ada pekerjaan rumah tangga di malam hari?”
Nanda tersenyum jahil, “Kenapa? Bu bos khawatir banget~”
“Saya tanya karena itu bisa menyalahi aturan kerja. Kontrak OB hanya sekedar delapan jam kerja seperti jam kerja kantor biasa.”
Tawa khasnya keluar lagi, “Sorry sorry. Saya ke sini juga bukan gara-gara kerja kok.”
Adira tampak lebih tenang dengan pundaknya yang lelah. Jam kerja boleh saja mengatur sendiri. Namun bila memang tidak ada pekerjaan, apa yang bisa Adira lakukan?
Kelemasan otot di seluruh alat penggerak Adira jadi memikirkan ke arah lain.
Adira duduk di meja yang sama setelah meletakkan bekalnya di kayu menyangga itu.
Mata berkedip-kedip, bercahaya diam memantulkan satu sudut dari lampu malam dapur. Nanda bisa menciptakan kilatan di mata itu walau bukan langsung menatap sumber lampu.
“Ei, kenapa nih~?”
Adira melontarkan wajah sinis, “Jangan mulai. Atau saya pergi.”
“Jangan dong. Dengerin aku nyanyi yuk. Dira hafal lagu apa?”
“Saya tidak nyanyi.”
“Lagu wajib juga gak papa. Satuuuu saja.”
“Daripada mengomel, mainkan satu lagu,” Adira meminum kopinya.
Nanda masih tidak nenggubrik tatapan pahit Adira, “Dira tetap manis kalau marah.”
Tanpa menanggapi lagi. Namun, ia bisa menemukan tangan Nanda yang memeluk sebuah gitar. Ia menyadari sesuatu.
“Itu, gitarnya studio kan?”
Nanda tersenyum, “Nanti aku balikkan kok. Tenang~”
Kepemilikan gitar itu adalah milik bersama. Asalkan tidak merusaknya, Adira tidak peduli.
Namun, Adira terpikir akan hal lain, “Anda tidak punya gitar sendiri?”
Pria ini hebat bergitar. Itu yang Adira tangkap di hari ia mendapati Nanda membantu anak-anak mengamen.
“Tidak punya uang buat beli,” Nanda memainkan beberapa senar gitar itu selagi ia masih setengah memeluknya.
“Lalu, belajar dari mana?”
“Aku sering pinjam. Temanku dulu dari kecil ahli musik, dia punya koleksi alat musik banyak banget. Jadi aku belajar sedikit-sedikit.”
“Anda sesuka itu sama musik, bukannya lebih baik kerja sesuatu yang ada kaitannya sama musik?”
Nanda mengalihkan pandangannya, “Aku gak sehebat itu. Bisa bikin lagu juga gak gitu bagus. Nyanyi juga gak ada daya tarik.”
“Orang lain bisa berpikir hal lain.”
Terpaku Nanda ke siluet samar yang duduk tidak jauh darinya ini. Ia memang melayang dengan sanjungan kecil itu, tapi instingnya menenggelamkan dirinya.
“Hmm~ Kenapa Dira jadi tertarik nih tiba-tiba?” Nanda membungkuk di tengah duduknya selagi pandangannya memiring.
“Saya,” Adira menangkap tatapan Nanda yang masih terpaku, “Saya sudah pernah bilang, bukan? Usaha saya selama ini untuk bisa bekerja sesuai kesukaan saya. Jadi saya... bingung? Anda bisa kerja di industri musik.”
Adira bertanya-tanya. Ia ternyata bisa juga merekam senyum kalem dari pria ini.
“Itu masih jadi cita-cita kok. Bukannya aku nyerah, masih belum ada kesempatan saja.”
Kedua kaki Nanda bersila di atas kursi makan. Fingerboard gitar yang awalnya horizontal di atas, berubah posisi berbaring di tangan kiri Nanda. Iseng satu dua benang tebal itu dipetik.
“Aku sudah banyak kerja macam-macam dari kecil. Tapi semuanya cuma untuk cari uang, gak ada senangnya sama sekali.”
Nanda kembali memainkan alunan musik di gitarnya.
Ia masih berbicara, “You know? Aku selalu suka nyanyi di tengah kerjaan. Terus guru nyuruh ikut lomba kelas empat SD dulu. Dari situ, aku mulai tahu nih, ternyata aku punya suara bagus.”
Do re mi fa sol terdengar jelas di jari Nanda.
“Karena suka juga, jadi mikir kerja penyanyi pasti asyik,” Nanda lebih bersandar ke kursinya, “Masih cita-cita sih.”
“Bisa promosi diri kan? Banyak yang terkenal hanya dari sosial media.”
“Aku sudah usaha buat rutin bikin sih. Tapi gak bisa sering-sering. Perlu kuota, waktu juga, gitar aja gak ada. Aku harus cari uang pasti.”
Adira memahaminya. Walau tak seberat Nanda, Adira juga pernah mengalami kesulitan ekonomi. Ia bisa sampai sini pun sehabis bertarung dengan segala kesulitan.
Adira beranjak dari duduknya, “Dengan bakat anda, saya yakin ada kalanya anda berhasil. Lebih sukses dari yang anda kira.”
Nanda dibuat tak bergeming. Tak bereaksi bahkan hanya senyuman seperti biasa.
“Saya akan langsung ke ruangan. Lakukan saja apa yang anda lakukan,” Adira membawa tas dan bingkisannya.
Ketukan heels Adira yang bertemu ubin putih. Nanda tidak memberikan salam sama sekali. Akan tetapi, ia senang, layaknya ingin menangis.
Dira ini bisa jadi yang mengucapkannya, tapi ia tidak tahu seberapa manis ucapan itu bagi Nanda.
Langkah Adira sesaat terpotong mendengar sebuah panggilan di ponselnya.
[“Bu Adira, maaf mengganggu anda pagi-pagi begini.”]
Itu Daffa, terdengar panik akan suatu alasan.
“Ada apa?”
[“Ini tentang supplier bahan baku proyek Taruna, bu.”]
Adira terdiam mendengarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments