Nanda menegak ludah yang menyelimuti seluruh dinding dalam mulutnya. Keringat dingin tak acuh dengan hari yang panas menerik. Hari ini sudah bagaikan hari pernyataan hukuman. Dan ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan.
Kesalahan tetaplah kesalahan. Bahkan ia merasa awas akan dirinya yang sudah menjadi penjahat.
Sepanjang pendengarnya, akan ada penyelesaian masalah dengan kekeluargaan. Tak henti-hentinya rasa syukur itu mengalir dari seluruh diri Nanda.
Kini, ia harus menghadapi penyelesaian yang sepadan. Tanggal ini akan menjadi tanggal resmi ia bukan lagi tenaga kerja Pancarona.
“Baguslah, kamu datang tepat waktu.”
Kaget tapi terduga, Nanda mendekati atasannya yang akrab dengan nama Daffa.
“Ayo, semuanya sudah menunggu di ruang rapat,” Daffa mendahului langkah calon mantan OB ini.
Pilu di perenungan Nanda, jalan yang terasa panjang itu semakin menenggelamkannya.
Kalau ditanya mau atau tidak, hendaklah kita berteriak tidak mau! Hidup harus diperjuangkan dan pekerjaan adalah pilar utama atas semua keseharian. Begitu pula Nanda, terlebih Pancarona ialah tempat kerja idaman.
Namun ia pun tahu tidak ada harapan. Mau ataupun tidak, inilah konsekuensinya.
Lagipula ia sudah mengerahkan usaha segenap hatinya untuk memberikan permintaan maafnya pada pemilik. Mengunjunginya tiap hari dan membantunya semampunya. Ia harusnya bisa pergi tanpa penyesalan.
“Kita masuk,” Daffa membuka pintu rapat dan mempersilahkan mereka berdua untuk melewatinya.
Nanda tidak bisa berhenti berkeringat dingin. Bapak yang beberapa waktu lalu di rumah sakit dan bos besar Pancarona, keduanya berekspresi aneh. Bukan serius, bukan bercanda. Mereka seperti tidak percaya akan apa yang ada di depannya.
Apa aku melakukan kesalahan lain? Itulah pikiran Nanda terhadap suasana ruang yang tak hangat dan tak dingin.
...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ...
“Jadi anda menyempatkan diri setiap hari untuk mengunjungi beliau?” Adira masih ingin memastikannya sekali saja lagi.
“Iya, bu,” prasangka Nanda meraung liar, “Saya bikin salah apa lagi ya bu? Saya sudah pastikan tiga kali kalau roti yang saya bawa tidak ada kacangnya. Terus kalau tidak boleh masuk ke ruangan, saya tidak paksa masuk kok.”
“Tidak, anda tidak memberikan kesan buruk kepada pak Hadyan, Bahkan beliau... tidak mau menghukum anda.”
Nanda memang sudah mendengar hal itu beberapa saat lalu, tapi ia masih di keadaan waspada, ”Kalau... bos gimana?”
“Saya memang perlu memecat anda karena kesalahan anda,” jawaban dingin Adira sungguh melelehkan harapan secuil Nanda, “Tapi ya...,”
“Tapi?”
“Saya akui, anda berani bertindak dan itu bukan hal buruk.”
Adira, wanita ini memang tidak punya perasaan belas kasih. Namun di keadaan sekarang Adira menangkap beberapa poin.
Pertama, masalah ini bukan lagi masalah Pancarona dan Ujana. Penyelesaian dengan cara damai pasti diambil oleh pak Hadyan yang memiliki hati lembut, tapi....
Kedua, damai ini tidak hanya asal dideklarasikan oleh beliau. Beliau punya mata yang bagus. Ia menentukan sendiri siapa yang bisa dipercaya dan tidak.
Dan ketiga. Ananda, di depannya, sudah membuktikan kalau dirinya lebih dari sekedar bisa dipercaya. Ternyata itulah fungsi dari keras kepala dan tak tahu malu itu.
Bahkan keempat, itulah yang memberikan tambahan nilai untuk pak Hadyan memercayakan Pancarona, untuk menopang mereka di mata pihak bank Taruna.
Satu hal lagi yang membuat Adira penasaran, “Apa yang membuat anda berpikir? Kalau mengunjungi beliau terus, bisa menghindarkan anda dari pemecatan.”
Terbelalak kaget mata Nanda, “Saya tidak dipecat?”
Masih saja, Adira tidak menyukai gaya bicara orang ini, “Apa itu jawaban dari pertanyaan saya?” matanya menyipit karena kesal.
Nanda malahan tersenyum manis, “Tidak~”
Daffa sedang sibuk di tempat lain, jadi Adira terjebak dengan orang ini di dalam kantornya sendiri. Rasanya mendidih di ubun-ubun Adira. Bagaimana tidak? Ia sedang serius saat ini dan pelaku di hadapannya sedang tersenyum tanpa memikirkan dosanya.
Di sisi lain Nanda merasakan tatapan amarah, “I, itu..., saya sih cuma mau minta maaf doang kok bu. Tidak ada maksud apa-apa. Saya juga terima kalau saya bakal dipecat.”
Adira berpikir sejenak. Ini, apakah hanya sekedar kelakuan polos dan bodohnya?
“Jadi...,” Nanda berkedip berusaha layaknya kucing yang memelas, “Saya tidak jadi dipecat?”
“Ada satu catatan. Satu lagi kesalahan, mau anda dibela-bela oleh pak Hadyan atau apapun, anda langsung keluar.”
Nanda tersenyum dengan sangat cerah. Ia langsung mendekati meja yang terletak barang-barang kerjaan Adira. Tanpa aba-aba, Nanda meraih kedua tangan Adira yang sedari tadi terlipat di ujung meja di sisi satunya.
Kejut yang tak terhingga dipancarkan mata sang wanita dari balik kacamata bulatnya.
“Makasih, boss~” rekahan lebar senyum Nanda itu sampai terlihat jejeran gigi putihnya. Sungguh memancarkan wajah yang layaknya kulit bayi itu, “Omar padahal bilang bos gak punya perasaan, aslinya bos baik banget!!”
Adira sungguh tak bisa bereaksi apapun.
“Btw, bos seumuran sama Omar kan?” Nanda masih menggenggam tangan Adira.
“... saya lebih tua satu tahun.”
“Kalau begitu bos tiga tahun lebih tua dari aku dong~”
Mulai resah dengan tingkah karyawannya, Adira berusaha kembali menegaskan dirinya, “Tolong Ananda, jaga sikap⏤”
“Oh iya, bos! Mau aku panggil kakak? Kalau aku oke dipanggil pakai apa saja. Tapi enakan dipanggil Nanda sih.”
Semakin kesal dibuatnya sampai seluruh bulu kuduknya bergetar. Dalam pikirannya, keberanian pria ini sungguh memindahkan otaknya ke lutut. Ia tidak bisa merasakan hal lain selain bingung harus seperti apa.
“Padahal bos itu punya daya tarik loh. Coba terbuka sedikit~ Pasti langsung taken. Oh, apa jangan-jangan kakak sudah punya pacar?”
Bukannya terbuka, sekarang Adira bahkan sudah tidak bisa mempertahankan sikapnya. Ia tidak pernah dipuji dengan cara memalukan seperti ini. Alih-alih tersanjung, wanita ini mulai takut dengan sikap tidak tahu keadaan milik Nanda.
“Auw!!” Nanda terkejut sampai melepaskan genggaman tangan itu.
Ia menyadari apa yang ada di belakangnya.
“Kamu benar-benar ingin dipecat ya?!” urat di wajah Daffa muncul saking marahnya.
“Aduh, pak~” Nanda menyampingkan berdirinya meski satu tangannya masih meraih tangan Adira, “Tidak boleh pukul kepala, pak. Nanti kalau saya kenapa-napa gimana?”
“Berhenti bercanda!! Atau kujitak makin keras?!” Daffa menarik tangan Nanda dan melepaskan genggaman tangan mereka.
“Ampun, pak~” Nanda mundur selangkah dengan satu tangannya menggosok pelan kepalanya.
“Terima kasih, Daffa,” Adira kembali ke dirinya sendiri.
Nampaknya Adira sudah terlalu lunak dengan tampang tak tahu diri ini.
“Anda memang aman kali ini. Karena pak Hadyan meminta saya langsung. Tapi saya peringatkan kedua kalinya. Saya harap anda bisa berpikir sejenak dengan serius. Maksud saya serius, maksudnya lupakan sikap anda yang biasanya.”
Ketegangan ini kembali terhidup dalam oleh Nanda, “M. m, ma, maaf bu.”
“Berarti sudah selesai,” Adira menumpu tubuh di sandaran kursinya, “Pulang. Besok anda boleh mulai bekerja lagi. Lalu Daffa, tolong awasi Ananda.”
“Baik!” dalam pikiran Daffa, ia pun harus melakukan itu bahkan tak diberi arahan.
“Ada lagi yang anda tentang, Ananda?”
Nanda terdiam, polosnya ia memikirkan satu hal.
‘Malaikat satu ini sangat unik.’
Senyum elok terulang di rupa ini, “Tidak. Terima kasih~!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments