Nanda mengatur nafasnya. Serasi dengan jantung yang ia biarkan tenang. Layaknya beberapa detik sebelum panggung, ia harus menghadapinya dengan kepala dingin dan setenang mungkin.
Ia sangat berharap sekotak roti yang direkomendasikan Omar bisa memperbaiki hati yang sakit walau hanya sebiji jagung.
Tok tok tok!
“Masuk!”
Pria ini meraih kenok pintu. Terbukalah daun pintu itu. Memperlihatkan ruang rawat inap eksklusif yang dilengkapi sepasang set sofa yang nyaman untuk para pendamping pasien bahkan untuk kunjungan. Wajah cerah yang kekurangan cahayanya itu mengintip masuk.
Wanita yang ada di dalam ruangan itu. Bukanlah tanda yang baik di raut wajahnya.
...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇...
Daffa menghadap atasan wanita yang tampak garang ini, “Saya dapat kabar kalau pak Hadyan sudah keluar dari rumah sakit.”
“Huuuh, syukurlah,” Adira bisa tenang di salah satu sudut kesibukannya yang penuh setiap harinya.
“Dan, bu. Beliau meminta untuk kunjungan lagi kemari.”
Tak habis pikir Adira dibuatnya. Seharusnya sebagai pihak yang bersalah, Pancarona-lah yang mengupayakan untuk menghadap dan meminta ampun dengan hati paling dalam. Apakah beliau sudah tidak bisa menahan amarah?
“Baiklah,” Adira melepaskan tangannya dari keyboard berwarna manis yang sengaja ia pasang untuk menambahkan pemandangan indah, “Kapan beliau ingin berkunjung.”
“Hari ini.”
“Ya?” Adira sungguh tidak bisa menempatkan akalnya ke alur yang tidak terbaca ini.
Kepala Adira kembali ditegangkan. Jangankan menenangkan keadaan, kalau seperti ini mungkin saja keadaan semakin memburuk dan memburuk.
Namun, sebagai pihak yang harus menegosiasikan permintaan maaf, Adira tidak bisa menolaknya.
“Biar saya yang menghubungi ulang beliau,” Adira menyentuh telepon rumah warna macaron manis itu, “Cepat siapkan dua orang seperti biasanya. Untuk konsumsi, Daffa, tolong melakukannya secara langsung kali ini.”
“Saya mengerti, bu.”
“Dan juga, panggilkan Ananda kemari untuk menghadap beliau.”
Meski Daffa tidak suka berurusan dengan lelaki itu, dia pun tahu dia harus, “Baik.”
Kedua sosok ini meninggalkan pekerjaan di dini waktu. Beliau inilah yang perlu diprioritaskan. Hampir setengah kantor diributkan untuk persiapan yang tidak sampai h-1.
Satu jam, dua jam, tiga jam, lima jam. Sore yang hangat membawa waktu berlalu dengan cepat. Yang menjadi bintang utama telah tiba di pintu kaca berdaun dua.
Adira menunduk kecil. Ketiga karyawannya, tidak berjeda ikut gelagat Adira, “Kebanggaan kami tersendiri saat anda mendatangi kami. Namun saya harap bapak tidak perlu memaksakan kesehatan anda.”
“Hahaha!” pak Hadyan ini masih sama dengan cerahnya senyum itu, “Kelihatan saja kan? Aku sudah bugar begini~!”
“Meskipun begitu, saya rasa lebih baik kalau pihak kami yang menghadap anda di tempat. Mau bagaimanapun permintaan maaf kami masih belum cukup. Bahkan bapak belum menerimanya secara langsung.”
“Haduh~ Aku sudah capek dengar maaf maaf maaf terus. Aku ke sini kan bukan untuk itu juga.”
Lidah Adira tertahan beberapa saat. Kalau bukan untuk hal itu, untuk apa beliau cepat-cepat mengunjungi kantornya?
Suara lift terbuka melanjutkan heels rendah khas Adira, “Lalu alasan apa yang membawa bapak kemari?”
“Ini tentang kemarin yang belum sempat dibahas. Kalian mau ikut mempersembahkan desain untuk bank Taruna, kan?”
Ulasan tentang projek ini akan keluar di tukar tanggapannya kali ini bersama beliau. Tak terduga oleh Adira. Keikutsertaan Pancarona dalam proyek besar adalah rahasia publik.
Bahkan rencananya, walaupun keberhasilannya sangat kecil, Adira mengajukan permintaan kerja sama mitra usaha di depannya ini akan projek Taruna.
Namun dengan adanya insiden sebelumnya, kemungkinan keberhasilan semakin kecil sampai di bawah nol persen. Adira hanya bisa berterima kasih akan persetujuan proyek yang didiskusikan sebelum malapetaka.
Spekulasi wanita belum kepala tiga itu sepintas muncul.
Proyek ini lebih dari sekedar mahal dan pasti perlu tiga empat kali berpikir ulang untuk menerimanya. Ia masih sangat berharap.
“Iya, pak. Benar. Ada masalah tentang itu, pak?”
“Bukan masalah. Malahan aku mau ikut serta.”
Obrolan yang tidak disangka-sangka. Tebakan yang awur ternyata tepat sasaran. Ibarat kata harapan seumur hidup yang terkabulkan.
“Apa kamu sudah berniat kerja sama dengan pihak lain? Kalau diingat juga kamu tidak ada bicara tentang ini sama sekali,” Hadyan sesaat merasa sedih.
“Tidak, tentu ini sebuah kehormatan besar bagi Pancarona,” kembalikan akalmu, Adira. Suara hatinya itu menegurnya, “Bahkan saya berencana memberikan proposal di terakhir kali kunjungan anda.”
Ruang rapat sudah di depan mata tanpa sadar. Isu pembicaraan ini mesti dikaji lebih dalam. Duduk dan situasi yang menenangkan, Adira membutuhkan keadaan kondusif.
“Bagaimana kalau kita bahas di dalam, pak?” pintu rapat terbuka dan wanita ini akhirnya masuk bersama tamunya, “Mari duduk.”
Pak Hadyan ini mengambil duduk sesuai arahan, “Oh, roti~”
“Biar saya cek dulu pak.”
Rasa tersinggung tidak bisa dihindari oleh Adira, “Saya jamin kali ini atas nama saya dan Pancarona. Tidak akan terjadi untuk kedua kalinya.”
Hadyan tersenyum ringan memberikan tanda pada pendampingnya ini untuk bertindak tenang. Bapak ini memiliki rasa percaya sangat erat pada putri muda yang tidak jauh berbeda dari anak kandungnya.
Dia tahu betul kalau insiden satu bulan lalu itu hanya ketidaksengajaan yang fatal. Namun mengulanginya lagi, tidak mungkin ada di kamus putri bernama Adira yang ia kenal.
“Sebelumnya, saya dan seluruh Pancarona sungguh menyesal tentang apa yang terjadi sebelumnya,” Adira membungkuk kecil di samping kursi yang dikhususkan untuknya.
“Udah, cukup,” Hadyan tidak bisa berpikir lagi bagaimana ia harus mencukupkan wanita ini, “Mendingan kita membahas yang lain.”
“Benar,” kedua tangan Adira saling menumpuk di ujung meja rapat, “Daffa, tolong bawakan semua dokumen tentang Taruna. Bawa juga Ananda kemari.”
“Baik!” gesit geraknya memenuhi perintah.
“Oh iya. Nak Nanda!” Hadyan melebarkan matanya, “Bagaimana kabarnya dia?”
Terduga sudah oleh Adira tentang pembahasan ini. Mau seperti apapun hubungan mereka yang kian membaik, masalah ini belum sepenuhnya selesai.
“Saya sedang meletakkannya dalam masa skors. Akan saya pastikan sendiri dia meminta maaf dengan benar kali ini. Setelah itu kami akan memecatnya. Jadi bapak tidak perlu khawatir.”
“Loh? Kenapa dipecat?”
Eh? Apakah hukuman itu terlalu ringan untuk membayar apa yang ia lakukan pada beliau? Hal itu rumlah ditambah lagi insiden ini hampir merenggut nyawanya. Sekilas Adira sempat berpikir ini adalah hukuman yang perlu ditentukan korban sendiri khususnya kalau ingin menggunakan jalan damai.
“Jadi, anda tidak puas dengan pemecatan saudara Ananda. Untuk menjaga hubungan antara Pancarona dan Ujana, tentu saya akan mencoba untuk memenuhinya.”
“Bukan, bukan begitu!”
“Lalu? Apa bapak mau bertemu dengannya dulu? Seharusnya saudara Daffa sudah membawanua kemari.”
“Maksudku, kenapa sampai harus dipecat? Biarkan saja dia. Tidak perlu dipecat.”
Adira kebingungan, “Maaf?”
“Ya, dia kan sudah sering berkunjung dan kebanyakan minta maaf. Aku sudah sehat. Apa lagi yang di masalahkan?”
Tak peduli bagaimanapun Adira melihatnya, Ananda seharusnya tidak pernah bertemu dengan pak Hadyan. Hanya saat di rumah sakit dan itupun saat beliau belum siuman. Mungkinkah ada hal lain yang tertinggal?
“Maaf, pak. Saudara Ananda sering berkunjung?”
Hadyan ikut kebingungan, “Loh? Bukan arahannya kamu ya?”
Kenyataannya, Nanda memang selalu datang menjenguk pak Hadyan ini semasa ia di rumah sakit. Faktanya, Nanda selalu membawa hiburan untuk bapak berumur yang bosan selama masa pemulihan itu.
Dan sebenarnya, itu yang merebut hati Hadyan. Itu juga yang menyakinkan hatinya untuk bekerja sama lebih dengan Pancarona.
Hadyan menangkap ekspresi kaget Adira sebagai jawaban tidak untuk pertanyaannya, “Intinya ya...aku ingin kamu melepas hukumannya. Selesai.”
Kebingungan. Keterkejutan. Tak mampu kata-kata keluar dari sumbatan mulut Adira yang membisu.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan itu tentu menghempas kebingungan yang dibekap Adira. Canggung di senyum Nanda saat ia menangkap suasana ruangan yang tak dingin maupun tak hangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments