#9 Memburu

“Apakah tidak ada waktu lain setelah hari ini?” Adira berdebatkan diri dengan seseorang di balik panggilan.

[“Mohon maaf, bu. Saya hanya menyampaikan apa yang disebutkan para petinggi. Posisi saya bukan untuk mengatur jadwal padat beliau sekalian.”]

Walau tercium akan bau menyengat, Adira tak mampu melepaskan jangkarnya pada keadaan. Ia harus menelan itu dan menembak ke arah darurat yang sebenarnya.

Semua tim yang menangani proyek ini sedang tidak ada di tempat. Namun, client adalah client.

Bila client tidak suka, benang merah yang menguntungkan biro arsitek ini bisa dipotong dengan hanya ditepis saja. Layaknya benang laba-laba. Tak ada yang bilang benang itu tidak bisa disapu habis.

Ini adalah kesempatan besar yang tak layak dilepas oleh Adira.

“Baik. Bila begitu saya akan ambil pertemuan paginya.”

[“Baguslah, kami tunggu tiga puluh menit lagi.”]

Panggilan tertutup tepat dengan rahang bawah Adira terbuka. Ia tidak menyangka. Jikalau waktu tertinggal tiga puluh menit, ia bisa mengklasifikasikannya sebagai tindakan mengubur diri.

“Huuuh, sudah terlambat untuk bernegosiasi.”

Arsitek prinsipal ini harus memutar otak tak peduli berapa kali melewati 360 derajat.

Dapat jadi ia pergi sendiri. Yang ia butuhkan ada di tangan dan kepala. Kendala lain ada di transportasi. Cara gila apa yang bisa digunakan selagi supirnya sedang terjebak dan ia tidak bisa berkendara?

“Bu,” suara yang merdu serta-merta mengejutkan Adira, “Ibu boss kenapa? Panik banget kelihatannya.”

Nanda, ia yang tampil bugar di pagi hari. Mustahil bisa paham akan Adira.

Wanita ini tidak bisa menyimpan lebih banyak detik untuknya. Melewati banyak waktu menghadapi Nanda, Adira tahu harus seperti apa. Nanda tidak akan pergi kecuali mendapatkan jawaban yang memuaskan.

“Saya harus pergi ke pusat bank Taruna di jalan Hadi sebelum tiga puluh menit.”

Nanda langsung menangkap situasi kejar-kejaran itu, “Mau saya antar?”

Terhening beberapa detik, “Anda naik apa?”

“Motor.”

Adira dengan cepat menggerakkan otaknya.

Lebih baik bila ia mengambil pilihan transportasi mobil. Apiknya maket sebesar itu perlu dinaikkan ke angkutan yang memadai. Namun mengingat jalanan pagi yang sudah terpampat, tidak ada yang mengatakan kunjungan akan mulus.

Mengerti, Adira tak punya pilihan, “Dua puluh menit jalan, bisa?”

“Bisa.”

“Kalau begitu, siapkan lima menit. Sekarang!”

Jiwa kepemimpinan Adira menegangkan diri Nanda. Ia dengan paniknya mengikuti arahan Adira.

Sementara Adira kembalikan langkah yang lalu dan mempersiapkan apa yang terlupakan. Jemari multi-tasking, memberikan sinyal agar mengabari sekretarisnya.

Tak lama. Kedua dewasa ini diperdaya oleh waktu yang begitu pendek. Gerak cepat sampai akhirnya mereka dipertemukan dengan motor butut Nanda.

“Itu motormu?”

Siapa yang akan tenang melihat kondisi tumpangan yang akan runtuh berkeping-keping dalam satu kedipan mata? Adira tahu itu tidaklah aman.

Nanda tidak sanggup memetik kebimbangan Adira, “Iya, ayo naik.”

“Eeee...,” ketidaknyaman melapisi wajah Adira. Akan tetapi apa yang bisa diperbuat dengan suara detik yang terus menekan?

Reaksi pegas di sekujur kendaraan ini harus Adira abaikan.

“Pegangan~!”

“Aaa!”

Dibawa wanita ini ke jalur yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Jalanan yang berjajar kendaraan yang berjalan lambat. Roda dua itu tak tahu aturan dan menaikkan kecepatannya sedikit demi sedikit di ujung jalan beraspal.

Adira tidak pernah merasakan ketegangan ini sebelumnya, “Nan... Da....”

Nanda mengendara layaknya dikejar oleh polisi. Dataran yang sebelas dua belas dengan pantai berpasir batu. Kiranya sama dengan Adira akan tumbang mencium tanah kapan saja.

“Saya lewat jalan tikus!” Nanda semakin berapi-api.

“Nanda, hati-hati⏤aaa!”

Pedal gas yang mulai longgar itu ditarik Nanda tanpa pamrih. Penerjangan ke gang yang semakin kecil dan semakin asing. Sampai jalan lebar satu meter mengukir wajah Adira yang panik tak terkendali.

“Hii!” histeris Adira menggema di pemukiman penuh orang yang mereka lalui.

Kelakuan layaknya anak-anak yang berlarian bebas. Dianggap menyenangkan oleh Nanda yang tersenyum tak kalah lapang.

Pemandangan pintu-pintu rumah yang berdekatan teralih dengan gambaran gedung tinggi dan padatnya jalan raya. Nafas Adira bisa diambil sesaat gedung tinggi bank Taruna terpampang di depan mata.

“Tiga belas menit, sampai~” bangganya Nanda di saat ia menurunkan Adira di dropout gedung.

Waktu yang sangat mepet menendang di sisi Adira. Seolah meneriakkan, ada yang lebih penting dibanding kejut sehabis berkendara bersama Nanda.

Orang nomor satu Pancarona ini merapikan segala macam termasuk rambutnya, “Ini.”

Adira menyerahkan ponselnya pada Nanda. Pria ini tercengang.

“Jika Daffa menelpon, ceritakan situasinya. Tunggu saya di sini sampai Daffa datang.”

Nanda menerima ponsel itu, “Ba... ik....”

Adira tidak berniat basa-basi. Ia harus memasuki pintu dan konfirmasi secepatnya sebelum dianggap membatalkan pertemuan.

“Bu Adira!”

Teriakan Nanda membekukan langkah Adira sesaat.

Nanda tersenyum manis, “Semangat~!”

Bisu Adira meskipun terbuka lebar mulutnya dikarenakan terkejut. Nanda telah membuang waktu yang berharga. Akan tetapi satu kata manis itu sukar dijadikan perkara.

Adira melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda itu tanpa meninggalkan kata-kata.

Meja resepsionis itu berupa titik terang yang pada dasarnya masih lima menit sebelum waktu yang dijanjikan.

“Saya,” Adira mengatur kembali nafasnya yang masih meloncat-loncat, “Saya Syifabella Adira dari Pancarona Studio biro arsitek.”

“Senang bisa melihat anda sampai tepat waktu,” seorang wanita berbaju tak kalah rapi mendatangi Adira.

Ia tersadar akan satu hal. Nada dari mulut itu menggambarkan nada yang sama dengan panggilan sebelumnya.

“Kemari, bu Adira,” wanita ini menunjuk satu arah. Lalu ia pergi lebih dulu dan memandu Adira.

Wanita ini akhirnya mempersilahkan Adira masuk ke ruang rapat. Medan perang itu harus Adira lalui sendiri.

Sisi lain.

Keringat Daffa yang tergesa-gesa tercampur dengan ketakutan akan hal buruk di depannya.

Individu ini tahu, seharusnya ia tidak meninggalkan sang atasan hanya karena menyiapkan diri. Mestinya ia menunggu atasannya sampai beliau benar-benar pulang.

Untunglah Daffa tidak lebih lama lagi terjebak di tumpukan para pemilik roda ini. Gedung yang dijadikan 'tambang' itu akhirnya terlihat. Sampai ia, di tanah rata dengan kakinya yang tegak.

“Kumohon, angkat. Angkat,” sekretaris ini mendekatkan ujung ponselnya menunggu dering berganti suara.

Diangkat!

“Halo, bu Adira.”

[“Hola, pak~”]

Itu tentu bukan suara dari Adira. Mana mungkin suara pria disamakan dengan suara tegas beliau.

Daffa pun tahu siapa pemilik suara itu, “Ananda?”

[“Wee, bapak tahu aja kalau ini saya.”]

Pikiran Daffa seakan terkosongkan, “Bagaimana bisa HP beliau ada di kamu?!”

[“Pak, pak, tenang. Saya tidak mungkin nyuri kok. Ibu Adira sendiri yang kasih.”]

“Di, dimana beliau sekarang.”

[“Tidak tahu. Di dalam Taruna dari tadi.”]

“Kamu? Kamu di mana?”

“Di belakang bapak.”

“Yaaak!” tidak mungkin lagi Daffa mempertahankan sikap kerennya.

Terkejut tetap saja terkejut. Menemukan Nanda sudah berdiri di balik punggung Daffa yang terguncang kaget. Nanda ini dengan santainya melebarkan senyum di balik tangannya yang memegang ponsel Adira.

“Pagi, pak~ Kaget?”

Daffa tak habis pikir dengan tingkah natural Nanda yang tak profesional.

“Lupakan. Kemarikan HP bu Adira.”

Nanda menyerahkan ponsel itu setelah menekan tombol merah.

Tangan itu langsung merebut tangan Nanda, “Kamu tidak tahu kabar apa-apa tentang bu Adira?”

“Mana kutahu,” Nanda masa bodoh akan hal itu.

“Beliau adalah atasanmu. Seharusnya kamu menemani beliau!”

Nanda menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa? Bu boss gak lemah sampai harus ditemani.”

“Orang kuat pun harus ditemani.”

“Kalau bapak gitu terus, nanti dibenci bu bos loh.”

Daffa terdiam, “Apa yang kamu tahu tentang beliau?!”

“Hmm, pastinya bu boss itu gak mau dianggap terus-terusan butuh bantuan cowok,” Nanda tersenyum. Tak manis seperti biasanya, tetapi indah dan percaya diri, “Ya kan?”

Sekretaris ini tidak dapat membalas. Itu memanglah Adira, dan Daffa mengetahuinya bahkan sejak pertama kali bertemu.

“Nah, karena bapak sudah di sini,” Nanda merenggangkan kedua tangannya, “Saya akan jalan-jalan sambil nunggu. Dadah pak~”

Daffa memegangi kepalanya. Semarah apapun ia sekarang, mulutnya tertutup rapat.

Episodes
1 Prolog
2 #1 Impresi Sepasang
3 #2 Atensi
4 #3 Mencari Kenal
5 #4 Lantaran...
6 #5 Naik Pitam
7 #6 Temperatur Tak Terang
8 #7 Paras Unik dari Matanya
9 #8 Bukan Tanpa Enigma
10 #9 Memburu
11 #10 Selepasnya
12 #11 Janji di Satu Pekan
13 #12 Akhir dari Janji
14 #13 Sekelebat Waktu di Elevator
15 #14 Pemeran dan Peran
16 #15 di Sebuah Petang
17 #16 di Dalamnya Ada Mata
18 #17 Kata dan Kalimatnya
19 #18 Petang Menjulur Pergi
20 #19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21 #20 Bila dan Akan
22 #21 Maksud dan Sebab
23 #22 Nanda di Pagi Hari
24 #23 Bekal
25 #24 Kemungkinan
26 #25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27 #26 Hari Hujan
28 #27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29 #28 Kebun Binatang
30 #29 Tugas Baru
31 #30 Pengejaran
32 #31 Semut yang Memanjat
33 #32 Outing Event
34 #33 Apa yang Benar
35 #34 Waktu yang Tidak Tepat
36 #35 Teori dan Fakta
37 #36 Tenang Sebelum Badai
38 #37 Amarah dan Kesedihan
39 #38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40 #39 Perubahan Hubungan
41 #40 Ia di Saat Terendahnya
42 #41 Selepas Mata Merah?
43 #42 Kepercayaan itu Diusahakan
44 #43 Ternyata Tidak Berdua
45 #44 Sekali Seumur Hidup
46 #45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47 #46 Sang Wanita dan Cerita
48 #47 Tanpanya dan Dengannya
49 #48 Salju di Tropis
50 #49 Waktunya yang...
51 #50 Bahagianya
52 #51 Malam yang Lebih Sunyi
53 Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54 Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55 #52 Ikatan
56 #53 Di Balik Harapan
57 #54 Teman Lama, Teman Baru
58 #55 Indah Bintang Di Dalam
59 #56 Tak Masuk Akal
60 #57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61 #58 Lebih Buruk tapi Terduga
62 #59 Langkah Awal Tak Pasti
63 #60 Jatuh Sebelum Naik
64 #61 Anak Tangga Pertama
65 #62 Satu Interview
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
#1 Impresi Sepasang
3
#2 Atensi
4
#3 Mencari Kenal
5
#4 Lantaran...
6
#5 Naik Pitam
7
#6 Temperatur Tak Terang
8
#7 Paras Unik dari Matanya
9
#8 Bukan Tanpa Enigma
10
#9 Memburu
11
#10 Selepasnya
12
#11 Janji di Satu Pekan
13
#12 Akhir dari Janji
14
#13 Sekelebat Waktu di Elevator
15
#14 Pemeran dan Peran
16
#15 di Sebuah Petang
17
#16 di Dalamnya Ada Mata
18
#17 Kata dan Kalimatnya
19
#18 Petang Menjulur Pergi
20
#19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21
#20 Bila dan Akan
22
#21 Maksud dan Sebab
23
#22 Nanda di Pagi Hari
24
#23 Bekal
25
#24 Kemungkinan
26
#25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27
#26 Hari Hujan
28
#27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29
#28 Kebun Binatang
30
#29 Tugas Baru
31
#30 Pengejaran
32
#31 Semut yang Memanjat
33
#32 Outing Event
34
#33 Apa yang Benar
35
#34 Waktu yang Tidak Tepat
36
#35 Teori dan Fakta
37
#36 Tenang Sebelum Badai
38
#37 Amarah dan Kesedihan
39
#38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40
#39 Perubahan Hubungan
41
#40 Ia di Saat Terendahnya
42
#41 Selepas Mata Merah?
43
#42 Kepercayaan itu Diusahakan
44
#43 Ternyata Tidak Berdua
45
#44 Sekali Seumur Hidup
46
#45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47
#46 Sang Wanita dan Cerita
48
#47 Tanpanya dan Dengannya
49
#48 Salju di Tropis
50
#49 Waktunya yang...
51
#50 Bahagianya
52
#51 Malam yang Lebih Sunyi
53
Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54
Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55
#52 Ikatan
56
#53 Di Balik Harapan
57
#54 Teman Lama, Teman Baru
58
#55 Indah Bintang Di Dalam
59
#56 Tak Masuk Akal
60
#57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61
#58 Lebih Buruk tapi Terduga
62
#59 Langkah Awal Tak Pasti
63
#60 Jatuh Sebelum Naik
64
#61 Anak Tangga Pertama
65
#62 Satu Interview

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!