“Ada permintaan dari Ujana. Mereka mau diskusi dengan kita besok,” Daffa memenuhi kunjungan kembali ke ruangan bosnya, “Jadi bagaimana?”
Terhela nafas berat dari Adira. Bertambah lagi satu pekerjaan yang sulit untuk diselesaikan. Pertemuan dengan business partner terbesar perusahaan memang bisa menjadi pedang bermata dua yang ketajamannya harus dimainkan.
“Kita harus terima, bukan?” Adira menyingkirkan kertas lain dan berusaha mengedepankan ada yang di hadapannya, “Cari tim yang deadline-nya sedang tidak mendesak. Ambil satu atau dua orang yang siap.”
“Baik. Saya akan persiapkan ruang rapatnya juga seperti biasa,” Daffa mencatat apa yang perlu ia ingat.
“Jangan lupa siapkan roti kesukaan pak Hadyan,” Adira menyentuh ujung engsel kacamatanya. Melepaskan dari pangkalannya dan menggosoknya dengan kain lembut, “Harus pesan hari ini juga supaya besok bisa langsung diambil.”
“Kalau begitu, saya langsung minta OB untuk pesankan,” Daffa mengundurkan dirinya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Aksi sepasang kakinya yang percaya diri melewati petak ubin per-ubin. Sepatu coklat itu memainkan tapak-tapak kosong yang bisa dilewati. Leluasa dengan mulutnya dan jabatannya untuk menyuruh karyawan lain.
Instruksi untuk menyiapkan rapat esok hari, membawa pria ini sampai ke dapur.
Sekretaris ini memang tahu kalau tidak ada orang lain selain satu orang ini, tapi....
“Apa tidak ada OB yang senggang?” Daffa tidak mau membuang waktu berharganya.
Nanda mengangkat telapakan tangan terbuka ke samping wajahnya, “Saya, pak.”
Daffa tidak berkutik, bertanya mengapa orang pembuat masalah itu yang muncul saat ia sungguh sedang membutuhkan sumber daya manusia.
Akan tetapi ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan di keadaan darurat di sore hari ini. Mau ataupun tidak sudi, ia tidak ada pilihan lain selain meminta padanya.
Daffa mengeluarkan dana yang ia dapat tadi, “Siapkan konsumsi di ruang rapat Biru di lantai empat. Ini untuk pak Hadyan, siapkan saja untuk sepuluh orang. Besok pagi harus sudah siap. Kamu yang bertanggung jawab.”
Nanda mematung. Seakan satu dari seratus bohlam lampu padam, ia tidak bisa menangkap apa yang dikatakan lawan bicaranya, “Apa? Gimana gimana?”
Daffa tidak tahu lagi selain memegangi kepalanya, “Konsumsi, di ruang rapat Biru, sepuluh orang, untuk pak Hadyan, besok pagi.”
“Oke...,” Nanda masih saja berpikir, “Saya harus siapin apa aja?”
“Kamu bimbingannya Omar kan? Tanyakan padanya,” Daffa memutar langkahnya, “Jangan ada kesalahan!”
Nanda tak menjawab. Dia tahu ini bukan pertanda baik. Sebuah kepercayaan ini bisa jadi jalan ia dikenal sebagai orang yang layak, tapi dia tidak yakin bisa memenuhinya.
TIDAK! Pria yang masih terlihat segar ini menolak untuk menyerah. Dia harus yakin bisa melakukannya dengan baik!
...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇...
“Bro,” Nanda meninggalkan pintu yang terbuka. Mendekati teman kerjanya yang masih sibuk menata beberapa botol mineral, “Nih rotinya.”
“Taruh saja satu-satu di samping minumannya,” Omar memberikan arahan pada junior kerjanya itu.
Pandangan Nanda teralih di berbagai sudut. Ruangan yang menenangkan dengan biru navy di satu dinding dan putih di sisi dinding lainnya. Furniture kursi rapat yang berjejer dengan meja yang didominasi warna cream kalem.
Cerah pagi yang baru saja dimasuki para pekerja. Kesibukan tentu mudah dimulai.
Nanda memandangi kotak-kotak dari bakery yang baru saja ia ambil. Sepuluh buah kotak yang diisi dengan berbagai macam roti, sudah tampak mahal hanya dengan melihat kotak hitamnya saja.
Dan orang-orang yang akan ikut mendapatkannya begitu saja bagaikan makanan prasmanan di kondangan, pemikiran iri Nanda meluap tak karuan.
“Bagaimana? Ada yang kurang?” tanpa aba-aba, Daffa sudah menampakkan diri.
Omar menghentikan gerakan tangannya, “Lancar saja kok pak, cuma perlu disusun.”
“Baiklah,” Daffa sepertinya menyiapkan ponselnya untuk menghubungi seseorang lewat pesan, “Kalau begitu lanjutkan. Langsung keluar kalau sudah selesai. Katanya mereka akan datang satu jam lagi.”
“Siap, pak,” Omar mempersilahkan pria ini pergi.
Langkah Daffa kembali lagi menggelegar.
Kantor itu kembali ramai walau masih tiga puluh menit setelah waktu masuk kerja. Tidak ada yang ingin mengeluarkan dirinya sendiri dari pekerjaan dan menghapus banyak detik waktu yang sangat mereka butuhkan.
“Daffa,” suara familier itu tidak ia sangka didengar di luar ruangannya.
“Selamat pagi, bu,” Daffa tersenyum ramah.
“Pagi,” Adira mendekati pria ini, “Bagaimana persiapannya?”
“Ruang rapat cuma tinggal susun-susun saja. Giana dari tim satu dan Angga tim empat sudah mulai siap-siap. Dokumennya juga sudah siap didiskusikan,” Daffa mendekat dengan berbagai dokumen yang ia bawa, “Kabar terakhir, pak Hadyan dan dua pekerjanya datang sekitar satu jam lagi.”
“Baguslah,” Adira menerima satu dari tumpukan kertas yang dibawa Daffa, “Kalau begitu kita juga harus siap-siap.”
Dengan membersihkan kacamatanya, Adira memulai persiapannya pertemuannya dengan sang business partner yang sangat ia hormati itu. Beberapa waktu ia dan para pekerjanya menyelesaikan yang harus disiapkan.
Ketenangannya melimpah ruah melihat persiapan yang tidak akan jadi masalah. Adira menghadapi sang pemeran utama business partner dan memulai diskusinya di ruangan yang disiapkan. Lancar dan sesuai dengan harapan. Diskusi berakhir dengan kesan indah.
“Hahaha hoho!!” pria berkepala enam ini masih memiliki semangat di hatinya, “Selalu saja mengeluarkan terobosan hebat. Gadis muda ini jiwanya bebas sekali! Hahaha!!”
Adira tidak bisa menemukan reaksi yang hebat, “Tentu itu bukan apa-apa kalau bapak tidak memberi support.”
“Hentikan. Apa gunanya dana kalau tidak pakai... ini?” jemari telunjuknya mengarahkan pada kening di samping kanannya.
“Kalau begitu saya terima pujiannya,” Adira tersenyum.
Usai dengan diskusi, bapak ramah satu ini memulai percakapan ringan. Tentu dengan santapan roti yang memenuhi kotak kecil yang menggugah. Sang bapak yang memang suka segala macam roti tidak mungkin menolak waktu senggang.
“Sayang sekali aku hanya punya anak perempuan. Kalau anakku laki-laki, aku pasti sudah jodohkan kamu dengannya. Hahaha!” sang bapak kembali lagi meluapkan kesenangannya terhadap Adira.
“Terima kasih, pak. Itu sebuah kehormatan,” Adira tersenyum tanpa rasa puas di lidahnya.
Kadang-kadang beliau memang tidak menyaring pembahasannya. Namun Adira pun tahu beliau tidak bermaksud apapun. Beliau hanya menjadi beliau. Senang, sedih dengan caranya. Merasakan khawatir dengan caranya.
Adira selalu merasa beruntung bisa meluluhkan hati bapak yang satu ini.
Kini Adira harus membuka peluang untuk pembahasan lain. Proyek penting ini akan menguntungkan dengan keikutsertaan beliau.
“Huk, uhuk uhuk!”
“Pak, anda tidak papa?” asisten sang bapak ini tampak cemas.
Dirasakan ada yang aneh di pangkal lidah Adira. Namun ia harus mengenyampingkan firasat itu terlebih dahulu dan memulai meringankan beban batuk pak Hadyan.
“Ambilkan air hangat. Dan madu juga,” Adira mengarahkan salah satu karyawannya.
“Baik!”
“Aku tidak pa... pa...,” bapak ini tidak terlihat baik. Gerakannya seperti pernafasannya sedang tersumbat. Satu tangannya lagi menggaruk wajahnya yang tiba-tiba membengkak.
“Pak!”
“Bu Adira!” Daffa mendekat dengan membawa roti yang sudah terbelah dua, “Rotinya ada kacangnya!”
Adira dan setiap orang yang mendengarkan tentu akan keringat dingin. Mereka tahu. Sudah biasa menyiapkan segala macam makanan dan minuman dengan bahan yang bebas alergi di tubuh pak Hadyan.
Tentu ini bukan masalah kecil. Kekacauan, harus dipanggilnya rumah sakit untuk ikut turun tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments