#8 Bukan Tanpa Enigma

Merah itu akhirnya menghiasi tulisan tanggal di kalender. Adira bisa bernafas untuk setidaknya setengah hari. Dia ingin berangkat pagi-pagi sekali, sehingga dia dimudahkan meski masih ada setengah hari lagi untuk menjalankan proyek sebelum deadline.

Setengah hari saja, ia ingin sekali mengambil kunjungan ke rumah sang ibu.

GUK! GUK!

“Hai, Ebony,” Adira menekuk dirinya ke depan seekor anjing, “Kamu makin besar.”

Rumah minimalis dengan highlight hijau terang. Membuatnya tampak menonjol meski di tengah rumah-rumah besar. Sejalan dengan hobi sang ibu yang menyukai hijau tanaman segar.

Tanaman yang didominasi berbagai jenis dedaunan, sungguh membawa nostalgia bagi Adira.

Lokasi ini bukan tempat dimana ia lahir. Sang ibu masih membawa sisa-sisa rumah, meski itu bukan miliknya. Merawatnya sampai tersebar. Seakan-akan sang ibu bermaksud memindahkan kenangannya.

“Sudah sarapan, belum?” ibu ini mengajak masuk anak sulungnya.

“Belum, bunda. Nanti saja. Dira disini sampai siang kok.”

Wanita yang tak muda lagi ini tak ingin membuat anaknya digenggam terlalu erat. Sosok ini selalu membiarkan anak-anaknya terbang sebebasnya. Ia pun tahu kalau Adira lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berbanyol dengan adiknya.

Insting sang ibu tak pernah menjadi keraguan, Adira benar berkeinginan membayar penantian sang adik untuk kunjungannya.

“Aaak!” sang adik ini tampak sangat bergembira.

“Halo, Nata,” Adira mengelus rambut tipis si bungsu, “Kakak belikan ini.”

“Wueeaa!” dia meraih perlahan hadiah itu.

Simpel dan indah. Boneka sekecil itu mungkin bisa memberikan kebahagiaan yang sangat besar.

“Iii kaantour ghimanya?”

“Nata kok penasaran sekali apa yang ada di kantor kakak?”

Adik kecil ini berusaha menunjukkan ekspresi kesalnya, “Gyak oleh?”

“Boleh kok,” ingatan demi ingatan digali lagi oleh sistem otak Adira, “Hmm... sempat ada masalah sih....”

“Eapa? Apa?”

“Ada OB laki-laki baru di kantor kakak. Dia itu jiwanya bebas, tidak, mungkin dia cuma bodoh saja. Saking bodohnya dia sampai lengah dan hampir bikin partnership kakak hilang.”

“Rus? Erus?”

“Terus..., ya karena partnership kakak tidak masalah, kakak biarkan saja dia bekerja. Waktu kakak bilang begitu saja dia langsung bertingkah lagi. Bilang kalau dia lebih muda, megang-megang tangan kakak. Dia juga minta izin panggil pakai kakak juga. Aneh.”

“Ciii eee!”

“Apanya?”

“Hehehehe.”

Hilir mudik suara kendaraan ramai di jalanan kompleks. Tak mengusik sejumput momen manis oleh kedua ratna. Jangankan berisik dari pengembara di luar rumah, dentik jarum jam tepat di antara mereka saja sudah tak tertangkap.

Menghilir akhirnya waktu jam santap di tengah hari. Bahkan untuk dara petangguh seperti Adira perlu waktu untuk mengistirakan tubuh itu.

“Nata sudah tidur kan?” ibunda ini membawa semangkuk besar penuh sayung yang berkuah bening.

“Sudah,” Adira ikut serta menjejerkan piring dan berbagai pasangannya, “Nata susah tidur ya kalau malam?”

“Biasa. Kemarin dia sempat nonton film horor.”

Adira dengan sang ibu tertawa kecil mengingat tingkah sang anak bungsu.

“Nah, ayo. Makan. Tidak ada alasan lagi tidak mau makan kan?” ibu menarik kedua ujung bibirnya semanis mungkin.

Bahu Adira yang terangkat menyadari ia pun tak ingin menolak. Sudah sangat lama sejak terakhir kali merasakan masakan wanita di hadapannya.

“Di kantor ada masalah?” ibu pun memiliki rasa ingin tahu yang besar akan anaknya.

Adira menyelesaikan mulutnya yang masih mengunyah, “Sempat ada masalah, tapi sudah tidak papa kok.”

“Baguslah,” sang ibu memainkan sendok dan garpunya, “Kalau ada kenapa-napa, ingat bunda loh. Begini-gini, bunda juga pasti bantu kok.”

“Iya bun. Terima kasih.”

...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ...

Jumpa matahari terasa bernyawa oleh para ahli. Tak dihiraukan lagi berapa tempo detik maupun jam yang mereka lewati untuk ide kali ini. Bukan sekali dua kali para ahli layaknya mereka melewati waktu lelap mereka.

Empat bulan penuh perjuangan. Usaha mereka sudah mendekati batas waktunya.

Salah satu ruangan itu masih menyala lampunya walau sudah esok hari. Walau tinggal beberapa menit waktu kerja di hari baru. Orang-orang ini sebentar lagi tidak perlu menyibukkan jemari mereka dari berbagai desain di segala angka dimensi.

“Kita sudahi untuk sekarang,” Adira akhirnya bisa melihat cela dimana semua usaha itu sudah cukup. Ia tahu, semua orang ini pun harus menghadapi client dengan keadaan bugar, “Yang mau pulang silahkan.”

“Ingat! Jam sepuluh, semua sudah di sini!” Daffa mengingatkan dengan mata yang tidak pernah mengantuk.

“Baik...,” lemas sudah menyudutkan semangat kerja mereka.

Mata redup mereka masih harus berjalan jauh untuk kata usai. Layaknya jadwal yang sudah mereka siapkan. Tim empat orang ini memilih kabur dan memanfaatkan waktu tersisa. Sehingga kata lelah bisa dicabut segera.

Adira, tentu tidak akan sekian membubarkan dirinya dengan cepat. Sebanyak apapun ia berusaha cukup, masih saja ada hal yang kurang.

“Bu, anda tidak ikut istirahat?”

Mata coklat itu masih sibuk dengan tirai cerah yang menyatu dengan keyboard, “Anda duluan saja. Saya masih menunggu sopir saya.”

“Kalau begitu biar saya saja yang mengantar anda pulang.”

“Tidak perlu.”

“Tapi anda pasti lelah.”

Akhirnya pandangan Adira teralihkan, “Anda sama lelahnya dengan saya. Sudah cukup berbahaya berkendara sendiri di keadaan sekarang, anda mau membuatnya tambah berbahaya?”

Daffa tidak bisa menjawab, sebesar apapun ia tidak menyukai keheningan.

“Pulang saja duluan. Hati-hati di jalan.”

Bungkaman mulut Daffa bawa dengan kekalahannya membujuk sang atasan. Kepribadian tegas Adira sungguh tidak tergoyahkan.

“Tolong istirahatlah selagi sempat, bu Adira,” Daffa membungkuk kecil kepalanya.

“Iya. Anda juga,” matanya kembali teralih saat Adira sudah memastikan kalau sekretarisnya keluar dari ruangan.

Beberapa menit Adira lewati bersama silau lampu ruang kumpul yang sepi. Sudah hampir jam masuk Pancarona. Meskipun begitu kedap suara dari ruangan berhasil menghilangkan semua yang ramai di baliknya.

Hingga terangkat lengan Adira dari meja, sesaat ia merasa tidak ada lagi yang bisa dilengkapi.

“Hm?” Adira menyadari suara pesan masuk.

Di baliknya sudah tertulis pesan dari sang supir. Pembawa mobil yang didapat dari uang Adira ini ternyata tersendat di jalan.

Sebesar-besarnya penyesalan sang supir tidak mengubah apapun.

Waktu di dinding ruangan ini menunjukkan waktu berangkat semua anggota di setiap kepala keluarga. Jalan kota metropolitan penuh gedung ekonomi tidak punya alasan untuk sepi. Itu bukan salah supir siapapun.

Direnggangkan tubuh bagian atas yang tegang itu. Adira berpikir untuk mencari angin atau sesuatu yang membuatnya tampak beristirahat.

‘Mungkin aku ke coffee shop di seberang sekalian menunggu...’

Tujuan yang mantap. Ia berdiri dengan bawaan yang tidak kalah mantap.

Sungguh waktu tidak salah, angka yang ditunjuk saat ini adalah waktu bekerja bagi orang-orang. Berbagai sapa basa-basi tapi ramah dilemparkan ke sosok nomor satu di Pancarona itu.

Getar kejut berlanjut di dalam tas selempang Adira kembali mengganggunya. Ia berpikir, itu hanya supirnya yang sering kali merasa tidak enakan pada bosnya.

Adira tidak suka mendengar getar panggilan itu dan menumpuk banyak notifikasi. Ia memilih untuk mengangkatnya.

Terdiam sesaat, nomor yang tidak diketahuinya muncul di layar depan.

Adira mengangkatnya dan mendekatkannya di telinga, “Ya?”

[“Pagi bu. Benar ini dengan ibu Adira dari Pancarona?”]

“Benar. Dengan siapa saya berbicara?”

[“Saya Diva, pihak Business Development bank Taruna.”]

Adira menangkap situasinya, mereka memiliki sesuatu yang perlu diinformasikan.

[“Begini, bu. Kami ada timeline dadakan yang perlu dipenuhi siang nanti. Apakah ibu memungkinkan untuk mempresentasikan desain tim ibu pagi ini?”]

Langkah Adira tidak lagi terhenti, tapi sudah terpaku di lantai. Rasa terkejutnya sempat membawa diri yang mengantuk itu berharap kalau ini hanya mimpi buruk.

Episodes
1 Prolog
2 #1 Impresi Sepasang
3 #2 Atensi
4 #3 Mencari Kenal
5 #4 Lantaran...
6 #5 Naik Pitam
7 #6 Temperatur Tak Terang
8 #7 Paras Unik dari Matanya
9 #8 Bukan Tanpa Enigma
10 #9 Memburu
11 #10 Selepasnya
12 #11 Janji di Satu Pekan
13 #12 Akhir dari Janji
14 #13 Sekelebat Waktu di Elevator
15 #14 Pemeran dan Peran
16 #15 di Sebuah Petang
17 #16 di Dalamnya Ada Mata
18 #17 Kata dan Kalimatnya
19 #18 Petang Menjulur Pergi
20 #19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21 #20 Bila dan Akan
22 #21 Maksud dan Sebab
23 #22 Nanda di Pagi Hari
24 #23 Bekal
25 #24 Kemungkinan
26 #25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27 #26 Hari Hujan
28 #27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29 #28 Kebun Binatang
30 #29 Tugas Baru
31 #30 Pengejaran
32 #31 Semut yang Memanjat
33 #32 Outing Event
34 #33 Apa yang Benar
35 #34 Waktu yang Tidak Tepat
36 #35 Teori dan Fakta
37 #36 Tenang Sebelum Badai
38 #37 Amarah dan Kesedihan
39 #38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40 #39 Perubahan Hubungan
41 #40 Ia di Saat Terendahnya
42 #41 Selepas Mata Merah?
43 #42 Kepercayaan itu Diusahakan
44 #43 Ternyata Tidak Berdua
45 #44 Sekali Seumur Hidup
46 #45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47 #46 Sang Wanita dan Cerita
48 #47 Tanpanya dan Dengannya
49 #48 Salju di Tropis
50 #49 Waktunya yang...
51 #50 Bahagianya
52 #51 Malam yang Lebih Sunyi
53 Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54 Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55 #52 Ikatan
56 #53 Di Balik Harapan
57 #54 Teman Lama, Teman Baru
58 #55 Indah Bintang Di Dalam
59 #56 Tak Masuk Akal
60 #57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61 #58 Lebih Buruk tapi Terduga
62 #59 Langkah Awal Tak Pasti
63 #60 Jatuh Sebelum Naik
64 #61 Anak Tangga Pertama
65 #62 Satu Interview
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
#1 Impresi Sepasang
3
#2 Atensi
4
#3 Mencari Kenal
5
#4 Lantaran...
6
#5 Naik Pitam
7
#6 Temperatur Tak Terang
8
#7 Paras Unik dari Matanya
9
#8 Bukan Tanpa Enigma
10
#9 Memburu
11
#10 Selepasnya
12
#11 Janji di Satu Pekan
13
#12 Akhir dari Janji
14
#13 Sekelebat Waktu di Elevator
15
#14 Pemeran dan Peran
16
#15 di Sebuah Petang
17
#16 di Dalamnya Ada Mata
18
#17 Kata dan Kalimatnya
19
#18 Petang Menjulur Pergi
20
#19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21
#20 Bila dan Akan
22
#21 Maksud dan Sebab
23
#22 Nanda di Pagi Hari
24
#23 Bekal
25
#24 Kemungkinan
26
#25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27
#26 Hari Hujan
28
#27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29
#28 Kebun Binatang
30
#29 Tugas Baru
31
#30 Pengejaran
32
#31 Semut yang Memanjat
33
#32 Outing Event
34
#33 Apa yang Benar
35
#34 Waktu yang Tidak Tepat
36
#35 Teori dan Fakta
37
#36 Tenang Sebelum Badai
38
#37 Amarah dan Kesedihan
39
#38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40
#39 Perubahan Hubungan
41
#40 Ia di Saat Terendahnya
42
#41 Selepas Mata Merah?
43
#42 Kepercayaan itu Diusahakan
44
#43 Ternyata Tidak Berdua
45
#44 Sekali Seumur Hidup
46
#45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47
#46 Sang Wanita dan Cerita
48
#47 Tanpanya dan Dengannya
49
#48 Salju di Tropis
50
#49 Waktunya yang...
51
#50 Bahagianya
52
#51 Malam yang Lebih Sunyi
53
Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54
Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55
#52 Ikatan
56
#53 Di Balik Harapan
57
#54 Teman Lama, Teman Baru
58
#55 Indah Bintang Di Dalam
59
#56 Tak Masuk Akal
60
#57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61
#58 Lebih Buruk tapi Terduga
62
#59 Langkah Awal Tak Pasti
63
#60 Jatuh Sebelum Naik
64
#61 Anak Tangga Pertama
65
#62 Satu Interview

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!