#2 Atensi

“Nih kantor gak kayak kantor ya,” Nanda bersandar pada tongkat sapu sejenak beristirahat, “Banyak barang-barang aneh.”

“Gitu asyiknya Pancarona,” Omar masih sibuk dengan kemoceng, “Ada ruang relaksasi, ruang istirahat, ruang hobi. Semua bisa hilangkan stres! Tidak bisa sesal jadi OB di sini!”

Memang benar. Studio Pancarona adalah perusahaan yang belum tiga tahun berdiri. Banyak sudah menimbulkan viral di masyarakat.

Pertama, kerja mereka yang memang apik dan memiliki karakternya sendiri.

Kedua, kesuksesannya dalam pembangunan taman kota yang luar biasa.

Ketiga karena kantornya yang dirancang penuh menyenangkan dengan berbagai hal unik dan menginspirasi.

Namun layaknya Nanda, orang-orang tidak pernah mengenal siapa yang mendirikan perusahaan arsitektur ini.

Sudah satu minggu menjalani pekerjaannya, Nanda masih tidak sempat tahu banyak hal tentang Pancarona dan semua yang terkait. Ia saja tidak pernah masuk ke ruang ini sebelumnya. Tempat ini terbilang besar dan banyak yang harus dibersihkan.

Kesibukannya menumpuk dengan banyaknya hal yang perlu dirawat.

Ia menemukan sesuatu menempel di salah satu dinding wadah bersantai ini.

“Ini punya kantor?” Nanda memandang sebuah gitar akustik yang dipajang indah di dinding, “Aku baru tahu ada ini di sini.”

“Itu sumbangan. Terakhir kali katanya ada projek aula musik. Jadi mereka cari inspirasi dari itu,” Omar masih sibuk membersihkan hal lain.

Nanda mengingat sebuah news beberapa bulan lalu, “Oh, auditorium Symphony?”

Pastinya Nanda tahu bangunan itu. Auditorium yang menjadi topik viral Pancarona setelah taman kota Senopati⏤proyek yang mengangkat nama Pancarona. Ini pula yang menjadikan Nanda tertarik untuk bekerja untuk perusahaan ini di samping alasan lain.

“Habis ini kita break kan?” Nanda tampak semangat.

Omar berpikir, “Hari ini gak banyak yang dikerjakan sih. Kayaknya begitu.”

“Boleh dong aku mainin ini~”

“Boleh aja sih. Tapi kita ada jadwal standby di dapur loh.”

Nanda berpikir sejenak. Seharusnya dia masih bisa memainkannya karena sekedar standby di sana. Dia hanya perlu membersihkan tugas terakhirnya di siang hari.

“Tapi aku bisa main ini di dapur kan?”

“Iya sih...."

Ia langsung menegakkan tubuhnya dan kembali menyapu bagian yang belum. Untungnya tempat ini tidak terlalu kotor. Bisa dipercepatnya pekerjaannya.

Gitar itu sudah berpindah tempat ke tangan Nanda, “Aku duluan ya!” 

“Heh!” Omar terhentak. Merasa kesal dalam waktu bersamaan.

Akan tetapi pria yang berapi-api ini tak peduli dengan sekitar dan melangkah cepat melalui banyaknya kursi pegawai. Tangkas kakinya memberikan waktu sedikit saja sampai akhirnya ia tak jauh dari dapur.

Nanda meletakkan peralatannya di janitor terdekat.

Susunan kursi siap menyambut semua orang yang lapar atau sekedar ingin menghabiskan minumannya. Akhirnya ia bisa mendudukinya dan melepas lelah di sela shift-nya untuk tetap bersiap bila ada bantuan darurat yang dibutuhkan.

“Sudah ngetem aja,” teman OB-nya muncul satu persatu.

Nanda sudah mengambil posisi dengan gitar pinjamannya, “Lagi mau main ini.”

“Waduh~ Coba dong,” temannya yang lain duduk di samping Nanda.

Nanda memulai memetik satu demi satu senar gitarnya. Lagi menyenangkan membawa temannya ikut menghentak-hentakkan kaki mengikuti ketukan.

Teman-teman Nanda dibuat takjub dengan pembawaan dari Nanda.

Lirik lagu di bait pertama mulai teruntai dari pita suara Nanda. Suara yang tak terjelaskan indahnya membuat mereka bertanya bagaimana bisa. Wah, mereka rasa suara itu menandingi wajahnya.

Pria ini memang penuh kejutan. Dapur bahkan dibuatnya menjadi tempat yang penuh rasa penasaran pegawai-pegawai yang lewat.

Daffa, melangkahkan kaki menuju dapur, melihat keramaian itu. Ia keheranan, apa yang terjadi di sini? Masih sekitar tiga puluh menit sebelum jam istirahat siang. Seharusnya mereka masih harus mengejar deadline masing-masing.

“Kenapa ini?” Daffa mendapati kumpulan pegawai yang melupakan tugas mereka, “Kalian tahu ini masih jam kerja kan?”

Semua orang tersentak. Terciduk sudah mereka!

Mereka kabur satu persatu dengan menundukkan kepala mereka. Kembali langkah mereka ke meja kerja masing-masing.

Teman-teman OB tak tahu apa dikata. Mereka langsung berdiri tegak, “Pak Daffa. Maaf pak, kami hanya istirahat sebentar.”

Sekretaris ini mengerti keadaannya dimana orang-orang ini tertarik dengan ‘pekerjaan’ dari para OB pemalas ini. Daffa mendapati Nanda yang masih memegangi gitar. Ia mengingat benar wajah itu setelah membuat kesalahan dua hari lalu. Hari ini dia berani membuat pegawai lain meninggalkan pekerjaannya.

“Tolong buatkan kopi untukku dan bu Adira. Antarkan juga,” Daffa memegangi kepalanya.

Nanda kembali memeriksa gitarnya setelah perlu berhenti di tengah jalan. Melihatnya, Daffa tampak sangat tidak senang.

“Kantor memang membebaskan melakukan segala hobi di sini. Tapi kamu harus tahu kalau jam kerja tetap harus bekerja sesuai job desk-nya,” wajahnya benar-benar menunjukkan kemarahannya.

Nanda menanggapi kalau ia yang sedang terkena perkara baru, “Maaf pak. Soalnya sebentar lagi juga istirahat, jadi saya cepatkan sedikit.”

Figur sekretaris ini semakin kesal. Bisa-bisanya OB baru semakin melonjak karena diberikan kebebasan di kesalahan sebelumnya.

Tidak, Daffa harus tetap tenang. Dia tidak mau membuat Adira malu dengan sikap kekanak-kanakannya.

Daffa mengangkat kepalanya, “Kamu Ananda kan? Terakhir kali kami memang melepaskanmu karena masalahnya bisa diselesaikan dengan cepat. Tapi bukan berarti kamu bebas melakukan apapun. Perhatikan tingkah lakumu lain kali.”

Terpikirkan di kepala Nanda, ia tidak melakukan hal yang salah kan?

Banyak karyawan yang santai-santai karena pekerjaannya yang memerlukan inspirasi. Namun dia malah dapat masalah hanya karena pekerjaannya yang sebagai office boy. Sedih sekali kedudukannya sangat dibedakan seperti itu.

Daffa bisa pergi setelah dengan tenangnya memarahi Nanda.

Langkahnya itu tampak sombong di mata orang lain. Menaiki kembali lift dengan membawa berkas yang baru ia ambil dari pegawainya di lantai bawah. Karyawan lain yang berselisih menyempatkan diri mereka menyapa orang yang berpengaruh ini, meski tak ada jawaban berarti dari Daffa.

Suara ketukan pintu itu mengantarkan ia memasuki ruangan atasannya, “Ini berkasnya, bu.”

“Terima kasih,” Adira menerimanya dan melanjutkan komparasi dokumen di tangannya dan di dalam komputernya, “Anda bisa istirahat duluan.”

“Saya ingin menyelesaikan ini,” Daffa membantu menyusun kembali apa yang ia kira berantakan.

Tahu betul Adira tentang sekretaris ini yang tidak suka melakukan apapun setengah-setengah. Ditegur pun pasti dia tidak akan mendengar.

Adira mengingat hal lain, “Bagaimana perkembangan proyek bank Taruna?”

“Tim masih mencoba untuk mengembangkan beberapa alternatif desain yang menarik. Kemungkinan dua tiga hari sudah bisa didiskusikan.”

“Baguslah. Terus awasi supaya tidak keluar timeline.”

Kesempatan kali ini pun tidak ingin dilepaskan oleh Adira. Memang semakin banyak pihak kompetitif di luar sana yang membawa matanya pada peluang ini. Rasa tidak mau mengalah meluap-luap pada perusahaan lain yang sudah memiliki beberapa generasi.

Waktu bekerja terus berputar meski kopi yang dipesan sudah datang. Kedua individu yang punya semangat besar ini masih sibuk dengan apa yang ada di depannya.

Tak terduga suara waktu menghirup nafas di tengah hari sudah diumumkan.

Oh? Sebuah suara getar juga terasa di samping kiri meja. Adira mengambil asal suara getar yang ternyata ponselnya. Nama yang tertera... ‘Bunda’.

“Tolong cek lagi ini dan ketik ulang yang saya highlight, serahkan sore ini. Saya mau istirahat sebentar,” diserahkannya kembali berkas tadi bersama tambahan berkas lain.

Daffa mengundurkan diri dengan membawa yang perlu dibawa. Setelah mempersilahkannya pergi, Adira merilekskan diri, memutar kursi ke samping. Menyentuh ponsel dan mengangkatnya sebelum terputus.

[“Halo, sayang. Masih sibuk ya?”]

Senyum menjawab suara dari seberang sana, “Baik, bun. Iya, masih banyak yang perlu dikejar.”

[“Jangan paksain diri loh. Istirahat yang cukup.”]

“Iya, bun. Bunda juga ya,” sandaran kursi dinikmatinya, “Gimana Nata?”

[“Kalau kamu khawatir, mampir ke sini dong sekali-sekali~”]

Adira mendapati bunda itu merindukan dirinya, “Iya. Kalau sudah lenggang, nanti Dira ke sana.”

Satu lagi alasan untuknya agar bisa bersemangat lagi menyelesaikan apa yang ada di depannya.

Episodes
1 Prolog
2 #1 Impresi Sepasang
3 #2 Atensi
4 #3 Mencari Kenal
5 #4 Lantaran...
6 #5 Naik Pitam
7 #6 Temperatur Tak Terang
8 #7 Paras Unik dari Matanya
9 #8 Bukan Tanpa Enigma
10 #9 Memburu
11 #10 Selepasnya
12 #11 Janji di Satu Pekan
13 #12 Akhir dari Janji
14 #13 Sekelebat Waktu di Elevator
15 #14 Pemeran dan Peran
16 #15 di Sebuah Petang
17 #16 di Dalamnya Ada Mata
18 #17 Kata dan Kalimatnya
19 #18 Petang Menjulur Pergi
20 #19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21 #20 Bila dan Akan
22 #21 Maksud dan Sebab
23 #22 Nanda di Pagi Hari
24 #23 Bekal
25 #24 Kemungkinan
26 #25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27 #26 Hari Hujan
28 #27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29 #28 Kebun Binatang
30 #29 Tugas Baru
31 #30 Pengejaran
32 #31 Semut yang Memanjat
33 #32 Outing Event
34 #33 Apa yang Benar
35 #34 Waktu yang Tidak Tepat
36 #35 Teori dan Fakta
37 #36 Tenang Sebelum Badai
38 #37 Amarah dan Kesedihan
39 #38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40 #39 Perubahan Hubungan
41 #40 Ia di Saat Terendahnya
42 #41 Selepas Mata Merah?
43 #42 Kepercayaan itu Diusahakan
44 #43 Ternyata Tidak Berdua
45 #44 Sekali Seumur Hidup
46 #45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47 #46 Sang Wanita dan Cerita
48 #47 Tanpanya dan Dengannya
49 #48 Salju di Tropis
50 #49 Waktunya yang...
51 #50 Bahagianya
52 #51 Malam yang Lebih Sunyi
53 Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54 Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55 #52 Ikatan
56 #53 Di Balik Harapan
57 #54 Teman Lama, Teman Baru
58 #55 Indah Bintang Di Dalam
59 #56 Tak Masuk Akal
60 #57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61 #58 Lebih Buruk tapi Terduga
62 #59 Langkah Awal Tak Pasti
63 #60 Jatuh Sebelum Naik
64 #61 Anak Tangga Pertama
65 #62 Satu Interview
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
#1 Impresi Sepasang
3
#2 Atensi
4
#3 Mencari Kenal
5
#4 Lantaran...
6
#5 Naik Pitam
7
#6 Temperatur Tak Terang
8
#7 Paras Unik dari Matanya
9
#8 Bukan Tanpa Enigma
10
#9 Memburu
11
#10 Selepasnya
12
#11 Janji di Satu Pekan
13
#12 Akhir dari Janji
14
#13 Sekelebat Waktu di Elevator
15
#14 Pemeran dan Peran
16
#15 di Sebuah Petang
17
#16 di Dalamnya Ada Mata
18
#17 Kata dan Kalimatnya
19
#18 Petang Menjulur Pergi
20
#19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21
#20 Bila dan Akan
22
#21 Maksud dan Sebab
23
#22 Nanda di Pagi Hari
24
#23 Bekal
25
#24 Kemungkinan
26
#25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27
#26 Hari Hujan
28
#27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29
#28 Kebun Binatang
30
#29 Tugas Baru
31
#30 Pengejaran
32
#31 Semut yang Memanjat
33
#32 Outing Event
34
#33 Apa yang Benar
35
#34 Waktu yang Tidak Tepat
36
#35 Teori dan Fakta
37
#36 Tenang Sebelum Badai
38
#37 Amarah dan Kesedihan
39
#38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40
#39 Perubahan Hubungan
41
#40 Ia di Saat Terendahnya
42
#41 Selepas Mata Merah?
43
#42 Kepercayaan itu Diusahakan
44
#43 Ternyata Tidak Berdua
45
#44 Sekali Seumur Hidup
46
#45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47
#46 Sang Wanita dan Cerita
48
#47 Tanpanya dan Dengannya
49
#48 Salju di Tropis
50
#49 Waktunya yang...
51
#50 Bahagianya
52
#51 Malam yang Lebih Sunyi
53
Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54
Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55
#52 Ikatan
56
#53 Di Balik Harapan
57
#54 Teman Lama, Teman Baru
58
#55 Indah Bintang Di Dalam
59
#56 Tak Masuk Akal
60
#57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61
#58 Lebih Buruk tapi Terduga
62
#59 Langkah Awal Tak Pasti
63
#60 Jatuh Sebelum Naik
64
#61 Anak Tangga Pertama
65
#62 Satu Interview

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!