Adira dan Nanda dengan lemas membengkokan tubuh layaknya besi yang bengkok. Melingsirkan harga diri sampai ke batas yang yang bisa diterima. Permintaan maaf ini tidak akan menyelesaikan masalah, akan tetapi masalah tidak akan berakhir dengan tanpa permintaan maaf.
“Sudahlah! Kalian berdua pergi dari sini!” wanita dengan rambut yang kebanyakan sudah memudar itu tak bisa berlembut hati lagi.
“Kami sungguh menyesal akan apa yang terjadi. Saya hanya bisa bilang ini adalah bentuk dari miskomunikasi. Tidak ada alasan lagi,” Adira yang merendahkan kepalanya berusaha menenangkan beliau.
“Gimana bisa?! Kamu ini sudah tahu bertahun-tahun, tapi anak buahnya dibiarkan aja!”
Adira dan anak buah ini tidak bisa mengelak sepasang suami-istri yang penuh dengan pengalaman.
Mereka berdua tahu betul, seperti apapun kejadiannya, ini adalah kesalahan dari pihak mereka. Dari pihak Adira dan perusahaannya yang masih rapuh.
Rumah sakit tentu berguna untuk menenangkan pasiennya dari kekhawatiran sakit mereka, serta menenangkan lingkungan mereka. Kedua manusia ini mengambil langkahnya satu dengan satu lagi tanpa berhenti, sampai akhirnya lepas mereka dari ruangan sang bapak.
Pintu tertutup bukan berarti urusan mereka menutup, mereka harus kembali ke Pancarona.
...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇...
Berkeliling kepala sang pemimpin ini, kelesah. Sejujurnya inilah masalah terbesar dari pengalamannya selama tiga tahun ini. Runyam bila kehilangan apa yang sudah bersusah payah didapatkan. Mempertahankan selalu menantang.
Adira diharuskan untuk menekan pegawainya agar tahu akan hal itu.
“Sekarang kamu mau bertanggung jawab seperti apa?” Daffa terbiasa memulai amarahnya mendahului Adira yang sudah duduk di mejanya.
Nanda tidak menginginkan kepalanya untuk terangkat pandang sedikit pun, “Saya cuma bisa minta maaf aja, pak.”
Hati dan harga diri dipermainkan di langkah yang pernah dilakukannya sendiri. Tentu Nanda paham akan hal itu. Dia tidak bisa bertingkah santai sejalur dengan kebiasaannya.
“Sederajar kamu pun tahu kan, yang kamu lakukan itu sudah tidak bisa ditoleransi lagi,” kalimat tak langsung itu mustahil untuk tidak dipahami.
Nanda paham betul dia harus pergi meski masih di bulan pertamanya bekerja.
“Untung saja beliau baik. Beliau sudah terlalu baik sebagai kepala dari pihak business partner terbesar Pancarona. Kamu tidak berharap yang aneh-aneh kan?”
Nanda tidak berpikir apapun, “Saya ngerti, pak.”
“Cukup, Daffa,” Adira akhirnya memilih untuk membuka mulutnya, “Kita tahan saja itu sampai nanti.”
“Huh?” Nanda dipenuhi kejutan.
Adira memandang wajah Nanda yang terdongak karena rasa terkejut. Dalam pikirannya, apakah kesalahan yang berat ini akan dimaafkan begitu saja oleh sang pemimpin?
“Ibu...,” ditelan ludah di tenggorokan Nanda yang kering, “Ibu anggap benar kelakuan saya?”
Lelucon di tengah amarahnya, malahan akan memperburuk suasana. Semakin tidak suka Adira dengan pembuat onar di depannya ini. Aroma hangat segelas teh itu berharap bisa menenangkan urat Adira yang mengencang.
“Menganggap benar? Aku dengar Daffa sudah mengatakannya dengan baik. Dia pun menyuruhmu untuk meminta bimbingan pada salah satu senior yang sudah satu tahun di sini. Dia mengatakan tidak mendengar sama sekali tentang nama pak Hadyan,” menghela nafas Adira dengan lelahnya, “Benar begitu?”
“Iya, bu.”
“Apa itu kelakukan yang bisa dibenarkan?”
Rasa bingung itu menghilang di ujung sarafnya yang menemukan sesuatu. Dia sadar. Pertanyaan rasa ingin tahu dari jalan pemikiran sang pemimpin, ternyata memancing salah paham baru.
“Tidak, bu!”
“Lalu anda masih mau bercanda? Tentu saja saya harus mengucapkan selamat tinggal pada anda!” amarah Adira masih ditahan di ujung pundaknya, “Berhenti bersikap seperti ada di taman bermain!”
Seluruh udara dipermainkan oleh panas ucapan Adira yang tidak bertoleransi. Daffa yang pada dasarnya tidak melakukan apapun juga merasakan hawa yang mencekam.
Adira memandang lurus lelaki berseragam merah ini, “Maaf saja. Membenarkannya? Memang anda memiliki apa, sampai bisa dibela dan dipertahankan? Satu langkah ini bisa jadi menghilangkan seratus lebih pekerja di sini. Tidak mungkin dimaafkan, bukan?”
Tundukan kepala dari Nanda, tidak bergerak. Hanya jemarinya yang bergetar. Penghinaan yang pantas. Sungguh tidak nyaman tapi kembali lagi, itulah yang ia lakukan dan ia hanya menerimanya lagi. Layaknya boomerang.
“Maaf, bu. Saya salah bicara.”
“Belajarlah memilah kata. Anda dipertahankan di sini, sampai pak Hadyan siuman. Beliau harus menerima permintaan langsung oleh anda. Hanya itu,” Adira menghibur diri sendiri dengan membenarkan kacamatanya, “Bukan berarti anda tetap di sini.”
Sang penanggung dana ini dinyatakan aman oleh dokter ternama. Kesadarannya yang belum pulih seharusnya tidak lama lagi akan kembali layaknya semula. Itulah saat yang dimaksud Adira.
Adira berpikir kalau memecat orang yang berkaitan tanpa korban yang memantau bisa dibilang tidak sopan dan mendahului. Nanda harus bisa dicapai bila pak hadyan ingin mencarinya pasca tak sadarkan diri.
“Ananda, anda diskors sampai arahan selanjutnya. Tetap tenang di rumah dan stand by dengan telepon anda,” jemari Adira bermain dengan pulpennya, “Tolong jangan berpikir untuk kabur dari hal ini.”
“Baik.”
Diskusi yang tak nyaman di tenggorokan sampai pada akhir. Bukan pengalaman yang baik untuk pribadi Nanda. Sela yang mencekik Nanda sampai ke ujung kemanusiaannya. Ia tidak melihatnya sebagai error kerja, kesalahan ini adalah kemanusiaan Nanda yang bodoh.
Bisa-bisanya ia lalai sampai hampir membahayakan seseorang.
Nanda ingat pernah dipesankan nama oleh sang sekretaris. Akan tetapi ia tidak paham kenapa nama itu diperlukan sementara setiap kali bekerja kesempurnaan dibutuhkan.
Ia melupakan sang nama dan ia menyesali tak menceritakannya pada senior kerja itu.
“Gimana bro?” si senior dirasanya bersalah. Rasa bersalah itu menumpuk saat ia melihat wajah Nanda yang biasanya selalu cerah.
Omar mengakui ia hanya mengamankan dirinya sendiri. Kesetiaannya tidak sekental itu sampai mau menyalahkan diri yang tidak tahu kalau rapat itu diperuntukkan pak Hadyan. Mau bagaimana pun, Nanda lah yang tidak mengatakannya dari awal.
“Bro⏤”
“Aku diskors,” Nanda kekurangan semangatnya.
Hening canggung semakin memburukkan diri keduanya.
“Maaf bro. Pak Hadyan itu baik kok. Kamu masih bisa dimaafkan. Nanti aku juga ikut minta maaf.”
Nanda tersenyum asam, “Tidak. Ini salahku kok,” dia mengambil beberapa langkah pergi, “Duluan ya.”
Letih tak terjelaskan ini menguras seluruh tenaga Nanda. Ia tidak mau memikirkan aksi selanjutnya. Berbenah akan barang-barang pentingnya. Melaju dengan motor butut yang masih sehat.
“Heh! Hati-hati!!”
Pulang ingatan Nanda yang sempat melayang. Menantang maut dengan bermain dengan pikirannya disisip waktu yang sempit untuk berkendara. Kemarahan tak terhindarkan dari para pengendara lain.
Nanda tahu dia harus memusatkan semua kekhawatiran itu dan menyembunyikan di belakang setelah sorot fokusnya di perjalanan.
Sekarang, apa yang harus dijelaskan pada ummi-nya di rumah?
“Ha!!” kejut yang membentak jantung Nanda. Spontan kedua jari telunjuk dan tengah itu menarik pelatuk rem.
“Apaan sih!”
TIIT TIIIIIT!!
Keributan itu kalah dengan keributan yang ada di batinnya. Ia merasakan padamnya panas terbakar di lubuk hati. Mungkin seperti itulah yang paling cocok dengan keadaannya. Seakan gelora itu tersiram gerimis manis yang menyegarkan.
Ia tahu apa yang perlu dilakukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments