“Nata,” sosok ibu dengan pembawaan yang menenangkan itu membuka kamar putri bungsunya, “Tebak siapa yang datang?”
Wajah gadis lima belas tahun itu merona tak sabaran. Berusaha keras mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, “Aak Iira!”
Adira, sang kak Dira, melangkah masuk untuk melihat adik satu-satunya.
Di balik kacamatanya, senang terpancarkan jelas. Sela waktunya yang tipis ingin ia dedikasikan untuk menghilangkan sedikit kebosanan sang adik. Terbaring di ranjang sepanjang hari memang tidak mungkin menyenangkan.
Nata berusaha membuka kembali mulutnya yang semakin kaku semakin hari, “Ak Dihira, ghimena kerjhanya?”
Ia ingin sekali mendengarkan kegiatan yang kakaknya lakukan di kerja beliau.
Adira duduk di samping ranjang sang adik, “Nata mau dengar semua?”
Dianggukkannya pelan kepala Nata, bersemangat mendengarkan cerita baru. Tentu Adira tidak bisa mengatakan tidak.
Waktu senggang yang tak lama pun habis digunakan untuk kedua kakak beradik itu.
Jam kerja sebentar lagi akan datang memisahkan mereka.
...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇...
Nanda kembali memetik gitar pinjamannya. Di tiga puluh menit sebelum jam awal kerja, ia malahan mendapatkan inspirasi.
Siapa sangka tempat ini akan membangkitkan hal baru di kepala. Tentu ia harus cepat menerapkannya ke bentuk yang lebih mudah diingat. Ia tidak sabar memulai petualangannya dalam melodi baru.
Muncul dari balik partisi dapur, Omar yang baru saja datang membawa hasil buruannya dari minimarket. Pria ini mendapati Nanda yang disibukkan dengan kesenangannya. Kursi di sampingnya diduduki sambil mendengarkan nada-nada acak yang dimainkan Nanda.
Tangan Nanda menghentikannya di tengah jalan.
Haduh. Ini terjadi lagi, yang memang sering mampir. Seketika Nanda tidak tahu apa yang harus ia lanjutkan. Ia terantuk meski sudah mulai terlihat apa yang ingin ia tulis.
Dilepaskannya gitar itu dan mendekatkan wajahnya ke meja makan.
“Macet!” teriak Nanda kesal.
Omar tertawa sesaat memikirkan tingkah Nanda yang kehabisan inspirasi, “Sudah mau jam kerja tuh. Kembalikan gih. Nanti kalau ketahuan, mati kamu,” dia melahap roti kemasan, pengganti sarapan.
“Di sini kan bebas refreshing, kenapa aku gak dibolehin?”
“Karena kamu sudah dapat peringatan dua kali,” Omar menyeruput segelas kopi paginya, “Aku dua tahun sekelas sama bu Adira. Dia itu orangnya kejam.”
Rambut lembut keriting yang sudah hampir menghalangi matanya itu dikesampingkan Nanda.
Tentu ia tidak ingin dipecat di awal kerjanya yang tak sampai dua minggu. Apalagi bekerja disini banyak memberikan keuntungan, tak terkecuali jumlah gaji tiap bulannya.
Detik setelahnya, otak Nanda memercikkan sesuatu yang seharusnya ia reaksikan dari tadi. Ia menatap senior kerjanya itu. Nanda dengan bingungnya menegaskan kata yang ia dengar di kepalanya.
(‘Sekelas dua tahun’?)
Pria berwajah ‘baby face’ ini mengulangi lagi yang ia dengar, “Kamu teman sekelas bos?”
Omar menikmati lagi kopinya, “Gitulah.”
Tidak bisa lagi Nanda menemukan reaksi lain selain melihat betapa kejamnya masa depan, “Agak ironi ya? Dulu sekelas, sekarang jadi bawahan.”
“Kurang ajar!” wajah kesal Omar terpampang walaupun ia masih sibuk dengan rotinya. Omar menelan suapan roti itu, “Tapi kalau aku bilang ke anak-anak, pasti pada gak percaya.”
Nanda kebingungan, “Kenapa?”
“Dulu bu Adira tuh cuma bisa jutek aja. Anak-anak juga gak ada yang suka.”
Tidak Nanda sangka hal seperti itu terjadi di belakang kesuksesan wanita luar biasa itu.
Semakin kemari ia semakin ingin tahu banyak akan beliau. Ia semakin penasaran dan penasaran. Alasan apa, Nanda pun tidak tahu. Hal yang pasti, ia akan menerima rasa ingin tahunya itu lebih dalam.
“Berarti, bos gak punya teman?” Nanda berusaha mengintrogasi Omar.
“Gak tahu.”
“Memang dulu bos itu orangnya gimana selain jutek?”
Omar terdiam sejenak. Ia mendapati wajah Nanda yang kebingungan bagaikan semangat mendengar gosip baru. Kenapa temannya ini menjadi banyak bertanya dari sebelumnya?
“Dia pasti punya masalah makanya jadi begitu,” penerawangan serampangan Nanda meruak-ruak, “Iya gak?”
“Kenapa kamu jadi kepo?”
“Hal seperti itu tidak pantas dibahas apa lagi di belakang orangnya.”
Tertangkap suara wanita yang membekukan api semangat Nanda.
Kedua partner kerja ini tak berkutik menatap siapa yang datang. Omar hampir tersedak. Ia langsung menegakkan tubuhnya. Nanda membuat wajah terciduk dan perlahan mengikuti temannya.
Pasti mereka tidak akan dibebaskan begitu saja oleh wanita yang dibicarakan ini.
“Topik pembicaraan yang umum dan yang privat itu harus dibedakan,” Adira melangkah membawa botol tumblr kopinya.
“Maaf, bu,” Nanda mengeluarkan wajah sedih, “Saya cuma kepo. Biasa. Saya jangan dipecat ya bu.”
Adira sesaat mengingat cara bicara pria itu, “Anda yang waktu itu mengacau karena lantai basah kan?”
Nanda keringat dingin. Kehadirannya Adira membuat Nanda tak berdaya selain mengiyakan pertanyaan beliau. Adira menangkap ketidaknyamanan itu. Ia melangkah mendekati kabinet dapur dan menyelesaikan urusannya.
“Saya tidak mungkin memberikan sanksi karena masalah pribadi,” Adira mulai meracik kopinya, “Tapi, lihat-lihat dengan batasan. Jangan menjelekkan diri anda sendiri dengan membicarakan orang lain di belakang.”
Semakin down diri Nanda dibuat Adira tapi, Nanda berpikir satu hal di sisi lain, “Gimana kalau saya tanya ke anda langsung?”
Omar yang tak sanggup masuk ke percakapan, langsung membuka mulutnya ternganga. Beraninya Nanda menanyakan hal seperti itu sementara mereka sudah terciduk menggosipkan beliau.
Nanda sendiri tersadar akan sesuatu⏤tersadar akan dia secara refleks membuat masalah kembali.
Wanita ini menghentikan gerak tangannya, menatap Nanda. Bertanya-tanya, apa yang pria ini ingin ketahui sampai menanyakan hal tanpa peduli situasi? Tidak ada yang dirasa oleh Adira bisa membuatnya penasaran seperti itu.
“Kenapa anda mau tahu sekali tentang saya?” gamblang Adira tanyakan.
Pria ini berpikir sejenak. Sampai sekarang sejujurnya ia pun masih tidak paham juga apa alasannya. Namun bila ada sisi yang membuatnya paling tertarik, maka itu....
“Ya... soalnya, bos tuh hebat,” Nanda tertawa manis.
“Apa hebatnya saya?”
“Bisa bikin perusahaan besar sendirian kan keren. Gak salah kan saya penasaran?” masih dengan senyum berharap Nanda, “Jadi, saya boleh tanya-tanya ke ibu bos?”
Teramat sangat tidak suka Adira dengan pria satu ini.
Dia benar-benar harus belajar lebih banyak tentang perbedaan cara bicara formal dan informal. Adira tahu masalah ini akan mengusik dirinya di masa mendatang kalau dia tidak menyelesaikannya di sini dan sekarang.
“Saya sanggup sampai sekarang karena konsisten dan berpegang teguh yang saya percayai. Itu yang terpenting,” Adira membuka mulutnya.
“Dan hal itu adalah...?” Nanda bersemangat.
Posisi kacamata itu kembali diperbaikinya, “Saya percaya bisa berdiri sebagai perempuan dengan tanpa bantuan laki-laki.”
Sementara, Omar menahan dirinya yang ada di tengah-tengah keadaan yang tidak mengenakkan, Nanda berusaha menangkap apa yang disebutkan Adira. Nanda tahu dengan kilauan mata hitam Adira. Ia serius.
Nanda semakin takjub dengan wanita di depannya, “Setuju,” sekali lagi Nanda merekahnya senyuman manis.
Adira kewalahan dengan sikap tak terduga Nanda. Tak ada kata lagi yang bisa ia tinggalkan untuk pria ini, selain memberikan peringatan untuk menghentikan tindakan menggelikannya.
“Harus anda ingat, saya masih keberatan dengan anda membahas hal privasi saya. Tolong hentikan itu.”
Wanita berambut ikal sebahu ini meninggalkan keduanya.
Nanda tahu ia tidak boleh bertindak berlebihan apalagi kalau sang wanita tidak ingin diganggu.
Rasa penasaran memang harus dihentikan. Tidak untuk Nanda. Tidak sebelum sang wanita ini yang membuka dirinya sendiri.
“Btw,” Nanda merasa ingin mendekatkan dirinya, “Kali ini bu Adira juga pake baju pink ya. Cocok.”
Langkah Adira semakin jauh. Adira tidak mau menanggapinya lagi. Ia tidak punya firasat baik sedikit pun dengan pria itu. Entah apa alasan sebenarnya yang dia punya.
Dia tidak akan lengah. Ia tidak boleh percaya pada pria seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments