Menguap lebar tanpa tata krama. Terlihat masih saja memiliki kesan berbeda bila wajah mempesona Nanda ada di sana. Seberat apapun matanya, ia masih ada di awal hari kerjanya.
Omar mengikut punggung junior kerjanya ini, “Hayo, awas keciduk leha-leha.”
Kepala Nanda melekat di meja panjang di dapur setelah terdengar suara tergetuk, “Emang gak ada kerjaan, gimana lagi?”
“Potongin rumput di kebun.”
“Ye, itu namanya gua ambil kerjaannya bapak kebun.”
“Cari kerjaan kan?”
“Gimana kalau kita gossip?”
“Gak. Udah kapok diciduk bu Adira kemarin.”
Nanda menguap lagi, “Gua... haaaa. Mau tidur... huaaaah!”
“Sebaiknya kamu tidak.”
Jantung Omar terlempar setelah menyadari kunjungan siapa yang bersuara itu. Dirinya, yang sudah tidak bisa menampung masalah kerja lainnya, memilih mundur dan menarik paksa temannya untuk berdiri.
Namun Nanda tidak peduli sebesar itu, “Pagi pak~”
Bulat mata Daffa layaknya ingin keluar, “Pagi? Ini sudah siang! Balik kerja, sana!”
“Ngapain pak? Semua udah dikerjain.”
Omar mengikut temannya itu lagi.
“Gampang banget hidup kamu,” ledekan, emosi sang sekretaris ini pecah, “Cari!”
“Daffa.”
Jika Omar tidak berolahraga rutin, dia bisa jadi sudah tumbang saat ini. Pasalnya teman kerja OB yang paling baru masuk ini sudah mengundang si orang nomor satu Pancarona. Lagi!
“Anda sudah selesai membereskan...,” Adira melirik ke arah Nanda, “Anda tahu maksud saya.”
“Tentu, bu. Memang tidak bisa untuk permanen. Namun setidaknya masih bisa dilanjutkan.”
“Untuk ke lapangan besok, bisa saya minta anda sendiri yang ke sana?”
Daffa membungkuk bangga, “Saya akan siapkan sekarang, bu.”
“Terima kasih.”
Omar bisa jadi tenang. Bahasan itu menandakan kedua bos ini membelok ke pekerjaan sendiri. Sesuatu yang tidak bisa dijamah oleh OB meskipun mau.
Namun kelima indra Nanda tidak menangkap hal itu.
“Dira beli kopi lagi? Tadi pagi kan udah minum.”
Daffa dan pemilik nama ini terkejut. Seram mata melotot Daffa menusuk setiap sudut wajah Nanda.
Adira, mulai mengakui, sudah mulai terbiasa dengan kejutan. Tentu Ananda Ramli ini akan seperti itu.
“Kamu panggil bu Adira siapa?” wajah Daffa telah kehilangan tenangnya.
Sedangkan Nanda masih tak menangkap situasi, “Dira.”
“Seenaknya mulut saja...,” emosi dalam yang ditahan Daffa sudah meluap-luap seperti tungku yang mendidih.
Adira menggeleng kepalanya, “Ananda. Kita tidak seakrab itu sampai anda boleh memamerkan nama panggilan yang anda tentukan sendiri pada saya.”
“Heh?”
“Anda menganggur? Anda bisa bersihkan ruangan saya.”
Daffa tidak bisa lebih kaget lagi, “Bu Adira. Ruangan anda terlalu banyak menyimpan hal penting. Kalau dia melakukan kesalahan⏤”
“Maka kita tinggal perlu menyalahkannya. Jadi anda perlu hati-hati, Ananda.”
Pikiran Nanda masih terbang tak tentu dan ia akhirnya bertengger di tempat yang salah, “Dira marah?”
Hilang lapang dada Daffa mendeteksi otak Nanda yang dangkal. Datang keringat dingin Omar layaknya air mancur.
Adira memilih untuk membuka mulut, “Iya. Saya memang marah. Jadi pergi sekarang ke ruangan saya. Dan bersihkan. Satu kesalahan, anda ingat peringatan saya dulu?”
Layar ponsel Daffa mengganggu, “Bu, mereka sudah siap di ruang rapat biru.”
“Hmm,” Adira tak menjeda tegurannya, “Lebih baik ruangan saya sudah beres saat saya kembali.”
Wanita ini berjalan pergi. Dihampiri Daffa yang bahkan tidak sempat meluap. Serta kepulan kekesalan yang berat dari Omar. Nanda terpaku dan memandang dengan sedih ke pria yang kehabisan tenaga ini.
“Aku dibenci beliau ya?”
Leher omar berbunyi menghilangkan tegang, “Gimana gak benci? Lu ngomong free style gitu!!”
Nanda memanyunkan mulutnya, “Apanya? Ngomong akrab kan memang gitu.”
“He eh, iya,” nada mengejek itu berlanjut menjadi amarah, “Kalau dipecat, jangan ngajak-ngajak! Kerja, sana! Bersihin kantor bu Adira. Udah sana!!”
“Kasar amat.”
“Minta diseret juga nih,” Omar mendorong-dorong Nanda hendak mengusirnya, “Udah sana!”
“Iya udah udah udah. Ini jalan. Jalan.”
Otak Omar malah terasa lelah menghadapi tegang ini kesekian kalinya. Ia berharap wajahnya bisa dilempar dan diganti menjadi orang yang berbeda semudah itu. Tidak. Dia tahu dia harus lebih tegas pada juniornya ini. Untuk kenyamanan kerjanya.
Tak senang langkah Nanda beranjak dari lantai satu. Ia membawa pasukan bersih-bersihnya ke lantai teratas. Ruangan Adira harus dibersihkan sebelum dicereweti lagi oleh Omar.
“Loh? David?” Nanda menemukan seseorang.
Pria ini menemukan salah satu memorinya yang terlupakan. Teman barunya ini juga sudah menjadi karyawan baru di tempat kerjanya.
Namun..., “Ngapain dari dalam?”
“Oh, itu. Lagi minta pendapat desain,” David tersenyum aneh.
Lorong terbuka ini memang bisa mengarahkan banyak tempat. Bahkan di ujung sana ada ruang terbuka hijau yang ada di balkon. Ruangan Adira yang luas bukan satu-satunya di sini.
David bisa jadi salah menangkap tujuan Nanda. Namun Nandi tahu, tidak ada Adira di dalam ruangan itu.
Mulut Nanda yang tidak bisa ditahan walau sebentar, “Kan tidak ada orang di dalam.”
Gelagat yang awalnya tidak jelas semakin tidak beraturan. Sayup-sayup mata Ananda menangkapnya.
“Kamu sembunyi-in apa di belakang?” Nanda sadar, bila tangan temannya ini melipat ke belakang.
Semakin tegang dan semakin penasaran Nanda dengan hal itu.
“Hei!!”
Nanda tersentak menanggapi David yang menabraknya. Kilat cepat larian David mau tidak mau disusul oleh OB ini.
Hujatan yang kencang dan menggema dari suara malaikat Nanda. Ia bawa sampai ke daerah tangga yang langsung menyambung ke arah ruang kerja ramai di lantai dua.
Daffa yang sudah ada di anak tangga teratas. Kedua orang ini mendekat dengan cepat padanya. Sedikit bertabrakan, sang sekretaris ditahan pegangan balkon lantai tiga sampai harus membuka jalan untuk David.
Nanda melihat sosok ini, “Pak! Dia dari ruang bu Dira! Bawa flashdisk!”
Kejut itu sekedip hilang. Insting Daffa langsung menginjak gas dan mengejar David.
Ramai yang terbelah diakibatkan takut tertabrak David. Membiarkan pria ini dikejar dua orang. Teriakan keras memecah kantor.
Banyak yang tidak tahu Daffa se-atletik itu. Larinya lebih tajam dan berhasil melumpuhkan gerak David. Menghempaskan pria ini ke lantai dan mengamankan apa yang ada di tangannya.
“Lepas!”
“Serahkan dulu apa yang kamu bawa!” Daffa masih menahannya di bawah. Ia langsung menyerahkan apa yang dia ambil ke pegawai yang berdiri terdekat dengannya.
“Huuh! Ca... capek!” Nanda yang terlambat datang sudah kehabisan nafas.
“Ribut apa ini?!” Adira memecah lagi kerumunan pegawai ini memberinya jalan, “Daffa, ada apa?”
Nanda masih memainkan rambutnya yang terasa berkeringat, “Dia, bu, saya lihat keluar dari kantor kamu.”
“Ini flashdisk yang dia bawa bu.”
Adira menerimanya meski matanya masih bolak-balik dari sekitarnya. Wanita ini langsung membuka jalan ke set komputer terdekat. Ia memasang alat itu dan mengintip apa yang ada di dalam.
Benar seperti yang ia khawatirkan. Tidak sedikit, berkas yang tidak seharusnya dimiliki karyawan seperti David.
“Sakit sialan!”
David terus berontak sekuat tenaga. Kelengahan Daffa menjadi peluang untuk membebaskan diri.
Akan tetapi kekuatan sekretaris ini tidak bisa diremehkan hanya karena pekerjaannya selalu berkutak dengan kertas. Daffa langsung menyapu pijakan David yang belum matang. Membuatnya terbanting.
“Mau kamu apakan itu semua?!” Daffa menahan lebih keras tangan David ke belakang selagi ia tertumpu di tanah.
“Sakit, bodoh!”
“Daffa, jangan terlalu kencang,” Adira menutup kembali folder yang ia periksa. Ia mendekat ke arah David, “Siapa yang menyuruh anda?”
David tidak mau menjawab. Tentu seperti itu. Ia tidak akan mengungkap apapun.
Adira tidak ingin melepas ini, “Melindungi siapa yang anda layani untuk melakukan ini, tidak sepadan dengan apa yang akan anda terima.”
“Berisik!”
“Kamu tidak paham situasi?!” Daffa memukul keras David.
“Daffa, hentikan.”
“Maaf, bu. Tapi orang begini memang harus ditekan!”
“Lepasin!”
Keributan ini tidak masuk akal di kepala Adira. Ada masalah besar yang bisa menggemparkan kantor, Daffa malah menanganinya dengan keributan.
“Pak, santai! Iya. David-nya memang minta dijewer. Tapi butuh privacy lah,” Nanda menarik tubuh kukuh Daffa yang masih menahan David.
Adira melihat wajah Daffa yang terganggu, “Kita langsung bawa ke pihak berwenang saja. Jangan dengan kekerasan.”
David, tentu tidak menyangka kalimat itu akan keluar dengan mudahnya. Ia mengira kalau penopangnya akan menopang lebih dasar sampai tidak akan berbahaya apapun yang terjadi.
Ia teringat satu kalimat Adira.
“Virendra!”
Kerumunan semakin tegang mendengar teriakan itu.
“Saya... dibayar besar sama Virendra.”
Nama itu, tidak biasa di telinga Adira. Wanita jenius ini memiliki firasat yang indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments