#10 Selepasnya

Penat tak tertandingi. Adira tidak peduli lagi dengan wajahnya yang semakin kusam karena malam dan hari panjang yang dilaluinya. Begadang dan mempersembahkannya tanpa bisa bebersih diri.

Diakuinya bila parfum yang ia dapat dari paksaan sang ibu ini sangat membantu.

Anggota gerak penunjang itu lelah. Berakhir membawanya ke pintu lift yang terbuka. Lantai dasar gedung yang ramai dengan para nasabah.

“Bu Adira.”

Pandangan berkharisma dari kedua mata Adira. Daffa masih saja tampak panik di mata itu.

“Daffa, anda sudah konfirmasi ke anggota tim kan?” Adira melupakan kalau ia tidak memberitahu yang lain selain Daffa.

“Mereka seharusnya sudah di studio menunggu anda,” Daffa berusaha membantu dengan membawakan map A3 yang penuh dengan kertas desain, “Ini, HP ibu,” sebagai gantinya, Daffa menyerahkan smartphone lipat milik Adira.

“Terima kasih.”

Diteguk ludah karena sebegitu tegang diri Daffa, “Jadi, hasilnya, bu?”

Adira merapikan rambut kesekian kalinya, “Huuuu,” ia pun tersenyum tipis, “Mereka ambil alternatif desain kedua.”

Seringai senang itu jelas dipajang di wajah Daffa, “Selamat bu.”

“Selamat untuk kita.”

“Benar,” Daffa meraih kembali ponselnya, “Saya akan beri kabar ke anak-anak.”

“Hmm,” dalam sesaat, Adira tersadar akan sesuatu. Satu orang hilang tanpa jejak, “Di mana Ananda?”

Keringat dingin sekilas menitik dari kening Daffa. Pria ini tidak menyangka kalau Adira akan mencari si kekanakan tak tahu malu itu. Jika tahu, ia pasti akan menahannya bermain-main jauh.

“Saya tidak yakin. Dia bilang dia ingin jalan-jalan.”

Sedetik saja Adira berpikir, “Anda membawa mobil?”

“Iya, bu. Anda bisa tunggu di sini, biar saya yang bawa mobilnya.”

“Bawa dan tunggu di sini. Saya cari dulu Ananda,” Adira mulai mengambil satu langkah.

“Kalau begitu, biar saya saja yang mencari.”

Adira memutar matanya. 'Lagi-lagi' kata hatinya, “Lalu siapa yang mengurus mobil?”

Daffa terdiam. Ia sampai teringat dengan isi pemikiran Nanda terhadap Adira. Wanita kuat ini tidak mungkin menyukai perlakukan Daffa dalam melayaninya akan segala hal.

“Ba, baik, bu,” kaki itu bergerak.

Otak Adira memang tidak sampai, mulai dari mana harus mencari anak hilang ini. Adira mulai berpikir, apakah lebih baik ia menyimpan nomor semua karyawannya? Itu tidak akan berhasil selama Adira tidak begitu memperdulikan ponsel selagi ia bekerja.

Parkiran penuh kendaraan itu saja tidak menunjukkan tanda. Sempitnya ruang terbuka di sini tidak menutupi mata Adira tak menangkap sosok yang dicari.

“Na, haiya, aa~ curi-curi kata darimu~”

Oh, Adira menemukan petunjuk.

“Na, haiya, aa~”

“Tak perlu ragu, kukan dengarkan kamu uuu~”

Wanita ini tentu kenal dengan suaranya. Sebulan saja, nama Nanda sudah semerbak ke seluruh penjuru Pancarona. Hampir setiap hari pria ini memamerkan apa yang dia punya dari pita suaranya.

“Tiga kata~ untukmu~” Nanda menghentikan alunan gitarnya sembari lirik lagu yang teruntai sampai di akhir.

Segala macam tangan ditepuk ramai. Baik adik-adik yang bernyanyi bersamanya sampai penonton yang menyumbangkan uang kembalian mereka.

Bingung harus seperti apa memanggil pekerjanya ini, Adira tetap harus memberitahukannya kalau mereka harus kembali ke studio, “Ananda.” 

Keributan itu tetap memberikan kepekaan telinga pada Nanda. Dengan sadarnya ia, dijawab dengan senyum. Ia memberikan jarinya pada Adira memintanya untuk tunggu sebentar.

“Terima kasih semuanya sudah temani. Sudah mau bagi-bagi juga,” Nanda mengelus kepala salah satu anak di sampingnya, “Sampai jumpa lagi!”

Cerahnya senyum itu memberikan salam perpisahan yang manis. Punggung si penyanyi ini menekuk ke depan. Tepuk tangan itu sekali lagi diributkan.

Sekali lagi ia mengelus anak lain. Diserahkan gitar usang itu ke tangan mungil salah satu anak. Nanda berlari kecil meninggalkan pedestrian ramai itu menuju Adira.

“Udah?” Nanda berhenti di depan Adira.

“Hmm,” Adira memutar balik tubuhnya melangkah duluan, “Kita kembali sekarang. Saya ikut mobil Daffa.”

“M'kay,” pria ini ikut melangkah, “Jadi, berhasil? Apapun itu yang bos kerjakan di dalam tadi, berhasil?”

Hanya anggukan dan senyum Nanda melebat.

“Weee~ Ibu boss hebat~”

Adira tidak tersanjung dengan segala pujian itu. Sekuat apapun Adira berusaha, ia tidak mungkin sampai kemari kalau tidak dibantu berbagai macam tenaga dan keringat dari banyak orang. Ia merasa tidak enak dengan dirinya yang seakan menerima kredit.

“Semua bukan cuma kerja keras saya saja,” Adira memperbaiki posisi kacamatanya.

“Ya, kalau begitu sih saya tidak paham sama sekali. Tapi kan yang masuk ke sana, bos sendiri. Patut bangga dong~”

Kalimat itu tentu hal baru. Daffa sudah pernah memujinya sebelum ini. Akan tetapi, cara Nanda menyanjungnya betul-betul tak dapat ditentang. Bila Adira meresapi setiap katanya, tentu ia patut membanggakannya.

“... terima kasih.”

Nanda tercengang. Senyum itu juga tidak kalah menyejukkan, “Kalau bos senyum, kelihatan manis.”

Terganti Adira yang terbelalak. Lagi-lagi kalimat yang tak terbayangkan sebelumnya bisa dengan naturalnya keluar dari mulut pria ini.

Ia tidak pernah terlepas dari sebutan tampilan yang buruk. Dekil, gendut, gajah, badut, buruk rupa. Adira mendapatkan kata-kata itu dengan mudahnya tanpa perlu mencari.

Dan pria di depannya mengatakan lain.

Entah karena ia bodoh, ingin cari perhatian, atau memang berniat baik saja. Percayalah, hal ini menggetarkan Adira.

Adira melempar tatapannya, “Saya akan ikut Daffa, hati-hati di jalan.”

Langkah itu tentu canggung. Menyadarinya, Nanda tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa.

...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ...

Barangkali Adira sudah memperkirakannya. Wanita ini tidak menunjukkan wajah terkejut saat melihat karyawannya sudah berkumpul sambil membawa seloyang kue dan peralatan pesta kecil-kecilan.

Adira pun tahu atmosfer bahagia ini perlu dipertahankan, “Semuanya bisa sampai di sini juga karena jerih payah kalian semua. Saya harap tidak ada yang lupa itu.”

Seluruh yang berkumpul merayakan tentu bisa bertinggi hati. Kesenangan mereka merekah lebar dengan kata-kata atasan yang tak lupa cangkangnya. Pesta ini kurang besar untuk merayakan keberhasilan mereka dan semuanya orang.

“Ini dia~” seseorang membuka pintu aula lantai satu yang lebar saat berubah fungsi menjadi tempat perayaan, “Ojek bintang lima, pemeran utama hari ini!”

Mereka bersorak. Semuanya sudah tahu, bila Nanda sudah dengan cekatan membantu Adira ke tempat tujuan. Lebar senyum Nanda dengan senangnya bergabung ke perjamuan kecil ini.

Daffa menarik nafas, “Maaf, bu. Mereka kekanakan sekali sampai buat acara begini.”

Adira menyadari satu hal. Ia sudah terbiasa dengan sikap orang-orang seperti Daffa. Mereka sangat sopan. Sangat memperhatikan seperti apa diri Adira. Hindari sedetik saja dari atasan atas rasa tidak senangnya.

Namun, ia setuju dengan kepribadian Nanda. Tata krama dan sopan santun tidak selamanya baik.

“Daffa,” Adira memulai percakapan kecil di sela ruangan yang ramai dengan berbagai macam hidangan ringan, “Apa menurut anda saya orang yang sekaku itu?”

Pria ini tidak menyangka harus berapa banyaknya terbisu dalam satu hari.

“Ini bentuk kebanggaan mereka. Pantas untuk dirayakan,” Adira mulai berdiri dari duduknya.

“Anda mau kembali?”

“Saya menghargai, bukan berarti saya bisa berubah untuk menyukai keramaian.”

Terbiasa sendiri sejak sekolah dasar, patut mempengaruhi diri Adira.

“Semuanya!” Adira menarik perhatian semua orang dengan suaranya yang selalu menggelegar.

Hening itu ditutupi dengan gerak Adira yang merogoh beberapa lembar kemerahan di dompetnya. Ia menyerahkannya ke orang yang tegak berdiri di dekatnya.

“Kalian beli saja makanan, minuman, apapun. Istirahat dengan benar.”

Bersorak-sorak! Mereka bisa merasakan air liur mereka yang memikirkan makanan apa saja yang bisa mereka beli dengan sekitar sepuluh lembar kemerahan itu.

“Makasih, bos!”

“Mantap, bu!”

Adira hanya berjalan melalui mereka sambil membalasnya dengan senyuman.

“Oh, Ananda,” sempat ia menghadap pria ini sebelum keluar pintu.

Nanda mengangkat satu tangannya menunjukkan hormat pada Adira, “Siap. Kenapa, bos?”

“Sebelum pulang sore nanti, temui saya di ruangan saya.”

Pikiran Nanda terbang melayang dan menelusuri seluruh tempat. Ia berharap tidak ada hal buruk lagi yang ia lakukan ketiga kalinya ia masuk ke sana.

Episodes
1 Prolog
2 #1 Impresi Sepasang
3 #2 Atensi
4 #3 Mencari Kenal
5 #4 Lantaran...
6 #5 Naik Pitam
7 #6 Temperatur Tak Terang
8 #7 Paras Unik dari Matanya
9 #8 Bukan Tanpa Enigma
10 #9 Memburu
11 #10 Selepasnya
12 #11 Janji di Satu Pekan
13 #12 Akhir dari Janji
14 #13 Sekelebat Waktu di Elevator
15 #14 Pemeran dan Peran
16 #15 di Sebuah Petang
17 #16 di Dalamnya Ada Mata
18 #17 Kata dan Kalimatnya
19 #18 Petang Menjulur Pergi
20 #19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21 #20 Bila dan Akan
22 #21 Maksud dan Sebab
23 #22 Nanda di Pagi Hari
24 #23 Bekal
25 #24 Kemungkinan
26 #25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27 #26 Hari Hujan
28 #27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29 #28 Kebun Binatang
30 #29 Tugas Baru
31 #30 Pengejaran
32 #31 Semut yang Memanjat
33 #32 Outing Event
34 #33 Apa yang Benar
35 #34 Waktu yang Tidak Tepat
36 #35 Teori dan Fakta
37 #36 Tenang Sebelum Badai
38 #37 Amarah dan Kesedihan
39 #38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40 #39 Perubahan Hubungan
41 #40 Ia di Saat Terendahnya
42 #41 Selepas Mata Merah?
43 #42 Kepercayaan itu Diusahakan
44 #43 Ternyata Tidak Berdua
45 #44 Sekali Seumur Hidup
46 #45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47 #46 Sang Wanita dan Cerita
48 #47 Tanpanya dan Dengannya
49 #48 Salju di Tropis
50 #49 Waktunya yang...
51 #50 Bahagianya
52 #51 Malam yang Lebih Sunyi
53 Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54 Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55 #52 Ikatan
56 #53 Di Balik Harapan
57 #54 Teman Lama, Teman Baru
58 #55 Indah Bintang Di Dalam
59 #56 Tak Masuk Akal
60 #57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61 #58 Lebih Buruk tapi Terduga
62 #59 Langkah Awal Tak Pasti
63 #60 Jatuh Sebelum Naik
64 #61 Anak Tangga Pertama
65 #62 Satu Interview
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
#1 Impresi Sepasang
3
#2 Atensi
4
#3 Mencari Kenal
5
#4 Lantaran...
6
#5 Naik Pitam
7
#6 Temperatur Tak Terang
8
#7 Paras Unik dari Matanya
9
#8 Bukan Tanpa Enigma
10
#9 Memburu
11
#10 Selepasnya
12
#11 Janji di Satu Pekan
13
#12 Akhir dari Janji
14
#13 Sekelebat Waktu di Elevator
15
#14 Pemeran dan Peran
16
#15 di Sebuah Petang
17
#16 di Dalamnya Ada Mata
18
#17 Kata dan Kalimatnya
19
#18 Petang Menjulur Pergi
20
#19 Perlu Diperjuangkan Sampai Memohon
21
#20 Bila dan Akan
22
#21 Maksud dan Sebab
23
#22 Nanda di Pagi Hari
24
#23 Bekal
25
#24 Kemungkinan
26
#25 Keegoisan dan Cinta yang Rapuh
27
#26 Hari Hujan
28
#27 Sang Kuda yang Tidak Akan Berhenti
29
#28 Kebun Binatang
30
#29 Tugas Baru
31
#30 Pengejaran
32
#31 Semut yang Memanjat
33
#32 Outing Event
34
#33 Apa yang Benar
35
#34 Waktu yang Tidak Tepat
36
#35 Teori dan Fakta
37
#36 Tenang Sebelum Badai
38
#37 Amarah dan Kesedihan
39
#38 What’s You Have, What’s You Haven’t
40
#39 Perubahan Hubungan
41
#40 Ia di Saat Terendahnya
42
#41 Selepas Mata Merah?
43
#42 Kepercayaan itu Diusahakan
44
#43 Ternyata Tidak Berdua
45
#44 Sekali Seumur Hidup
46
#45 Satu Pergi Satu Tak Kunjung Bergerak
47
#46 Sang Wanita dan Cerita
48
#47 Tanpanya dan Dengannya
49
#48 Salju di Tropis
50
#49 Waktunya yang...
51
#50 Bahagianya
52
#51 Malam yang Lebih Sunyi
53
Pengumuman Hiatus YGY(´ ω `)
54
Hai Lagi Neh~! ( ゚ヮ゚ )
55
#52 Ikatan
56
#53 Di Balik Harapan
57
#54 Teman Lama, Teman Baru
58
#55 Indah Bintang Di Dalam
59
#56 Tak Masuk Akal
60
#57 Indah Tak Indah Kelopak Bunga
61
#58 Lebih Buruk tapi Terduga
62
#59 Langkah Awal Tak Pasti
63
#60 Jatuh Sebelum Naik
64
#61 Anak Tangga Pertama
65
#62 Satu Interview

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!