“Diskusi kita sepertinya sudah selesai hari ini, Pak Reyhan.”
Dengan wajah sumringah. Sarah Belle mengambil tasnya di kursi meja makan dan langsung menghampiri Alden sambil tersenyum lebar.
Alden sempat menautkan alisnya namun Sarah Belle hanya tertawa kecil.
Sarah Belle menghampiri Reyhan yang masih mematung dekat pintu masuk. Wajahnya sama bingungnya dengan Alden yang melihat Sarah justru senang melihat kehadiran Alden.
“Ingat rencana kita, sayang,” bisik Sarah Belle saat posisinya cukup dekat dengan Reyhan. “Jangan membuat Alden curiga.”
“Saya pamit pulang dulu, Pak Reyhan,” Sarah Belle mengeraskan suaranya sambil menganggukan kepala lalu membuka pintu, menoleh menatap Alden yang masih bergeming di tempatnya.
“Apa kamu masih ada perlu dengan Pak Reyhan, Den ?”
“Ehh.. nggak…” Alden langsung menggeleng dan hanya menganggukan kepala pada Reyhan saat melewati pria itu.
Reyhan keluar dan berdiri di depan pintu, menatap Sarah Belle dengan wajah tidak rela karena harus pergi dengan Alden. Namun Reyhan boleh sedikit lega karena Sarah benar-benar membuktikan dirinya kalau tidak akan melakukan kontak fisik dengan Alden.
“Kamu nggak nanyain kenapa aku ada di tempat Reyhan ?” tanya Sarah Belle saat keduanya sudah di dalam mobil, keluar meninggalkan parkiran apartemen.
“Buat apa mendengarkan kebohongan,” sahut Alden datar dengan tatapan tetap fokus ke depan.
“Selalu nethink sama aku,” gerutu Annabelle sambil membuang muka ke samping jendela.
Alden diam saja tanpa memberikan tanggapan apapun membuat Annabelle merasa kesal sendiri.
“Alden, aku belum mau pulang. Aku ingin ngobrol denganmu. Sudah lama.”
Alden tidak menyahut dan tetap melajukan mobilnya.
“Alden, aku bicara padamu. Kamu kesal karena aku ada di apartemen Reyhan ?”
Alden masih tetap diam dan melajukan mobil memasuki area parkiran salah satu cafe.
Masih tanpa bicara apapun, Alden turun dari mobil.
“Kenapa aku masih saja suka dengan pria model begini,” gerutu Annabelle ikut turun dari mobil.
Bahkan saat masuk ke dalam cafe, Alden tidak menunggu Sarah Belle hingga wanita itu menghela nafas berkali-kali menahan kesal.
“Sejak kapan kamu suka strawberry ?” Alden mengerutkan dahi, menatap Sarah Belle.
Keduanya baru saja memesan makanan dan minuman. Sarah Belle memesan satu strawberry milkshake dan quiche.
“Sejak amnesia,” sahut Sarah Belle membalas tatapan Alden.
“Sejak kecelakaan itu aku jadi suka cokelat, makanan manis dan juga pria yang manis juga pada wanita,” Sarah Belle tersenyum meledek Alden.
“Apa yang mau kamu bicarakan ?”
“Kita ini bukan sekedar pasangan kekasih, tapi calon suami istri, kenapa kamu mendadak jadi seperti ini padaku ?”
“Bukankah kamu sendiri yang mengajukan banyak aturan ? Menunda pernikahan kita selama 100 hari dan tidak ada kontak fisik selama itu juga.”
“Tidak kontak fisik bukan berarti tidak komunikasi, Alden. Kamu bahkan tidak pernah menghubungi aku sejak aku kembali bekerja,” gerutu Sarah Belle dengan wajah cemberut.
“Dan itu menjadi alasan yang membolehkan kamu pergi ke apartemen bossmu itu sendirian dan membiarkan dirimu bekerja dengan kondisi Reyhan seperti tadi ?”
“Kamu cemburu ?” Sarah Belle senyum-senyum.
“Ternyata seperti ini wajah seorang Alden kalau sedang cemburu,” lanjut Sarah Belle dengan suara pelan.
Alden hanya diam saja dan tidak menjawab pertanyaan Sarah Belle. Pria itu tampak acuh sambil menyibukkan diri dengan handphonenya.
Tidak lama seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka. Tanpa malu-malu Sarah Belle menikmati milk shake nya dan mencoba sepotong quiche-nya.
“Makanlah,” Sarah Belle menyodorkan satu potong quiche ke dekat mulut Alden.
“Kamu pasti suka, kulitnya enak dan kejunya juga terasa banget. Kamu kan suka asinnya keju. Setiap kali aku buat makaroni, selalu ada sisi ekstra keju khusus untukmu.”
Alden menatap Sarah Belle yang berceloteh sambil tersenyum. Tidak sadar kalau ucapannya membuat Alden menautkan alisnya.
“Cobalah, kamu pasti suka. Kalau nanti aku punya kesempatan lagi untuk makan di sini, aku pasti akan memesan quiche ini sekaligus 2.”
“Kenapa harus nanti ? Tinggal tambah kalau mau sekarang.”
“Tidak usah,” Sarah Belle menggeleng dengan wajah sendu. “Cobalah, sepotong saja. Aku janji nggak akan memaksamu lagi setelah kamu menghabiskan ini.”
Akhirnya Alden membuka mulutnya membuat wajah Sarah Belle sedikit berbinar.
“Terima kasih,” lirih Sarah Belle.
“Untuk apa ?” Alden kembali menautkan alisnya menatap Sarah Belle yang menundukkan kepala.
“Karena kamu mau makan dari suapan tanganku,” Sarah Belle mendongak sambil tersenyum.
Keduanya sempat diam, larut dengan pikiran masing-masing. Bagi Annabelle, kesempatan seperti ini tidak akan pernah didapatkannya lagi.
“Alden,” panggil Sarah Belle dengan suara pelan. “Boleh aku bertanya soal Annabelle.”
“Aku tidak ingin membahas tentang dia.”
“Aku hanya ingin tahu kenapa kamu seperti sangat membenci Annabelle, bahkan kamu menganggapnya toxic dalam hidupmu.”
Alden diam saja dan menyesap minumannya.
“Mungkin aku pernah mendengarnya darimu di waktu lalu, tapi setelah kecelakaan ini, aku seperti orang yang baru terlahir kembali. Banyak yang harus kudengar ulang, termasuk dengan Reyhan tadi. Aku hanya ingin tahu bagaimana seorang Sarah saat bekerja sebagai pengacara ternama.”
Alden terdiam, seolah tidak mendengar ucapan Sarah Belle barusan. Namun tidak lama tangannya terulur menyentuh jemari Sarah Belle membuat wanita itu membeku.
“Sayang, anggap saja masalah itu sebagai masa lalu yang tidak perlu diingat lagi. Sama seperti aku melupakan apa yang pernah terjadi padamu, maka lupakanlah apapun yang terjadi sebelum kecelakaan dan jadilah Sarah yang baru.”
Sarah Belle tercengang saat Alden tiba-tiba memanggilnya sayang dan berbicara dengan nada lembut.
“Terima kasih karena kamu sudah mencintai aku begitu besar,” sahut Sarah Belle dengan mata berkaca-kaca.
Bukan karena terharu mendengar ungkapan Alden pada Sarah, tapi kesedihan seorang Annabelle yang harus menerima kenyataan kalau cinta Alden hanya untuk Sarah.
“Tapi bisakah sekali ini saja aku mendengar dari mulutmu sendiri soal Annabelle. Setidaknya aku ingin mengingat seseorang yang mengalami kecelakan bersamaku.”
“Apa yang ingin kamu dengar ?”
“Kenapa kamu membenci Annabelle ?”
“Karena dia selalu menjadi pengganggu bagiku. Dia tidak tahu bagaimana aku diejek habis-habisan oleh teman-temanku saat ia berusaha dekat dan akrab denganku. Anak kecil berkacamata tebal yang bawel itu selalu saja mengusik ketenanganku, menjadi tukang ngadu pada mommy dan membuatku terus diejek di sekolah karena mereka anggap aku menyukai si culun itu yang statusnya hanya anak sopir keluarga Hutama.”
Sarah Belle tercengang mendengar kalimat terakhir Alden, hatinya sakit karena pekerjaan orangtua Annabelle membuat Alden malu berteman dengannya.
”Apakah sebegitu memalukannya kalau seorang Hutama berteman dengan anak sopir ?” lirih Annabelle dengan wajah tertunduk.
“Itu terjadi saat usiaku masih sangat muda dan gengsi menjadi nomor satu dalam hidup,” ujar Alden seolah ingin mengoreksi kesalahpahamaan Sarah Belle.
”Perasaan malu itu menghilang seiring berjalannya waktu dan perasaanku biasa saja pada dia. Namun seperti luka lama yang tergores lagi, aku sangat tidak suka dengan rencana mommy yang berniat menjadikan dia calon menantu keluarga Hutama saat aku baru saja pulang studi. Aku yang merasa hidupku terkukung dengan banyak aturan dan kewajiban sebagai konsekuensi pewaris Hutama, merasa tidak suka dengan keinginan mommy. Ditambah lagi, dia tumbuh menjadi gadis yang agresif. Mungkin karena merasa mommy dan daddy mendukungnya untuk menjadi menantu di keluarga Hutama. Seolah tidak mengerti segala ucapan penolakanku, dia selalu ada dalam momen-momen penting keluargaku. Hatiku yang awalnya hanya menolak karena malu akhirnya berubah menjadi benci. Benci karena dia tetap menuruti keinginan mommy untuk bertahan di tempatnya sampai aku menyukainya.”
“Annabelle hanya bertahan di tempatnya, dia tidak mengejarmu, Alden,” lirih Sarah Belle.
“Bertahan pada permintaan mommy dan daddy untuk membuat hatiku luruh. Bahkan dia meminta daddy untuk menempatkannya di kantorku.”
“Annabelle tidak pernah minta pekerjaan sebagai asisten sekretasrismu, Alden. Om Wira yang menempatkannya di sana. Bahkan saat Annabelle menolaknya, Om Wirs tetap memaksanya.”
“Darimana kamu tahu soal itu ? Kamu sangat tidak menyukai perempuan seperti dia. Kamu bilang dia itu bagai benalu yang menganggu ketenangan orang lain. Tidak mungkin kan kalian semoat menghabiskan waktu untuk mengobrol seperti teman ?”
Sarah Belle terdiam dan cepat-cepat menghabiskan makanan dan minumannya.
“Aku sudah selesai dan ingin pulang. Aku ke toilet dulu.”
Sarah Belle beranjak bangun dan meninggalkan meja sambil membawa tasnya menuju ke kamar kecil. Annabelle tidak ingin menangis di depan Alden.
Sepanjang perjalanan pulang tidak ada percakapan apapun di antara keduanya. Sarah Belle menyandarkan kepalanya sambil menatap ke jendela samping. Sebagai Annabelle hatinya mendadak sakit dan kacau, tapi kejujuran Alden seperti ini yang ingin didengarnya.
“Alden,” tiba-tiba Sarah Belle menegakkan posisi duduknya. “Tolong berhenti sebentar.”
Untung saja kecepatan mobil Alden tidak terlalu kencang karena sudah masuk jalan perumahan.
Tanpa bicara apa-apa, Sarah Belle melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil setelah mobil Alden menepi.
“Ray !” Sarah Belle memanggil seorang cowok berseragam SMA yang berjalan menuju ke arahnya.
“Maaf, apa kita saling kenal ?” cowok berseragam itu menautkan alisnya, berusaha mengenali sosok wanita di depannya.
”Aku Be… ngg… maksudku namaku Sarah. Aku teman kakakmu. Aku turut bersedih mendengar kondisi kakakmu yang masih terbaring koma.”
“Ooo terima kasih. Dan bagaimana Kakak bisa mengenali saya padahal kita belum pernah bertemu ?”
“Belle pernah menunjukkan fotomu padaku. Bahkan di layar handphonenya terpasang foto kalian sekeluarga,” sahut Sarah Belle sambil tersenyum getir.
“Boleh aku memelukmu ?” tanya Sarah Belle.
Ray bergeming, bingung harus memberi jawaban apa, apalagi pria yang di dalam mobil turun dan berdiri di samping pintu mobil.
“Kak Alden ?” panggil Ray.
“Hai Ray,” Alden mengangkar tangannya.
Sarah Belle yang sudah tidak bisa menahan kerinduannya langsung memeluk Ray dengan erat membuat cowok itu terkejut dan diam saja.
Ray menoleh ke arah Alden yang hanya memberikan anggukan kepala.
“Salam untuk papa Rano dan mama Mira, Ray. Aku minta maaf karena belum bisa datang menemui mereka,” ujar Sarah Belle sambil melepaskan pelukannya dengan airmata berlinang.
Ray yang masih bingung hanya bisa mengangguk dengan mulut sedikit terbuka.
Wanita di depannya menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya.
“Belajar yang rajin, Ray, sebentar lagi kamu akan menyelesaikan SMA-mu. Jadilah anak yang membanggakan papa dan mama.”
Sarah Belle tersenyum menatap Ray yang masih tercengang. Tanpa berbicara apa-apa lagi, Sarah Belle kembali ke dalam mobil dan membiarkan Alden membawanya kembali ke apartemen tanpa bicara apapun.
“Sarah,” Alden menahan tangan Sarah sebelum wanita itu turun dari mobil.
“Ada apa, Den ?” mata sendu Sarah Belle menatap Alden yang masih menggenggam tangannya.
“Aku hanya mau bilang kalau awalnya yang menganggap gadis itu toxic adalah Sarah.
Sarah lah yang selalu menyebutnya toxic-nya Alden, hingga akhirnya tertanam dalam benakku kalau dia itu toxic.”
“Terima kasih sudah menceritakan semuanya padaku,” sahut Sarah Belle sambil tersenyum getir.
Alden hanya memandang Sarah Belle dari dalam mobil hingga tidak terlihat lagi lalu melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments