Setelah perdebatannya dengan Rigel, Allen melajukan motornya secepat mungkin. Berharap rasa sakit di hatinya akan keluarga yang tidak pernah peduli dengannya sejak ia menjadi tentara akan segera hilang. Tetapi, sia sia saja.
Rasa sakitnya kini tak hilang juga. Allen butuh seseorang yang dapat memahami dirinya sepenuhnya. Dhezia. Ya, hanya perempuan itu yang terpikir di benak Allen sekarang. Kemudian Allen melajukan motornya menuju rumah Dhezia. Mungkin, begitulah laki-laki,, disaat hatinya hancur karena keluarganya, ia akan mencari perempuan yang dicintainya.
Matahari kini tampak menghilang dan saat senja itu, Allen tiba dirumah Dhezia,
Tok.. tok.. tok..
"Assalamualaikum," ucap Allen sembari mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam," jawab Bu Ratia. Kemudian bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang.
"Maaf, mas cari siapa ya?" tanyanya ragu.
Sebenarnya Bu Ratia sudah pernah melihat Allen, tentara yang dikirim dari Semarang untuk bertugas di Balai Desa Bambu. Tetapi mungkin, Bu Ratia belum tau nama dari tentara muda itu. Bu Ratia hanya mendengar desas desus
masyarakat sekitar saja, jika ada salah satu tentara yang dikirim dari Semarang itu adalah anak pemilik Mall besar di Semarang.
"Saya cari Dhezia Anastasya, tante," jawab Allen berusaha menyembunyikan raut sedih di wajahnya.
Bu Ratia terlihat bingung, mengapa tentara itu mencari putrinya? Bu Ratia lantas bertanya, "Maaf, ada perlu apa ya mas mencari putri saya? Apa mas mau jemput Ame untuk diisolasi di Balai Desa?" tanya Bu Ratia khawatir.
"Isolasi? engga kok tante, saya disini cuma mau ketemu sama Dhezia aja," jawab Allen.
"Saya kira mau diisolasi, soalnya Ame teh lagi sakit, sebentar coba ibu panggilkan ya, silakan masuk dulu," ucap Bu Ratia mempersilakan Allen masuk.
"Iya, terimakasih tante," jawab Allen.
"Anastasya sakit? Ah, kenapa waktu gue sakit hati dia juga lagi sakit? Mungkin kita jodoh ya" batin Allen. Kemudian masuk ke ruang ramu rumah Dhezia
dan duduk di sofa.
Sementara Bu Ratia tampak berjalan masuk ke kamar Dhezia, berencana hendak membangunkan putrinya itu. Tetapi, ketika dilihatnya wajah putrinya masih pucat dan matanya masih terpejam. Akhirnya Bu Ratia mengurungkan niatnya. Tidak tega membangunkan putrinya itu. Bu Ratia lantas kembali ke ruang tamu dan berkata
kepada Allen.
"Maaf, nak. Ame nya masih tidur, soalnya tadi demam, Ibu ndak tega kalo harus membangunkannya," jelas Bu Ratia pada Allen
"Sekarang sudah turun bu demamnya? Buk, apa saya boleh minta izin buat liat Dhezia sebentar?" tanya Allen. Berharap perempuan paruh baya itu mengizinkannya melihat Dhezia.
Bu Ratia tampak bimbang, takut jika terjadi apa- apa dengan putrinya, tetapi saat melihat Allen Bu Ratia tampak tidak tega juga pada Allen, sepertinya Allen anak yang baik, lantas Bu Ratia menjawab, "Baiklah, boleh, nak. Tetapi
pintu kamarnya nanti Ibu buka saja ya,"
"Baik, tante. Terimkasih," ucap Allen.
"Mari, nak. Lewat sini," ujar Bu Ratia
"Iya, tante,"
Ketika memasuki kamar Dhezia, dilihatnya gadis itu masih terbaring lemah dengan mata terpejam. Benar- benar pucat. Bu Ratia mempersilakan Allen duduk di samping ranjang Dhezia. Allen tampak mengamati gadis itu dari dekat. Meski wajah gadis itu tampak pucat, dia masih benar- benar cantik.
"Siapa namamu, nak?" Tanya Bu Ratia
"Allen, tante," jawabnya
Dilihatnya pemuda yang mungkin selisih satu atau dua tahun dengan putri sulungnya itu masih mengenakan pakaian lorengnya, Bu Ratia lantas bertanya kembali, "Kamu tentara dari Semarang yang bertugas disini, nak?"
"Iya tante, tapi besok mungkin kami sudah pulang ke Semarang, sepertinya kasus positif di Desa Bambu sudah mereda," lirih Allen.
Bu Ratia hanya menganggukkan kepalanya, dan sesaat melihat ke arah pemuda itu, kemudian bertanya,
"Nak Allen sudah makan?" tanyanya.
Dilihatnya pemuda itu lagi, meski tubuhnya tampak kekar dengan otot ototnya, wajah Allen tampak pucat, dengan sedikit mata berkaca. Sepertinya Nak Allen sedang sedih. Bagaimanapun juga, Bu Ratia seorang ibu. Dengan mudah bisa merasakan jika pemuda yang selisih satu atau dua tahun dengan anak pertamanya
itu sedang sedih.
"Eum, belum tante, tadi di suruh ke balai desa untuk makan, tapi saya kesini dulu," jelasnya
"Ibu ambilin makan ya," tawar Bu Ratia.
"Eh, ngga usah, tante, takut ngerepotin," tolak Allen.
"Udah gapapa, ndak merepotkan kok, sebentar ibu ambilkan, titip Amenya sebentar ya, Nak." kata Bu Ratia
"Iya tante," jawab Allen akhirnya.
Sesaat kemudian Bu Ratia berlalu meninggalkan kamar. Allen menatap penuh punggung Bu Ratia yang berjalan meninggalkan kamar. Lalu ia mendekatkan dirinya ke arah Dhezia yang masih tertidur.
"Sosok ibu yang baik, kapan ya Mamahku jadi kayak ibumu?" gumamnya. Allen bertanya pada Dhezia yang masih tampak terpejam matanya.
Tetapi, tanpa di sadari, Dhezia perlahan membuka matanya. Sayup sayup ia mendengar ada seseorang yang bergumam di dekatnya.
"A-Allen?" panggilnya dengan terbata.
"Iya, ini aku. Bagaimana keadaanmu?" tanya Allen. Setelah melihat Dhezia, kini rasa sedihnya perlahan hilang.
"Eum.. lemas," lirihnya.
"Mau tak ambilin minum?" tanya Allen datar.
"Engga, mau kamu bersikap hangat aja, ngga nyebelin kayak biasanya," jawab Dhezia.
"Saya emang kayak gini," Sahut Allen.
Tak lama kemudian, Bu Ratia datang membawa 2 piring nasi, lauk, dan 2 jus wortel.
"Ini Nak Allen, makan dulu," ucap Bu Ratia memberikan sepiring nasi pada Allen.
"Maaf tante, saya disini malahan ngerepotin," ujar Allen.
"Tidak merepotkan, Nak. Silakan dimakan dulu, Ame nya sudah bangun? Gimana keadaan kamu, kak?" tanya Bu Ratia sambil memegang kening Dhezia.
"Sudah baikan buk," jawab Dhezia.
"Yaudah ini, kamu makan sekalian bareng Allen ya, Ibu mau mengambilkan Bapak makan, habis itu ngajarin Laura mengerjakan tugas daringnya," ucap Bu Ratia.
"Iya, buk, maaf Dhezia belum bisa ngajarin Laura ngerjain tugas, buk," ucap Dhezia.
"Iya, kamu kan lagi sakit, kak, biar Ibu aja yang ngajarin, gimanapun juga ibu juga pernah sekolah, walaupun nggak sampai sarjana, hanya SMA. Tapi kalo pelajaran SD ya ibuk bisa, hihi," jelas Bu Ratia sembari tertawa.
"Makasih nih," ucap Dhezia.
"Ibuk, tinggal dulu ya, kak."
"Iyaa, buk," jawab Dhezia.
Setelah Bu Ratia meninggalkan kamar, Dhezia melihat Allen, masih tidak percaya jika Allen lah yang kini berada di depannya. Mengunjunginya ketika ia sakit. Dilihatnya, Allen tampak biasa saja, tidak salah tingkah ataupun gugup. Berbeda dengan diri Dhezia yang saat ini sedang sakit tetapi jantungnya berdegup kencang. Bagaimana bisa Allen masuk ke kamarnya? Ibunya yang mengizinkannya? Atau dia memaksa masuk sendiri? Dhezia sibuk dengan pikirannya.
"Nih, makan dulu," ucapan Allen membuyarkan lamunannya.
"Nanti aja, belum laper," jawab Dhezia.
"Makan, abis itu minum obat," ujar Allen
"Nanti aja, Lex," tolak Dhezia.
"Makan, kamu harus cepat sembuh, kasian ibuk loh, beruntung kamu punya ibu yang baik," kata Allen.
" Iya makan, tapi nanti,"
"Susah juga ya ngadepin kamu, lebih susah daripada nembak tepat sasaran," ucap Allen ketus.
"Biarin,"
"Yaudah khusus kali ini aja, aku suapin. Besok udh balik ke Semarang sepertinya," jelas Allen.
Deg! Allen kembali ke Semarang? Apa itu artinya ia tidak akan bisa melihat Allen lagi? Harusnya ia senang, Allen tidak mengganggunya lagi, tapi entah kenapa Dhezia malah merasa sedih mendengar kabar kembalinya Allen ke Semarang.
Allen mengambil piring Dhezia dan menyuapkan nasi ke gadis itu.
"Ayo, buka mulut, Amore," kata Allen.
Kini Dhezia barulah mau membuka mulutnya. Menerima sesuap nasi dari Allen.
"Kalo gak lagi sakit, gak mau saya nyuapin kamu kayak gini," kata Allen.
"Jadi, ini ngga ikhlas? Yaudah biar aku makan sendiri," jawab Dhezia.
"Saya suapin aja, tapi gantian kamu suapin saya, ya. Saya juga belum makan," tawar Allen.
Dilihatnya Allen di depannya. Entah kenapa dirinya terlalu lemas jika harus berdebat dengan Allen, kemudian Dhezia berkata, "baiklah, yaudah buka mulut," perintah Dhezia.
"Aaaa...," Allen membuka mulutnya.
"Baru kali ini aku nyuapin cowok," ucap Dhezia.
"Gapapa kan, biar pernah," sahut Allen datar.
"Kamu cowok pertama yang pernah aku suapin," jelas Dhezia.
"Jadi kamu belum pernah pacaran?" tanya Allen.
"Belum, kamu sudah?" sahut Dhezia.
"Menurutmu?"
"Sudah, dari caramu menjahili perempuan polos seperti aku, mulai dari sengaja menyemprot disinfektan, hingga menyuruhku untuk hal hal gila, pasti kamu sudah memiliki banyak perempuan," jelas Dhezia.
"Aku tidak punya," jawabnya singkat.
Dreeett...drreeettt...
Tiba tiba ponsel Allen bergetar. Rigel. Allen segera mengangkatnya,
["Halo, Lex. Kamu dimana?"] tanya Rigel melalui panggilan Whatsappnya.
["Di rumah Dhezia, Gel. Gimana?"]
["Simak grup, jadwal kita balik diajuin sekarang, Siaga 1"] jelas Rigel.
[" Ya. Gue balik sekarang,"] sahut Allen.
["Ok"] ujar Rigel di panggilan telfon itu.
Tak lama kemudian Allen mengakhiri panggilan telfonnya, segera berpamitan pada Dhezia,
"Maaf, saya harus balik sekarang, cepat sembuh ya, jaga dirimu disini, Anastasya."
Cup!
Allen mencium kening gadis itu sekilas.
"Ini untuk hutang malam ini, lunas ya hari ini," kata Allen.
"Untuk besok? Aku belum bisa mengganti, dan kamu sudah harus kembali ke Semarang. Jika aku sudah mendapatkan uangnya aku akan menemuimu di Semarang, Len." ucap Dhezia.
"Baiklah, saya pamit." kata Allen. Ketika hendak melangkahkan kakinya keluar kamar, Dhezia tiba- tiba memanggil pria itu.
“Len…,tunggu…,” panggil Dhezia lirih.
Allen meloleh kearah Dhezia, “Apa?”
“Ini..,” Dhezia bangkit dari ranjangnya, kemudian meraih Katsina Doll yang berada di tas ransel samping ranjangnya, dan menyerahkan boneka Katsina Doll itu pada Allen.
“Apa ini? Buat gue?” Allen memandangi boneka itu.
“Kembalikan padaku saat kita bertemu lagi nanti, aku juga akan ke Semarang,” ucap Dhezia.
“Oke, sampai bertemu kembali, Amore.” kata Allen. Kemudian meneguk segelas jus tomatnya dan secepatnya keluar dari kamar Dhezia.
"Saya pamit dulu ya, tante. Harus balik ke Semarang sekarang. Terimaksih atas makanannya," pamit Allen ketika sampai di ruang tamu dan mendapati Bu Ratia yang sedang membantu Laura mengerjakan tugasnya.
"Oh, iya Nak Allen, hati hati dijalan," pesan Bu Ratia.
"Iya tante, dada Laura," pamitnya pada Laura sambil melambaikan tangannya.
"Iya, kak, hati hati." ucap Laura.
Allen kemudian berlalu meninggalkan rumah mereka dan menuju Balai Desa Bambu untuk persiapan kembalinya ke Semarang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments