#16

Ditengah perjalanan keduanya masih terlihat dalam kondisi yang aman, bahkan Smith tampak bersenandung dipagi yang begitu cerah itu.

Tapi berbanding terbalik dengan sikap Marry yang sejak tadi sudah tegang sambil berpegangan pada sabuk pengaman miliknya. Sesekali ia melirik sang ayah untuk memastikan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Ayolah sayang, ini akan menjadi awal yang baru untukmu ."

"Bergembiralah." ujarnya penuh dengan semangat.

Marry hanya menarik kedua ujung bibirnya dengan bersamaan naik keatas.

*

*

*

Kini dirinya telah tiba tepat berada didepan sekolah barunya, masih dengan perasaan yang janggal Marry menatap wajah Smith dengan lekat.

Marry berpikir kenapa ia bisa lolos dari maut yang tengah membayangi pikirannya sejak tadi, bahkan begitu jelas terlintas berulang kali.

"Apa mungkin yang dikatakan ayah benar, semakin kita ingin untuk meninggalkan hal itu. Akan semakin jauh pula ia dengan kita." gumam Marry .

Seakan ingin membalas senyum sang ayah yang begitu gembira riang kepada dirinya, Marry menyerukan kata perpisahan sejenak seperti biasa pada Smith.

"Ayah, Marry tunggu nanti ya. Tolong tepat waktu." teriaknya sembari melambai dari kejauhan dengan senyum mengembang.

Disekolah barunya kali ini, Marry harus melanjutkan satu tahun lebih telat dari teman sebayanya yang lain. Itu di akibatkan oleh masalah yang pernah terjadi di sekolahnya dulu bersama dengan Frans.

Dan itu berakibat jauh padanya, hingga beberapa sekolah lainnya menutup akses Marry dalam penerimaan siswa baru. Karena mereka beranggapan, bahwa Marry adalah gadis yang aneh.

Jam pelajaran pertama pun dimulai, Marry begitu gugup ketika hendak masuk kedalam ruang kelas barunya. Ia terlihat berjalan dengan ragu disana sambil sesekali menyunggingkan senyumnya.

"Hei, gosipnya ia adalah gadis aneh yang berasal dari sekolah hantu itu." bisik seorang siswi cantik kepada teman sebangkunya dan menatap Marry penuh dengan kebencian.

Belum sampai dirinya mengenalkan dirinya lebih lanjut didepan, teman-temannya menunjukkan sikap penolakan atas kehadirannya.

"Marry, silahkan." ujar guru perempuan dengan lembut .

Marry pun mengenalkan dirinya dengan baik didepan kelas tanpa kendala apapun.

"Nah Marry, kini silahkan duduk disebelah Jeny ya." titahnya.

Gadis itu mengangguk patuh dan segera berjalan menghampiri bangku kosong yang berada tak jauh dari meja guru.

Lagi-lagi hal yang tak pernah Marry harapkan pun terjadi, teman sebangkunya itu tampak berdiri ketika ia hendak duduk disampingnya. Seakan memberikan penolakan yang begitu tegas bagi Marry, untuk tidak duduk disana.

"Jeny ..." ujar sang guru sambil memberikan isyarat untuk duduk.

Dengan segera Jeny membuat pembatas diantara mereka berdua, menggunakan tas serta jaket miliknya tampak begitu membentang sempurna kedua benda tersebut di sela kursi.

Marry hanya menatap tanpa kata.

Hari itu, jam sekolahpun telah usai lebih dulu dari jadwal semestinya. Dan Marry, masih saja dapat mendengar nada-nada sumbang tentang dirinya melalui teman disekelilingnya.

"Aku si nggak akan pernah mau duduk sama gadis aneh kayak dia!"

"Yah, aku juga . Ngapain si sekolah nerima anak ini coba. Nggak ada gunanya juga!"

"Jangan-jangan orang tuanya telah rela menyogok sekolah ini dengan bayaran mahal, demi putri anehnya ini."

Tiga orang siswi yang duduk tepat disebelah bangku Marry dengan asyik menggosipkan dirinya dengan gamblang.

Marry masih saja diam tanpa menanggapinya sedikitpun. Dan memutuskan untuk menunggu sang ayah dihalaman sekolah saja, dari pada telinga dan hatinya begitu terluka mendengarkan hal yang tak pernah terjadi semestinya.

Sesekali ia menengok ke arah jam tangan yang melingkar ditangan kanannya dan menatap jalanan sekitar. Masih belum ada tanda-tanda kedatangan sang ayah waktu itu, bahkan Marry telah berulang kali berdiri hingga duduk kembali hanya untuk mengecek keadaan sekitar sekolah.

Karena seluruh temannya telah pulang, dan bahkan ia adalah murid satu-satunya disekolah itu Marry lantas memutuskan untuk segera menelpon sang ibu untuk menanyakan keberadaan ayahnya yang sejak tadi begitu susah dihubungi.

Cukup lama ponselnya berdering tanpa jawaban sekalipun, tapi Marry masih dengan setia untuk mengulanginya kembali.

"Sayang ..." suara Riana terbata-bata sambil menangis sejadi-jadinya.

"Ibu tenanglah, ada apa dengan ibu." seru Marry meyakinkan sang ibu.

"Ayahmu sayang." tegas Riana masih dengan nada bergetar di ujung telepon.

"Ayah?"

"Ada apa denganya Bu!"

Bahkan Marry berteriak histeris di sekolah yang tengah sepi dari orang.

"Ayahmu kecelakaan dan koma saat ini sayang." imbuh Riana kembali sambil mengakhiri teleponnya karena sudah tak sanggup lagi untuk berbicara.

Flashback Smith.

Ia tengah kesusahan untuk mengambil ponsel miliknya yang tengah terjatuh di bawah kursi mobilnya. Bahkan ia nampak tak begitu jeli mengawasi jalanan saat itu.

"Tin tin tin tin ..." suara klakson container yang berukuran cukup besar telah memperingati dirinya dari jarak beberapa meter didepannya.

Supir container tersebut memperhatikan laju jalan mobil Smith tak beraturan bahkan terlihat zig zag beberapa saat.

"Pria ini gila, apa dia tak lulus saat mengurus surat ijin berkendara."

"Mengendarai mobil dengan benar saja tak becus!" sarkas supir container.

Pria itu masih dengan segan membunyikan klaksonnya berulang kali hingga Smith menyadarinya. Sayang perhatian Smith yang telah sadar akan keadaan genting itu sudah tak tepat waktunya.

Kendaraan itu sudah berada sangat dekat, bahkan terlalu dekat dengan mobilnya.

Smith yang panik akan situasi itu mencoba menginjak remnya berulang kali tapi gagal. Masih dengan rasa panik yang begitu hebat, Smith mencoba membanting stir kendaraan miliknya dengan cepat untuk menghindar.

Sayang usahanya tak membuahkan hasil, badan mobilnya masih tertabrak oleh truck container tersebut hingga terseret beberapa kilometer jauhnya.

Keadaan mencekam itu membuat Smith dalam posisi sulit. Ia tak dapat dengan mudah menyelamatkan dirinya kembali . Sebagian tubuh Smith bahkan terlihat begitu buruk disana.

*

*

*

Setibanya dirumah sakit, Riana yang juga masih dalam keadaan shock dan histeris seorang diri mendengar vonis dokter yang membuat hatinya begitu hancur.

"Tolong jangan terlalu berharap banyak dalam situasi ini bu." pinta seorang dokter spesialis bedah.

Riana tak dapat berkata apapun kecuali aliran air mata yang berderai deras diatas pipinya.

Sedangkan Marry yang masih memilih duduk dibahu jalan , tengah menyendiri dan menyalahkan dirinya berulang kali atas kejadian yang menimpa sang ayah.

"Kenapa kau begitu tak berguna Marry, bahkan untuk kedua orang tuamu saja kau tak becus!"

"Benar kata mereka semua, kau anak aneh yang harusnya tak pernah terlahir untuk mereka miliki ."

"Aku anak sial, aku anak sial." rintihnya sambil terus memukul kepalanya sendiri secara terus menerus.

Gadis itu teramat menyesal karena tak menyampaikan segalanya tentang apa yang tengah ia lihat saat itu, bahkan Marry terkesan abai akan keselamatan sang ayah.

"Pulanglah sayang ..." suara lirih bahkan selembut angin tapi tak kasat mata.

... Bersambung 🖤

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!