Tepat satu tahun sepeninggal Paula.
Rumah yang dulunya selalu ceria bahkan paling berisik dengan suara ibu beranak satu itu, kini tampak senyap dan sepi. Semenjak kejadian nahas tersebut, Angelie tak lagi keluar dia sengaja mengurung dirinya didalam kamar dan tak ingin bersosialisasi diluar apalagi sekolah. Semua itu ia tinggalkan setelah vonis dokter pada dirinya.
Ada rasa malu, kecewa bahkan hancur yang berkecamuk pada gadis belia yang kini telah berusia 19tahun. Hari-harinya hanya dilalui berdua dengan sang ayah yang tak kalah jauh depresinya dengan dirinya.
Pemandangan itu sudah menjadi tontonan Angelie semenjak kepergian sang ibu, Martin juga hanya berinteraksi dengan Angelie seperlunya saja. Selebihnya ia hanya duduk termenung dan mematung pada sebuah kursi goyang kesukaan Paula ketika dirinya hendak menyulam.
Terlebih lagi kondisi rumah itu, begitu terlihat miris tampak tak terurus dengan baik. Banyak debu di benda-benda rumah tersebut, bahkan seringkali tikus berkeliaran diruang tamu. Martin yang dulunya adalah seorang lelaki paling mengutamakan hal kebersihan kini tampak seolah tak perduli lagi tentang benda apa yang tengah ada dirumahnya.
"Ting tong ..." bel rumah berbunyi ketika Martin hendak menyuapkan sesuap nasi kedalam mulutnya.
Ia segera meninggalkan piring makanan miliknya dan membukakan pintu.
"Yah!" sapa Martin .
"Paket untuk pak Martin ." imbuh seorang petugas yang masih lengkap mengenakan helm dan serta jaket kurir.
Tanpa berbasa-basi lagi, Martin lantas menarik secarik kertas yang hendak ia tanda tangani. Seperti orang normal pada umumnya, Martin juga masih mau berinteraksi diluar rumah sesekali. Hanya saja rasa depresi yang begitu hebat melanda dirinya terkadang tak dapat ia tepis.
"Adam Smith!" ucapnya sambil meremat paket yang baru saja ia terima. Bahkan Martin tak segan melempar paket itu ke ujung ruangan lainnya dengan keras.
Paket yang sengaja dikirimkan oleh keluarga Smith dengan penuh cinta, ia tolak mentah-mentah. Memang semenjak Paula meninggal tak ada lagi interaksi pada kedua belah pihak keluarga tersebut.
Hari itu, Riana sengaja mengirimkan sebuah pie apel kesukaan Angelie dan dirinya. Tapi belum sampai pie itu di buka, Martin justru menolaknya.
Martin lantas kesal bukan kepalang dengan keberanian keluarga Smith yang masih saja berkirim barang kerumahnya, terlebih lagi jika untuk Angelie.
"Aku akan membalas kalian, tunggu saja bencana itu pasti akan segera datang."
Ujarnya sembari bersumpah.
Malam hari itu, setelah ia menyiapkan makanan untuk Angelie.
"Biskuit susu lagi ..." keluh sang anak dengan menggerutu tanpa sepengetahuan dirinya.
Sebuah biskuit coklat berukuran sedang dan satu susu hangat selalu Martin suguhkan disetiap harinya untuk Angelie. Rasa bosan itu terkadang melanda hati Angelie, tapi tak ada pilihan lain selain memakannya. Karena hanya makanan itu satu-satunya yang tersisa untuk mengganjal perut laparnya.
"Tidurlah, ayah akan keluar membeli susu untukmu." ucap Martin pada Angelie sambil menutup kembali pintu kamar.
Memang Martin tak lagi bekerja, bahkan keduanya hanya hidup mengandalkan uang jatah pensiun Martin dan Paula. Entah sampai kapan keadaan itu akan mereka lewati.
*
*
*
Setelah usai ke toko swalayan dekat rumahnya, Martin pun memasukkan beberapa box susu kedalam bagasi mobilnya dan segera pergi.
"Bau sekali pria itu, entah sudah berapa lama dia tak mandi lagi. Dia dulu adalah pria tampan dan begitu bersih, kenapa sekarang seperti ini!" ujar salah seorang petugas swalayan yang baru saja melayani Martin.
Ia membawa mobilnya untuk berkeliling digelapnya malam, hingga mobil itu sampai terhenti tepat diujung jalan sebrang rumah Smith. Tak ada orang waktu itu, bahkan terlihat begitu sepi. Tapi masih terlihat jelas jika mobil Smith terparkir didepan garasi rumah.
Pikiran buruk Martin sudah menjadi disana, sesekali ia mengeratkan tangannya dipengemudi dan mengecek keadaan sekitar melalui kaca spion.
Setelah mendapati keadaan aman, Martin pun turun dari dalam mobil dan mematikan mesinnya.
"Cepatlah, berikan itu padaku." suara dua orang pemuda yang memiliki rambut warna warni menjulang ke atas beserta aksesoris rantai dilehernya. Mereka biasanya disebut anak punk oleh warga sekitar.
Martin yang hendak menyebrang ke ujung, mendadak berbalik pada mobilnya dan berpura-pura mengecek ban mobil miliknya.
"Tuan, apa ada yang bisa kita bantu."
"Murah saja, cukup bayar kami dengan dua batang rokok milikmu saja maka masalah akan usai." jelas pemuda tersebut dengan gaya bicara yang sedikit melantur.
"Tak usah, pergilah ." sahut Martin dengan mengangkat tangannya .
Melihat respon Martin, keduanya jadi tak berselera lagi untuk melanjutkan tawarannya kembali.
Ketika Martin tak lagi mendengar derap langkah keduanya, kini saatnya ia berbalik lagi untuk menjalankan aksinya. Dengan cepat ia melintasi jalan dan masuk dengan mudahnya kedalam pagar rumah yang masih belum terkunci.
Martin pun menepi ke ujung mobil Smith dengan cepat, dibalik mobil itulah Martin menjalankan aksinya dengan sigap. Dengan sengaja ia memotong kabel rem mobil itu dan mengendurkan beberapa baut mobil lainnya. Ketika usai, ia pun dengan cepat kembali ke mobilnya dengan cara mengendap-endap.
Tak ada yang mencurigai dirinya hari itu, hingga ia pun berhasil kembali kerumahnya dengan selamat.
Keesokan harinya.
"Sayang, hari ini adalah hari pertamamu disekolah baru. Jadi ayah akan mengantarmu ." tutur Smith pada Marry yang sudah terlihat bersiap dengan seragam sekolah baru.
Smith sengaja memindahkan Marry ke tempat sekolah baru, setelah mempertimbangkannya masak-masak dengan Riana.
"Tentu jagoanku..." sahut Marry dengan menyungingkan sebuah senyuman.
Kini keduanya pun telah masuk kedalam mobil, dan mulai berangkat menuju ke sekolah. Tapi, Marry kembali terlintas hal buruk dalam pikirannya. Sebuah peristiwa yang akan terjadi pada dirinya dan sang ayah.
"Apa ini..." gumam Marry masih dengan rasa ragunya.
Melihat Marry dengan kondisi yang tak asing, Smith mulai memanggilnya dan memberikan sebuah kode menaikkan satu jari kelingkingnya ke arah sang putri.
Memang keduanya sudah terlibat janji satu dengan yang lain.
Flashback Smith.
"Sayang berjanjilah pada ayah, Marry akan sekuat mungkin menghapus kekuatan itu pada diri Marry. Memang tak mudah, jika ada keniatan dalam hati yang tulus maka Tuhan pun berkehendak." pinta Smith sambil menunjuk ke arah dada Marry.
Setelah peristiwa yang menimpa sang kakak, Smith ingin Marry menjalani hidupnya seperti gadis normal lainnya. Meskipun ia tahu hal itu takkan lagi mudah bagi Marry, tapi ia sangat mempercayai sang putri jika dirinya sanggup melakukannya.
*
*
*
Marry yang melihat sang ayah sudah sangat ingin dirinya meninggalkan hal itu, mengurungkan niatnya untuk menyampaikan sesuatu yang baru saja melintas didalam pikirannya.
Merekapun segera berangkat menggunakan mobil itu, dalam situasi yang sama Riana juga rupanya merasakan aneh dalam hatinya. seperti ikatan batin antara ibu dan anak, ia merasa begitu gelisah melihat keduanya pergi meninggalkan rumah pagi itu.
... Bersambung 🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments