"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ..." gumam Pedro sambil terus berjalan ke arah Smith.
Laki-laki itupun melalui Marry, dan menatapnya dengan sekali anggukan. Seakan mengerti apa yang tengah melintas dipikiran Marry.
"Ternyata kakek itu sama denganku." sahut Marry yang berdialog dengan dirinya sendiri .
Seketika Pedro meletakkan tangannya diatas kepala Smith, dan benar saja aura tersebut terasa bagaikan bara api yang berkobar tak ada hentinya . Terasa panas dan menyakitkan, sejenak Pedro mampu merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Smith .
Hanya dengan menekan ubun-ubun milik Smith, Pedro mampu membalikkan keadaan telak pada sang pengirim santet.
"Bluubb!" suara letusan air yang terdapat disebuah cawan cukup besar milik Debra. Cawan itu bahkan mengeluarkan asap pekat yang membumbung tinggi ke udara .
"Sialan, siapa yang bisa membalikkan keadaan ini dengan cepat!" ujar Debra dengan kesal .
Kemudian tangannya menyibak kepulan asap itu, untuk memastikan warna air yang berada didalam cawan tersebut masih dalam kondisi jernih.
"Hah, airku sudah hitam!" teriaknya terkejut .
Fungsi air yang berada dalam cawan tersebut adalah, sebagai pertanda sejauh mana kekuatannya berlangsung. Dan jika air itu telah berubah hitam pekat, pertanda jika kekuatannya luntur seketika . Dan berimbas pada tumbal persembahan milik Frans.
*
*
*
"Hoek hoek hoek ..." suara muntahan berulang kali Sesilia dikamar mandi, ia begitu terkejut kala dirinya memuntahkan sebuah darah dalam jumlah cukup banyak dengan tiba-tiba.
"Bu, ibu baik-baik saja ..." teriak Stefan di depan pintu kamar mandi sambil menggedor-gedornya.
Pemuda tersebut begitu panik ketika sang ibu berlarian dengan wajah mendadak pucat ketika keduanya tengah makan siang.
Mendengar suara panik Stefan, Sesilia kemudian membasuh seluruh wajahnya hingga bersih agar tak terlihat lagi bekas muntahan darah disana .
Sesilia pun keluar dari dalam kamar mandi dengan santainya, Stefan sejak tadi memperhatikan wajah sang ibu dengan seksama .
"Tunggu dulu bu," ujarnya sambil menghentikan langkah sang ibu yang hendak berjalan.
Sesilia terlihat mengusap sekali lagi mulutnya dengan tisu yang sudah ia bawa sedari tadi.
"Darah ?" tanya Stefan terkejut.
Sesilia pun kebingungan, karena seingat dirinya tak ada satupun jejak darah tertinggal diwajahnya kala bercermin dikamar mandi.
"Baju ini ada darah, darah apa bu?"
"Ibu batuk darah?" tanya Stefan berkelanjutan .
"Ah tidak, ini tadi hanya obat merah yang tidak sengaja mengenai baju ibu." kelit Sesilia .
Sejenak Stefan terdiam dengan menghembuskan nafasnya dengan kasar .
"Aku bukanlah Stefan kecil lagi bu, mari kita pergi ke rumah sakit untuk periksakan keadaan ibu." ajaknya sambil memapah sang ibu dari dalam rumah untuk duduk di teras .
Setelah menempuh perjalanan yang cukup padat hari itu, kini keduanya telah sampai dirumah sakit . Beruntung antrian tak begitu banyak saat itu, dan Sesilia bisa ditangani secepat mungkin .
"Bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanya Stefan penuh kecemasan .
Melihat sang ibu tengah terbaring ditempat tidur dan tengah diperiksa sebaik mungkin oleh dokter, membuat Stefan begitu gundah akan kesehatan sang ibu.
Setelah melakukan pemeriksaan secara intensif, kini Sesilia pun bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju meja dokter untuk mendengarkan penjelasan medisnya.
Sebelum menjelaskan dokter itu masih nampak bingung dan bimbang.
"Begini bu, setelah semua pemeriksaan yang kami lakukan tadi ibu Sesilia dinyatakan sehat tanpa gangguan sakit yang berarti . Tapi jika dilihat dari penuturan cerita ibu dan adik tadi, seharusnya gejala penyakit itu sudah terlihat dengan jelas apalagi wajah ibu saat ini cenderung pucat ."
"Ini kasus yang langka, bahkan tak pernah terjadi sebelumnya. " Pungkas seorang dokter bernama Daniel .
"Maafkan saya, karena tak dapat meresepkan obat apapun untuk ibu anda. Karena secara medis , ibu anda dinyatakan dalam keadaan baik ." jelas Daniel kembali .
"Baik dok, terimakasih banyak." sahut Stefan yang kemudian bangkit dari kursi serta mengajak sang ibu.
"Bagaimana mungkin dokter itu bisa memiliki diagnosa seperti itu pada ibu, aku sangat tak yakin denganya."
"Mari kita berpindah rumah sakit saja bu, mungkin ada jawaban lainnya disana." ajak Stefan dengan tegas .
Sepanjang jalan, Sesilia membiarkan sang anak memprotes kinerja dokter spesialis penyakit dalam tersebut. Tapi kali ini, Sesilia tak ingin putranya menyalahkan lebih banyak orang lagi .
"Dengarkan ibu, hari ini kita pulang saja . Sudah cukup," terang Sesilia sambil menurunkan tangan sang putra dan mengusapnya dengan lembut .
*
*
*
Sedangkan keadaan dirumah Smith berangsur normal, suasana tegang disana dapat teratasi berkat Pedro.
Lelaki paruh baya itu kini memutuskan pulang dari kediaman Smith tanpa berujar apapun.
"Paman ..." panggil Riana.
Pedro menghentikan langkah kakinya dan menoleh kearah Riana, yang begitu terlihat berantakan sepanjang hari yang pelik ini.
"Terimakasih banyak ..." sahutnya kembali dengan berlinang air mata.
"Ya," timpal Pedro singkat.
"Permisi, apa perlu adikku berobat ke rumah sakit?" celetuk Paula disela pembicaraan keduanya.
"Bertanyalah pada keponakanmu itu, meskipun dia kecil tapi dia sangat pandai dalam hal ini ." jelasnya sambil menunjuk Marry.
Marry tersenyum sambil mengangguk ketika Pedro menunjuk dirinya. Pedro pun pergi meninggalkan rumah Riana tanpa banyak berkata.
"Lelaki itu sombong sekali, aku bahkan meminta pendapatnya dengan baik dan tulus. Tapi dia abaikan begitu saja!" protes Paula dengan kesal.
"Sayang katakan, apa sebaiknya ayahmu kita bawa pergi saja ke rumah sakit?" imbuh Paula yang bertanya kemudian pada Marry.
Marry menggelengkan kepalanya sambil duduk di kursi dekat sang ayah.
"Kita tidak perlu membawa ayah kemanapun bibi, ayah akan pulih dalam beberapa jam kedepan." terang Marry yang kini dipeluk Smith begitu erat.
Wajah Smith memang masih begitu pucat, bahkan tubuhnya seketika lemas tak bersisa. Hanya duduk bersandar sambil tersenyum dihadapan semuanya.
"Oh Tuhan , entah apa yang ada dipikiran si tua itu dan anak ini. Melihat ayahnya selemah ini, masih tidak berpikir untuk segera pergi ke rumah sakit. "
"Baiklah , lebih baik aku pulang dulu dari sini. Sebelum isi kepalaku juga keluar seutuhnya!" protes Paula berkelanjutan.
Tapi kakak dari Smith itu masih saja menyempatkan dirinya untuk berpamitan dengan seluruh anggota rumah itu dengan menciumnya satu persatu.
Dengan menenteng tas miliknya, Paula mengajak sang putri untuk segera pergi.
"Bibi tolong lebih berhati-hatilah nanti saat perjalanan pulang." imbuh Marry dengan wajah khawatir.
"Hei, sudahlah jangan menakuti kami dengan. Aksi dukunmu itu sangat tak berarti bagiku dan juga ibuku!" Angelie yang sudah begitu kesal, mengacungkan satu jarinya kepada Marry.
Kini keduanya sudah berada dalam mobil, masih nampak terlihat normal saat Paula menginjak gas mobil tersebut. Tapi keadaan menjadi tak normal saat Paula membelokkan mobilnya pada tikungan pertama, tiba-tiba saja wanita itu membanting stirnya sekuat mungkin ke arah berlawanan.
Seketika mobil bagian depan milik Paula ringsek tak bersisa, dan mengeluarkan kepulan asap cukup banyak.
... Bersambung 🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments