...Berikut adalah visualisasi dari seorang Frans, salah satu guru tertampan disekolah Marry sekaligus pembunuh dingin para murid sekolahnya....
*
*
*
Setelah cukup lama menunggu, kini Paula dan Angelie mendapatkan sebuah pertolongan dari para pengemudi yang melintas di daerah itu.
Keduanya mendapatkan luka yang cukup serius, bahkan masih terlihat jelas aliran darah mengucur deras dari kepala keduanya secara bersamaan.
"Cepat angkat anaknya juga!"
Teriak seorang pria yang telah berhasil membuka pintu mobil yang terjepit oleh badan mobil yang ringsek.
Paula nampak tak sadarkan diri disana, sementara Angelie masih dengan tatapan mata yang samar dan sesekali mengerjapkan matanya untuk mendengar suara-suara samar diluar.
"Baiklah, cepat bawa keduanya ke rumah sakit. Aku akan mengurus mobilnya dan memanggil polisi." tutur seorang ibu-ibu yang juga membawa dua orang anak didalam mobilnya.
Kini keduanya benar-benar mengalami hal yang tengah diwanti-wanti oleh Marry sebelum kepergiannya dari rumahnya. Terlihat polisi telah sampai ditempat kejadian dan tengah memasang garis pembatas untuk pengguna jalan lainnya.
Hingga menjelang siang, berita tentang kecelakaan nahas keduanya telah banyak diberitakan dibeberapa televisi.
"Bu ..." teriak Marry sambil menunjuk sebuah televisi miliknya.
"Itu bibi Paula dengan Angelie!" jelasnya .
Bahkan gadis itu terlihat begitu menyesali ucapannya yang sama sekali tak dihiraukan keduanya. Smith yang baru saja terbangun dari tidurnya, membenarkan posisi duduknya dan tengah teliti menatap sebuah mobil yang hampir tak berbentuk lagi.
Sementara Riana masih shock dengan menutup mulutnya rapat-rapat.
"Aku harus segera menghubungi Martin." terang Smith yang dengan sigap mengambil ponsel miliknya.
"Kenapa tidak diangkat!"
"Ck."
Berulang kali melakukan panggilan, tapi satupun tak mendapati jawaban dari keluarga sang kakak.
"Sayang cepat bergegas, kita harus segera ke rumah sakit." pinta Smith pada istri dan juga anaknya.
"Tapi ayah, kondisimu belum pulih benar." Marry mencoba mengingatkan sang ayah.
Ditengah kepanikannya yang sedang mengenakan jaket tebal miliknya, Smith menundukkan tubuhnya sejajar dengan Marry dan berucap bahwa semua akan baik-baik saja. Selama Marry bersama dengan dirinya.
*
*
*
Sementara di kediaman rumah Morgan kekasih Angelie , pemuda itu nampak baru saja menyelesaikan permainan gamenya sambil terduduk disebuah kursi dan menatap ke layar televisi yang memiliki ukuran cukup besar disana.
"Bukankah itu mobil keluarga Martin?"
"Angelie?" wajahnya mendadak aneh dan juga terkejut ketika mendapati berita kecelakaan tersebut.
"Sial, dia telah mati !" imbuhnya dengan mematikan televisi, dan meraih ponselnya kembali untuk menghapus nama Angelie dari barisan daftar kontaknya.
Bukanya ia merasa sedih ataupun simpati terhadap keadaan Angelie, ia justru terlihat abai dan sama sekali tak mau perduli lagi sedikitpun.
Kini Smith beserta keluarganya telah sampai diparkiran mobil rumah sakit. Marry yang sejak tadi gelisah, tiba-tiba saja menghentikan langkah kaki kedua orangtuanya secara mendadak.
"Tapi, keadaan disana nanti takkan cukup baik lagi ." terang Marry dengan wajah sedihnya.
"Mereka keluarga kita nak, bahkan bibi juga menemani kita sepanjang hari ini bukan?"
"Jadi apapun yang terjadi, kita harus tetap ada untuk mereka." jelas Smith mencoba menetralkan suasana.
Meski ragu melangkahkan kakinya, Marry masih tetap mengikuti segala permintaan Smith disana.
"BERHENTI." suara pamannya di lorong rumah sakit terdengar begitu jelas karena setengah berteriak.
"Mau apa kalian kemari."
"Apa tidak cukup, kesakitan yang mereka dapatkan dan alami saat ini."
"Dan kau yah, kau. Gadis aneh yang seharusnya tak pernah terlahir saja ke dunia ini. Ini semua karena kau kan!"
Suaranya semakin meninggi, dengan pandangan mata tak begitu menyenangkan. Marry sadar, bahwa sang paman tengah terprovokasi oleh Angelie saat ini.
Flashback Martin.
"Ayah, Angelie mohon. Jangan lagi kau dekatkan gadis itu (Marry ) pada kami . Dia yang mengakibatkan semua ini terjadi padaku dan ibu. Tangis Angelie pecah ketika dirinya dalam ambulance menuju rumah sakit yang ditemani sang ayah didalamnya.
Mendengar hal itu, Martin tak bisa berpikir dengan jernih kembali. Bahkan setengah dari dirinya dikuasai oleh rasa amarah yang begitu hebat.
*
*
*
Smith begitu tak perduli dengan semua ucapan sang kakak ipar disana, meskipun tak dapat dipungkiri jika hatinya begitu mendidih mendengar sang anak dihina dihadapan kedua matanya sendiri. Dirinya tetap menerobos masuk kedalam kamar Paula, tanpa memperdulikan keberadaan Martin .
"Berhentilah ..." cegah Martin dengan memegang pundak Smith sambil mencengkramnya begitu erat.
"Berani dirimu melangkah dari sini, maka akan ku buat penderitaan yang sama terhadap anak dan istrimu juga."
"Bagaimana, biar kita impas!" ujarnya dengan sebuah kata penekanan .
Dengan wajah kecewa, Smith hanya bisa menatap Paula yang tengah berjuang hidup dengan sebuah alat yang menempel diseluruh tubuhnya. Keduanya terhalang oleh kaca pembatas ruangan rumah sakit.
"Baiknya ajak pulang saja anak dan istrimu itu, sebelum amarahku semakin memuncak dan tak terkendalikan."
Martin pun membalik arahkan tubuh Smith tanpa menatapnya sedikitpun. Sedangkan tepat diruangan sebelah, Angelie yang sudah sadar lebih dulu sangat histeris ketika melihat kedatangan Marry di luar.
Karena kamar terbuat dari pembatas kaca, maka seluruh pasien dapat melihat dengan jelas seluruh orang yang tengah berlalu lalang dihadapannya.
Dengan memiliki luka jahitan sebanyak 15 kali serta patah tangan dan kaki membuat Angelie tak dapat bergerak dengan bebas. Ia begitu tersiksa dengan kondisinya saat ini.
Martin pun menghampiri sang putri untuk menenangkannya kembali, yang masih terus histeris menatap Marry .
"Aku mohon pulanglah!" bentak Martin yang sudah tak dapat terbendung kembali.
Marry menatap saudara perempuannya itu dengan sedih, Angelie yang selalu ceria bahkan celotehnya yang selalu membuat pengar orang yang mendengarnya kini terbaring tak berdaya diatas ranjang.
"Angelie..." ucapnya lirih sambil terus menangis dan memeluk sang ibu dengan eratnya.
"Sudah, jangan menangis sayang. Kita do'akan yang terbaik untuk bibi dan juga Angelie." ajak Riana sambil mengusap kedua pipi sang putri.
Smith lantas mengajaknya pulang agar lebih tenang, karena keinginannya untuk menjenguk sang kakak telah pupus.
Setibanya didalam mobil, Smith lantas menanyakan hal yang sejak awal telah Marry ingatkan kepada dirinya sebelum masuk kedalam rumah sakit.
"Sayang, apakah keadaan ini akan lebih buruk kedepannya?" tanya Smith dengan lembut sambil memperhatikan kaca spion.
Marry mengangguk perlahan kepada sang ayah. Melihat hal itu Riana mengusap lembut pundak Smith berulang kali.
"Bibi Paula tidak akan pernah tertolong ayah ..." jelasnya dengan menutup kedua matanya , seakan tak ingin menyiratkan hal itu pada sang ayah.
"Dan Angelie, nantinya akan mengalami lumpuh total selama hidupnya." terangnya kembali.
Hati Smith sudah sangat getir mendengar ucapan Marry, tak terasa air matanya berlinang diwajahnya.
"Dan yang paling buruk ..." ucap Marry terpenggal dengan isakan tangis yang tersedu-sedu.
"Paman, akan membalaskan dendamnya pada keluarga kita!" serunya dengan terbata-bata .
... Bersambung 🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ria Vtria
cocok
2023-04-05
2