Belum ada tanda-tanda akan sadarkan diri, padahal sudah hampir satu jam Nia pingsan. Syukurnya dia pingsan pas dihalaman rumah, dan untungnya lagi, ada cik Uut disana, sehingga ada yang menolong. Andai hanya buk Fatimah seorang, kebayang bagaimana situasinya. Masalahnya, kaki buk Fatimah yang tidak bisa berdiri lama.
Tadi, Cik Uut menawarkan Nia untuk di bawa kerumahnya saja, soalnya rumah yang akan ditinggali Buk Fatimah, belum dibersihkan, masih berdebu.
Cik Uut adalah adik dari mama Dirga dan masih memiliki hubungan keluarga jauh dengan buk Fatimah. Karena tetanggaan, buk Fatimah mengamanahi Cik Uut untuk melihat-lihat rumah peninggalan orang tuanya selama ia berada di kota lain.
"Sebelumnya Cik minta maaf jika pertanyaan ini kejauhan" Cik Uut yang turut duduk tak jauh dari ranjang Nia berbasa-basi sebelum melanjutkan kata.
"Tanya aja Cik, kalau saya bisa jawab, saya jawab" ucap buk Fatimah yang sedari tadi sibuk menempelkan botol minyak kayu putih yang dibuka tutupnya ke hidung Nia. Sekilas ia melirik Cik Uut.
"Ini masalah tabrakan yang mengakibatkan kalian seperti ini" Cik Uut melirik tangan Nia, lalu beralih ke kaki buk Fatimah. "Bahkan ayah Nia harus pergi untuk selamanya. Apa tidak ada tanggung jawab dari keluarga pelaku?" tanya Cik Uut sungguh-sungguh. Ia menatap serius buk Fatimah yang turut tercenung seketika, dikala cerita lama diungkit lagi. Yang lebih parahnya, pelaku juga telah menghancurkan masa depan Nia.
"Kami sudah ikhlas Cik" hanya itu jawaban buk Fatimah. Lekas ia mengalihkan perhatian dengan sibuk memijat tangan Nia dan berbalik melempar tanya. "Oya Cik..., dari tadi saya nggak ngeliat ada orang di dalam rumah ini? Kemana perginya keponakan Cik yang dulu tinggal disini?" buk Fatimah celingukan ke arah luar kamar.
"Maksudmu, Abrar?"
"Abrar ya, anak kak Sumi?"
"Ia Abrar, anak itu palingan seminggu sekali aja pulangnya. Biasanya Sabtu sore sudah pulang. Hanya katanya ada kegiatan sama orang-orang puskesmas, mungkin nanti sore baru pulang"
"Orang-orang puskesmas?" buk Fatimah mengulang kata, masih ambigu dengan ucapan Cik Uut.
"Ia...., Abrar kerja di puskesmas yang ada di kecamatan, jadi mantri di sana" jelas Cik Uut bangga. Abrar anak dari adik Cik Uut yang bungsu, sepupu Dirga.
Cik Uut lah yang membesarkan dan menyekolahkan Abrar, seperti anak sendiri. Orang tua Abrar sendiri sudah lama cerai sejak ia masih kecil. Tidak lama pasca perceraian, ibu Abrar meninggal dunia. Ia dicerai juga karena kondisinya yang suka sakit-sakitan. Sedang ayah Abrar menikah lagi dan tidak tau dimana keberadaanya. Cik Uut sendiri memang tidak pernah menikah. Dulu pernah pacaran, hanya saja sekali dikecewakan membuat ia anti pada laki-laki.
"Alhamdulillah....nggak terasa ya Cik, tau-tau udah kerja. Berarti Cik sukses membesarkan Abrar" buk Fatimah bercap tulus, ikut bahagia atas keberhasilan Abrar.
"Ia, Cik yang ngebesarin aja rasa mimpi. Tau-tau udah kerja. Hanya Cik sedikit bimbang, anaknya kayak yang nggak mau kenal perempuan gitu"
"Cik...gimana sih! Anak nggak mau pacaran malah dibimbangin. Malah itu bagus lo Cik" Buk Fatimah menatap serius pada Cik Uut. "nanti kalau udah datang jodohnya nikah dia" terbit sedikit senyum di bibir buk Fatimah.
"Ia ya, siapa tau jodohnya si Nia" ceplos Cik Uut. Sejak tadi, ia mengagumi wajah cantik Nia. Dari tingkah Nia sebelum pingsan, Cik Uut melihat Nia anak yang sopan.
Buk Fatimah menelan kasar ludahnya. Jelas tercetak senyum pahit dibibir. Andai Nia masih utuh, mungkin ia akan cepat mengamini. Tanpa terasa setetes air mata lolos di sudut mata. Cepat buk Fatimah menghapus air matanya.
***
Bulu mata lurus milik Dirga bergerak pelan. Terbuka perlahan petanda ia baru sadarkan diri. Sejam yang lalu ia sudah dipindah ke ruang perawatan, ada pak Ramlan yang setia menunggu di sisi.
"Pa....!" panggilnya pelan ketika ia menyapukan pandangan pada wajah pak Ramlan.
"Kamu sudah sadar nak....?" senyum lega menghias bibir pak Ramlan, sejak tadi ia sangat bimbang, takut kejadian lima tahun silam berulang lagi. Bahkan dulu Dirga sempat mengalami depresi.
"Mana Nia pa.....?" ucap Dirga dengan getar yang berbeda.
Terkejut, pasti. Pak Ramlan rasa tidak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. Ia memicingkan mata dengan kening berkerut.
"Mana Nia pa.....?" ulang Dirga sekali lagi. Karena pertanyaan yang pertama tidak mendapatkan jawaban. Ada ketakutan di mata Dirga.
"Sekarang kamu istirahat dulu, soal Nia biar papa nanti yang akan ke rumahnya"
Dirga berusaha bangun, cepat pak Ramlan meninggikan bagian kepala bed guna menopang belakang Dirga agar ia bisa menyandar dengan nyaman.
"Papa jangan pergi sendirian, kita sama-sama aja nanti perginya. Dirga ingin minta maaf atas apa yang sudah Dirga lakukan ke Nia" ucap Dirga sungguh-sungguh penuh penyesalan. Ia akan meminta maaf langsung pada Nia, jika nanti mereka bertemu.
Pak Ramlan tersenyum, diiringi anggukan. Ada Bonar kebahagiaan di matanya. Dirga sudah mulai melunak, semoga saja setelah ini ada kabar baiknya.
"Sekarang kamu istirahat dulu! Tenangkan pikiran! Jangan mikir yang macem-macem!"
Dirga menurut, ia pun kembali membaringkan tubuh di atas bed pasien.
***
Sejak kepulangan Bara, Geby tiada henti menghubungi Dirga, kekasih pohon uangnya. Sayangnya, satu pun tidak ada balasan dari Dirga. Ditelpon juga tidak ada respon. Padahal biasanya, Dirga yang paling duluan menghubungi dirinya.
"Kemana sih....?! bikin kesal gue" gerutu Geby, ia melempar asal hape ke atas ranjang king sizenya. Sambil berkacak pinggang, ia mondar-mandir tak karuan.
"Gimana gue mau seneng- seneng? Arrrggghhh.....!"
Geby meremas kasar rambutnya. "Apa gue minta Ama Bara aja kali ya? Lagian semalam gue udah nyenengin dia" cepat Geby kembali meraih hape yang teronggok di atas tempat tidur. Setelahnya langsung menelpon nomor Bara.
Ditempat berbeda, Bara hanya memandang jengah ke arah benda yang sedang memekak minta di angkat. Sedikit pun, ia tak berniat menyentuh benda persegi itu, apalagi untuk mengangkat panggilan dari seorang Geby, ia lebih memilih melanjutkan menghirup benda kesukaannya. Benda yang selama ini selalu menemani hidupnya. Terlebih di saat ada sesuatu yang mengganggu konsentrasinya, seperti saat ini.
"Siallll..!!! Kemana sih mereka?!" Geby kembali menggeram. Setelah berusaha menghubungi Bara, nyatanya ia kembali menelan kekecewaan.
***
Sore hari
"Assalamualaikum.....!" Abrar mengucap salam ketika ia akan memasuki rumah yang memang pintunya sudah terbuka
"Walaikumsalam..." Nia yang kebetulan duduk diruang tamu menjawab salam.
Sempat mata Abrar bertemu tatap dengan mata sayu Nia, sebelum akhirnya Nia memutus kontak dan memilih masuk ke kamar tamu, di karenakan ia sedang tidak memakai hijab.
Abrar terasa berada di alam mimpi, setelah lima tahun terlewati, baru hari ini kembali bisa menatap mata sayu itu. Senyum indah pun terukir di bibirnya.
Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
mom mimu
setangkai 🌹 mendarat...
2023-04-21
3
mom mimu
nyicil kak, semangat ya 💪🏻💪🏻
2023-04-21
0
mom mimu
Bonar/binar ✌🏻
2023-04-21
0