Kegetiran

Pak Ramlan dibuat naik pitam. Emosinya kembali melonjak, kala selesai membaca surat yang tergeletak di atas meja santainya. Sama sekali tidak menaruh curiga, mengira hanya kertas biasa. Tapi setelah dicermati, semakin menumbuhkan rasa penasaran.

Pelan pak Ramlan mengangkat asbak rokok yang menimpa sebagian kertas. Setelah kertas ditangan, pelan membuka lipatan demi lipatan. Alangkah terkejutnya dia, saat mata mulai menggulir membaca tulisan tangan Nia.

'Assalamualaikum....pak

Semangat...! semangat......! Nia yakin bapak lelaki kuat, he...he..... Becanda pak.

Pak...., Nia pamit ya? Hari ini, terakhir Nia bekerja dirumah bapak. Tolong halalkan makan minum Nia selama dua tahun ini. Juga tolong dimaafin jika Nia maupun keluarga ada melakukan salah baik sama bapak maupun kak Dirga.

Sebelumnya, Nia pengen ngucapin banyak terima

kasih atas kebaikan bapak juga kak Dirga. Terima kasih karena telah mempekerjakan wanita cacat seperti Nia. Orang lain mungkin akan berpikir seribu kali untuk menerima Nia bekerja, secara....., Nia berbeda dari orang kebanyakan.

Tanpa pertolongan bapak dan kak Dirga, mungkin kuliah Nia juga hanya berakhir di semester satu. Terdengar lucu tapi itulah faktanya pak. Nia janji, akan tetap menyelesaikan kuliah Nia. Karena sejak Nia kecil, Almarhum bapak selalu bilang ingin melihat Nia memakai toga. Soal biaya bapak jangan khawatir, Nia masih punya sedikit tabungan. Jadi, berhentilah mengirim uang di rekening Nia, jika itu masih bapak lakukan, maka Nia akan memblokir pertemanan kita, he.... Bukan mengancam ya pak, Nia hanya ingin belajar berdiri di kaki sendiri. Sudah terlalu banyak kebaikan yang bapak berikan pada Nia juga ibu.

Jangan pernah mengungkit kejadian masa lalu, karena itu akan membuat almarhum bapak tak tenang di alam sana. Kami sekeluarga sudah ikhlas. Semua yang terjadi adalah garis takdir dari Allah. Itu bukan salah kak Dirga. Tolong tetap rahasianya semua ini dari kak Dirga.

Dan satu lagi pak, tolong jangan jodohin Nia sama kak Dirga lagi. Nia nggak pantas buat dia'

Nia...

"Jika itu yang Nia inginkan, akan bapak kabulkan. Biarkan suatu hari nanti, Dirga yang bodoh itu akan menyesal karena menolak wanita sebaik dirimu. Dan bila saat itu tiba, bapak adalah orang pertama yang akan menertawakannya" monolog pak Ramlan penuh kegetiran. Cepat ia melipat kembali surat yang barusan dibaca. Dan menyimpan kedalam saku celana.

***

Dua manusia laknat, kembali bermain pacuan kuda. Seakan tidak pernah puas, mereka kembali mengulang pergumulan, saat terbangun dari tidur yang lumayan panjang.

Permainan diakhiri ketika keduanya kembali mengerang panjang. Petanda surga dunia kembali mereka dapatkan.

Kini keduanya berada di meja makan. Geby dengan baju kaos putih over size nya, sedang Dirga masih bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek selutut. Setelah sebelumnya mereka membersihkan diri seadanya.

Karena rasa lapar yang mendera. Cepat Dirga memesan makanan secara delivery. Dua porsi nasi goreng seafood sebagai pilihan santap malam kali ini.

Dirga dengan telaten menyajikan nasi goreng ke dalam piring. Sedang Geby sibuk menggulir layar hape. Sekali-kali terlihat senyum di wajah seksinya.

"Siapa?" Dirga meletakkan dua piring nasi goreng yang barusan selesai ia tata ke dalam piring. Satu piring di angsurkan ke hadapan Geby. Satu piringnya lagi untuk dirinya.

Geby melirik Dirga sekilas, lalu kembali fokus pada layar hape yang masih menyala. "Teman..." jawaban singkat yang sudah biasa Dirga dapatkan.

"Makan dulu Geb, ntar nasinya dingin!"

"Ia sebentar, dikit lagi..."

Disela-sela suapan, Dirga masih mengamati gerak-gerik Geby yang masih sibuk dengan layar hapenya. Kalau sudah begini, Dirga hanya bisa menggeleng kepala. Tidak ingin memicu pertengkaran, Dirga memilih menikmati nasi goreng. Lagian, ini pemandangan yang sudah biasa ia dapatkan.

Puas berbalas pesan, Geby meletakkan hape di samping piring nasi gorengnya. Baru akan memulai menyantap makanan yang sudah mulai dingin. Dirga sendiri sudah menyelesaikan makan malamnya. Menarik teko kaca, lalu mengisi gelas kosong dengan air putih.

Selesai satu suapan, Geby menatap Dirga yang tengah membasahi kerongkongannya.

"Ada apa?" Dirga tau ada sesuatu yang ingin Geby katakan.

"Besok, anak-anak kantor ada acara di puncak"

"Kok mendadak?"

"Ia..., soalnya mereka juga baru ngasih tau sekarang. Jadinya kan.....aku juga baru pada tau" Geby memasang wajah cemberut. Jurus jitu meluluhkan Dirga.

"Kita udah janji lho Geb, besok mau ngabisin waktu berdua. Jarang-jarang kita bisa liburan bareng. Apalagi semenjak kamu jadi sekretaris, kerjaannya sibuk melulu. Mana ada waktu untuk aku" Dirga meluapkan uneg-uneg yang selama ini ia pendam sendiri.

Kali ini wajah Geby benar-benar marah. "Maksud kamu apa sih...? Bukannya kita barusan ngabisin waktu bersama. Padahal sebelumnya aku udah bilang, capek..., akunya juga baru pulang kerja. Tapi demi kamu, aku nurut. Sekarang giliran aku ingin have fun bareng temen-temen kamu kayak keberatan gitu. Kamu jadi laki-laki selalu egois, suka mentingin diri sendiri!"

Tling........

Bunyi sendok berdenting nyaring beradu dengan piring, saat dibanting kuat oleh Geby yang tergerus emosi.

Sesaat setelahnya kaki kursi juga turut berderit nyaring, Geby bangkit meninggalkan nasi yang baru dicicipi satu sendok. Mengayun langkah menuju peraduan. Hatinya tengah panas, kalau sudah begini selera makannya pasti menghilang.

Lagi-lagi Dirga menarik nafas panjang, kalau sudah begini dialah yang terpaksa mengalah. Ia pun bangkit menyusul Geby yang barusan pergi.

Dari belakang, dipeluknya tubuh langsing Geby dengan erat. Menciumi ceruk leher juga pipi sang kekasih, "ia....kamu boleh pergi" desahnya pada akhirnya.

Spontan Geby memutar posisi, menghadap Dirga dengan wajah sumringah. "Beneran kamu ngijinin aku buat pergi?" matanya berbinar kebahagiaan.

Dirga mengangguk mengiyakan. Seulas senyum kecil ia selipkan. "Tapi ingattt...!!! Jangan nakal!" mencubit gemes dihidung bangir Geby.

Geby yang antusias membalas dengan mengecup bibir Dirga. Bukan Dirga namanya jika dengan mudah melepaskan Geby. Dengan cepat ia menahan tengkuk Geby. ******* rakus, bibir seksi bentukan piler. Kalau sudah dalam kondisi begini, keduanya pasti kembali hanyut dalam kubangan dosa.

***

Dirumah Sederhana berukuran tiga enam.

Sania baru saja menjalankan sholat isya. Kali ini doa yang dipanjatkan lebih panjang. Mengadukan nasib juga kehidupan yang akan datang. Memasrahkan diri dalam petunjuk Tuhan.

Wanita tua yang duduk dikursi roda yang tak lain buk Fatimah, menatap bangga pada putri tercinta. Ia yang tidak sengaja melintas di depan pintu kamar Nia, melihat pemandangan yang menyejukkan mata.

"Ibuk?" Sania yang baru selesai dengan ibadahnya, baru menyadari ada buk Fatimah di depan pintu kamar.

Buk Fatimah memutar roda kursinya, masuk ke dalam kamar Sania. Nia sendiri masih sibuk membereskan perlengkapan shalat.

"Ibuk belum tidur?" Nia duduk pinggir kasur kapuknya, menghadapkan kursi roda buk Fatimah kehadapannya.

"Barusan terbangun, haus....jadi ibuk pergi ke dapur mencari minum. Kamu sendiri kenapa belum tidur? Besokkan mau kuliah, sorenya juga mau kerja kan? Jadi harus cukup istirahat" buk Fatimah tau, bagaimana capeknya Sania setiap harinya. Ia menatap teduh wajah ayu Sania.

Raut wajah Sania berubah, ketika masalah kerja disinggung.

"Kenapa?" insting seorang ibu yang kuat, dapat menangkap ada sesuatu yang sedang Sania pikirkan.

"Nia nggak lagi kerja buk" Nia tertunduk lesu.

Sebenarnya buk Fatimah terkejut mendengar kabar Nia tidak lagi bekerja. Setau buk Fatimah, keluarga pak Ramlan dikenal baik.

"Apa Nia ada ngelakukan salah?" buk Fatimah mencoba mencari tau penyebab Nia berhenti bekerja.

Nia menggeleng lemah. Ia masih tertunduk tidak berani menatap wajah ibunya.

"Lalu....?"

Sania mengangkat wajah, menatap dalam

wanita yang sudah melahirkannya. Ia masih ragu-ragu untuk bercerita.

"Pak Ramlan ingin menjodohkan Nia dengan anaknya" baru mendengar sedikit cerita Nia, buk Fatimah terkejut luar biasa. Karena yang ia tau, anak pak Ramlan adalah laki-laki sempurna. Mapan materi, juga ganteng fisiknya. Mana mungkin semudah itu pak Ramlan ingin menjodohkan dengan Nia yang dia sendiri juga tau bagaimana kondisinya.

"Kak Dirga menolak keras perjodohan ini. Kak Dirga menuduh Nia lah yang meminta pak Ramlan untuk perjodohan ini. Dia marah dan meminta Nia untuk tidak lagi datang kesana, hik.....hik....." Nia menangis juga akhirnya.

Buk Fatimah mengelus sayang pucuk kepala Nia. "Sekalipun Nia nggak pernah bermimpi buk" ucap Nia disela tangisnya.

"Iya..., ibuk percaya..., udah nggak usah nangis, soal rezki kita pasrahkan sama Allah"

Bersambung......

Terpopuler

Comments

Machda Syaily1212

Machda Syaily1212

maaf nih thor,aku belum ngerti, sebenarnya Sania cacat apa ya?

2023-08-04

3

linamaulina18

linamaulina18

itu cwe sempurna yg kmu banggakan Dirga ck

2023-05-21

1

aprian adibrangga

aprian adibrangga

biarkan dia menolakmu, suatu hari penyesalan akan ia dapatkan

2023-03-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!