Pulang ke Kampung Halaman

Di lima tahun belakangan, baru malam ini menjadi waktu terlama, ternyenyak dan ternikmat dalam tidur Dirga. Mimpi indah juga menyambangi tidurnya. Baru terbangun, saat hangat mentari pagi mulai menyengat kulit.

Pelan kelopak mata mulai membuka, masih ada senyum yang tersisa di bibir tebalnya. Senyum yang terukir karena mimpi indah yang benar-benar terasa nyata, Dirga menghabiskan malam panjang, mereguk nikmat bersama seorang wanita cantik, bertubuh sintal, yang pasti bukan Geby.

Untuk saat ini, Dirga menganggap semua kejadian semalam memang hanya sebatas mimpi, dikarenakan lobus temporal belum sepenuhnya aktif bekerja.

Pelan, Dirga mendudukkan diri di atas pembaringan, dengan rambut yang masih acak-acakan. Ia sedang berusaha mengumpulkan kesadaran. Kamar yang ditempati bukan rumah utama, melainkan rumah yang dibeli secara diam-diam, setahunan belakangan ini. Geby pun tidak mengetahui tentang rumah ini. Karena jika sedang malas pulang, terlebih ada masalah dengan pak Ramlan atau Geby, di sinilah Dirga mengistirahatkan diri. Rumah minimalis berukuran seratus meter persegi.

Mata yang masih setengah terbuka, memindai ruangan, sambil mengingat-ingat kenapa bisa Dirga membawa diri ke sana. Dikala mata bergulir kesamping, Dirga menangkap kasur yang tidak berbentuk, sangat kusut dan terlihat berantakan. Satu bantal juga terlihat jatuh kelantai. Detik berikutnya mata Dirga spontan memicing sempurna tak kala melihat banyaknya bercak darah yang mengering di seprei bahkan ikut mengenai selimut yang sedang di pakainya. Jemari ikut meraba warna merah yang menempel guna memastikan keabsahan, dan ternyata benar, itu bekas darah yang sudah mengering. Tapi darah apa?

Pelan tapi pasti, kepingan-kepingan kejadian semalam mulai terangkai, bak kartu puzzle yang tersusun sesuai bentuknya. Dimulai dari kejadian pertemuan antara dirinya dan Nia di restoran. Hingga ia membawa paksa Nia kerumah itu dengan berakhir pemerkosaan yang berujung merenggut mahkota Nia.

Masih jelas terbayang wajah Nia yang kesakitan saat ia melakukan penyatuan, bagaimana nikmatnya Dirga menjamah tubuh Nia, inci demi incinya, semua membingkai dan terpatri kuat di dalam memori.

Akhirnya pertanyaan terpecahkan. Kontan mata Dirga kembali memindai seisi kamar mencari keberadaan sosok yang memberi arti bagi dirinya semalam, sayang kamar itu kosong, bayangnya pun tidak terpindai. Cepat Dirga melilitkan selimut ke tubuh bagian bawah, melompat turun menuju kamar mandi.

Dirga mendorong kasar pintu kamar mandi, diikuti raut wajah penuh kecemasan. Namun hampa kembali menghampiri, Nia tidak ada di sana. Masih berharap Nia ada di rumah itu, Dirga kembali berlarian menuju area lain. Puas mengelilingi seisi ruangan, bahkan gudang ikut di sambangi, tapi sayang, Nia benar-benar sudah pergi.

Dirga meraup kasar rambut di kepala. Melampiaskan rasa kesal yang entah karena apa. Gurat kecemasan sedang menyarungi wajah tampannya. Masih diwaktu yang sama, Dirga kembali mengayun kaki menuju kamar yang semalam ia tempati. Ingin mengenakan pakaian agar bisa menyusul Nia. Saat ini otak Dirga hanya di penuhi Nia, dan Nia.

Puas mencari kemeja yang dikenakan semalam, bahkan kolong tempat tidur juga jadi perhatian, sayang entah kemana baju itu menghilang. Putus asa, Dirga membuka lemari pakaian, mencari baju kaos santai. Baju kaos polo jadi pilihan. Gegas ia kembali keluar rumah, menaiki sikuda besi, lalu tancap gas memasuki jalan raya.

***

Ditempat berbeda.

Nia dan buk Fatimah sedang diperjalanan menaiki bus antar kabupaten. Semalam buk Fatimah sudah membuat keputusan, bahwa ia akan membawa Nia pulang ke kampung halaman. Jauh dari orang-orang yang selama ini selalu semena-mena pada Nia.

Buk Fatimah berharap setelah ini bisa menjalani hidup dengan tenang, tanpa gangguan, maupun ancaman dari manusia-manusia kejam. Ditempat yang mereka tuju, buk Fatimah masih mempunyai rumah warisan orang tua, meski terbilang rumah tua, yang penting bisa untuk tempat dirinya dan Nia berteduh dari hujan dan panas.

Menempuh perjalanan yang lumayan jauh hingga memakan waktu lebih kurang empat jam, akhirnya mereka sudah memasuki batas kota, dan diperkirakan setengah jam lagi akan sampai ke kota tujuan.

Waktu Nia kecil, pernah di ajak sekali ke sana, tepatnya sebelum kecelakaan itu terjadi. Berarti terhitung lima tahun sudah mereka tidak pernah ke sana. Banyak yang berubah, terutama di bangunannya.

Nia menatap kosong keluar jendela, wajahnya sedikit pucat, dengan kantong mata yang berkuasa. Sesekali air mata masih meleleh tanpa di minta. Kejadian semalam terlalu menyakitkan. Jujur jika tidak punya iman, mungkin Nia sudah mengakhiri hidupnya. Beruntung, Buk Fatimah sedikit pun tidak menyalahkan apalagi menghakimi, yang ada ia selalu memberi dukungan.

Nia belum bisa menerima apa yang menimpa dirinya. Bisa buk Fatimah maklumi. Tidak mudah untuk menjalani hidup setelah apa yang terjadi. Sebagai seorang ibu yang telah melahirkan Nia, buk Fatimah bisa merasakan apa yang dirasakan anak semata wayangnya. Menyesali takdir bukan ciri orang beriman, buk Fatimah tidak ingin Nia berlarut, meski tidak mudah, mereka akan menjalani kehidupan baru di kota yang baru pula. Semoga setelah ini kehidupan mereka akan lebih baik.

***

Puas melakukan pengejaran, Dirga tidak menemukan keberadaan Nia. Bahkan secara diam-diam, Dirga menyambangi kediaman Nia, tak ubah seorang detektif yang melakukan pengintaian. Di sana, dirumah yang biasa ditinggali Nia terlihat sepi tak berpenghuni. Pintu rumah juga tertutup rapat. Cukup lama dia di sana, celingukan terus memantau, tapi memang tidak ada orang di sana. Mungkin Nia sudah pergi bekerja kerumah Bara, itu pikirnya.

Puas menunggu tidak ada hasil, Dirga memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Nanti akan dipikirkan cara untuk menemui Nia. Sadar atau tidak, sekarang malah Dirga yang ingin bertemu Nia. Bukankah tujuan awal dia melakukan itu semua agar Nia pergi jauh dari dirinya juga Bara? Tapi kenapa sekarang malah ia yang sibuk mencari Nia.

Sambil melaju, Dirga memukul kasar setir mobil, ia sendiri merasa tidak tau apa yang sebenarnya dirinya mau. Frustasi, itu yang dirasakan tak kala tidak melihat Nia.

Dengan langkah gontai, Dirga turun dari mobil masuk ke dalam rumah. Rupanya, di sudut halaman ada pak Ramlan yang mengamati tingkahnya. Lelaki tua itu tadinya sedang menjemur burung di pohon samping pagar halaman. Dia hanya geleng-geleng kepala, lalu lanjut menyemprotkan air ke burung yang ada di dalam kandang.

"Semalam tidur dimana?" pak Ramlan menghampiri Dirga yang duduk melamun di kursi halaman belakang. Kursi santai ditarik pelan, lalu ikut duduk bersama Dirga.

"Tidur dirumah teman" sekilas Dirga melirik pak Ramlan, detik berikutnya kembali menatap kolam ikan dangkal.

"Teman yang mana? Ja**ngmu itu?" sindir pak Ramlan, sambil mengeluarkan satu batang rokok dari kotaknya. Memantik korek gas, lalu menyulutnya. Satu hisapan pertama terasa begitu nikmat.

Sejak semalam, sampai detik ini Dirga sama sekali tidak berbagi kabar dengan Geby. Padahal biasanya bangun tidur ia langsung mengirimkan kata-kata cinta dan rindu. Geby juga sama, karena saat ini ia tengah asik di pacuan kud bersama Bara.

Dirga belum juga menjawab, bingung mau mengatakan apa, karena sesungguhnya hingga detik ini, yang berputar ulang di kepala Dirga hanya Nia.

"Pa..., gimana sih....awal ceritanya si Nia bisa kerja sama kita?" Tidak ada angin, tidak ada petir, Dirga menanyakan hal yang terdengar tabu di telinga pak Ramlan.

Bersambung.....

Terpopuler

Comments

aprian adibrangga

aprian adibrangga

dasar laki-laki lacnattt

2023-04-11

2

mom mimu

mom mimu

dua iklan mendarat...

2023-04-11

0

mom mimu

mom mimu

lanjut lagi Kak Lin... semangat terus 💪🏻💪🏻💪🏻

2023-04-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!