Istana 4

Hari sudah mulai mendekati tengah malam, suasana istana mulai sepi, yang terdengar hanyalah suara-suara jangkrik serta langkah lelah dari penjaga istana yang hanya mondar mandir di pagar dengan mata kelelahan. Chahna yang merasa keadaan mulai aman akhirnya berjalan keluar dari bilik dan memutuskan untuk berkeliling hendak mencari sang raja. "Yasa...aku yakin jika aku pernah menulis dia latihan tengah malam tepat setelah menduduki takhta Kerajaan. Aku yakin aku pernah menulisnya," gumam gadis itu yang berjalan mengendap-endap menuju aula latihan yang terletak di pojok denah istana paling ujung.

Istana yang luas ini sangat membingungkan bagi gadis itu terutama dengan lorong-lorong yang terus menerus membawanya ke bilik yang bahkan tak nampak berbeda dari bilik lainnya. Setelah cukup lama berputar-putar, ia akhirnya menemukan tempat latihan tersebut.

'Klentang! Tang! Tang!' suara besi yang bertautan dengan besi lainnya itu terdengar sangat nyaring, Chahna jongkok dan bersembunyi di balik semak-semak buang mawar. Ia lihat Yasa yang tengah adu pedang dengan sebuah boneka sihirnya. Matanya terpaku pada gerakan yang dilakukan oleh sang raja ketika menghindari tebasan pedang oleh boneka sihir, lekukan tubuh yang bagus serta kelenturan ketika menyerang dan wajahnya yang tetap tenang meski hampir tergores oleh pedang besi itu membuat Yasa terlihat semakin bersinar di mata Chahna.

"Bagaimana bisa...ada orang sepertinya?" Tanya Chahna dalam hati yang tanpa sadar terus memperhatikan Yasa.

Pemuda itu menurunkan pedangnya dan memerintahkan kepada boneka sihirnya untuk kembali masuk ke tubuhnya, suasana itu menjadi sunyi ketika Yasa hanya berdiri sambil menatap pedangnya yang ia sarungi dengan sarung berlapis kulit itu. Ia tetap berdiri sebelum akhirnya berbalik dan mengarahkan telapak tangannya ke arah Chahna.

Sebuah lingkaran sihir dengan tulisan Jawa kuno melingkari lengannya, "siapa yang..." Yasa terbelalak menatap Chahna yang berdiri di balik tembok itu. Ia hentikan pengumpulan sihirnya dan berjalan ke arah gadis itu.

"Ada urusan apa anda kesini, nona?" Tanyanya sopan sambil menelaah gadis yang masih melingkari selimut di lehernya.

Chahna menelan ludah lalu membungkuk, "ada yang ingin saya sampaikan pada Yang Mulia," katanya memulai pembicaraan.

Pemuda itu duduk di kursi kayu yang ada di dekatnya, ia angkat tangan kanannya memberi tanda bahwa dirinya memperkenankan Chahna untuk berbicara.

"Saya...saya rasa saya sudah sembuh. Terimakasih untuk perlakuan Yang Mulia selama ini. Saya akan pergi dari si..."

"Siapa yang mengizinkan mu?" Tanyanya memotong perkataannya. Kakinya yang disilangkan menambah perasaan intimidasi pada lawan bicaranya, tangannya yang menopang wajahnya menambah wibawa pada dirinya, serta sorot mata yang tajam disertai dengan suaranya yang dingin dan tajam membuat Chahna merasakan perasaan tertekan pada dirinya.

"H-hm? M-maksud Yang Mulia?" Tanya gadis itu yang menundukkan kepalanya.

Yasa menatap Chahna selama beberapa detik lalu menyeringai dengan sedikit tawa yang keluar dari sela-sela mulutnya yang terkatup. "Dengarkan aku, Channa. Aku membawa mu kesini, itu artinya aku berhak atas mu. Permata harus disimpan di kerajaan ini. Camkan itu." Tegas Yasa dengan wajah yang dingin. Ia menggebrak meja dan berjalan meninggalkan Chahna sendirian.

Gadis itu mencengkeram erat tangannya mencoba menahan rasa gemetar yang membuat detak jantungnya terus berdetak kencang. Kakinya mendadak kembali gemetaran, tatapan tajam dan penuh meremehkan berputar-putar di kepalanya. Seketika berbagai scene demi scene episode Yasa di novel yang ia tulis berputar di kepalanya, ia tersungkur ke bawah dan menunduk menatap tanah.

Hatinya terasa berat dan bergetar, kabur asap seperti mengerubungi nya dan membuat nya merasa sesak serta gelisah. Tatapan tajam Yasa membuatnya teringat akan orang tuanya yang menatapnya dengan tatapan serupa, tatapan yang tidak jauh berbeda dengan Yasa.

"Dasar kau beban! Kenapa kau lahir?! Kenapa?! Seharusnya kau bersyukur aku masih mengizinkan mu bernafas." Tegas sebuah suara wanita yang duduk di atas kursi dengan kaki yang menginjak tangannya.

"Kau tahu?! Setiap melihatmu aku selalu merasa terbebani. Kenapa kau lahir? Dasar si*l*n" kata seorang pria yang menjambak rambutnya.

Pupil mata Chahna bergetar diikuti dengan tubuhnya, ia gak sanggup mengangkat kepalanya. "Aku gak pernah minta untuk dilahirkan," gumamnya dengan tatapan sayu.

Disisi lain, Yasa berjalan menuju biliknya, langkahnya bergema dilorong berlantai kayu itu. Ia termenung, pikirannya terus berputar-putar pada perkataan Chahna. "Hm...bagaimana bisa...dia meminta izinku untuk keluar? Apa dia masih belum sadar juga? Dasar gadis bodoh," decaknya yang memutar matanya lalu berhenti dan menatap lorong tersebut selama beberapa saat. "... dia sangat menarik," batin Yasa.

Telah beberapa hari Chahna hanya duduk diam dikamar, masih tidak berani untuk menginjakkan kakinya keluar apalagi setelah ia bertemu dengan Yasa malam itu dan membahas tentang dirinya yang ingin keluar dari istana. "Dasar...aku kan haru bertemu Nara. Padahal aku sudah bilang akan kembali," gumam gadis itu sambil duduk di kursi dengan peralatan menjahit di hadapannya.

Ia ambil jarum itu lalu memasukkan benang ke lubang jarum dengan mata yang menyipit, berkali-kali benang tersebut memantul keluar sampai akhirnya masuk ke dalam lubang. Chahna tersenyum girang karena kali ini ia tidak butuh waktu lama untuk memasukkan benang seperti hari-hari sebelumnya, namun diantara kesenangannya itu tiba-tiba saja pintu terbuka dan menciptakan suara keras yang mengagetkan gadis itu.

"Chahna!!! Saya datang!!" Teriak sebuah suara lembut yang keras disertai dengan bantingan pintu.

"Y-Yang Mulia putri mahkota memasuki ruangan," ucap seorang penjaga pintu dengan cepat sambil membungkuk.

Chahna berbalik dengan wajah yang tampak tertekan dengan senyuman paksaan yang terukir kecil diwajahnya. "A-ada apa, Chahna?" Tanya Akitha pada gadis itu.

"T-tidak ada, Yang Mulia. Hanya..." Ia menunjukkan jarumnya yang kembali kosong tanpa benang.

Melihat ekspresi dan hal yang telah terjadi tersebut membuat Akitha merasa geli, ia membalikkan badannya dan menutup mulutnya menahan tawa atas apa yang terjadi. Hal seperti ini sudah biasa terjadi, Akitha akhir-akhir ini memang sering mengunjungi gadis itu, sehingga membuat hubungan Antara keduanya semakin baik walau perasaan canggung masih menyelimuti Chahna.

Gadis berambut kuning itu kemudian duduk di depan Chahna dan mengambil jarum dan benang yang tersusun rapi diatas meja. Ia lalu mulai menyisipkan benang tersebut pada selembar kain yang barusan dia ambil, tangannya dengan anggun memainkan jarum itu ke atas ke bawah berulang-ulang.

"Yang Mulia? Apa tidak masalah jika anda melakukan kegiatan ini? Anda kan putri mahkota," tanya Chahna sedikit ragu sambil terus membordir selendangnya.

Akitha mendongak dan tersenyum tipis pada gadis bermata biru kristal itu, "anda bertanya seolah-olah ini pertama kalinya kita melakukan ini. Ayolah, Chahna. Jangan menjadi seperti orang lain yang menganggap kegiatan ini tidak boleh saya lakukan. Kita kan teman, mari singkirkan jabatan putri mahkota saya," tuturnya dengan lembut. Senyuman yang terukir di wajahnya itu membuat mata indahnya ikut tersenyum, hal itu membuat nya semakin terlihat rupawan dan begitu cantik.

Chahna terdiam untuk beberapa saat, merasa tergelitik dengan perkataan Akitha yang mengatakan bahwa mereka adalah teman. "Chahna?" Gadis yang duduk di depannya kembali memanggilnya.

"Iya, Yang Mulia?"

Gadis itu diam sejenak lalu melihat bordiran yang dibuat oleh Chahna. "Itu...bordiran apa? Indah sekali," tanyanya dengan terpukau dan mata yang berbinar.

Chahna melirik kainnya dan melihat bordiran yang ia buat, "aah...ini. Saya pernah bermimpi melihat ukiran ini. Jadi saya mencoba membuatnya," jelasnya singkat.

Akitha memperhatikan bordiran itu, pada bordiran yang dibuat gadis itu terlihat sebuah mahkota bunga lili yang sedang melayang terhembus angin diatas buang karnivora, dan disampingnya terdapat bunga bangkai. Garis-garis yang terukir di sekitar bunga bangkai itu membuatnya seolah-olah melindungi sang mahkota bunga lili yang terhembus angin dari serangan bunga karnivora.

"Chahna...ini indah sekali," pujinya yang terus menatap selendang itu.

Mendengar pujian yang diberikan membuat Chahna tersipu malu dan hanya diam saja. "Aku gak biasa dipuji seperti ini," batinnya sembari terus menatap Akitha yang sedang memuji bordirannya.

'Tok tok tok' "Yang Mulia putri mahkota, Yang Mulia raja memanggil anda keruangan nya," umum seorang pelayan yang berdiri di depan pintu dengan wajah menunduk dan telapak tangan yang menyatu di depan dadanya.

Akitha berdiri dengan senyum yang lebar diwajahnya, ia kemudian berdiri dan berjalan mengikuti pelayan itu. "Nanti kita main lagi ya, Chahna!" Katanya lalu menghilang dari pandangan gadis itu.

"Akitha...ternyata baik sekali ya," gumamnya yang berjalan ke arah pintu hendak menutup pintu kamarnya. Ketika tangannya menyentuh gagang pintu mendadak sebuah tangan seputih susu dengan perhiasan emas yang mengelilingi pergelangan tangan tersebut mencengkeram tangan Chahna dengan kuat. Gadis itu menoleh dengan mata membelalak, ia lihat sesosok wanita cantik berambut panjang dengan warna burgundy, memakai kebaya berwarna merah dengan songket cokelat gelap, serta perhiasan-perhiasan yang ada di leher, telapak tangan, dan kepalanya.

Chahna memperhatikan wanita itu yang tampak galak dengan alis tebal dan mata yang memiliki garis tegas serta bibir merah yang menambah tampilan galaknya. "Oh...jadi ini? Wanita rendahan yang berani memasuki istana?" Tanya wanita itu menyeringai, Chahna hanya menatap matanya dengan gemetar dan menunduk.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!