Naradipta Nararya

Lelaki itu terdiam mendengar perkataan Chahna, beberapa saat kemudian ia berbalik dan masuk kedalam rumahnya. Sepanjang hari ia memikirkan perkataan gadis itu, kata-kata yang sama sekali gak pernah diucapkan oleh orang disekitarnya.

"Kau anak monster!! Kau tak bisa menjadi penerus ku!!"

"kau yakin dia bisa menjadi calon raja? Kutukannya saja bisa membunuh orang,"

"cih, dasar monster kecil."

Seluruh kata-kata makian berputar-putar dikepalanya. Ia kemudian menatap Chahna yang berbaring di ranjang rotan disudut, ia perhatikan gadis itu yang tampak terlelap dari tidurnya dengan bulu mata yang lentik, rambut hitam yang panjang dan halus, serta cahaya yang tampak dari tubuhnya. Lelaki itu menatap Chahna dengan sorot mata yang sayu sambil mencoba memahami pemikiran gadis itu.

"Mau bagaimana pun aku pikirkan. Aku lebih mirip monster dibanding manusia. Dia sangat...aneh," batinnya yang kemudian berjalan ke luar rumah. Langkahnya menuju sebuah pohon tinggi di dekat rumahnya, lelaki itu memanjat dengan cepat dan duduk di dahan pohon itu membiarkan jubah dan topengnya jatuh ke tanah dan memperlihatkan wajahnya kepada rembulan.

Matanya yang belang menatap bulan itu, mata bagai batu Ruby didampingi dengan emas bersinar membuat cahaya rembulan itu merasa tersaingi. Sorot matanya yang sayu itu menatap bulan yang bersinar terang di atasnya. "Pasti ada sesuatu dari gadis itu," gumamnya.

Bulan semakin lama turun dan matahari mulai menyinari hutan tempat mereka tinggal. Chahna membuka matanya dan kaget saat menyadari jika 'si topeng' itu sudah tidak ada lagi ditempat nya.

"Eh? Yang Mulia dimana? Yang Mulia?" Panggilnya beranjak dari ranjangnya dan mencari di setiap sudut gubuk. "Apa dia pergi meninggalkan ku?! Gawat!! Nanti ada harimau lagi gimana?!!" Paniknya kemudian berjalan keluar dari rumah. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sampai pandangan terfokus pada jejak kaki yang ada di lumpur, jejak kaki itu tampak seperti jejak kaki manusia dan menuju ke arah jubah dan topeng yang tergeletak di bawah pohon besar.

"Kenapa jaketnya ada disini?" Tanyanya dalam hati kemudian mendongak kan kepalanya. Ia lihat siluet bayangan hitam yang tampak tengah duduk di salah satu dahan pohon yang paling tinggi, Chahna mundur selangkah dan berusaha melihat jelas sosok itu.

"Hantu kah?" Gumamnya dalam hati dengan sedikit merinding.

Sosok itu kemudian menoleh kebawah dan turun sehingga membuat Chahna sedikit terkejut, sosok itu yang turun mulai terlihat jelas sang putra mahkota yang ternyata berada diluar semalaman.

Chahna perhatikan bahunya yang lebar dan lengannya yang kekar, gadis itu memiringkan kepalanya "kenapa Yang Mulia bisa ada diluar?" Tanya Chahna penasaran.

"Cari angin," jawabnya pendek lalu memakai kembali topeng dan jubahnya.

Gadis itu menarik jubahnya dan melepaskannya secara paksa sehingga membuat lelaki itu tersentak kaget. "Apa yang anda lakukan?!" Tanyanya.

"Kenapa Yang Mulia selalu memakai jubah? Saya kan sudah tahu tentang kutukan Yang Mulia?" Tanya gadis itu dengan lancang dan jubah yang ia pegang di lengannya.

Lelaki itu menunduk kemudian menarik paksa jubah itu dengan sihir nya. "Karena saya...tidak pernah nyaman dengan manusia," gumamnya kemudian berjalan membelakangi gadis itu.

Chahna menatapnya yang berjalan masuk ke dalam hutan, ia merasa bersalah karena semua yang ditanggung pemuda itu adalah salahnya. Seandainya ia tidak menulis cerita se menyedihkan itu, kehidupan pemuda itu tidak akan hancur seperti itu. "Hidup itu gak ada kata seandainya, Chahna. Harus kau perbaiki," tekadnya selama hati lalu masuk ke dalam gubuk.

"Bukan monster? Omong kosong," cibirnya yang berjalan mencari mangsa di tengah hutan, langkahnya kemudian berhenti dan kepalanya tertunduk. "Jangan mudah percaya sama nya, dia pasti bohong. Manusia itu memang jahat," batinnya yang terus mengingatkan dirinya. Tiba-tiba saja Chahna muncul di belakangnya dan menarik kembali jubah pemuda itu, ia menoleh kaget dan hampir menyerang gadis itu. Matanya membelalak saat menatap gadis itu yang memakai jubahnya, "a-ada apa?" Tanyanya gagap.

Chahna mengangkat tas kainnya di pundaknya dan kemudian berjalan ke hadapan lelaki itu, "Yang Mulia, sebentar lagi akan ada festival hari suci. Yang Mulia harus ikut menemaniku sebagai bentuk terima kasih ku karena telah merepotkan anda," seru gadis itu dengan senyuman menyeringai yang terukir lebar di wajahnya.

Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan Chahna yang terus berjalan mendekat ke hadapannya, tangan gadis itu mendadak meraih topengnya dan melepaskannya. "Saya perlu topeng Yang Mulia tapi sebelum itu. Yang Mulia anda harus tahu jika saya tidak pernah menganggap anda sebagai monster melainkan penyelamat saya," tuturnya dengan lembut sehingga membuat lelaki itu merona mendengar perkataan nya.

Kata-kata yang sama sekali tidak pernah diucapkan seorang pun padanya itu kini diucapkan dari mulut gadis yang telah ia selamatkan bahkan tak mengenal nya, ia palingkan wajahnya menyembunyikan rona merah diwajahnya. "Nara...Naradipta Nararya," ucapnya mendadak. "Itu namaku, jadi berhentilah memanggilku Yang Mulia," Chahna memperhatikan wajahnya yang memerah ketika mengatakan itu kemudian tertawa, menertawakan ekspresi lucu dari Naradipta.

"Baik, tuan Nara," balasnya dengan senyuman. "Nama yang bagus. Sesuai dengan wajahnya," batinnya.

"Dan...aku tidak akan hadir kesana. Terimakasih atas ajakanmu," tolaknya yang kembali menatap tegas mata Chahna.

Kini wajahnya terlihat dengan jelas, mata belang itu serta seluruh kutukan di tubuhnya, namun yang lebih menonjol dari semua itu adalah rambutnya yang seleher yang sangat berantakan tapi entah kenapa tetap menampakkan kegantengannya. "Padahal jika di zaman modern itu rambut jamet," cetusnya dalam hati.

"Baik, Yang Mulia eh tuan. Tapi..." Gadis itu membungkuk sedikit laku lanjut menatap Nara dengan mata yang serius. "Bisa antarkan saya ke sana? Saya tidak tahu jalan," pintanya dengan muka memerah karena malu, setelah semua tindakannya yang merepotkan ia tak menyangka kalau akan lebih merepotkan lagi. "Saya juga akan pinjam jubah dan topeng ini. Hehehehe..." Kekehnya.

Nara menatap datar gadis itu dan dengan cepat kembali menutupi tubuhnya dengan sihir, "ya," jawabnya singkat begitu sihir menutupi tubuhnya dan berubah menjadi jubah dan topeng baru.

Chahna terpukau dengan apa yang dilihatnya, lalu ia mulai berjalan di belakang Nara yang hendak menuntunnya menuju desa.

Selama di perjalanan ia melirik ke kanan dan ke kiri berusaha mengingat jalan agar ia dapat kembali lagi kesini, "kau...tinggal disini, apa gak takut?" Tanya Chahna padanya, pemuda itu menggeleng sambil terus berjalan.

"Sudah sampai," ketusnya dingin begitu jalanan desa mulai terlihat.

"Wah...terima kasih," ucap gadis itu kemudian melirik Nara yang hendak langsung pergi. "Tunggu, kau akan menerima ku jika aku datang, kan?" Tanyanya.

Nara mengangguk tanpa menatap gadis itu, ia lalu berjalan dengan langkah yang besar. "Ingatlah, aku tidak akan memaksa mu kembali. Jika mau pergi, pergilah." Ujarnya yang kemudian menghilang di lebatnya hutan.

Hembusan angin membuat rambut dan jubahnya berhembus pelan, ia melirik seluruh lentera yang dipasang di tali-tali yang di sangkutkan diatas jalanan. "Festival nya pasti ramai, jadi aku gak perlu memikirkan cara menyusup," batinnya yang melompat-lompat di jalanan desa itu.

Jalanan itu kini di penuhi dengan orang-orang dan prajurit istana yang turut membantu untuk menyiapkan festival, ada beberapa penari juga yang sedang berlatih di tengah desa dan beberapa penjual yang menjual topeng berdasarkan sihir masing-masing. Mata gadis itu terpaku melihat suasana yang begitu menyenangkan matanya itu, ia kemudian berjalan ke kerumunan orang yang sedang memilih-milih topeng sihir.

Setiap topeng memiliki makna sihir masing-masing oleh sebab itu para rakyat memilih topeng suci yang sesuai dengan sihir mereka. Saat sedang melihat-lihat topeng gadis itu tertegun, terlintas di pikiran nya sebuah ingatan yang sama sekali tak ia ketahui.

"Paramata, kurasa topeng yang cocok untuk sihirmu. Ini," kata seorang gadis yang memakai topeng berukiran burung merak dan buku merak yang ada di sudut kiri topeng itu. Ia mengangkat dan menunjukkan topeng yang ada di tangan nya, "lihat, topeng yang mirip langit malam dengan bulan sabit ini sangat cocok untukmu, paramata," serunya dengan senyuman lebar.

Chahna tersentak sadar lalu memegangi kepalanya berusaha memproses apa itu, dengan langkah yang pelan ia berjalan tanpa tujuan sambil terus memikirkan apa yang melintas di pikirannya tadi.

"Chahna!!" Sebuah suara keras mengagetkan gadis itu, ia berbalik dan melihat seorang lelaki bertubuh besar yang berjalan ke arahnya.

Gadis itu keheranan saat menyadari kalau dia adalah Bima, ia sedikit bingung karena saat ini ia sedang memakai jubah yang panjang yang seharusnya tidak bisa membuat siapapun mengenalinya.

"Neng Chahna, ternyata benar. Hahahahahaha...aku sempat khawatir karena asal manggil tadi," kekehnya dengan tangan yang menyarungi kerisnya.

"Kang Bima kok tahu sih? Terlihat kali kah?" Tanyanya penasaran dengan suara yang sedikit berbisik.

Pemuda itu kembali terkekeh dengan sedikit perasaan bangga yang terlihat dari wajahnya, "tentu saja, mungkin hanya saya yang tahu. Karena hanya neng Chahna di karajaan ini yang dijari kelingking nya tidak ada inai," jawabnya sambil menunjuk jari kelingking Chahna. Gadis itu mengangguk dan teringat kalau ia menulis bagian dimana para gadis di kerajaan ini akan memakai inai pada jari kelingkingnya saat usianya beranjak 15 tahun. "Kenapa neng gak pakai inai? Padahal rata-rata gadis seusia neng sudah pakai inai loh. Apa umur neng 14 bukan 15?" Tanya Bima dengan kepala sedikit dimiringkan untuk melihat lebih jelas topeng Chahna.

"Gak, aku hanya..." Ia termenung saat menyadari apa yang dikatakan Bima barusan. "Eh?!! 15?!! Umur saya 18, kang!!" Protes Chahna dengan suara yang meninggi.

"Hah? Serius? Bukan 15 tapi 18?" Karena heran pemuda itu berdiri tegap dan mengukur tingginya dengan gadis itu lalu tertawa terbahak-bahak dengan tangan di pinggang. Chahna hanya bisa pasrah di tertawa kan karena harus diakui tinggi badannya dengan tinggi badan Bima berjarak cukup jauh.

Mereka berjalan-jalan di desa itu untuk melihat-lihat dekorasi yang dipasang untuk festival malam ini. "Jadi neng akan ikut festival?" Tanya Bima yang melirik Chahna dari sudut matanya. Gadis itu mengangguk sambil melihat ke bawah memperhatikan perbedaan langkah nya dan langkah besar disampingnya, Bima lalu melepaskan topeng yang ada di wajah gadis itu dan menatapnya. "Ini topeng darimana?" Tanyanya yang mengarahkan topeng itu ke atas dan meneliti ukiran yang ada di topeng itu.

"Eh? Dari orang yang rumahnya kutinggali," jawab Chahna yang melompat berusaha mengambil topeng itu, Bima yang melihat itu tertawa cekikikan lalu menurunkan tangannya sehingga gadis itu dapat meraihnya dengan mudah.

"Dasar pendek, saya masih belum percaya umur mu 18 tahun," ledeknya dengan senyum lebar yang terukir diwajahnya yang tampak polos tak berdosa, Chahna merungut kesal lalu memeluk topeng itu agar tidak diambil lagi. "Eh? Tunggu. Rumah orang yang anda tinggali?"

"Iya, ada di hutan. Saya tinggal disana,"

Pemuda itu berhenti dan meletakkan tangannya di pinggang sambil menatap gadis itu dengan heran. "Kenapa neng tinggal disana? Neng bilang akan pulang ke kampung neng," kini Bima merasa sedikit curiga dengan Chahna, ia penasaran dengan rumah yang di tempati gadis itu sekaligus alasannya meninggalkan rumahnya. "Jawab, neng." Katanya dengan nada yang tegas. Suara-suara berisik yang berasal dari orang-orang yang sedang memalu pilar, dan suara tawa anak kecil yang melintas di jalan setapak itu menjadi satu-satunya suara yang terdengar diantara mereka berdua.

Chahna melirik ke kanan dan ke kiri berusaha mencari alasan dengan jari-jarinya yang tampak gelisah sambil menepuk-nepuk topeng itu, "itu...sebenarnya ketika upacara penobatan kemarin, saya bertemu dengan Yang Mulia Baginda Raja," ucap gadis itu dengan nada gugup sedikit takut membicarakan hal ini. Ia kemudian menceritakan kejadian pada saat upacara itu dimulai dari sebelumnya yang ia bertemu Yasa di sungai sampai ketika dia menolak Yasa untuk menari bersama.

Selama mendengarkan ceritanya, Bima hanya diam mematung tidak membalas ataupun bereaksi pada cerita gadis itu. "Jadi begitulah...sekarang kalung saya ada disana, kang," katanya mengakhiri. Pemuda itu tertunduk dengan ekspresi yang datar dengan rambutnya yang menutupi matanya sehingga Chahna tidak dapat melihatnya dengan jelas. Tiba-tiba saja pundaknya naik turun dengan suara tawa yang ditahan, "kang?" Panggil Chahna dengan kebingungan.

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak sampai membuat sedikit air mata keluar dan menetes. "Ya ampun...saya kira tidak akan ada gadis yang dapat menolak Yang Mulia ternyata ada gadis seperti itu," seru nya dengan tawa yang menyertai. Chahna menatap Bima dengan penuh keheranan mulai merasa jengkel dengan Bima yang terus-menerus tertawa.

"Apa mungkin karena anda belum tahu?" Ia menghentikan tawanya dan menarik nafas panjang sebelum akhirnya kembali berjalan bersama gadis itu. "Anda pasti menyesal, seharusnya anda menerima tawaran itu. Karena tanah aula tari itu punya mitos bahwa barangsiapa yang menginjakkan kakinya dan menari dengan orang yang dia pilih, maka kemungkinan mereka bakal menikah sangat tinggi," tutur Bima dengan suara yang pelan dan tatapan lembut yang terus menatap Chahna yang berjalan di sampingnya.

"Oh benarkah? Hahaha...aku nyesal," gumam gadis itu dengan mata yang melirik ke arah lain. Sebenarnya didalam hati nya ia merasa beruntung karena tidak dapat menari dengan Yasa selain tidak bisa, gadis itu tahu kalau sebaiknya ia tidak memiliki hubungan apapun dengan Yasa sampai dia tahu alasannya ada di dunia novel ini. "Ngomong-ngomong, kang. Kakang akan ikut festival topeng malam ini, kan?" Tanya Chahna saat mereka berdua berhenti di tengah alun-alun.

"Ya, hari ini saya akan memakai topeng berwarna merah dengan ukiran burung Garuda. Lihatlah, Chahna. Topeng ini akan lebih indah daripada topeng milikmu. Hahahahahaha..." Ujar nya dengan rasa bangga yang besar. Untuk kesekian kalinya Chahna mulai merasa ingin menonjok batang hidung pemuda itu dengan kuat sehingga membuat tawanya meredam.

"Baiklah...saya akan tunggu di alun-alun. Saya harap kakang dan saya bisa pergi bersama," ucapnya dengan lembut dan wajah yang menahan kekesalan.

Bima tertegun dengan perkataan yang baru saja dikatakan oleh gadis itu, ia menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!