Istana (1)

"S-saya sudah mendingan, Yang Mulia. S-saya..." Ia menelan ludah ketakutan saat melihat dari atas matanya kaki Yasa yang melangkah mendekat.

Jari-jari tangan yang besar dan panjang itu menyentuh dagu Chahna dengan pelan dan mengangkat nya untuk menatap matanya, gadis itu seketika gemetar saat melihat mata keemasan milik Yasa. "Kenapa kamu berlutut? Apa saya pernah menyuruhmu berlutut?" Tanyanya dingin dan terus menarik dagu Chahna sehingga membuat gadis itu berdiri mengikuti tarikan itu.

Ia tatap kedua mata kristal perempuan itu, "duduklah, saya hanya ingin makan malam disini," katanya dengan nada berat lalu melepaskan dagu gadis itu dan berjalan menuju meja makan yang telah disiapkan.

Kakinya menyilang dengan gagah dan tatapan nya yang tampak perkasa membuat Chahna sedikit terpukau saat melirik sesaat kemudian kembali menunduk dan berjalan duduk di hadapan Yasa. Keheningan memenuhi ruangan itu hanya suara dentingan sendok yang terdengar dari Yasa yang tengah menyendoki makanan yang disajikan, sementara Chahna hanya diam tak berkutik dengan jantung yang berdebar-debar menanti ucapan yang keluar dari mulut pria itu.

"Ada apa ini? Kenapa hening? Apa yang harus kulakukan?!" Tanya Chahna dalam hati, ia mengepalkan tangannya kuat mencoba menahan rasa takut yang mengerubungi jiwanya. Ia melirik pemuda itu memperhatikan Yasa yang makan dengan elegan dan berkelas namun tetap terlihat perkasa, siapa saja yang melihat pemandangan makan itu pasti akan (kesal) terpesona dengan ketampanannya.

Sendok itu berdenting untuk kesekian kalinya tapi kali ini dengan keras hingga mengagetkan gadis itu, Yang Mulia raja itu sudah menyelesaikan makan malam nya dan mengatur nafas sepertinya siap untuk memulai pembicaraan. Dia melirik makanan yang masih terisi penuh di atas piring Chahna, dengan pelan ia mendorong piring itu dengan pelan memberi kode kepada gadis itu untuk menyelesaikan makan malam nya.

"Makanlah terlebih dahulu." Itu bukan permintaan melainkan perintah langsung dari seorang yang berkuasa di antara mereka.

"Terimakasih," ucapnya pelan kemudian menyendoki makan malam nya.

Di tengah-tengah mengunyah makanan tiba-tiba saja Yasa berdiri dari tempat duduknya dan meletakkan tangannya di pinggang, tatapan yang tajam yang terdapat di matanya itu membuat gadis itu merasa canggung. "Siapa namamu?" Tanyanya dengan suara yang tegas.

"S-saya Chahna, Yang Mulia. Chahna Dhipa," jawabnya dengan gugup sambil menghentikan makan malamnya.

"Chahna ya...nama yang bagus," pujinya dan berjalan menuju pintu kamar. Ia kemudian berhenti sejenak dan berbalik, "Chahna Dhipa, aku perintahkan engkau untuk tetap berada di istana sampai aku mengizinkan mu keluar. Ini perintah." Tuturnya yang memerintah dengan nada yang tegas.

Chahna sontak kaget dan melihat Yasa yang melanjutkan langkahnya keluar kamar, ia membelalak tak percaya dengan barusan ia dengar. Itu seperti hukuman baginya mungkin lebih seperti skorsing walau sama sekali bukan kesalahannya mengambil kalung itu, karena itu memang miliknya. Chahna hanya bisa terdiam dan mematung menatap makan malam di hadapannya dengan hampa.

Di sisi lain, langit malam yang terlihat dari atas puncak pohon menerangi malam dengan indahnya. Nara menatap datar bulan itu seperti setiap malamnya namun kali ini perasaan hampa memenuhi jiwanya, entah kenapa rasanya seperti ada yang kurang di hatinya dan ada yang menggangu pikiran nya. Ia terus menerus teringat dengan sosok mata kristal itu, satu-satunya perempuan yang sangat unik baginya.

"Kapan dia kembali?" Tanyanya bergumam dan melirik ke arah lain lebih tepatnya ke arah kerajaan yang hanya terlihat atapnya saja dari tempatnya duduk. "Dia sudah berjanji, kan?" Imbuhnya lagi kemudian memeluk kakinya dan menyandarkan kepalanya di atas lututnya itu, hembusan angin meniup rambutnya dan jubahnya yang ia pakai untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Malam yang bertaburan bintang-bintang redup itu amat indah disertai dengan rembulan yang terang, malam yang membuat pemuda itu penuh harap menunggu sosok yang pernah ia temui. "Kuharap kamu lekas bertemu," batinnya yang masih menatap bulan itu.

Sementara itu Yasa tengah duduk di ruangannya sembari memeriksa undangan untuk kerajaan Insantaraina dari kerajaan negara lain. Dhika yang terus berdiri menatap rajanya itu akhirnya angkat bicara tidak tahan untuk menanyakan hal itu kepada sang raja, "Yang Mulia, apakah menurut anda gadis itu pantas untuk tinggal disini?" Tanya Dhika menundukkan kepalanya.

"Bukan pantas dan tidaknya, Dhika. Tapi permata memang seharusnya ada di kerajaan ku," jawabnya atas pertanyaan itu, ia masih menatap undangan-undangan itu dan membalas satu persatu kertas itu.

"Tapi, Yang Mulia... bagaimana dengan perasaan Yang Mulia putri mahkota?" Tanya pria berambut ungu gelap itu.

Senyuman Yasa membuat Dhika bergidik, sang raja itu beranjak dari kursi nya dan berjalan menuju jendela kayu yang dihiasi gorden sutra itu. "Ketahuilah, Dhika. Cintaku tetap untuk Akitha, tapi gadis itu membuatku sedikit penasaran. Terutama dengan matanya. Akitha tetap calon Parameswari kerajaan ini," katanya yang melihat ke arah rembulan sambil tersenyum. Matanya yang berwarna emas itu menjadi seperti cahaya mentari yang berada di malam hari yang diterangi sinar rembulan, Dhika hanya mengangguk penuh hormat tidak mungkin baginya untuk bertanya lagi pada sang Yang Mulia.

Beberapa hari kemudian, Chahna duduk di meja makannya sambil menyantap makanan yang disajikan oleh para pelayan istana untuknya. Ia mengunyah makanan itu pelan-pelan menikmati rasanya yang sangat enak serta sedikit berusaha untuk tidak terlalu stres karena keseringan berada didalam kamar.

"Makanannya enak. Ini daging apa ya? Rusa kah? Kambing? Ennaaaaakkk!!" Pujinya yang sangat menyukai hidangan itu. "Tinggal di istana tidak buruk sih. Tapi..." Ia berhenti bergumam dan melirik pelayan yang memasuki kamarnya untuk membereskan tempat tidurnya, matanya memperhatikan pelayan itu menunggu saat yang tepat untuk menyapanya namun sang pelayan hanya membersihkan ranjangnya dan segera keluar.

"...tapi pelayan disini tidak ada yang ramah, rasanya mereka membenciku," batinnya sedih dengan bibir yang mengatup kuat mencoba menahan teriakan rasa malunya karena telah berharap.

Setelah selesai makan, Chahna meletakkan piring-piring itu di depan kamarnya seperti biasa agar para pelayan lebih mudah mengambilnya (juga agar dia tidak perlu berharap menyapa mereka lagi). Gadis itu menggerai rambutnya yang panjang dan menyisirnya sambil berdiri di dekat jendela, telah cukup lama ia berada dikamar dengan perasaan takut akan hukuman yang diberikan oleh Yasa. "Aku gak tau sampai kapan si kakek itu akan mengurungku, apa salahku mengambil kalungku sendiri?! Ck, menyebalkan," gerutunya.

Ia menundukkan kepalanya memikirkan kata-kata yang ia ucapkan pada Nara, dengan perasaan sedikit bersalah karena tidak bisa menepati janji gadis itu menyisir rambutnya.

"Apa aku kabur saja ya?" Tanyanya dalam hati lalu mengeluarkan kepalanya dari jendela. "AAAAA!!"

"Kyaaaaaaa!!!"

"Eh?" Chahna tercenung menatap sesosok gadis cantik dengan kebaya indah yang ia kenakan serta perhiasan dan mahkota emas berukuran kecil yang ada di kepalanya dengan sebuah bunga sepatu yang tersangkut di rambutnya, matanya yang berwarna hijau bersinar saat membelalak menatapnya. "Yang Mulia?" Tanya Chahna.

Akitha tersenyum sambil mengelus dada sedikit kaget karena tiba-tiba Chahna mengeluarkan kepalanya dari jendela, "iya, sssshh...jangan berisik, aku hendak kabur," katanya lembut lalu kembali mengendap-endap dengan menempelkan punggungnya di dinding.

"Tunggu, Yang Mulia. Saya ingin i..."

"Akitha!" Sebuah suara keras mengagetkan gadis yang ada di jendela itu sehingga membuatnya dengan cepat bersembunyi kembali ke kamarnya. "Akitha!! Jangan lari!"

"Maafkan saya, saya pergi dahulu!" Pamit Akitha yang berlari dari sana secepat mungkin.

Chahna yang telah bersembunyi di kamarnya hanya bisa diam dan mengangguk sambil mengatur nafasnya karena kaget dengan suara keras itu. "Dasar Yasa, aku kan hampir bisa kabur," geramnya kesal lalu berbaring di ranjangnya. Ia menatap langit-langit kamar nya yang sangat luas dengan plafon papan yang membuat ruangan itu sejuk serta hiasan-hiasan berupa ukiran yang amat indah.

"Sudah berapa kali saya mengatakan pada anda? Kalau mulai saat itu tempat ini adalah rumah anda?" Tanya Yasa pada Akitha dengan nada yang tegas, namun gadis itu hanya menunduk tidak memedulikan. "Akitha! Anda sekarang adalah istriku," ucapnya yang beranjak dari singgasananya dan berjalan menuju gadis itu.

Telapak tangan Yasa mendarat di bahunya dengan lembut dan matanya bertemu dengan mata keemasan milik pemuda itu, "maafkan saya, Yang Mulia," ucapnya dengan nada yang penuh rasa bersalah.

Yasa tersenyum tipis kemudian menjauhkan tangannya dari bahu Akitha dan kembali ke singgasana nya, ia kemudian melirik ke arah pintu teringat dengan Chahna yang tidak keluar kamar semenjak tiba di istana. "Akitha, sebagai hukumannya. Maukah anda menemui Chahna?" Tanya nya dengan nada yang datar tanpa melirik Akitha.

"Hm? Chahna? Aaah...tentu saja, Yang Mulia," kata Akitha mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya. Ia dengan senang hati menemui Chahna dan mengajaknya mengobrol lagi pula di istana ini, tidak ada satupun gadis yang bisa dia ajak ngobrol.

Gadis bermata hijau itu berjalan menuju ruangan Chahna ditemani oleh dayang-dayang istana yang berdiri di sampingnya kanan dan kirinya. Salah seorang dayang membuka pintu bilik itu dan membungkuk pelan di hadapan Chahna yang tengah terduduk lesuh di kursi kayu dekat jendela.

Gadis itu menatap bingung dayang itu lalu mengangguk, "Yang Mulia Putri Mahkota memasuki ruangan," lontar dayang itu masih membungkuk. Chahna yang mendengar itu turut berdiri dan menatap Akitha yang memasuki ruangan dengan anggunnya.

Selendang yang terlilit di kedua lengannya itu berhembus ketika ia berjalan mengikuti rambutnya yang ia gerai, suara gemericik gelang kaki, serta silau mahkota emas yang ada di kepalanya itu membuatnya tampak sangat bermartabat. Chahna menyatukan kedua telapak tangannya dan membungkuk di hadapan Akitha yang menatapnya dengan tatapan yang hangat.

"Saya memberi hormat kepada sang penyinar kerajaan Insantaraina," ucap Chahna berusaha ramah dan meniru kata-kata hormat yang pernah ia baca di novel.

"Hihi...angkat kepalamu, nona Chahna. Saya kesini untuk mengajak anda minum teh bersama," tutur lembut gadis bermata hijau itu dengan senyuman yang tersungging manis di bibirnya.

"Baik, Yang Mulia. Maafkan saya," Chahna mengangkat kepalanya dan menatap gadis itu dengan seksama, mengagumi kecantikannya.

Akitha menoleh memberi kode kepada dayang-dayang nya untuk menyiapkan acara minum teh di bilik Parameswari itu, para dayang itu mengangguk dan dengan sigap membereskannya dalam waktu singkat. "Duduklah, nona Chahna." Suruhnya dengan nada yang halus saat ia duduk di kursi berukiran emas itu.

"Baik, Yang Mulia," kata Chahna.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!