Istana 3

"Apa maksud pertanyaan nya? Bukannya dia yang mengurungku? Apa maksudnya?!" Chahna terdiam di tempat sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa di saat seperti itu.

_"Bukankah anda menghukum saya? Ngejek ya?" Tanya Chahna dengan tangan di pinggang._

_"Ngaco! Mana ada!" Bentak Yasa kesal lalu melemparkan belati ke arah Chahna._

"...gak mungkin gitu kan?" Bengong gadis itu sendiri.

Yasa yang sedari tadi menunggu jawaban dari gadis yang tengah berlutut di hadapannya itu pun turut kebingungan, seolah ia baru saja menanyakan sesuatu yang tidak seharusnya ia tanyakan.

"Ada apa? Kenapa lama?"

Untuk kesekian kalinya gadis itu tersentak mendengar nada yang begitu dingin itu. "NADAMU GAK BISA DI HANGATIN APA?!!!" Kesal Chahna dalam hati sambil terus menunduk sopan menghindari pandangan mata sang raja. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya kira anda melarang saya keluar dari bilik," jawab gadis itu di ikuti dengan tundukan kepalanya yang lebih dalam.

Mendengar jawaban Chahna ia tidak kuasa menahan tawa, senyumnya yang ia ukir untuk menutupi tawanya justru membuat tawa itu semakin besar dan terbahak-bahak. Hal itu mengagetkan gadis di depannya, tawa yang tak biasa di lakukan oleh sang raja yang terkenal kejam itu sangat mengagetkan dan membingungkan untuk Channa.

"Ada apa? Kenapa?! Dia mau memb*n*hku karena sudah lancang atau apa? Kenapa tertawa?" Heran Chahna.

Langkah pemuda itu membawanya kembali ke singgasana nya masih dengan tawa yang akhirnya berhenti ketika ia telah duduk di kursi yang mulia itu. "Kenapa kamu berpikir aku melarangmu? Apa engkau berpikir aku menghukum mu?" Tanyanya dengan nada yang bergetar seolah hendak tertawa lagi.

"I-iya, Yang Mulia," jawab gadis itu yang kemudian membuat suasana ruangan kembali hening. Suasana yang hening itu membuat Chahna berpikir bahwa mungkin tidak seharusnya dirinya menjawab pertanyaan itu.

"Apa ini? Apa nadaku kemarin terdengar seperti sedang menghukum? Gadis ini tidak pernah melihatku menghukum m*ti seseorang? Rakyat dari negara lain? Hmmm...daerah mana?" Batin Yasa dengan rasa penasaran yang meliputinya dalam sekejap itu juga. Ia meletakkan kepalanya di tangannya dan melirik sekelilingnya selain arah Chahna yang masih berlutut di hadapannya, dengan wajah yang datar tanpa ekspresi.

Suasana yang hening itu di pecahkan oleh suara pintu yang terbuka, "Yang Mulia sedang si..." Penjaga pintu itu kemudian melihat Yasa yang menatapnya dengan tajam dari singgasananya, "Y-Yang Mulia putri mahkota dan tuan Dhika memasuki ruangan!" Ucapnya mengumumkan.

Dhika yang baru memasuki ruangan dengan beberapa selendang di tangannya yang ia bawa atas perintah Yasa pun membungkuk, "maafkan saya, Yang Mulia. Yang Mulia putri mahkota memaksa saya untuk mengizinkannya masuk," tutur Dhika yang membungkuk penuh rasa bersalah.

Yasa mengangguk, "tidak masalah, Dhika. Ada apa, Akitha? Aku sedang berbicara dengan Chahna saat ini," tanya Yasa dengan senyuman yang terang-terangan terukir di wajahnya.

Akitha yang melirik Chahna tengah berlutut kemudian berjalan kesamping gadis itu dan menariknya berdiri, "jangan berlutut Chahna. Saya tidak akan membiarkan lututmu menyentuh tanah," bisik nya di telinga gadis itu.

Mendengar bisikan itu Chahna hanya bisa mematuhi, bagaimanapun perintah yang di berikan oleh Akitha adalah hukum mutlak yang bahkan tidak bisa di bantah oleh Yasa sendiri. Ia hanya sedikit membungkuk dan menundukkan kepalanya agar tidak menghilangkan perasaan menghormati kedua orang yang berharga di kerajaan itu.

"Apa anda merindukan saya, Akitha? Kamu bahkan tidak bisa menungguku selesai mengobrol," ledek Yasa yang sedikit menahan tawa. Ekspresi Yasa yang terlihat jelas di mata Chahna itu sangat tidak biasa, itu adalah pemandangan yang pertama kali ia lihat dan hanya bisa ia baca di novelnya.

"Wwwaaahhh...dia tersenyum? Sungguh? Iblis putih itu? Oh ya, aku pernah tulis, tapi senyumnya... benar-benar gak masuk akal!" Batin Chahna dalam hati.

Pemuda bermahkota emas itu kemudian melirik Chahna yang sesekali mencuri-curi pandang darinya, seringai kecil muncul melihat tingkah gadis itu dan ia pun mulai mengangkat mulutnya. "Chahna, maafkan aku. Sepertinya kita mengobrol lain kali saja, engkau bisa keliling taman mulai sekarang. Anggap saja kau memiliki izin penuh atas taman ini," tutur pemuda itu dengan nada yang dingin sehingga apa yang dikatakannya itu terdengar seperti sedang menyombongkan diri.

"Terimakasih, Yang Mulia," ucap Chahna yang membungkuk lebih dalam lagi. Gadis itu kemudian berjalan keluar dari ruangan, begitu pintu ruangan itu kembali tertutup setelah ia keluar berbagai perasaan tertekan menghilang dari benaknya.

Dengan perasaan tenang, Chahna merosot terduduk di depan pintu. "Apa-apaan semua ini? Kenapa aku tertekan sekali? Kenapa? Kenapa aku harus bertemu dengan Yasa? Rasanya aku akan dihukum m*ti," gumamnya pelan dengan kepala yang mendongak keatas menatap beton di hadapannya.

"Chahna..." Tiba-tiba sebuah suara terdengar di telinganya. Suara yang indah bagai nyanyian, serta tegas dan menenangkan.

Gadis bermata biru itu pun menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara tersebut, "siapa?" Tanyanya pelan sembari melangkahkan kakinya berjalan-jalan.

"Chahna...ini saya," bisik suara itu lagi.

"Anda tidak mengenali suara ku? Ini saya, lihat saya, Chahna. Lihat saya,"

"Siapa?" Tanya Chahna kebingungan, ia menoleh ke sekelilingnya dengan ekspresi ketakutan mulai merasa akan kehilangan kewarasannya gegara suara itu. Setiap kali suara itu terdengar ia menoleh ketakutan, berusaha begitu keras untuk mencari asal suara itu.

Mendadak langkahnya terhenti di aula tari istana, tempat dimana tarian kerajaan dilakukan. Disana di tempat itu seluruh tubuhnya terasa panas dan membeku secara tiba-tiba tanpa di ketahui penyebabnya, keringat dingin bercucuran dari dahinya dan rasanya seperti ada sesuatu yang terdorong keluar dari dalam tubuhnya.

Gadis itu mengerang kesakitan dengan mulut yang terkatup rapat tidak dapat dibuka, kejadian itu membuatnya sesak dan merasa tertekan sehingga tanpa sadar air mata menetes dari matanya. "Apa-apaan ini? Kumohon...bergeraklah! Ini apa-apaan...kumohon, bergerak!!!" Pekiknya dalam hati.

'ting ting ting' suara gemericik gelang kaki terdengar dari belakangnya, suara gemericik yang lembut dan getaran tanah yang terasa dengan sangat pelan dari belakangnya. Siapapun dibelakangnya itu pasti sedang berjalan mendekat kearahnya. "Anda sudah tiba? Paramata?" Sebuah suara yang lembut dan suara yang sering ia dengar dimimpi nya itu membuat dirinya semakin penasaran, matanya melirik ke ujung ekor mata kirinya berusahalah melihat sosok dibelakangnya.

Sosok itu melintas disampingnya diikuti dengan sesuatu bagai sihir yang seketika mengubah suasana sekitar ketika tempat itu ia lewati, sosok wanita yang berjalan itu amat cantik, dengan bulu mata yang lentik dan senyum yang menawan hati, warna mata yang bersinar bagai serpihan-serpihan kecil kristal batu emerald, rambut panjang yang bergelombang dan berterbangan tertiup angin, serta busana yang sangat mempesona namun tidak tampak mewah.

"Apa anda menunggu lama, Paramata?" Tanya wanita itu yang kini membelakangi Chahna.

"Iyaa.." jawab sebuah suara indah yang membuat Chahna sekali lagi tertegun, ia dongakkan kepalanya dan menatap sesosok wanita itu. Wajahnya kini sangat jelas, rambutnya sama seperti rambut milik wanita yang ia temui dimimpi, serta busana yang ia kenakan adalah busana khas kerajaan Insantaraina, busana khusus milik Parameswari.

Untuk sesaat gadis itu membeku tak percaya sekaligus kebingungan, "Paramata? Aku gak pernah bikin karakter itu. Siapa? Dia siapa?" Tanya gadis itu dalam hati.

"Bagaimana hasilnya, Paramata? Pria itu menyukainya, bukan?" Tanya wanita bermata hijau dengan nada yang meledek temannya.

Paramata (wanita yang diliat Chahna dimimpinya) tersipu malu dan memalingkan wajahnya kearah lain sambil sesekali menggesekkan kakinya ketanah. "Sudahlah, j-jangan dibahas lagi, Emeralda." Katanya dengan pipi yang memerah.

Emeralda tertawa cekikikan dan berjalan keluar dari aula tari itu dengan langkah yang pelan, "ayolah, tidak ada salahnya anda mengakuinya, Paramata. Ada saatnya cinta itu harus diakui," tutur Emeralda dengan senyuman lebar yang terukir di wajahnya dengan sangat hangat.

"Iyaa...sudahlah, ayo kita kembali pulang. Paman pasti sudah menunggu kita," ujar Paramata yang berjalan dibelakang Emeralda untuk keluar dari sana dan pulang kerumah.

Chahna yang masih membeku menatap punggung mereka yang tengah berjalan keluar, "tunggu! Siapa kalian?!" Teriak Chahna dalam hati berususah payah, sekuat tenaga ia kerahkan untuk menggerakkan tangannya dan mulutnya.

"Tunggu!!! Jangan pergi dulu!!! Tunggu!!!" Pekik nya dalam hati.

'ting!!' sebuah suara dentingan keras membangunkan sang gadis cantik yang tengah terlelap diatas ranjang kayu, ia terbangun dengan ekspresi kaget dan keringat dingin yang bercucuran dari dahinya. Chahna menatap sekelilingnya yang kosong dengan salah seorang pelayan yang berdiri kaku dengan gelas ditangannya. Ia tatap pelayan itu dengan penuh keheranan, berusaha mengingat apa yang terjadi.

"I-ini...ada apa? Apa yang terjadi?" Tanyanya kepada pelayan itu.

Pelayan itu membungkuk dan meletakkan segelas air itu di atas meja disamping ranjang, "anda tadi pingsan di aula, nona," jawabnya dengan penuh rasa hormat.

"Ah, begitu? Aku...pingsan ya?"

"Iya, nona,"

Jawaban yang diberikan pelayan itu justru membuat Chahna semakin bingung, ia kebingungan tentang bagaimana dia bisa sampai ke kamarnya dan berbaring tak berdaya. "Pingsan? Lagi? Apa aku masih belum bisa beradaptasi?" Pikirnya yang kebingungan.

"Aku sepertinya harus menemui Yang Mulia putra mahkota sebenar," batinnya yang kemudian kembali berbaring di ranjangnya. "Aku akan pergi begitu pelayan ini meninggalkan ku sendirian," gumamnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!